پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

ANAK DAN PENDIDIKAN KETUHANAN

ANAK DAN PENDIDIKAN KETUHANAN

 

Agama: Fitrah Manusia

Umat manusia secara fitriah cenderung kepada Allah Swt dan agama. Jelasnya, kecenderungan ini merupakan sifat dasar manusia. Allah Swt memfirmankan, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rum: 30)

            Setiap anak pada dasarnya adalah seorang penyembah Allah Swt. Namun, pengaruh lingkungan luar dapat mengubah kondisi ini; sebagaimana disabdakan Nabi Islam saw, “Setiap anak dilahirkan dengan dengan fitrah keislaman, namun kemudian orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[146]

            Orang tua bertanggung jawab untuk menempatkan anaknya dalam lingkungan yang secara alamiah menjadikan fitrah keagamaannya terpelihara dengan layak. Saat datang ke dunia ini, seorang anak akan cenderung pada Kekuatan yang mampu memenuhi segala kebutuhannya. Namun demikian, pemahaman si anak pada tahap ini belum berkembang sampai tingkat kemampuan untuk mengungkapkan apapun tentang Sesuatu yang menjadi fokus perhatiannya itu. Baru kemudian, secara berangsur-angsur, pemahaman muncul dalam benaknya. Seorang anak yang diasuh dalam keluarga religius, mulai mengenal Allah Swt sejak sekitar usia empat tahun. Ini adalah usia ketika rangkaian pertanyaan sekonyong-konyong mulai muncul dalam benaknya. Dalam usia ini, adakalanya ia mengucapkan nama Allah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya itu menunjukkan bahwa fitrahnya mulai terbangun dan mendorongnya untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.

            Dalam hal ini, si anak memikirkan tentang:

    Siapa yang membuat matahari?
    Siapa yang telah menciptakan bulan dan bintang?
    Apakah Allah menyayangiku?
    Apakah Allah baik hati?
    Siapa yang menurunkan hujan?
    Siapa yang melahirkan ayah?
    Apakah Allah mendengar pembicaraan kita?
    Dapatkah kita berbicara dengan Allah lewat telepon?
    Di mana Allah tinggal?
    Bagaimana wajah-Nya?
    Apakah Allah tinggal di langit?

Sejak usia empat tahun, benak si anak mulai digelitik ribuan pertanyaan semacam itu. Semua pertanyaan itu menjadi bukti bahwa fitrah ketuhanan sudah terbangun dalam diri anak. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia berupaya memuaskan rasa dahaganya terhadap pengetahuan. Tidaklah diketahui, bagaimana pandangan seorang anak yang masih berusia semuda itu tentang Allah. Ia barangkali menganggap bahwa Allah itu seperti ayahnya, namun tentu saja lebih besar dan lebih kuat [dari ayahnya].

Seiring pertumbuhan anak, pemahamannya tentang Allah juga ikut tumbuh. Karenanya, orang tua memikul tanggung jawab besar pada tahap ini. Mereka harus memainkan peran sangat kritis dalam membentuk keyakinan anak-anaknya. Sedikit saja orang tua melalaikan kewajibannya terhadap anak pada tahap ini, maka mereka akan diberi ganjaran berat di Hari Pembalasan. Mereka harus berusaha menjawab dengan hati-hati seluruh pertanyaan yang diajukan anak-anaknya yang masih kecil. Menghindar dari menjawab pertanyaan-pertanyaan anak karena beberapa alasan, sama saja dengan mematikan rasa ingin tahunya. Tapi tentunya tidak mudah menjawab seluruh  pertanyaan anak. Jawaban-jawaban yang diberikan harus benar, ringkas, dan disampaikan dalam kalimat yang sederhana.

Jika Si Anak Mulai Sering Bertanya

Seiring dengan pertumbuhannya, sang anak berangsur-angsur mampu memahami informasi yang lebih rumit. Karenanya, orang tua harus menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan sang anak. Mereka seyogianya tidak memberikan informasi apapun kepada si anak yang melampaui kadar pemahamannya. Jawaban-jawaban semacam itu hanya akan membingungkannya ketimbang memuaskan dahaganya terhadap pengetahuan. Pendidikan ketuhanan bagi anak seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga ia mampu memahaminya dengan mudah.

Imam Ja`far Shadiq mengatakan, “Ketika seorang anak berusia tiga tahun, ajarkanlah ia untuk mengucapkan, ‘lâ ilâha illa Allâh (tiada tuhan selain Allah).’ Lalu, biarkan ia sendiri (mengucapkannya). Ketika ia berusia tiga tahun, tujuh bulan, 20 hari, ajarkan ia untuk mengucapkan, ‘Muhammad ar-Rasûlullâh (Muhammad adalah utusan Allah).’ Biarkan ia sendiri (mengucapkannya) hingga usianya genap empat tahun. Sekarang, ajarkan ia untuk mengucapkan shalawat (pujian) kepada Nabi saw (dan keluarganya yang suci).”[147]

      Doronglah anak-anak belajar membaca bait-bait sederhana seputar perkara keagamaan. Ini akan menjadi latihan yang menyenangkan bagi mereka. Kemudian, ajarkanlah mereka tentang kenabian dan imamah (kepemimpinan). Pertama-tama, sang anak harus diceritakan tentang Nabi saw yang diutus Allah Swt untuk membimbing umat manusia. Kemudian, mereka juga harus diceritakan tentang kualitas-kualitas unggul Nabi saw berikut jalan hidupnya yang patut diteladani. Ceritakan pula kepada sang anak perihal beberapa peristiwa menarik dalam kehidupan Nabi saw. Setelah itu, ceritakanlah kepadanya tentang para pewaris Nabi saw yang bertugas melanjutkan bimbingan yang benar kepada umat Islam setelah beliau saw wafat. Seluruh informasi ini harus disampaikan kepada sang anak dalam bentuk kisah pendek agar ketertarikannya terus berlanjut.

Berkenaan dengan masalah hari kiamat, seorang anak pada awalnya tidak terlalu tertarik untuk menyimaknya. Sebab, ia menganggap dirinya dan orang tuanya akan hidup bahagia (di dunia) untuk selama-lamanya. Memang, belum layak membicarakan kematian kepada anak yang usianya masih sangat belia. Umumnya anak-anak menganggap bahwa orang-orang yang meninggal dunia sedang pergi jauh. Adakalanya sebuah tragedi terjadi dalam keluarga yang memiliki anak-anak yang masih kecil. Dalam suasana tersebut, orang tua harus secara bijak membicarakan masalah kematian kepada mereka.

Bila kakeknya meninggal dunia, si anak mungkin akan bertanya, “Bu, ke mana kakek pergi?” Dalam situasi semacam ini, fakta-fakta yang ada harus dijelaskan kepada anak. Misal, dengan mengatakan kepada si anak bahwa kakeknya sudah tak ada lagi dan telah pergi ke alam lain. Setiap orang yang meninggal dunia akan pergi ke alam tersebut.  Bila sosok yang meninggal dunia itu adalah orang yang berperilaku baik dalam kehidupan di dunia ini, niscaya ia akan beristirahat di surga yang di dalamnya terdapat kebun yang sangat indah. Namun, bila yang meninggal dunia itu adalah orang yang suka berkelakuan buruk dalam kehidupan dunia ini, niscaya ia akan dijebloskan ke neraka yang dipenuhi kobaran api. Seorang anak seharusnya diberitahu secara bertahap tentang kematian yang pasti dialami setiap makhluk bernyawa. Selain itu, harus diceritakan pula kepadanya bahwa kehidupan ini hanyalah tempat tinggal sementara yang suatu saat harus ditinggalkan manusia untuk pergi ke “alam lain”.

            Pengajaran informal seputar pengetahuan agama semacam ini harus terus dilakukan secara bersinambung sampai si anak merampungkan pendidikan sekolah dasar, menengah, dan lanjutannya.

Mendorong Kewajiban Agama pada Anak

            Benar, anak laki-laki mencapai usia untuk mengemban tanggung jawab (balig) pada usia lima belas tahun dan anak perempuan pada usia sembilan tahun. Ini adalah usia ketika norma-norma hukum (pantas) dibebankan kepadanya. Akan tetapi, pengenalan akan kewajiban keagamaan tidak seharusnya ditunda-tunda hingga anak mencapai usia untuk mengemban tanggung jawab ini. Mereka harus didorong untuk melaksanakan kewajiban keagamaan sejak awal masa kanak-kanaknya, sehingga ketika harus melaksanakan beban kewajiban itu, mereka telah terbiasa.

Dalam keluarga yang taat beragama, seorang anak akan meniru perbuatan orang tuanya dalam melaksanakan ritual keagamaan (ibadah). Suatu saat, dia mungkin akan menggelar sajadah untuk orang tuanya, atau mungkin juga meletakkan kepalanya di lantai untuk mengikuti orang tuanya bersujud. Dia akan turut mengucapkan Allâhu akbar (Allah Mahabesar) dan lâ ilâha illallâh  bersama orang tuanya. Dia mungkin juga akan memanjatkan doa bersama ibunya. Para orang tua yang bijak akan memanfaatkan kecenderungan alamiah untuk meniru pada anak-anak ini dengan sebaik-baiknya. Jika seorang anak melakukan hal-hal seperti itu, orang tua dapat memberikan senyuman sebagai sebuah bentuk penghargaan.

Mengajarkan Cara Ibadah Secara Bertahap

Sepantasnyalah bila tidak terdapat unsur paksaan dalam mengajarkan tatacara peribadahan kepada anak. Para orang tua tidak selayaknya mengajarkan ritual keagamaan secara formal di awal masa kanak-kanaknya. Pada usia lima tahun, anak dapat diajari membaca Surah al-Fatihah (Pembuka) dari al-Quran. Ini pun tidak perlu dilakukan secara terburu-buru; mungkin diperlukan beberapa hari untuk memelihara minat si anak dalam menghafalkannya. Pada usia tujuh tahun, anak harus diajak untuk melaksanakan shalat secara rutin. Orang tua harus menempatkan diri mereka sendiri sebagai contoh bagi anak dalam mengerjakan lima shalat itu, secara rutin dan tepat waktu, sebagaimana telah ditetapkan.

Pada usia sembilan tahun, buatlah anak-anak menjadi terikat untuk melaksanakan shalat secara rutin. Para orang tua harus menjelaskan kepada anak bahwa shalat merupakan kewajiban, baik ketika di rumah ataupun di dalam perjalanan. Jika anak tak mengerjakan shalat, orang tua harus memberikan teguran keras. Ya, jika orang tua sendiri melaksanakan kewajiban shalat secara rutin, mereka akan mudah merangsang si anak untuk mengikuti kebiasaan ini. Ketika telah mencapai usia balig, anak akan siap untuk melaksanakan kewajiban shalat secara rutin. Jika orang tua terus membiarkan anak (tak mengerjakan shalat) karena menganggapnya masih terlalu kecil, dan hendak mengajarinya bila telah cukup usia, akan sangat sulit untuk mengarahkannya pada kewajiban shalat secara rutin. Semua orang percaya, kebiasaan lama sulit diubah. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw dan para imam suci meminta para orang tua untuk membiasakan anak mulai melaksanakan shalat sejak usia enam atau tujuh tahun.

Imam Muhammad Baqir berkata, “Kita dorong anak-anak kita untuk mulai mengerjakan shalat sejak usia lima tahun. Dan pada usia tujuh tahun, kita perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat lima kali sehari secara rutin.”[148]

Rasulullah saw bersabda, “Saat anak-anakmu berumur enam tahun, perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat. Ketika mereka berumur tujuh tahun, suruhlah mereka secara lebih keras agar rutin mengerjakan shalat. Jika perlu, mereka harus dihukum jika tidak rutin dalam melaksanakan shalat mereka.”[149]

Imam Muhammad Baqir atau Imam Ja`far Shadiq berkata, “Saat anak berusia tujuh tahun, suruhlah mereka membasuh wajah, kaki, dan tangannya sebelum mengerjakan shalat. Tetapi, ketika telah berusia sembilan tahun, ajarilah dia cara yang benar dalam melakukan wudhu (kewajiban menyucikan diri sebelum mengerjakan shalat). Inilah saatnya anak diperintahkan secara tegas untuk mengerjakan shalat secara rutin.”[150]

Imam Ja`far Shadiq berkata, “Saat seorang anak telah berusia enam tahun, perlu baginya belajar mengerjakan shalat. Dan jika memiliki kemampuan secara fisik, dia juga harus didorong untuk berpuasa selama bulan Ramadhan.”[151]

Benar, secara bertahap, anak harus sudah mulai berpuasa selama bulan Ramadhan. Seorang anak yang cukup bugar untuk melaksanakan puasa harus dibangunkan pada waktu sahur (makan sebelum matahari terbit), sehingga dia menyantap hidangan sarapannya di waktu ini, bukan di pagi hari seperti biasa. Jika si anak cukup mampu untuk berpuasa sepanjang hari, doronglah dia untuk menyempurnakannya. Akan tetapi, jika si anak merasa berat, dia boleh diizinkan untuk memutus puasa sebelum waktunya. Jumlah hari puasa yang dilakukan anak mesti meningkat secara bertahap. Ketika anak mencapai usia untuk mampu memahami, dia harus diberi pengertian bahwa mengerjakan shalat lima kali sehari dan berpuasa di seluruh hari di bulan Ramadhan adalah wajib.  Jika tidak memenuhi hal-hal tersebut, dia akan berdosa dan beroleh hukuman Tuhan.   

Para orang tua harus menjelaskan kepada anak-anak tentang keuntungan dan pahala berpuasa selama bulan Ramadhan. Ini akan memberikan lebih banyak dorongan kepada anak untuk berpuasa. Dia juga harus diberi waktu luang yang lebih banyak untuk beristirahat. Dan di akhir satu periode puasa, anak harus diberi beberapa hadiah sebagai penghargaan atas upayanya. Selama periode puasa, para orang tua harus selalu memberikan perhatian, sehingga anak-anak tidak akan mencoba untuk makan sesuatu secara sembunyi-sembunyi.

Sementara itu, pada waktu yang tepat, penting bagi para orang tua untuk menjelaskan tentang “mimpi basah” yang akan mereka alami di masa pubertas. Mereka juga harus diajari tentang bagaimana cara ghushl (mandi yang diwajibkan setelah keluar mani) dan istinja (mencuci alat kelamin dengan air setelah buang air kecil).

Penting diingatkan di sini, jika para orang tua ingin anak-anak mereka rutin pergi ke masjid dan menghadiri acara-acara keagamaan, mereka harus menanamkan kebiasaan ini semenjak masa kanak-kanaknya. Mereka harus membawa anak-anak ke masjid dan ke tempat-tempat diadakannya majelis keagamaan. Kunjungan-kunjungan seperti ini akan menciptakan ketertarikan dalam diri anak-anak untuk mengunjungi perkumpulan-perkumpulan keagamaan.

Alhasil, perlu diingat bahwa sebelum mencapai usia untuk memahaminya, tidak ada kewajiban bagi anak untuk menjalankan ibadah. Jika tidak mampu menjalankan ibadah tertentu pada waktu tertentu, dia tidak dianggap melakukan pelanggaran. Akan tetapi, tidaklah sepatutnya bagi para orang tua untuk membiarkan sepenuhnya anak-anak melakukan sendiri apapun yang mereka inginkan. Anak harus diberitahu bahwa jika membahayakan atau melukai orang lain secara fisik, dia akan dikenai kewajiban untuk membayar diyat (denda karena merugikan orang lain), apabila telah mencapai usia untuk memahami hal itu.

Di lain pihak, jika anak dibiarkan bebas tanpa pengawasan, dia akan terbiasa melakukan dosa dan kesalahan. Kesimpulannya, “kebiasaan lama sukar dilenyapkan”. Ya, kebiasaan yang tertanam sejak masa kanak-kanak akan membekas dalam diri seseorang, meskipun banyak orang telah berusaha menghilangkannya. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk mengajari anak-anak tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan sejak usia dini. Mereka harus mencegah anak-anak mengerjakan perbuatan terlarang dan mendorong mereka melakukan perbuatan yang baik dan mulia.

 

[146] Bihâr al-Anwâr, jil.3, hal.281.
[147] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.254.
[148] Wasâ’il asy-Syî’ah, jil.3, hal.12.
[149] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.1, hal.171.
[150] Wasâ’il asy-Syî’ah, jil.3, hal.13.
[151] ibid., hal.12.