پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

MENAMAI ANAK

MENAMAI ANAK

 

            Salah satu tanggung jawab penting orang tua adalah memilih nama untuk anaknya. Mereka tak semestinya meremehkan hal ini. Individu-individu dan keluarga-keluarga bisa dikenali melalui namanya. Bila nama seseorang baik, ia akan diterima dengan baik pula oleh masyarakat. Seseorang yang namanya tidak nyaman didengar, tidak akan memperoleh perhatian yang baik dari orang lain, bahkan terkadang mereka mengejeknya. Seseorang yang memperoleh nama yang kurang baik akan menjadi korban penyakit inferiority complex[76]. Oleh karena itu, Islam mewajibkan orang tua memberikan nama yang baik bagi anaknya.

            Rasulullah saw bersabda, “Adalah tanggung jawab setiap ayah untuk memberikan nama yang baik bagi anaknya.”[77]

            Rasulullah saw juga bersabda, “Anak-anak memiliki tiga hak atas ayah mereka. Pertama, berhak memperoleh nama yang baik. Kedua, berhak memperoleh pendidikan yang baik. Dan ketiga, ayah membantu mereka memilih jodoh yang baik.”[78]

            Imam Musa Kazhim berkata, “Kebaikan pertama yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya adalah memberinya nama yang baik.”[79]

            Di sisi lain, nama seseorang memiliki pula nilai sosial yang penting. Nama dapat menjadi pengenal bagi seseorang bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik. Bila orang tua mengagumi para penyair terkenal, biasanya ia akan menamai anaknya dengan nama-nama mereka. Bila orang tua gemar sekolah tinggi, biasanya ia akan menamai anaknya dengan nama para intelektual terkemuka. Sedangkan, orang tua yang religius akan menamai anaknya dengan nama para nabi, para imam, dan orang-orang saleh. Sedangkan, orang tua yang ingin anaknya menjadi pembela agama, biasanya akan menamai anaknya dengan Muhammad, Ali, Hasan, Husain, Abu Fadhl, Abbas, Hamzah, Ja`far, Abu Dzar, Ammar, Sa’id, dan lain-lain.

            Demikian pula, bila orang tua gemar berolahraga, biasanya akan menamai anaknya dengan nama para atlet terkenal. Sama halnya, bila orang tua gemar seni musik, biasanya akan menamai anaknya dengan nama para musikus terkemuka. Namun, bagi orang tua yang berwatak zalim, akan bangga menamai anaknya dengan nama para tirani, seperti Alexander, Jengis, Timur[80], dan lain-lain.

Perlu diperhatikan pula, ketika orang tua menamai anaknya, secara otomatis, ia telah menyatukan dirinya dengan orang-orang di masa lalu. Ini akan memberikan dampak tertentu pada watak dan pemikiran anak saat mereka dewasa.

Rasulullah saw bersabda, “Berilah nama yang baik. Karena, pada Hari Pembalasan kelak, kalian akan dipanggil dengan nama itu. Akan diserukan kepada kalian, ‘Wahai fulan bin fulan, bangun dan bergabunglah dengan cahayamu!’ Atau, ‘Wahai fulan bin fulan, bangunlah, namun tak ada cahaya yang dapat membimbingmu!’”[81]

Seseorang berkata kepada Imam Ja`far Shadiq, “Kami menamai anak-anak kami dengan nama Anda dan nama bapak-bapak Anda yang mulia. Apakah ini akan memberikan manfaat pada kami?” Beliau menjawab, “Ya, demi Allah. Iman itu tidak lain adalah mencintai orang-orang saleh (para kekasih Allah) dan membenci orang-orang batil (para musuh Allah).”

Syiar keyakinan seseorang biasanya dilakukan dengan memperoyeksikan nama orang-orang penting. Mereka lalu menambahkan nama kota, jalan, dan pengenal lainnya setelah nama orang tersebut. Seorang Muslim yang bertanggung jawab dan taat juga akan berupaya mengabadikan nama orang-orang besar dalam Islam, yang salah satunya dengan menggunakannya sebagai nama anak-anaknya.

Ya, nama seperti Hasan, Husain, Abu Fadhl, Ali Akbar, Hurr, Qasim, Hamzah, Ja`far, Abu Dzar, dan Ammar adalah sebagian nama yang menghidupkan jiwa untuk mengingat aksi-aksi heroik orang-orang besar tersebut, dan mendorong generasi mendatang menjadikan mereka sebagai idola. Ketika seseorang memiliki nama para nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa, atau Muhammad; maka ia akan terdorong untuk semampu mungkin menjadi orang baik. Bila seseorang memiliki nama para sahabat dan pengikut Ahlulbait, seperti Abu Dzar, Maitsam, dan Ammar; maka ia akan menyadari pentingnya perbuatan orang-orang besar tersebut. Seorang Muslim yang cerdas tentu tidak akan memberi nama anaknya dengan nama para tiran dan musuh Islam.

Imam Muhammad Baqir berkata, “Berhati-hatilah terhadap setan. Ketika mendengar seseorang memiliki nama Muhammad dan Ali, ia akan meleleh seperti timah yang meleleh. Dan ketika mendengar seseorang memiliki nama para musuh kami, ia akan sangat bergembira.”[82]

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memiliki empat anak lelaki dan tak satupun yang dinamai dengan namaku, berarti telah berbuat zalim kepadaku.”[83]

Imam Muhammad Baqir berkata, “Nama yang tak ada bandingannya adalah nama para nabi.”

Rasulullah saw sangat menganggap penting sebuah nama. Sehingga, ketika merasa tak suka dengan nama seorang sahabat atau sebuah tempat, beliau saw akan segera menggantinya. Beliau saw telah mengganti nama Abdul Syam dengan Abdul Wahab. Beliau saw juga mengganti nama Abdul ‘Uzza dengan Abdullah. Beliau saw juga mengganti nama Abdul Haris dengan Abdurrahman. Beliau saw juga mengganti nama Abdul Ka’bah dengan Abdullah.

 

[76]  Inferiority Complex adalah sejenis penyakit kejiwaan, di mana seseorang merasa dirinya kecil, rendah, hina, dan kalah. Sehingga, terkadang ia menjadi terlalu agresif melalui kompensasi berlebihan—penerj.
[77]  Wasâ’il asy-Syî’ah, jil.2, hal.618.
[78]  ibid., jil.14, hal.92.
[79]  ibid., jil.15, hal.122.
[80]  Berasal dari nama Timur Lengkh, salah seorang keturunan Jengis Khan yang menjadi penguasa Mongol yang kejam—penerj.
[81]  Wasâ’il asy-Syî’ah, jil.15, hal.123.
[82]  ibid., hal.127.
[83]  ibid.