پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

IMAM KEDELAPAN: IMAM RIDHA AS

IMAM KEDELAPAN: IMAM RIDHA AS

Ali bin Musa as, menurut sebagian pendapat, lahir di Madinah pada tanggal 11 Dzulkaidah tahun 148 Hijriah.  Ayahnya adalah Musa bin Ja’far as dan ibunya adalah Ummul Banin atau Najmah.

Imam Ali bin Musa memiliki sebutan “Abu Hasan”.  Julukan-julukannya adalah ar-Ridha, ash-Shabir, ar-Radhi, al-Wafi, az-Zaki, dan al-Wali.  Julukannya yang paling masyhur adalah ar-Ridha.  Imam Ridha as berpulang ke rahmat Allah pada akhir bulan Shafar tahun 203 Hijriah, di Propinsi Thus, Desa Senabad. Di desa itu pula ia dimakamkan.

Dengan demikian, usia Imam Ridha adalah lima puluh lima tahun.  Hidupnya bersama sang ayah sekitar tiga puluh tahun.  Periode imamah adalah sekitar dua puluh tahun.

 

Nash-Nash Imamah

Sebelumnya telah dikatakan bahwa dalil-dalil imamah secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok:  pertama, dalil-dalil umum, yaitu dalil-dalil rasional dan tekstual yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah setiap imam; kedua, dalil-dalil khusus, yaitu nash-nash yang dilontarkan setiap imam untuk membuktikan imamah imam setelahnya.  Dalam pasal ini, kami akan menyebutkan nash-nash imamah Ali Ridha as. 

Syaikh Mufid ra menulis, “Di antara perawi-perawi yang terpercaya, bertakwa, berilmu, dan fakih, yang meriwayatkan nash-nash imamah Ali bin Musa ar-Ridha as adalah orang-orang berikut ini: Daud bin Katsir ar-Riqqi, Muhammad bin Ishaq bin Ammar, Ali bin Yaqtain, Nu’aim Qabusi, Husain bin Mukhtar, Ziyad bin Marwan, Al-Makhzumi, Daud bin Sulaiman, Nashr bin Qabus, Daud bin Zarabi, Yazid bin Salith, dan Muhamamd bin Sinan.”*

Daud ar-Riqqi menuturkan, “Aku berkata kepada Abu Ibrahim (Musa) as,  “Kukorban diriku untukmu sementara usiaku semakin bertambah.  Tariklah tanganku dan selamatkan aku dari api Jahanam.  Siapakah pemilik otoritas terhadap kami sepeninggalmu?”  Imam menunjuk putranya Abu Hasan dan berkata, “Inilah pemilik otoritas terhadap kalian sepeninggalku.”*

Muhammad bin Ishaq bin Ammar mengatakan kepada Abu Hasan yang pertama (Musa), “Tidakkah engkau tunjukkan kepadaku seseorang yang akan kupelajari darinya berbagai masalah agamaku?”  Beliau menjawab, “Inilah putraku, Ali, sebagaimana ayahku menggandeng tanganku dan membawaku ke dalam raudhah Rasulullah saw seraya berkata, “Putraku! Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Aku telah menjadikan khalifah di muka bumi.” Jika Allah telah berjanji, Dia akan melaksanakannya.”*

Husain bin Nu’aim ash-Shahaf mengatakan, “Aku, Hisyam bin Hakam, dan Ali bin Yaqtain (saat itu) tengah berada di Baghdad.” Ali Yaqtain berkata,  “Aku berada di hadapan Abdus Shalih (Musa) as dan dia berkata kepadaku, “Wahai Ali bin Yaqtain, inilah Ali, sayyid (tuan) putra-putriku.  Aku telah memberikan sebutanku (Abu Hasan, pent) kepadanya.”  Menurut riwayat lain, Imam Musa Kazhim berkata, “Aku telah memberikan kitab-kitabku kepadanya.”  Pada saat itu, Hisyam menepukkan tangannya ke dahi sembari berucap, “Wahai Ali!  Bagaimana kauucapkan omongan seperti itu?”  Ali bin Yaqtain menjawab, “Demi Allah, Aku berkata sebagaimana yang kudengar.”  Lalu Hisyam berkata, “Sungguh perkara imamah setelah Musa bin Ja’far akan berada pada dirinya (Ali ar-Ridha, peny.)”*

Nu’aim Qabusi mengatakan, “Abu Hasan Musa as berkata, “Putraku, Ali, adalah anak teragung, termulia, dan paling kucintai.”

Husain bin Mukhtar menuturkan, “Telah sampai kepada kami surat-surat dari Abu Hasan Musa as, saat ia di penjara, yang mengatakan, “Wasiatku kepada putraku yang agung untuk melaksanakan tindakan ini dan itu dan si fulan tidak dapat mendatangkan bahaya baginya hingga aku menemuimu atau ajal menjemputku.”*

Ziyad bin Marwan al-Qindi menyatakan, “Aku mendatangi Abu Ibrahim (Musa) as, yang saat itu tengah bersama putranya, Abu Hasan (Ali ar-Ridha).  Beliau berkata, “Wahai Ziyad! Ini adalah putraku. Tulisannya adalah tulisanku. Perkataannya adalah perkataanku dan utusannya adalah utusanku.  Apa pun yang dikatakannya adalah perkataanku.”*

Al-Makhzumi, yang ibunya keturunan Ja’far bin Abi Thalib, menuturkan, “Abu Hasan Musa as mengumpulkan kami dan berkata, “Tahukah kalian untuk maksud apa aku mengumpulkan kalian di tempat ini?” Kami menjawab, “Tidak.”  Ia berkata, “Saksikanlah bahwa putraku ini adalah penerima wasiat (washi) yang menduduki kedudukan (qaim maqom) dan pengganti (khalifah)-ku.  Siapa saja yang memiliki piutang dariku, tagihlah kepadanya!  Kepada siapa saja aku telah berjanji, dialah yang harus melaksanakan janji-janjiku.  Siapa pun yang terpaksa harus menemuiku harus dengan catatan dan wasiatnya.”*

Daud bin Sulaiman menuturkan, “Aku berkata kepada Abu Ibrahim (Musa) as,  “Aku khawatir terjadi sesuatu dan tidak lagi dapat menemuimu.  Beritakanlah kepada kami, siapakah imam sepeninggalmu?”  Ia berkata, “Putraku Fulan –maksudnya Abu Hasan Ali ar-Ridha as.”*

          

Nashr bin Qabus mengatakan, “Aku berkata kepada Abu Ibrahim as, “Aku bertanya kepada ayahmu, siapakah imam setelahnya?  Ia merekomendasikan engkau sebagai imam setelah dirinya.  Ketika ayahmu meninggal dunia, orang-orang pergi ke sana-sini untuk menentukan pengganti.  Akan tetapi, aku dan para sahabatku telah menerima imamah-mu.  Kini, katakan siapakah imam sepeninggalmu!”  Ia berkata, “Putraku Fulan.”*

Daud bin Zarabi menuturkan, “Aku membawa sejumlah uang ke hadapan Abu Ibrahim Musa as.  Ia menerima sebagian uang itu dan menolak sebagian yang lain. Aku bertanya, “Mengapa engkau tidak menerima sebagian uang yang lain dan mengembalikannya kepadaku?”  Ia menjawab, “Pemilik perkara ini (Imam Ali ar-Ridha, peny.) akan menagihnya darimu.”

Setelah Imam Musa as wafat, Abu Hasan Ridha as mengutus seseorang kepadaku untuk menagih uang itu dan aku pun menyerahkannya kepadanya.”*

Yazid bin Salith dalam kandungan hadis yang panjang menuturkan, “Abu Ibrahim as pada tahun wafatnya mengatakan kepadaku, “Tahun ini aku akan ditangkap dan dipenjarakan.  Dengan demikian, perkara imamah sepeninggalku akan beralih kepada putraku, Ali, yang senama dengan Ali dan Ali.  Ali yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan Ali yang kedua adalah Ali bin Husain as.  Putraku mewarisi pemahaman, ketabahan, wara’, zikir, dan agama dari Ali yang pertama serta mewarisi cobaan terhadap musibah-musibah dan kesabaran dari Ali yang kedua.”*

Muhammad bin Ismail bin Fadhl al-Hasyimi menuturkan, “Aku mendatangi Abu Hasan Musa bin Ja’far as saat ia sakit keras.  Aku berkata,  “Semoga Allah tidak berkehendak terjadi suatu peristiwa pada dirimu (kematian) karena kepada siapakah aku merujuk sepeninggalmu?”  Ia berkata, “Kepada putraku, Ali. Tulisannya adalah tulisanku dan ia akan menjadi washi dan khalifahku.”*

Abdullah bin Marhum mengatakan, “Aku keluar dari Basrah dan bergerak menuju Madinah.  Di tengah jalan, aku bertemu Abu Ibrahim Musa as yang tengah melakukan perjalanan ke Basrah.  Ia memberikan sejumlah surat kepadaku dan berkata, “Bawalah surat-surat ini ke Madinah dan serahkan kepada putraku, Ali.  Ia adalah washi yang menduduki kedudukan (qaim maqom) dan putra terbaikku.”*

Muhammad bin Zaid al-Hasyimi menuturkan, “Kini para Syiah berkewajiban menjadikan Ali bin Musa sebagai imam mereka.”  Lalu ditanyakan, “Mengapa?”  “Karena Abu Hasan bin Ja’far as telah menetapkannya sebagai washi-nya,” jawabnya.*

Haidar bin Ayyub mengatakan, “Aku berada di Madinah, di sebuah tempat bernama Qaba.  Muhammad bin Zaid bin Ali pun hadir di tempat itu tetapi terlambat datang.  Aku bertanya, “Kukorbankan jiwaku untukmu, mengapa engkau terlambat datang?”  Ia menjawab, “Abu Ibrahim memanggilku dan sejumlah putra-putra keturunan Ali dan Fatimah yang seluruhnya berjumlah tujuh belas orang.  Saat itu, beliau berkata kepada kami, “Jadilah kalian sebagai saksi bahwa putraku, Ali, adalah washi dan wakilku, yang telah kutetapkan pada masa kehidupanku dan setelah kematianku  sebagaimana kepemimpinan (amr)-nya akan berlaku.”

Setelah itu, Muhammad bin Zaid menambahkan, “Demi Allah! Setelah Musa bin Ja’far, mereka akan memilih putranya, Ali as, sebagai imam.”  Haidar berkata, “Semoga Allah memanjangkan umur Musa bin Ja’far. Namun, mengapa engkau dapat mengatakan hal itu?”  Ia menjawab, “Hai Haidar! Ketika telah menetapkan Ali sebagai washi-nya, Musa bin Ja’far telah menyerahkan imamah kepadanya.”  Ali bin Hakam mengatakan, “Meski telah mendengar semua itu, ketika meninggal dunia, Haidar masih ragu terhadap imamah Ali as.”*

Abdurrahman bin Hajjaj berkata, “Abu Hasan Musa as berwasiat kepada putranya, Ali as. Dalam kaitan dengan hal ini, ia menulis surat dan menjadikan enam puluh orang tokoh Madinah sebagai saksi.”*

Hasan bin Ali bin Khazzaz menuturkan, “Kami berangkat ziarah ke Mekkah.  Ali bin Abu Hamzah turut serta bersama kami dan membawa uang serta barang-barang.  Aku menanyainya, “Kemana uang-uang ini akan kaubawa?”  Uang-uang ini terkait dengan Abdus Shalih (Musa) as. Ia memerintahkan kami untuk menyerahkannya kepada putranya, Ali as.  Ia telah menetapkannya (Ali) sebagai washi-nya.”*

Ja’far bin Khalaf menuturkan, “Aku mendengar Abu Hasan Musa bin Ja’far as berkata, “Orang yang paling berbahagia adalah yang menyaksikan penggantiku sebelum kematian menjemputnya. Allah swt telah memberi petunjuk kepadaku (tentang) putraku, Ali ar-Ridha as, sebagai washi.”*

Musa bin Bakr berkata, “Aku berada di sisi Abu Ibrahim as yang mengatakan, “Ja’far Shadiq as berkata, “Orang yang paling berbahagia adalah orang yang sebelum ajal menjemput(nya) menyaksikan imamnya.”  Saat itu, ia menunjuk putranya, Ali as, dan berkata, “Allah swt menunjukkannya kepadaku sebagai khalifah (pengganti).”*

Ibn Faddhal menuturkan, “Aku mendengar Ali bin Ja’far as berkata, “Aku berada di sisi saudaraku, Musa bin Ja’far as.  Ia bersumpah demi Allah bahwa ia adalah hujjah Allah di muka bumi setelah ayahnya.  Ketika itu, putranya, Ali as, datang.  Musa bin Ja’far as mengatakan kepadaku, “Wahai Ali bin Ja’far!  Ia adalah pemilik otoritas (shahib)-mu.  Kedudukannya di sisiku seperti kedudukanku di sisi ayahku.  Semoga Allah mengukuhkanmu dalam agamamu!”

Kemudian aku menangis dan berkata dalam hatiku, “Saudaraku Musa sedang memberitakan kematiannya.”  Lalu Imam Musa berkata, “Wahai Ali, takdir Ilahi akan terjadi.  Rasulullah, Amirul Mukminin, Fatimah, Hasan, dan Husain adalah suri teladanku.”

Ucapan tersebut dilontarkan oleh Musa bin Ja’far as tiga hari sebelum ia ditangkap untuk kedua kalinya atas perintah Harun al-Rasyid.*

Dalam kaitan dengan imamah Ali bin Musa ar-Ridha as, kami juga memiliki hadis-hadis lain yang termaktub dalam kitab-kitab hadis tetapi untuk lebih ringkasnya, kami menghindari penyebutan semuanya.

Di samping itu, terdapat berbagai mukjizat yang terkait dengan Imam Ali ar-Ridha as dan tercatat dalam kitab-kitab hadis yang dapat bermanfaat untuk membuktikan imamah-nya.

 

Keutamaan dan Kepribadian Sosial

            Imam Ridha as, seperti juga ayahnya, memiliki semua keutamaan dan kesempurnaan insani serta merupakan pribadi yang tersohor dan istimewa di tengah-tengah masyarakat pada zamannya.

            Syaikh Mufid menulis, “Setelah Musa bin Ja’far as, putranya, Ali bin Musa ar-Ridha as, meraih imamah sebab ia lebih unggul daripada semua saudara dan Ahlulbaitnya.  Keilmuan, ketabahan, ketakwaan, dan kesungguhannya jelas di mata semua orang. Orang-orang khusus dan awam mengakui keutamaan dan kesempurnaannya dan ayahnya pun menerangkan imamah-nya.”*

            Di tempat lain, Mufid menulis, “Ali bin Musa ar-Ridha as adalah manusia yang paling utama, paling berakal, paling mulia, serta paling berilmu dari seluruh saudaranya.”*

            Ibrahim bin Abbas menuturkan, “Sama sekali aku tidak pernah melihat Imam Ridha as  berkata keras dengan seseorang atau memotong pembicaraan seseorang atau menolak orang yang membutuhkannya jika mampu memenuhi hajat orang itu.  Aku tidak pernah menyaksikan kakinya diulurkan di hadapan orang lain, bersandar pada saat kedatangan orang lain, memaki para hamba sahayanya, atau tertawa terbahak-bahak, bahkan tertawanya pun berupa senyuman.  Tatkala duduk di hadapan hidangan, ia pun menyuruh duduk semua hamba sahaya, pembantu, dan penjaga rumahnya di hadapan hidangan yang sama. Ia sedikit tidur dan banyak terjaga di malam hari. Kebanyakan malamnya ia lalui dalam keadaan terjaga hingga saat subuh. Ia sangat banyak berpuasa.  Ia tidak pernah meninggalkan puasa tiga hari dalam sebulan dan ia berkata, “Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan memiliki pahala puasa dahr (setiap hari hingga akhir hayat, pent). Perbuatan ihsan dan sedekahnya dilakukan secara diam-diam dan pada malam hari.  Jika ada orang yang mengira telah melihat lebih baik daripadanya, janganlah kalian percayai!”*

            Ibnu Sibagh al-Maliki menulis, “Setiap orang yang mencermati ihwal Ali bin Musa akan mengerti bahwa beliau telah mewarisi kakeknya, Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Husain as.   Ia memiliki iman yang kukuh dan kedudukan yang tinggi.  Begitu banyak pendukungnya dan argumentasi-argumentasinya jelas sehingga Khalifah al-Makmun pun menempatkan beliau di hatinya dan mengikutsertakannya dalam urusan kenegaraan.  Ia (al-Makmun) menyerahkan perkara khilafah setelah dirinya kepada beliau dan menikahkan putrinya dengannya di hadapan khalayak umum.  Ia memiliki keutamaan-keutamaan (manaqib) yang tinggi dan sifat-sifat yang mulia.  Dalam kemuliaan diri, ia adalah seorang Hasyimi dan mempunyai akar kenabian.”*

            Ziyad bin Marwan menuturkan, “Aku berada di sisi Musa al-Kazhim.  Abu Hasan ar-Ridha pun berada di sana.  Imam Musa berujar kepadaku, “Ini adalah putraku, Ali as.  Tulisannya adalah tulisanku, perkataannya adalah perkataanku, dan utusannya adalah utusanku.  Setiap yang ia katakan adalah benar.”*

            Al-Makmun, dalam sebuah surat yang berisi pengangkatan putra mahkota (penerus khilafah) yang dikirim kepada Ali bin Musa ar-Ridha as menulis, “Sejak permulaan khilafah, saya senantiasa berusaha menemukan orang terbaik sebagai penerus kekuasaan saya.  Setelah melalui pencarian, saya tidak menemukan seseorang yang lebih layak menduduki posisi ini daripada Abu Hasan Ali bin Musa ar-Ridha as karena saya telah menyaksikan keutamaan, keilmuan, dan ketakwaannya yang lebih unggul daripada semua manusia.  Ia berpaling dari dunia dan dari para penyembah dunia serta mengutamakan akhirat daripada dunia.  Saya yakin terhadap hal ini dan ini merupakan hal yang disepakati.  Oleh karena itu, saya mengangkatnya sebagai putra mahkota (penerus kekuasaan) saya.”*

            Abu Shalt mengatakan, “Al-Makmun berkata kepada Ali bin Musa as, “Wahai putra Rasulullah! Karena keutamaan, keilmuan, kezuhudan, dan ibadahmu telah terbukti bagiku, aku menilai dirimu lebih layak menggantikan diriku.”*

 

Ilmu dan Pengetahuan 

            Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dan dibuktikan melalui dalil-dalil rasional (aqliy) dan tekstual (naqliy), salah satu syarat terpenting seorang imam adalah mengetahui keseluruhan masalah yang berkaitan dengan agama dan tanggung jawab terbesar imam adalah menjaga, menyebarkan, dan menerapkan hukum serta undang-undang agama. Pada prinsipnya, falsafah imamah mesti didapati pada pelaksanaan tanggung jawab penting ini.  Semua imam adalah demikian dan Imam Ridha pun demikian pada zamannya.

            Pada periode dua puluh tahun imamah-nya, ia melakukan upaya penyebaran hukum-hukum agama dan mendidik para murid terpelajar dengan tulus.  Berkat upaya beliau, para murid, dan perawinya yang tulus, tersebarlah sejumlah besar hadis yang contoh-contohnya dapat ditelaah dalam kitab-kitab hadis.

            Terdapat hadis-hadis dari beliau as yang sampai kepada kita dalam semua persoalan yang berkaitan dengan agama, seperti makrifatullah (mengenal Allah), tauhid, sifat-sifat kesempurnaan dan kesucian Allah swt, penciptaan alam semesta dan falsafahnya, keadilan Ilahi, jabr (determinasi) dan ikhtiar (free will), qadha dan qadar, kenabian dan falsafahnya, kemaksuman, ilmu dan imamah serta syarat-syarat imam dan falsafah imamah, akhlak mulia dan akhlak tercela, aneka ragam hal yang diharamkan dan dosa serta balasannya dan berbagai bab fikih. 

            Jika merujuk kitab-kitab hadis, akan kita saksikan hadis-hadis yang berkaitan dengan tema-tema tersebut dan puluhan lainnya yang semacam itu.  Di samping hadis-hadis itu, terdapat pula sejumlah dialog dan kajian ilmiah dengan para penguasa saat itu, ulama, serta tokoh-tokoh dari berbagai agama yang tercatat dalam buku-buku sejarah dan hadis.

            Melalui telaah dan kajian terperinci tentang hadis dan dialog ilmiah beliau, kita dapat mengetahui kedudukan keilmuannya.*