پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Apresiasi, Penghormatan, Sikap Pemaaf dan Kebaikan dalam Pendidikan

Apresiasi, Penghormatan, Sikap Pemaaf dan Kebaikan dalam Pendidikan

 

Semua anak-anak suka dengan penghormatan. Mereka ingin pribadi mereka diperlakukan secara terhormat. Anak-anak itu cinta dengan dirinya dan ia ingin orang lain juga memperlakukannya seperti ia memperlakukan dirinya. Kalau kebutuhan seperti ini bisa terpenuhi dalam keluarganya anak itu akan merasa lega dan percaya diri, sehingga ia akan mampu memaksimalkan potensinya untuk meraih apa yang menjadi cita-citanya.  Anak itu juga akan tumbuh menjadi anak yang optimis, mandiri dan punya harga diri. Ia  akan menyambut setiap orang yang mau bersahabat dengannya apalagi kalau orang itu memperlakukannya secara khusus.

Anak-anak yang dihormati di dalam keluarganya akan belajar menghormati orang lain. Dengan kata lain anak-anak dididik lewat penghormatan atas dirinya. Menghormati anak-anak merupakan strategi untuk menerapkan nilai-nilai kebaikan di dalam dirinya. Anak-anak yang selalu mendapat perlakuan terhormat akan merasa bangga dan termotivasi untuk mempertahankan sifat-sifat baiknya tersebut. Manusia untuk menjaga kehormatannya bahkan berani mengabaikan hasrat-hasrat liarnya.

Amirul Mukminin as mengatakan, “Siapa yang menghargai kemuliaan dirinya maka akan selamat dari hasratnya yang rendah.”[381]

“Siapa yang menghormati dirinya tidak akan dihinakan dengan kemaksiatan.”[382]

“Siapa yang memiliki jiwa yang mulia maka terhinalah syahwatnya.”[383]

Anak-anak yang tidak mengalami pengalaman yang menyenangkan di tengah-tengah keluarganya, selalu menerima kecaman dan penghinaan, akan tumbuh menjadi anak yang lemah dan tidak bisa menghargai orang lain. Ia akan memandang rendah terhadap dirinya. Dan tidak ragu-ragu melakukan hal-hal yang beresiko negatif. Ketika keluarganya sendiri memperlakukannya secara buruk, maka ia akan kehilangan martabatnya. Kalau Anda meluangkan waktu untuk meneliti orang-orang yang terjebak dalam dunia kejahatan maka Anda akan mengetahui bahwa sebagian besar dari mereka dibesarkan dalam penghinaan orang lain.

Hadis-hadis juga menyinggung tentang hal tersebut di antaranya.

Amirul Mukminin as mengatakan, “Siapa yang memiliki jiwa yang rendah maka tidak bisa diharapkan kebaikannya.”

“Siapa yang memandang buruk terhadap dirinya, maka tidak ada yang aman dari kejahatannya.”[384] 

Imam Shadiq as juga mengatakan, “Seseorang merasa sombong karena ia memandang rendah terhadap dirinya.”

 

Hormatilah Anak-anakmu!

Menghormati anak-anak sebetulnya adalah memberikan pendidikan terhadapnya dan Islam menganjurkan agar orangtua, guru atau siapa saja yang terlibat dalam urusan pendidikan memberikan perhatian terhadap hal tersebut. Rasulullah saw mengatakan, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah dengan cara yang baik, maka Allah akan mengampuni dosamu.”[385]

“Ketika anakmu kamu namai dengan Muhammad maka hormatilah dan berilah tempat duduk dalam majelis dan jangan memandanginya dengan mimik yang tidak menyenangkan.”[386]

Tentu saja Rasulullah saw sendiri mempraktikkan sikap seperti itu terhadap anak-anak dan cucunya. Ibnu Abbas meriwayatkan, “Rasulullah menaikkan Hasan ke atas pundaknya dan dilihat oleh seseorang, orang itu mengatakan, ‘Alangkah mulia yang memangkumu itu!’ Rasulullah langsung mengatakan juga ‘Dan alangkah mulianya yang dipangkunya.’”

Ya’la bin Marrah mengatakan, “Kami berangkat bersama Rasulullah ke suatu undangan. Ketika itu Hasan sedang bermain-main di jalan. Rasulullah segera menyerbunya dan membukakan tangannya untuk memeluknya tapi Hasan kemudian lari ke sana dan kemari. Rasulullah sendiri kemudian bermain-main dengan Hasan untuk menangkapnya. Rasulullah kemudian memegang Hasan, memeluknya dan menciuminya sambil mengatakan, ‘Hasan (bagian) dariku dan aku (bagian) dari Hasan. Siapa yang mencintai Allah akan mencintai Hasan. Hasan dan Husain adalah dua pemuda ahli surga.’”

Syabih juga meriwayatkan sebuah hadis yang bercerita tentang Rasulullah saw dan Husain as. Ketika itu Rasulullah saw sedang duduk tiba-tiba datang Hasan dan Husain as. Begitu melihat kedua (cucunya) Rasulullah berdiri untuk menghormatinya dan berjalan dengan perlahan-lahan untuk menyambut keduanya. Kemudian keduanya diletakkan di atas kedua pundaknya sambil berkata, “Akulah yang terbaik untuk menjadi tungganganmu dan kalianlah yang terbaik untuk menjadi penunggangnya. Ayah kalian itu lebih baik dari kalian.”[387]     

Rasulullah memperlakukan semua anak-anak lain sama dengan perlakuannya terhadap anak-cucunya sendiri. Dan Rasulullah saw dikenal memiliki sifat penyayang dan hangat terhadap anak-anak.[388]

Rasulullah sering memanggil para sahabat dengan panggilan khusus untuk menyenangkan mereka dan sahabat-sahabat yang tidak memiliki gelar khusus akan dipanggil oleh Rasulullah dengan gelar baru. Kebiasaan ini juga dilakukan terhadap anak-anak untuk memberikan kebahagiaan kepada mereka.[389] Setiap pulang Rasulullah selalu disambut oleh anak-anak kecil. Setiap kali melihat mereka Rasulullah berdiri untuk melayani mereka dengan penuh penghormatan. Rasulullah juga menyuruh para sahabat untuk meletakkan anak-anak itu berjejer ke belakang dan kemudian menyuruh mereka menaiki punggungnya. Anak-anak kadang-kadang saling membanggakan satu sama lain bahwa Rasulullah menaikkan di atas punggungnya di bagian depan dan kawannya di bagian belakang dan sebagian mengatakan bahwa Rasulullah bahkan menyuruh sahabatnya untuk menaikkannya ke atas punggungnya.[390]

Menghormati kepribadian anak-anak dari keluarga sendiri dan juga anak-anak orang lain adalah bagian dari gaya hidup Rasulullah saw sendiri. Rasulullah sengaja melakukan itu untuk menanam perasaan bangga di dalam diri mereka, sehingga mereka terpicu untuk meningkatkan kualitas dirinya. Rasulullah memang selalu ingin memuliakan kepribadian manusia siapa saja orangnya. Dengan begitu mereka menjadi tertarik dengan apa yang akan disampaikan oleh beliau.

 

Kiat-kiat Mengapresiasi Anak-anak

Ada beberapa kiat agar si anak merasa mendapat tempat yang terhormat

    Namai dengan nama yang baik. Dengan nama yang baik, siapa pun akan merasa bangga, tersanjung, terangkat harga dirinya. Sebaliknya nama yang tidak baik dapat menyurutkan harga dirinya. Karena itu Islam menyarankan kepada orangtua agar memberikan nama-nama yang baik. Nama yang baik itu adalah nama yang baik secara tradisi dan mungkin berbeda persepsi setiap zamannya tentang nama yang baik tersebut. Selain memilih nama yang baik juga jangan lupa mengandung makna yang baik pula. Sebagai seorang Muslim sebaiknya kita memakai nama-nama Islam seperti nama-nama nabi, para imam atau tokoh-tokoh agama lainnya. Abu Hasan as mengatakan, “Kebaikan orangtua yang pertama adalah memberikan nama yang baik. Namailah anak-anak kalian dengan nama yang baik.”[391] 

Dalam salah satu wasiatnya Rasulullah saw mengatakan, “Hai Ali, hak anak atas orangtuanya adalah mendapatkan nama yang baik, mendapatkan pendidikan dan meletakkan di tempat yang baik (menikahkannya).”[392]

    Sebutkan nama yang baik itu secara terhormat, misalnya Anda bisa memanggil namanya dengan kata-kata anakku atau putriku. Atau panggil dengan menggunakan nama keluarganya dan panggillah dengan menggunakan kata-kata yang lebih sopan.
    Ucapkan salam kepada anak-anak. Umumnya anak-anak yang harus mengucapkan salam kepada orangtuanya tapi orangtua juga sebaiknya mendahului anak-anak dalam mengucapkan salam. Apalagi anak-anak terkadang lupa mengucapkan salam. Rasulullah saw mengatakan, “Ada lima hal yang tidak akan aku tinggalkan sampai aku mati...”[393] Di antara yang lima itu adalah mengucapkan salam kepada anak-anak.
    Ketika bertemu dengan anak-anak, perlakukan mereka layaknya orang dewasa, jabat tangannya dan ajaklah berbicara.
    Siapkan tempat khusus untuk anak-anak ketika mau menyantap makanan di rumah.   
    Kalau mau mengundang tamu atau mau hadir dalam acara-acara ajaklah anak-anak untuk ikut hadir.
    Alat-alat  seperti sikat gigi, pasta gigi, handuk, lemari pakaian, piring dan sendok makan, dan tempat tidur harus dimiliki anak secara pribadi tidak boleh dicampur dengan yang lain.
    Sewaktu bepergian berikan anak tempat duduk sendiri.
    Ada baiknya hari ulang tahun anak-anak juga dirayakan.
    Hargailah kelebihan anak-anak di depan orang lain.
    Kalau orangtua bepergian jauh dengan tidak membawa anak-anak, maka kirimlah surat atau hubungilah pertelepon anak-anak untuk mengecek keadaan mereka.
    Dengarkan baik-baik suara anak Anda dan berilah jawaban yang sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka.
    Libatkan anak-anak Anda dalam mengambil keputusan.
    Berikan kepercayaan kepada anak-anak, serahi tanggung jawab dengan pengawasan yang baik.

Catatan Penting

Sejumlah catatan patut saya sertakan di sini

    Berikan penghormatan yang sewajarnya kepada anak Anda, jangan berlebihan karena akan menumbuhkan sikap sombong dan dikhawatirkan kalau dewasa ia ingin terus diperlakukan istimewa oleh orang lain.
    Usahakan anak Anda memahami bahwa berkat amal-amalnyalah ia layak mendapatkan kemuliaan.

Memaafkan untuk Mendidik Anak

Dalam kasus-kasus tertentu hukuman memang efektif untuk mendidik karakter anak, namun ternyata memaafkan kesalahan yang dilakukan anak juga dapat menjadi alat untuk membina karakter baiknya.

Ada dua pengaruh penting dari pemberian maaf, yaitu pertama timbul simpati di dalam diri anak terhadap orang yang memaafkannya dan kedua karena pemberian maaf itu sendiri adalah sifat yang positif, sehingga akan menimbulkan reaksi positif dalam diri anak yang lantas ia akan menyesali kesalahan-kesalahannya. Sebetulnya pemberian maaf juga bisa dipersepsikan sebagai hukuman.

Pemberian maaf bisa masuk dalam kategori mendidik jika:

    Yang dimaafkan menyadari kesalahannya dan berniat untuk meninggalkannya.
    Yang dimaafkan adalah seorang tokoh yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan dan tampaknya tidak mungkin mengulanginya lagi.
    Yang dimaafkan adalah orang yang mengerti, jujur dan bersih serta diprediksi kalau dimaafkan jiwanya akan tersentuh.

Kalau seorang guru atau orangtua dapat membaca psikologi orang-orang seperti itu, maka memaafkan adalah strategi yang paling pas.

Islam sangat menganjurkan untuk memaafkan kesalahan orang lain. Al-Quran dan hadis-hadis sangat memuji manusia-manusia yang memiliki sifat pemaaf. Pemaaf juga merupakan salah satu sifat nabi dan para imam.

Amirul Mukminin as mengatakan, “Jika salah seorang pembantumu melakukan kesalahan dan patut menerima sanksi, maka memberi maaf dengan tidak mengurangi sifat adil adalah lebih baik dari memukulnya.”[394]

Seseorang mengeluhkan pembantunya kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menasihatinya, “Maafkanlah agar engkau bisa menyembuhkan perasaannya!” Orang itu  berkata lagi, “Orang itu sulit untuk diperbaiki” Rasulullah tetap mengatakan, “Maafkanlah!”[395]

Melupakan kesalahan orang lain dianggap strategi ampuh untuk memperbaiki karakternya, tetapi tidak untuk orang-orang tertentu. Amirul Mukminin as mengatakan, “Memaafkan si lalim akan merusaknya dan memaafkan orang baik akan memperbaikinya.”[396]

Ini adalah tantangan bagi seorang pendidik yang baik untuk menyelami jiwa masing-masing anak didiknya sehingga tahu mana yang harus dididik dengan cara memaafkannya dan mana yang tidak layak diberi maaf.

 

Didiklah dengan Berbuat Baik Kepadanya!

Secara tradisional yang berlaku dalam pendidikan adalah menghukum orang yang melakukan kesalahan dan memberi semangat orang yang berbuat baik dan Islam pun mengakui hal tersebut.  Hukuman dan memberi semangat memang cukup efektif untuk digunakan pada tempatnya. Tetapi memberi motivasi lebih diutamakan dari hukuman, jadi selama dapat diperbaiki dengan motivasi maka hukuman jangan digunakan. Kita sudah membahas masalah hukuman dan memberi motivasi ini.

Ada pertanyaan yang cukup menggelitik yaitu apakah untuk memperbaiki seseorang yang melakukan kesalahan harus selalu menggunakan bentuk-bentuk hukuman? Apakah tidak bisa dengan sebaliknya yaitu dengan melakukan kebaikan terhadapnya? Yaitu keburukan dibalas dengan kebaikan. Al-Quran mengatakan, Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, sehingga orang-orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia (QS. Fushilat:34).

Amirul Mukminin as mengatakan, “Kritiklah kawanmu dengan berbuat baik kepadanya dan tolaklah kejahatannya dengan melayaninya.”[397]

“Berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk akan memperbaikinya.”[398]

“Perbaikilah orang salah dengan berbuat baik kepadanya dan ajaklah kepada kebaikan dengan kata-kata yang baik!”[399]

Rasulullah saw mengatakan, “Maukah kalian kuberitahukan tentang kebaikan dunia dan kebaikan akhirat: maafkanlah orang yang menzalimimu, sambungkan silaturahmi dengan orang yang memutuskanmu dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu dan memberi kepada orang yang tidak pernah memberimu!”

Rasulullah saw dan juga para imam memanfaatkan akhlak yang baik untuk mendidik seseorang. Diriwayatkan Imam Shadiq as menyuruh pembantunya untuk melakukan suatu pekerjaan tapi terlambat. Kemudian Imam berangkat mencarinya dan menemukannya dalam keadaan tertidur. Beliau lalu duduk di atas tempat tidurnya dan mengipasinya agar bangun. Begitu bangun, Imam mengatakan, “Demi Allah mengapa di malam hari kamu tidur dan siang hari juga kamu tidur? Tidur di malam hari memang hak Anda tapi di siang hari kewajiban Anda untuk bekerja pada kami.”[400]

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Musa bin Ja’far sibuk memetik buah kurma di kebun, saya melihat hamba sahayanya mengambil wadah kurma itu kemudian membuangnya ke belakang dinding. Saya segera beranjak memunguti kurma-kurma tersebut dan menyerahkan kepada Imam Musa bin Ja’far, sambil saya laporkan perbuatan hamba sahaya tersebut. Imam kemudian bertanya kepada si hamba, “Apakah kamu lapar?” Ia menjawab, “Tidak!” Lalu beliau bertanya lagi, “Mengapa kamu melakukan hal itu?” Si budak menjawab, “Saya suka melakukan hal tersebut!” Imam mengatakan, “Kamu ambil kurma itu dan kamu juga merdeka!”[401]

Diceritakan bahwa di Madinah, Imam Musa bin Ja’far selalu mendapat gangguan dari seorang anak khalifah dan dikata-katai dengan kata-kata yang tidak baik dan menunjukkan sikap permusuhannya. Salah seorang sahabat Imam meminta izin untuk membunuhnya, namun dilarang oleh Imam. Suatu hari Imam bertanya kemana orang (yang suka menyakitinya tersebut). Dijawab bahwa ia sedang ada di kebun. Imam pun segera menaiki kudanya menuju kebun tersebut. Begitu sampai di dekat orang tersebut, Imam duduk di sampingnya setelah mengucapkan salam. Beliau bertanya tentang keadaannya sambil menampilkan wajah yang sejuk. Kemudian Imam juga bertanya, “Berapa biaya yang engkau keluarkan untuk menanam ini?”

“Seratus asyraf!”

“Berapa banyak keuntungan yang akan kamu dapatkan?”

“Saya tidak tahu hal-hal yang gaib?”

“Kira-kira berapa banyak keuntungan yang akan kamu raih?”

“Saya berharap dapat meraih laba kira-kira 200 dinar!”

Kemudian Imam mengeluarkan kantong yang berisi 300 asyraf dan diberikan kepada orang itu.

“Ambillah itu menjadi milikmu!”

“Semoga Allah Swt memberikan rezeki seperti yang kamu harapkan!”

Laki-laki yang sadar dengan kekurangajarannya segera bergerak mencium kepala Imam dan meminta maaf atas kekurangajarannya. Imam tersenyum lantas berangkat ke Madinah.

Malam itu atau di hari ketika Imam berangkat menuju mesjid. Laki-laki itu pun datang ke mesjid. Ketika melihat wajah Imam ia mengatakan, “Allah lebih tahu kepada siapa menurunkan risalah-Nya.”

Teman-temannya berkata dengan penuh ketakjuban, “Kamu ini sekarang berubah, apa yang telah terjadi?”

Si laki-laki itu menjawab, “Dulu aku tidak begini. Dulu aku sering menyakiti  orang suci tersebut, sekarang saya sadar bahwa saya salah!” Kemudian ia mulai memuji-muji imam dan mendoakan imam.

Imam sampai di rumah dan kemudian menemui sahabat-sahabatnya, “Mana yang lebih baik? Apakah yang kalian inginkan atau yang seperti telah aku lakukan? Aku telah meluruskan orang itu dan melenyapkan sifat buruknya dengan hadiah uang.”

Pelajaran penting dari hadis ini adalah bahwa untuk mengubah watak buruk seseorang, perlakukanlah orang itu dengan terhormat. Berbuat baiklah dengan sepenuh hati. Kebaikan bisa membuka mata hati seseorang. Si pelaku buruk kalau dibalas dengan kebaikan hatinya bisa tersadarkan dan bahkan akan tertarik dengan perilaku baik lawannya tersebut.

Tentu saja memperlakukan orang buruk dengan berbuat baik kepadanya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasinya. Kadang-kadang bisa saja karena salah memperlakukan orang, maka yang akan timbul adalah hal-hal yang tidak diharapkan.

 

[391] Wasâ’il asy-Syî’ah, juz 15, hal., 122.
[392] Ibid., hal., 123.
[393] Ibid., juz 8, hal., 441.
[394] Bihâr al-Anwâr, juz 77, hal., 216.
[395] Mustadrak al-Wasâ’il, juz 2, hal., 87.
[396] Bihâr al-Anwâr, juz 77, hal., 419.
[397] Bihâr al-Anwâr, juz 71, hal., 472.
[398] Ghurar al-Hikam, pasal 1, nomor 1554.
[399] Ibid., pasal 2, nomor 81.
[400] Bihâr al-Anwâr, juz 71, hal., 405.
[401] Ibid., juz 71, hal., 402.