پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Manusia dan Kebebasan

Manusia dan Kebebasan

 

Manusia adalah maujud merdeka yang melaksanakan aksinya atas dasar ilmu, kehendak dan kebebasannya. Kita semua tahu bahwa dalam berbuat dan bergerak kita tidak seperti batu yang menggelinding ke arah mana saja ia digelindingkan dan kemudian jatuh disebabkan daya gravitasi bumi. Kita tidak seperti pohon dan tumbuhan yang dalam seluruh proses pertumbuhan dan perbuatannya tidak mempunyai kebebasan.

Kita senantiasa berpikir dalam perbuatan yang kita lakukan, dan hanya melakukan pekerjaan yang kita inginkan. Sebelum melakukan suatu pekerjaan kita berpikir tentang untung dan ruginya. Jika kita melihat pekerjaan itu bermanfaat kita bertekad mengerjakannya. Ketika itulah kita menghendakinya, dan untuk itu kita menggerakkan anggota tubuh kita.

Secara nurani kita mengetahui bahwa kita bebas untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, dan oleh karena itu kita berpikir tentang perbuatan tersebut dan menimbang manfaat dan bahayanya. Karena, jika kita tidak merasa diri kita bebas maka tidak ada artinya berpikir dan menimbang di sini.

Akal menilai sebagian perbuatan itu baik dan memuji orang yang melakukannya, dan menilai sebagian perbuatan itu buruk dan mencela orang yang mengerjakannya. Jika perasaan bebas ini tidak ada maka pujian dan celaan tidak pada tempatnya (karena perbuatan baik dan buruk bukan atas dasar kehendak mandiri pribadi, tetapi dipaksakan oleh kekuatan eksternal—peny.), dan begitu juga nilai-nilai baik dan buruk tidak akan ada artinya lagi.

Islam juga memandang manusia itu bebas dan merdeka. Di dalam al-Quran banyak sekali ayat yang berbicara tentang hal ini. Berikut ini saya kemukakan beberapa contoh darinya:

Allah Swt berfirman,

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS. al-Insan:2-3).

Allah Swt juga berfirman,

Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia, dan barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat (QS. Ali Imran:145).

Allah Swt berfirman,

Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang hendak (beriman) maka berimanlah, dan barangsiapa yang hendak (kafir) biarlah ia kafir” (QS. al-Kahfi:29).

Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang mengatakan manusia itu bebas dan punya kehendak, dan sekaligus sebagai penanggung-jawab seluruh perbuatannya, seperti:

Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya (QS. al-Insan:29). 

Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Fushshilat:40).

Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya al-Quran itu adalah peringatan. Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya dia mengambil pelajaran darinya (QS. al-Muddatstsir:54-55).

Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (QS. al-Baqarah:286).

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri (QS. asy-Syura:30).

Dan barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri (QS. an-Nisa:111).

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. al-Muddatstsir:38).

Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. an-Najm:39).

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia (QS. ar-Rum:41).

Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat maka akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia maka Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia (QS. asy-Syura:20).

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan sekarang (duniawi) maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah orang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik (QS. al-Isra:18-19).

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. ar-Ra`d:11).

 

Di samping ayat-ayat al-Quran banyak juga hadis-hadis yang berasal dari para Imam as yang berbicara tentang hal ini. Berikut ini beberapa contoh darinya:

Ibrahim meriwayatkan, “Saya bertanya kepada Imam Ali Ridha as, ‘Apakah Allah Swt memaksa hamba-Nya dalam melakukan maksiat?’ Imam menjawab, ‘Tidak, justru mereka dibebaskan dan diberi tempo hingga mereka bertobat.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah Allah membebani hamba-Nya dengan kewajiban (taklîf) yang tidak dapat ditanggungnya?’ Imam Menjawab, ‘Bagaimana mungkin Dia melakukan itu padahal Dia berfirman di dalam al-Quran, Dan tidaklah sekali-kali Tuhanmu menzalimi hamba-Nya.’ Kemudian beliau as berkata, ‘Ayah saya, Musa bin Ja`far telah meriwayatkan dari ayahnya, Ja`far bin Muhammad yang berkata, ‘Siapa saja yang menyangka bahwa Allah Swt memaksa hamba-Nya dalam melakukan maksiat atau membebankan kepadanya kewajiban yang tidak dapat ditanggungnya, maka jangan kamu makan sembelihannya, jangan kamu terima kesaksiannya, jangan shalat di belakangnya, dan jangan berikan kepadanya zakat sedikit pun.’”[16]

Pada akhir pembahasan, saya perlu tekankan bahwa kebebasan pada manusia adalah satu perkara yang jelas, dan akal serta nurani kita memberikan kesaksian akan hal itu, namun perkara yang sedemikian jelas ini pun tidak terbebas dari pembahasan dan perdebatan. Bahkan, sekelompok para ulama sudah sejak awal mengingkari adanya kebebasan manusia dan berpegang kepada paham jabariyyah. Untuk memperkuat pandangan mereka, mereka juga berargumentasi dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw.

Pembahasan tentang keterpaksaan (jabr) dan kebebasan (ikhtiyâr), qadha qadar dan pendelegasian wewenang (tafwîdh) telah menjadi perdebatan sejak lama di antara para ahli kalam dan filsafat Islam. Para Imam as pun mengemukakan pandangan mereka dalam masalah ini. Para Imam as menolak konsep jabr dan tafwîdh, dan memilih posisi di antara jabr dan tafwîdh, namun di sini kita tidak akan memasuki pembahasan tersebut.[]

 

[16] Bihâr al-Anwâr, juz 5, hal., 11.