پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

IMAM PERTAMA: IMAM ALI BIN ABI THALIB AS

IMAM PERTAMA: IMAM ALI BIN ABI THALIB AS

 

Imam yang pertama adalah Imam Ali. Ia lahir pada hari ke-13 bulan Rajab, tiga puluh tahun setelah Tahun Gajah, di Makkah, yakni di dalam Baitullah Haram. Nama ayahnya adalah Abu Thalib dan nama ibunya adalah Fatimah binti As’ad. Nama panggilannya adalah Abu Turab, Abul Hasan, Abul Husain, Abus Sibtain, dan Abur Raihanatain. Laqob-nya ‘sebutannya’ adalah Amirul Mukminin, Sayyidul Muslimin, Imamul Muttaqin, dan Sayyidul Aushiya.[219]

Imam Ali terkena pukulan di malam ke-19 bulan Ramadhan tatkala menunaikan shalat shubuh di Masjid Kufah, di tangan Ibn Muljam Muradi. Imam Ali syahid di malam ke-21 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Jasad sucinya ditanamkan di luar Kufah (Najaf sekarang).[220]


Ali as di Masa Rasulullah saw

Mengkaji secara detail dan terperinci kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib memerlukan puluhan jilid kitab dan dalam kesempatan yang pendek serta halaman yang terbatas ini, adalah tidak mungkin untuk melakukan hal itu. Namun, untuk mengetahui riwayat kehidupannya, adalah diperlukan singgungan walaupun pendek.

Pada usianya yang ke-6, atas usulan Rasulullah saw, Ali dipindahkan dari rumah ayahnya, Abu Thalib, ke rumah Rasulullah dan langsung berada di bawah asuhan dan pengawasan Rasulullah. Di situlah, beliau dididik dan dibekali ilmu. Di masa itulah, Ali mengambil pelajaran dari akhlak dan perilaku Rasulullah saw. Di masa iktikaf Rasulullah saw di Gua Hira, pada umumnya, Rasulullah bersama Ali dan Ali menyaksikan kesan wahyu dan nubuwah.[221]

Ia adalah lelaki pertama yang menerima Islam dan mendirikan shalat bersama Rasulullah saw. Di masa itu, beliau berusia 10 tahun. [222]

Dalam peristiwa-peristiwa sulit dan penuh derita di awal risalah, beliau senantiasa berada dalam pengabdian kepada Rasulullah saw dan beliau menjadi teman dan penolong yang terbaik bagi Rasulullah saw. Beliau juga hadir dalam pemboikotan ekonomi, sosial dan politik yang dilakukan Musyrikin dan hadir di Syi’ib Abu Thalib.  Di masa ketika jiwa Rasulullah saw terancam oleh musuh dan ditetapkan bahwa Rasulullah harus hijrah ke Madinah, Imam Ali tidur di tempat tidur Rasulullah dan menjadikan nyawanya sebagai perisai Rasulullah (lailatul mabit). Beliau mendapat tugas dari Rasulullah saw untuk menyempurnakan sebagian pekerjaan yang belum terselesaikan oleh Rasulullah manakala hijrah ke Madinah bersama beberapa wanita.[223]

Rasulullah saw di Madinah menjalin akad persaudaraan dengan Ali as.[224]  Pada tahun ke-2 Hijriah, beliau mendapatkan kebanggaan sebagai menantu Rasulullah saw dan menikahi Fatimah, wanita terbaik di dunia.[225]

Di saat itu, Imam Ali adalah pemuda yang kuat dan pemberani serta siap melakukan difa’ ‘pembelaan’ dan jihad.  Beliau hadir di semua pertempuran dan bertempur dengan penuh keberanian serta membantai musuh-musuh Islam.

Beliau memainkan peranan paling besar dalam membawa kemenangan Islam pada perang melawan orang-orang kafir dan Musyrikin.[226]

Rasulullah saw, di masa risalah, memberikan dua misi yang amat berat dan penting kepada Ali. Pertama, beliau ditugaskan untuk menulis ayat-ayat dan surah-surah al-Quran, mengumpulkan dan menyusun semuanya, mempelajari, menghafal, dan memelihara ilmu, makrifah serta hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.

Ali menunaikan kewajiban penting ini dengan bantuan sang istri dan di bawah pengawasan langsung Rasulullah saw.


Ali Pasca-Rasulullah saw

Tatkala Rasulullah saw wafat, Ali berusia 33 tahun. Di masa hidupnya yang mulia, Rasulullah saw berkali-kali mengumumkan kedudukan khilafah dan imamah Ali as. Oleh sebab itulah, sepeninggal Rasulullah, jabatan khilafah dan imamah dipindahkan kepada beliau. Sesuai dengan nash ini, Ali adalah khalifah langsung setelah Rasulullah dan masyarakat berkewajiban menyiapkan landasan bagi terwujudnya khilafah dan imamah. Namun, disesalkan adanya sekelompok orang yang haus kekuasaan sehingga mengabaikan anjuran dan nash Rasulullah saw tersebut. Dengan berbagai alasan yang tidak tepat, di antaranya usia yang terlalu muda, Ali disingkirkan dari maqom khilafah dan mereka membaiat Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, Umar menjadi khalifah. Setelah Umar, Usman menjadi khalifah. Masa kekhilafahan mereka adalah dua puluh empat tahun dan beberapa bulan.

Selama masa itu, meskipun memandang khilafah sebagai haknya yang sah –dalam rangka menjaga Islam, Imam menghindari segala tindakan keras atau ucapan yang memecah-belah umat. Beliau, di masa itu, bukan hanya tidak menentang tetapi –pada saat-saat ia diperlukan–memberikan bantuan kepada para pejabat pemerintah dan tidak enggan memberikan bantuan dalam bentuk saran, musyawarah, petunjuk, bantuan-bantuan ilmiah, dan kebudayaan.

Hanya saja selama itu beliau begitu bersungguh-sungguh dalam menyebarluaskan ilmu, makrifah, hukum, dan undang-undang asli Islam serta melambangkan manusia-manusia sempurna dan mulia.

Pada tahun 35 Hijriah, Usman terbunuh akibat pemberontakan sekelompok Muslimin. Setelah Usman terbunuh, Muslimin dengan hasrat yang besar, kemauan sendiri, dan kemauan yang keras membaiat Ali bin Abi Thalib dan memilihnya sebagai maqom khilafah dan sebagai imam.[227] 

Dari sejak itulah, khilafah berada di jalur yang benar dan diharapkan dengan kepemimpinan Imam Ali as dan kerjasama para sahabat yang ikhlas, kekurangan-kekurangan yang lalu dapat dipenuhi dan tujuan-tujuan Rasulullah saw dapat dilanjutkan. Namun sayang, hal itu tidak tercapai, bahkan sikap pro-keadilan dan anti-diskriminasi Imam Ali as –yang merupakan kehendak Islam dan sirah Rasulullah saw yang sebenarnya– tidak sesuai dengan cita rasa orang-orang yang haus kekuasaan yang pada masa sebelumnya terbiasa dengan hal itu. Meskipun merupakan bagian dari mereka yang membaiat, dari sejak awal, mereka telah mengibarkan bendera penentangan dan menghadapkan pemerintahan baru al-Alawi yang adil ini dengan tiga perang yang destruktif: Jamal, Shiffin, dan Khawarij. Ali yang dihadapkan kepada perang internal yang dipaksakan itu tidak memiliki jalan lain kecuali   membela dan memadamkan fitnah. Akhirnya, beliau sebagai manifestasi keadilan Ilahi tidak diberikan peluang untuk menempatkan pemerintahan di jalur keinginan-keinginan asli Islam dan sirah Rasulullah saw, yakni menuntut keadilan, persamaan, menghilangkan diskriminasi, mengurangi kesenjangan sosial, dan membela orang-orang miskin serta yang tertindas.

Akhirnya karena “dosa” mencintai keadilan ini, Imam Ali ditikam pedang dari belakang oleh seorang antek munafik dan suara indah syahid mihrab ibadah yang memberikan harapan keadilan ini padam untuk selamanya. Untuk mengkaji tiga perang yang sangat destruktif ini, diperlukan  waktu  lebih  banyak sehingga tidak cukup di dalam beberapa halaman pada buku ini dan bagi yang berminat dapat merujuk kepada kitab kitab yang terkait.

 

Nash-Nash Imamah

Sebelum ini, kami telah mengatakan bahwa banyak sekali dalil dan indikasi imamah. Semuanya yang dapat dibagi menjadi dua bagian.

Bagian pertama adalah dalil-dalil yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah setiap imam yang akan kami hindari pengulangannya di sini.

Bagian kedua adalah dalil-dalil khusus, yakni nash-nash yang setiap imam mengeluarkannya untuk membuktikan imam berikutnya. Dalam menjelaskan kondisi atau keadaan para imam, termasuk Imam Ali, kami hanya menggunakan jenis dalil ini.

Sebagaimana yang sebelumnya kami katakan bahwa Rasulullah saw sepanjang masa risalahnya telah mewujudkan landasan bagi imamah Imam Ali as. Rasulullah saw berkali-kali menghitung keutamaan dan kemuliaan Ali. Selain itu, Nabi saw memberitahukan imamah dan khilafah-nya serta menasehatkan para sahabatnya agar mengikuti Ali. Di akhir hidupnya, tepatnya pada saat haji wada di Ghadir Khum, Rasulullah secara resmi menunjuk Ali sebagai wali-nya.

Memperhatikan penjelasan sebelumnya sebagai contoh, kami telah mengisyaratkan beberapa hadis dan memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu. Oleh karena itulah,  kami menghindari untuk mengulanginya. Yang berminat dapat merujuknya kepada pembahasan-pembahasan yang lalu dan kitab- kitab yang terkait.

 

Keutamaan dan Kemuliaan Akhlak

Menurut kesaksian kitab-kitab hadis dan sejarah, Imam adalah seorang manusia yang sempurna dan manisfestasi dari semua keutamaan dan kemuliaan. Itu pun dalam batas yang tinggi dan terbaik serta terpelihara dari semua keburukan dan kesalahan.

Walaupun musuh-musuh mencegah tersebarnya keutamaan beliau dengan disebarluaskannya fitnah dan caci-maki selama bertahun-tahun dalam khutbah di mimbar-mimbar –ditambah dengan para sahabatnya yang takut untuk mengutarakan keutamaannya karena takut kehilangan nyawa, bahkan seringkali karena tuduhan Syiah, mereka terbunuh–  kitab-kitab Ahlus Sunnah dan Syiah dipenuhi oleh keutamaan dan kemuliaan  serta manaqib beliau.

Muhammad bin Mansur Thusi berkata, “Aku mendengar dari Ahmad bin Hambal yang berkata, “Semua keutamaan dan kemuliaan yang dikatakan bagi Ali as tidak satu pun datang bagi sahabat Rasulullah saw.”[228]

Ashbagh bin Nabatah mengatakan, “Suatu hari Dharar bin Hamrah menjumpai Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah berkata kepadanya, “Sifatilah Ali untukku!”  Ia berkata, “Maafkanlah aku untuk ini.” Ia berkata, “Tidak! Engkau harus menyifatinya!” Dharar berkata, “Semoga Allah merahmati Ali! Ketika berada di antara kami, ia bagaikan salah seorang dari kami dan ketika kami datang menjumpainya, ia mendekatkan kami ke sisinya. Apabila kami bertanya, ia menjawab dan manakala kami menziarahinya, ia menerima kami dan tidak ada penghalang atau hijab di antara kami. Walaupun beliau menerima kami di sisinya, kami tidak berani berbicara karena saking berwibawanya beliau. Ia bagaikan mutiara yang teratur.” Muawiyah berkata, “Lanjutkan lagi!” Dharar berkata, “Semoga Allah merahmati Ali! Demi Allah! Malam harinya beliau banyak terjaga dan tidurnya sedikit. Siang dan malam, beliau membaca al-Quran. Beliau memasrahkan hatinya kepada Allah dan dengan cucuran air mata, beliau kembali kepada Allah. Tidak ada tirai antara dirinya dengan Allah dan beliau tidak pernah mencegah kami untuk menemuinya. Dalam pertemuan-pertemuan, beliau sangat enggan menyandarkan diri ke sandaran yang nyaman dan untuk tidak bersandar begitu, adalah mudah bagi beliau. Wahai Muawiyah!  Seandainya engkau menyaksikan Ali di kegelapan malam, ketika beliau memegang janggutnya, dan seperti orang yang digigit ular, berputar, menangis dan berkata, “Wahai Dunia! Engkau mengejarku! Aku tidak memerlukan dirimu dan aku menceraikanmu tiga kali.” Setelah itu, beliau mengatakan, “Oh… oh! Perjalanan yang jauh dan sedikitnya bekal serta sulitnya perjalanan!”

Ashbagh bin Nabatah berkata, “Di saat itu, Muawiyah menangis dan berkata, “Cukup! Wahai Dhirar! Demi Tuhan! Ali memang seperti itu. Semoga Tuhan merahmati Abal Hasan.”[229]

Sa’id bin Kultsum berkata, “Aku berada di sisi Imam Ja’far Shadiq. Lalu muncullah pembicaraan tentang Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau sangat memujinya dan berkata,  “Demi Allah! Ali bin Abi Thalib sepanjang usianya tidak makan makanan haram sedikit pun. Apabila dua perkara mubah datang, ia memilih apa yang lebih baik bagi agamanya. Tidak ada peristiwa sulit yang dialami Rasulullah kecuali Rasulullah memanggil Ali karena mempercayai Ali. Tidak seorang pun yang berkemampuan melakukan amalan Rasulullah saw kecuali Ali. Amalan Imam Ali sedemikian rupa sehingga seolah-olah beliau berada di antara surga dan neraka. Beliau senantiasa optimis dengan surga dan takut dengan siksa neraka. Sepanjang usianya, beliau membeli seribu budak dan kemudian membebaskan mereka di jalan Allah dengan uang pribadi hasil jerih payahnya. Makanan Ali dan keluarganya adalah zaitun, cuka, dan kurma. Pakaiannya hanyalah dari Karbas (kain kasar).”[230]

 

Ilmu Imam Ali as

Sebelumnya telah dikatakan, bahwa Rasulullah saw menerima tugas dari Allah swt untuk mengajarkan ilmu makrifat kepada Ali. Rasulullah saw sepanjang masa risalahnya, secara berkesinambungan mengamalkan hal ini. Dengan bantuan Ilahi dan pengawasan Rasulullah saw, Ali menghafal semua ilmu. Lalu atas pesan dan perintah Rasulullah, beliau menuliskannya bagi para imam setelah beliau. Dengan cara inilah, telah tersedia kitab-kitab sehingga Ali dapat dikategorikan sebagai penyimpan ilmu nubuwah.

Rasulullah saw berkali-kali memuji kedudukan ilmu Ali as. Di antaranya dalam sebuah hadis, beliau mengatakan, ”Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu ilmu. Barangsiapa yang menghendaki ilmu harus memasukinya melalui pintunya.”[231] 

Para sahabat Rasulullah saw mengakui kedudukan ilmu Imam, khususnya dalam urusan pengadilan. Abu Hurairah dari Umar bin Khatab menukilkan bahwa dalam urusan pengadilan, Ali adalah yang paling alim daripada yang lain.[232]

Sua’id bin Musabbab mengatakan, “Umar senantiasa berlindung kepada Allah dari problema yang Abul Hasan tidak berada di sana.”[233]

Al-Qomah menukil dari Abdullah yang berkata, “Di antara kami dikatakan, Ali bin Abi Thalib, dalam urusan pengadilan, adalah lebih berilmu daripada semua warga madinah (kota).”[234]

Aban bin Ayyas mengatakan, “Aku bertanya kepada Hasan Bashri tentang Ali as. Ia mengatakan, “Apa yang harus aku katakan tentangnya? Dia paling dahulu dalam  memeluk Islam. Keutamaan ilmu serta fikih dan pandangannya tiada tertutup bagi siapa pun. Ia selalu bekerjasama dengan Rasulullah saw. Keberanian, zuhud, serta pengenalannya dengan persoalan pengadilan dan kekeluargaannya dengan Rasulullah saw tiada dapat dipungkiri.” [235]

Ibn Abbas mengatakan, “Ilmu Rasulullah saw berasal dari ilmu Allah dan ilmu Ali dari ilmu Rasulullah saw; dan ilmuku dari ilmu Ali; dan ilmuku serta para sahabat lainnya dibanding dengan ilmu Ali adalah seperti setetes air dibanding tujuh lautan.”[236]

Ibn Abbas mengatakan, “Setiap kali ada orang yang dapat dipercaya untuk menukilkan fatwa adalah Ali as. Maka, kami tidak berani melangkahinya.”[237]

Udzainah Abdi mengatakan, “Aku bertanya kepada Umar mengenai menunaikan Umrah. Dari mana aku mesti memulai ihram?” Ia berkata, “Tanyalah kepada Ali!”[238]

Abu Hazim berkata, “Seorang lelaki datang menjumpai Muawiyah dan menanyakan suatu persoalan. Dalam jawabannya, Muawiyah berkata, “Tanyalah kepada Ali sebab dia adalah yang paling alim.” Lelaki itu berkata, “Jawabanmu lebih baik di sisiku daripada jawaban Ali.” Muawiyah berkata, “Engkau berkata buruk!  Engkau menyatakan kebencian terhadap seseorang yang Rasulullah telah ajarkan kepadanya ilmunya dan berkata, “Kaitanmu denganku adalah seperti Harun kepada Musa, kecuali setelah aku, tidak akan ada nabi.” Umar pun dalam menyelesaikan persoalan merujuk kepada Ali.”[239]

 

Sumber Semua Ilmu

Ibn Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah –dalam kaitan dengan keutamaan, kesempurnaan, dan keluasan ilmu Ali as– memiliki pembahasan yang padat dan patut disebutkan di sini.

Dalam menjelaskan ilmu, Abil Hadid menuliskannya demikian, ”Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata air ilmu. Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama.”

Salah satu ilmunya yang paling mulia adalah ilmu Ilahi (mabda’ dan ma’ad) yang bersumber dari ucapan Imam Ali as.

Mu’tazilah mengambil ilmunya dari Washi bin Atha’ dan dia adalah murid Abu Hasyim, dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi, dan Muhammad mengambil ilmunya dari ayahnya yang bernama Ali bin Abi Thalib.

Asy’ariah dinisbatkan kepada Ismail bin Abi Baysar Asy’ari yang merupakan murid Abu Ali Jubai. Nama terakhir merupakan salah seorang pemuka Mu’tazilah. Maka, Asy’ariah akhirnya juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Adapun penisbatan ilmu Ilahi Imamiyah dan Zaidiyah kepada Ali bin Abi Thalib adalah suatu perkara yang jelas.

Dalam ilmu fikih, Ali merupakan sumber dan mata air. Semua ahli fikih adalah murid beliau dan menggunakan fikihnya. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf, Muhammad, dan orang-orang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi’i juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi’I, pada akhirnya, juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga belajar dari Ja’far bin Muhammad sementara ilmu Imam Ja’far Shadiq berasal dari ayahnya yang melalui jalur ini berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib.

Malik bin Anas dalam ilmunya adalah murid Rabiah ar-Ra’yu sedangkan Rabiah adalah murid Akramah. Akramah sendiri adalah murid Abdullah bin Abbas sementara Ibn Abbas adalah murid Ali bin Abi Thalib. Adapun marjaiyah fikih Imam Ali as bagi umat Syiah adalah suatu perkara yang jelas.

Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas adalah di antara para ahli fikih yang belajar dari ilmu Ali. Bahwa Ibn Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia merujuk kepada Ali. Dalam kaitan ini, Umar berkata, “Seandainya tidak ada Ali, Umar pasti celaka.” Ia juga berkata, “Aku tidak akan dapat tenang jika tidak ada Abul Hasan.” Ia juga berkata, “Tidak seorang pun memberikan fatwa di masjid sementara Ali berada di situ.” Maka, adalah jelas fikih berujung kepada Ali as.

Ammah dan Khassah menukil dari Rasulullah saw yang berkata, “Aqdhakum Ali,” sementara qadha adalah fiqih. Oleh karena itulah, Imam Ali as merupakan orang yang paling paham atas fikih di antara yang lain.

Begitu juga, masyarakat umum dan khusus meriwayatkan bahwa ketika mengutus Ali ke Yaman untuk mengadili suatu urusan, Nabi saw bersabda, “Ya Allah! Berilah petunjuk kepada hatinya dan tetapkanlah lisannya.” Imam Ali berkata, “Setelah itu dan berkat doa itu, aku tidak pernah ragu dalam memberikan keputusan dalam pengadilan.”

Ilmu tafsir juga berujung kepada Ali. Apabila merujuk kepada kitab-kitab tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar persoalan dinukil dari beliau atau dari ibn Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada ibn Abbas, “Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali as.” Dia berkata, “Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan lautan samudra.”

Ilmu tarekat, hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Ulama irfan di semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali as, seperti Syabli, Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi. Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya kepada Ali bin Abi Thalib.

Ilmu nahwu (tatabahasa) dan bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Ali. Imam Ali-lah yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada Abu al-Aswad Duali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abu al-Aswad mengenai kalam ‘kata’ terbagi menjadi tiga: ism ‘nomina’, fi’il ‘verba’, dan huruf ‘preposisi’ dan beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah ‘definitif’ atau nakirah ‘indefinitif’. Selain itu, beliau mengatakan bahwa i’rab ada empat jenis: rafa’, nashab, jar, dan jazam.

Ucapan Imam Ali as ini bagaikan mukjizat karena mengklasifikasi kalimat ‘kata’ untuk manusia biasa adalah tidak mungkin.[240]

Untuk mengenal ketinggian ilmu Imam Ali as, kita dapat merujuk kepada kitab Nahjul Balaghah. Menurut kesaksian para cendekiawan, setelah alQuran, kitab ini adalah kitab ilmiah yang paling kaya. Kita juga dapat merujuk kepada ratusan, bahkan ribuan hadis yang ada di berbagai bidang, yang dinukil dari Imam dan tercatat dalam kitab-kitab hadis.

 

Ibadah Ali as

Imam Ali adalah ahli ibadah yang paling besar di zamannya, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas ibadah, yakni keikhlasan, perhatian atau kosentrasi hatinya, dan penyaksian terhadap Tuhan.

Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas.”[241]

Di tempat lain, Imam Ali as berkata, “Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan rakus terhadap pahala, melainkan karena melihat Engkau pantas disembah.” [242]

Seseorang datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Apakah engkau melihat Allah sehingga engkau menyembah-Nya?” Beliau berkata, “Celaka Engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?” Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau melihat-Nya?” Imam menjawab, “Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.”[243]

Qusyairi menulis, “Tatkala waktu shalat telah tiba, warna wajah Imam Ali bin Abi Thalib berubah dan tubuhnya bergetar. Imam ditanya, “Mengapa keadaan Anda berubah seperti ini?” Beliau berkata, “Tiba saat menunaikan amanah yang diberikan Allah terhadap langit, bumi, dan gunung dan semuanya menolak. Namun, manusia yang lemah menerimanya. Aku takut, apakah dapat menunaikan amanah ini atau tidak?”[244]

Imam Sajjad membaca sebuah buku yang mencatat ibadah Imam Ali lantas beliau menaruh buku itu di atas meja dan berkata, “Siapakah yang mampu beribadah seperti Ali?”[245]

Ibn abbas mengatakan, “Dua unta dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Aku akan menghadiahkan salah satu unta ini kepada orang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan konsentrasi hati yang penuh sehingga selama dua rakaat itu, ia sama sekali tidak memikirkan urusan duniawi.” Dalam hal ini, tiada seorang pun yang sanggup kecuali Ali. Kemudian Rasulullah menghadiahkan kedua unta itu kepada Ali.”[246]

Habbah Arani berkata, “Suatu malam, aku dan Nauf tidur di halaman Darul Imarah. Di sini, kami menyaksikan Imam Ali as seperti manusia yang dalam keadaan gundah dan gelisah. Ia meletakkan tangannya di dinding seraya membaca ayat, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan seterusnya dengan diulang-ulangi dan berjalan seperti manusia gila. Imam berkata kepadaku, “Wahai Habbah! Apakah kamu tidur atau terjaga?” Aku menjawab, “Aku terjaga. Kalau Anda berbuat demikian, lalu apa yang harus kami lakukan?” Imam Ali mulai menangis dan berkata, “ Wahai Habbah! Allah lebih dekat kepada kita daripada urat leher. Tiada sesuatu pun yang membatasi kita dari Allah.”

Kemudian, beliau berkata kepada Nauf, “Barangsiapa yang meneteskan air mata lantaran takut kepada Allah maka dosa-dosanya akan diampuni. Wahai Nauf! Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah dan cinta serta kebenciannya hanyalah karena Allah maka tiada seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya. Wahai Nauf!  Barangsiapa yang kecintaannya di jalan Allah maka tidak akan melebihkan kecintaan yang lain di atas kecintaannya itu dan barangsiapa yang kebenciannya di jalan Allah maka kebenciannya tidak berada di jalan kepentingan pribadi. Maka dengan cara inilah, hakikat keimanannya menjadi sempurna.”

Kemudian beliau menasehati kedua orang itu dan di bagian akhir, beliau berkata, “Takutlah kepada Allah!” Kemudian ia bergerak dan berkata, “Ya Allah!  Aku tidak tahu  apakah Engkau berpaling dariku atau Engkau menyayangiku? Andai saja aku tahu, dalam kondisi lalai yang panjang dan sedikitnya syukur ini, bagaimana keadaannku!”

Habbah berkata, “Demi Tuhan! Beliau dalam kedaan seperti itu hingga terbit fajar.”[247]

Malam hari ketika berdiri di mihrab ibadah, Imam Ali memegang janggutnya dan seperti orang yang tersengat ular, ia berputar dan menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Wahai Dunia! Menjauhlah dariku! Apakah engkau datang kepadaku? Bukan saatnya untukmu! Lihat! Tipulah selain aku!  Aku tidak memerlukan kamu! Aku menceraikanmu tiga kali! Kehidupanmu pendek dan nilaimu sedikit sementara harapanku terhadapmu sedikit.”

Muawiyah kepada Dhirar bin Dhamrah berkata, “Sifatilah Ali untukku!” Dhirar berkata, “Aku menyaksikan Ali di beberapa tempat dalam kegelapan berkata, “Oh, betapa sedikitnya bekal, jauhnya perjalanan, besarnya tujuan, dan sulitnya kedudukan.”[248]

 

Zuhud Ali

Zuhud artinya ketiadaan keterikatan dengan urusan dunia, seperti harta, kedudukan, jabatan, dan anak serta wanita. Imam Ali as adalah ahli zuhud yang paling agung. Hasan bin Shalih berkata, “Di majelis, Umar bin Abdul Azis memunculkan pembahasan tentang zuhud. Setiap orang meyakini seseorang sebagai ahli zuhud yang sesungguhnya sedangkan Umar bin Abdul Azis berkata, “Orang yang paling zuhud di dunia adalah Ali bin Abi Thalib.”[249]

Sufyan berkata, “Ali sepanjang hidupnya tidak pernah membangun (menyusun batu bata) dan membangun atap sedangkan makanannya datang dari Madinah.”[250]

Ibn Abbas berkata, “Ali as di masa kekhilafahannya membeli satu pakaian senilai tiga dirham dan memakainya.”[251]

Ashbagh berkata, “Ali pergi ke pasar untuk membeli selembar pakaian. Ia membeli dua helai: satu dengan harga tiga dirham dan satu lagi dengan dua dirham. Ia berkata kepada ghulam-nya yang bernama Qanbar, “Engkau kenakanlah pakaian yang harganya tiga dirham dan yang harganya dua dirham untukku.” Qanbar berkata, “Pakaian yang tiga dirham lebih patut untukmu karena engkau naik ke mimbar dan membaca khutbah untuk manusia.” Beliau berkata, “Engkau masih muda dan pakaian ini lebih baik untukmu. Aku malu kepada Allah kalau pakaianku lebih baik daripada pakaianmu.”[252]

Imam Shadiq berkata, “Imam Ali ketika makan paling mirip dengan Rasulullah saw. Beliau makan roti, cuka, dan zaitun. Beliau memberikan makanan berupa roti dan daging kepada orang.”[253]

Ja’far bin Muhammad mengatakan, “Mereka membawa makanan untuk Ali as yang terbuat dari kurma, kismis, dan minyak. Imam Ali melarang untuk memakannya. Lalu dikatakan, “Apakah engkau melihat makanan ini haram?” Beliau berkata, “Tidak!  Bukan haram. Namun, aku khawatir terbiasa dengan enaknya makanan ini.” Kemudian beliau membaca ayat, Kamu telah menghabiskan rejekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja).[254]

Suwaid bin Ghaflah mengatakan, “Pada hari raya, aku menjumpai Ali. Aku melihat sufrah-nya terhampar, roti gandum hitam terdapat di sufrah-nya, dan wadah yang penuh dengan  makanan (harirah) yang dimakan dengan sendok. Aku berkata, “Wahai Imam Ali! Hari raya dan makanan harirah!” Beliau berkata, “Hari raya adalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.”[255]

 

Hakim yang Zuhud

Ali bin Abi Thalib, selain dalam kehidupan pribadinya, adalah ahli zuhud. Beliau melihat bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.” [256]

Imam Ali bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang dijadikan contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.”[257]

Imam Ali dalam sebuah surat kepada Usman bin Hunaif menuliskan, “Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah ‘cukup puas’ dengan dua pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun, kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah ‘kesucian diri’ dan kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikit pun dan dari ghanimah ‘harta rampasan perang’, aku tidak menyimpan sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan? Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa depannya.”[258]

Di bagian lain dari surat yang sama, beliau berkata, “Apabila meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada pelbagai jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yamaman tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara di sekelilingku, ada perut-perut yang lapar dan kerongkongan-kerongkongan yang haus.”[259]

 

Orang Kaya yang Zuhud

Mungkin orang yang mendengar zuhudnya Imam Ali berpikiran bahwa Ali adalah seorang pengangguran, penyendiri, miskin, dan berpakaian kotor. Kezuhudannya dikarenakan kemiksinannya itu. Dengan kata lain, mereka berpikiran bahwa ia melepaskan dunia dan duduk di sudut hanya untuk beribadah. Asumsi itu adalah tidak benar. Imam Ali adalah seorang yang berkemampuan dan pekerja keras. Ia adalah seorang petani yang berbakat dan berpikiran jauh ke depan.

Di masa Rasulullah saw masih hidup, apabila tidak berada dalam peperangan, beliau mengisi waktu kosongnya dalam pertanian, perkebunan, penggalian sumur, pembuatan kanal, dan penanaman pohon kurma. Melalui jalan inilah, beliau memakmurkan perkebunan dan ladang kurma. Sepeninggal Rasulullah saw, di masa khalifah-khalifah yang tiga, beliau juga tidak menyendiri dan menganggur. Beliau mengisi waktu kosongnya dengan menjaga ladang atau kebun serta adakalanya  memperluas kebun.

Dari ladang pertanian dan kebun kurma, beliau mendapatkan penghasilan yang melimpah. Namun, di saat yang sama, beliau tidak terikat dengan harta dunia. Beliau tidak membelanjakan hartanya untuk melawan hidup dan memperbaiki kualitas apa yang dimakan atau pakaian keluarganya. Beliau tidak menumpuk untuk masa depan dan anak-anaknya. Beliau sangat zuhud dengan makanan dan pakaian pribadinya. Beliau membelanjakan hartanya di jalan Allah. Beliau membeli ratusan budak lalu membebaskannya dan mewakafkan hartanya untuk kebajikan sosial.

Dituliskan bahwa Imam Ali, dalam setahun, mendapatkan penghasilan seribu dinar dari Gahllah. Namun, beliau menyedekahkan semuanya kepada fakir miskin.[260]

Imam Shadiq berkata,  “Ketika membagikan ghanimah, Rasulullah saw memberikan sebidang tanah kepada Ali as. Imam menggali sumur di tanah itu. Kebetulan  sumur galian beliau sampai ke mata air, yang seperti leher unta, airnya mengalir deras. Dari situlah, beliau menamakan sumber air itu dengan yambu’ ‘sumur artezin’.  Imam Ali diberi kabar gembira bahwa air sumurnya begitu melimpah. Beliau berkata, “Berilah berita gembira kepada pewarisnya karena kusedekahkan sumur ini kepada hujaj ‘jemaah haji’ Baitullah dan mereka yang lewat. Sumur ini adalah wakaf, tidak dijual, tidak dihadiahkan untuk seseorang, dan juga tidak diwariskan kepada anak anak. Barangsiapa yang menjualnya atau menghibahkannya maka laknat Tuhan kepadanya dan amalnya tidak akan diterima Allah.” [261]

Ketika meninggal, beliau berwasiat agar membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah, sebagian untuk anak-anak Fatimah, sebagian untuk anak-anak belia yang berasal dari selain Fatimah, sebagian untuk Bani Hasyim, dan sebagian untuk anak-anak Abdul Muthalib.[262]

Ali dan Pembagian Ghanimah (rampasan perang)

Berikut inilah cara Imam Ali as dalam membagikan rampasan perang:

Pertama, Imam Ali as memandang rampasan perang sebagai harta milik masyarakat yang pada masa itu mayoritas miskin dan memerlukan makan. Oleh karena itulah, setiap kali datang rampasan perang, beliau konsisten untuk  membagikannya secara langsung kepada masyarakat dan selagi belum membagikannya, beliau tidak dapat merasa tenang.

Kedua, beliau membagikan harta yang ada dengan menjaga keadilan dan sama rata di antara masyarakat. Beliau tidak mengutamakan kaum bangsawan dan orang-orang kuat di atas orang-orang tertindas. Beliau memiliki keyakinan bahwa pembagian baitul-mal tidak boleh mewujudkan kesenjangan sosial.

Pada hari kedua baiat, beliau membacakan khutbah dan berkata, “Kalian adalah hamba Allah dan harta ini adalah milik Allah, dan dibagikan dengan sama kepada kalian. Tidak seorang pun yang lebih utama daripada yang lain dan manusia-manusia yang bertakwa pada hari kiamat akan menerima pahala atau ganjaran yang terbaik di sisi Tuhan.  Allah swt tidak menjadikan dunia sebagai balasan bagi manusia-manusia yang bertakwa. Akan tetapi, orang-orang yang bertakwa dan saleh akan mendapatkan pahala yang lebih baik daripada dunia di sisi Allah.”[263]

Di bagian lain, beliau berkata, “Dalam pembagian baitul-mal, tidak ada yang lebih utama daripada lainnya dan metode pembagiannya sangatlah jelas. Harta adalah milik Allah dan kalian adalah para hamba Allah. Kitab Allah ada di antara kalian dan kami menyaksikannya serta pasrah kepadanya. Kami mengetahui metode Rasulullah saw dalam pembagian baitul-mal. Maka, barangsiapa yang tidak rela dengan pembagian ini, apa pun yang hendak dilakukannya, lakukanlah karena barangsiapa yang taat kepada Allah dan melakukan perintah-Nya tidak memiliki rasa takut dan kebimbangan.” [264]

Mujammi’ mengatakan, “Ali setiap hari Jumat menyisir, menyapu, dan menyirami baitul-mal. Kemudian Imam mendirikan shalat dua rakaat di sana dan berkata, “Pada hari kiamat, berilah kesaksian untukku.”[265]

Beliau juga bersabda, “Rasulullah saw tidak menunda pembagian baitul-mal hingga keesokan harinya.”[266]

Abu Shalih Saman berkata, “Suatu hari, Ali memasuki baitul-mal dan sambil memandangi harta di situ, beliau berkata, “Jangan sampai aku melihat harta di sini sementara keadaan masyarakat memerlukannya.” Kemudian beliau memerintahkan untuk membagikan harta itu. Saat itu, beliau menyapu baitul-mal dan mendirikan shalat di situ.” [267]

Abu Hakim dari ayahnya menukilkan bahwa Ali as dalam setahun membagikan harta baitul-mal sebanyak tiga kali. Setelah itu, datanglah harta dari Isfahan. Maka, beliau berkata kepada masyarakat, “Datanglah agar untuk keempat kalinya, aku bagikan harta untuk kalian karena aku tidak dapat menyimpan harta ini.”[268]

Dari Isfahan, Imam Ali dibawakan untuknya harta dari baitul-mal. Beliau membagikannya dengan sama rata kepada masyarakat, bahkan keping roti yang besar, yang ada di antara harta itu, dibagi menjadi tujuh bagian.[269]

Abu Ishaq mengatakan, “Dalam pembagian baitul-mal, ada dua wanita hadir: satu Arab dan yang lainnya ajam ‘non-Arab’. Tiap-tiap mereka diberi oleh Imam Ali as 25 dirham dan satu mangkuk makanan. Wanita Arab itu berkata, “ Wahai Imam Ali! Engkau menyamakan aku dengan wanita ajam ini.” Beliau berkata, “Aku, dalam membagi rampasan perang, tidak membedakan antara anak-anak Ismail dan anak-anak Ishaq.”[270]

Sahal bin Hanif dengan ghulam-nya menjumpai Imam Ali as dan berkata, “Wahai Imam Ali!  Orang ini adalah budakku. Aku membebaskan dia. Berikanlah bagiannya dari baitul-mal. Beliau memberikan kepadanya tiga dinar sebagaimana yang diberikannya kepada Sahal.” [271]

Sekelompok sahabat Ali pergi menjumpai beliau dan berkata, “Wahai Imam Ali!  Berikanlah kelebihan dalam pembagian baitul-mal kepada kaum bangsawan Arab dan Quraisy serta orang-orang yang engkau khawatirkan penentangannya di atas orang-orang ajam dan hamba-hamba yang telah dibebaskan.” Beliau menjawab, “Adakah engkau menasehatiku agar aku melakukan kesalahan.  Demi Allah! Aku tidak akan melakukan kesalahan seperti itu. Sekiranya harta ini milikku sendiri dan aku ingin membagikannya kepada masyrakat, aku akan membagikannya sama rata, apalagi harta ini adalah milik umum.”

Setelah itu, beberapa saat ia diam lalu berkata, “Barangsiapa yang memiliki harta harus memenuhi fasad karena pemberian harta yang bukan pada tempatnya adalah israf dan mubazir. Meskipun hal itu membuatnya populer di tengah masyarakat, ia jatuh di sisi Allah. Tidak seorang pun dapat membelanjakan hartanya bukan pada tempatnya dan bukan pada ahlinya, kecuali Allah swt akan menjauhkannya dari terima kasih mereka yang dia kasihi dan kecintaan mereka bukan mengarah kepada orang yang memberikan itu. Sekiranya sebagian dari mereka menampakkan kecintaan dan terima kasih, hal itu hanyalah basa-basi, usaha untuk menjilat, dan kebohongan. Ucapan terima kasih mereka lebih diarahkan untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi. Apabila, pada suatu hari, orang yang memberi memerlukan mereka, ia akan menjumpai mereka itu sebagai kawan yang paling buruk. Oleh karena itulah, apabila Allah memberikan harta kepada seseorang, dan dengan harta itu, dia melakukan silaturrahim dengan jalan menjamu para tamu, membebaskan para hamba, membantu orang-orang yang berhutang dan orang-orang yang terlantar, serta fakir dan muhajirin sementara dia sendiri bersabar dalam menghadapi penderitaan dan kesulitan, ini adalah kemulian dunia dan kemuliaan akhirat.” [272]

Imam Ali as mengeluh kepada Malik Astar bahwa mengapa masyarakat lari kepada Muawiyah? Malik berkata, “Wahai Imam Ali! Kami berperang dengan penduduk Basrah dan Kufah padahal sebelumnya kami bersatu dalam satu akidah. Namun sekarang, terdapat perbedaan dan konflik di antara masyarakat. Niat kembali menjadi lemah dan cinta keadilan semakin melemah. Engkau ingin menegakkan keadilan dan mengikuti kebanaran. Engkau ingin mengambil hak yang lemah dari tangan yang kuat dan para bangsawan. Di sisimu, mereka tidak lebih utama daripada yang lemah. Sekelompok sahabatmu khawatir dan takut terhadap kebenaran karena inilah sifat yang meliputi mereka. Mereka takut terhadap pelaksanaan keadilan karena mereka juga terkena hukumnya. Muawiyah tidaklah demikian. Dia memberikan harta yang melimpah kepada kaum bangsawan dan orang-orang kaya. Masyarakat cenderung kepada dunia dan jarang sekali ada orang yang tidak tertarik kepada dunia. Kebanyakan manusia tidak menyukai kebenaran dan cenderung kepada kebatilan serta lebih menyukai kekayaan di dunia daripada akhirat.” Wahai Amirul Mukminin!  Bila engkau juga memberikan harta kepada rakyat, maka mereka akan cenderung kepadamu, menghendaki kebaikan serta mencintai Anda. Allah swt telah memberikan semua sarana untuk perbuatan ini dan dengan cara ini, engkau dapat mengalahkan musuh-musuhmu dan menggagalkan makar mereka, yang Allah ketahui makar mereka itu.”

Seraya memuji dan bersyukur kepada Allah, Imam Ali as mengatakan, “Adapun tentang apa yang engkau katakan mengenai cinta keadilan, Allah swt di dalam al-Quran mengatakan, Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya. Yang paling kutakutkan adalah aku berpendek tangan dalam melaksanakan keadilan. Adapun apa yang engkau katakan bahwa menerima kebenaran adalah sulit bagi manusia dan karena itulah, mereka cenderung kepada Muawiyah, Allah swt mengetahui bahwa mereka itu tidak lari dariku karena kezalimanku dan juga bukan dengan maksud mencari keadilan, melainkan tujuan mereka adalah untuk meraih dunia yang fana ini. Allah swt, pada hari kiamat, akan bertanya kepada mereka, apakah mereka menjauh dengan tujuan dunia atau amal mereka itu untuk Allah. Adapun apa yang engkau katakan agar aku mengutamakan kaum bangsawan dan tokoh-tokoh daripada yang lain dalam pembagian baitul-mal, aku tidak datang untuk memberikan sesuatu dari milik umum kepada seseorang melebihi dari bagiannya karena Allah swt berfirman, Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

Nabi Muhammad saw diutus sendirian tetapi Allah swt setelah itu, mengubah jumlah pengikut Muhammad yang sedikit menjadi banyak dan mulia. Apabila Allah menghendaki untuk mengukuhkan wilayah kami, berbagai kesulitan akan dimudahkan-Nya. Aku menerima ucapanmu tetapi apabila Allah swt rela dengan itu, engkau adalah dari sahabatku yang paling jujur dan dapat diandalkan di antara  para sahabatku.”[273]

 

Membelanjakan Harta Umum untuk Kepentingan Pribadi

Di masa khilafah-nya, Imam Ali as secara syariat memiliki hak seperti para penguasa syariat, pada umumnya, dalam membelanjakan baitul-mal untuk keperluan pribadi dalam batas yang umum. Namun, berbeda dengan khalifah yang lain, Imam Ali sama sekali tidak pernah menggunakan harta milik umum. Adakalanya beliau menggunakannya hanya dalam batas yang sangat kecil dan tiada berarti. Imam Ali hidup sangat bersahaja dan zuhud. Belanja hidupnya ditopang dari panen ladang kurma di Madinah yang beliau miliki sebelumnya.

Zadan berkata, “Bersama dengan Qanbar, aku menjumpai Imam Ali as. Qanbar berkata, “Wahai Imam Ali!  Aku menyembunyikan sesuatu untukmu.” Beliau bertanya, “Apa itu?”  Qanbar berkata, “Datanglah ke rumah kami agar aku tunjukkan kepada Anda.” Imam bangun dan bersama Qanbar menuju rumah pembantunya itu.  Qanbar menunjukkan satu wadah besar yang dipenuhi dengan emas dan perak. Dia berkata, “Engkau telah membagikan semua harta baitul-mal kepada Muslimin dan tidak meninggalkan sedikit pun untuk diri Anda sendiri. Maka, aku menyimpan dan menyembunyikan harta ini untuk Anda.”

Ali berkata, “Engkau ingin memasukkan api ke dalam rumahku?” Kemudian, Imam Ali mengeluarkan pedangnya dan memotong-motong emas dan perak itu lalu memerintahkan agar dibagikan kepada Muslimin. Lantas beliau berkata, “Wahai emas dan perak! Janganlah menipuku! Tipulah selain aku!”

Harun bin Antharah menukilkan dari ayahnya yang berkata, “Suatu ketika, aku menemui Imam Ali as di gedung Khurnaq. Beliau melilitkan sehelai handuk di tubuhnya yang menggigil kedinginan. Aku bertanya, “Wahai Amirul Mukminin!  Allah swt telah menetapkan bagian dari baitul-mal untukmu dan keluargamu. Namun, mengapa engkau menyiksa dirimu seperti ini!” Imam berkata, “Demi Allah!  Aku tidak pernah membeli pakaian dari harta milik kalian dan handuk yang aku lilitkan di tubuhku ini aku bawa dari Madinah.”[274]

Asbagh bin Nabathah menukil ucapan Imam Ali, “Demi Allah! Aku datang ke negeri kalian dengan satu pakaian ini dan perlengkapan hidupku hanyalah kuda    (binatang kendaraan). Apabila aku keluar dari negeri kalian dalam keadaan membawa sesuatu yang lain dari apa yang aku miliki sebelumnya, niscaya aku termasuk orang yang berkhianat.”

Di dalam riwayat lain, beliau berkata, “Wahai penduduk Basrah! Mengapa kalian masih mengkritikku?” Kemudian beliau menunjuk pakaiannya dan berkata, “Pakaian ini telah kumiliki sebelum aku berkuasa dan dijahit oleh keluargaku.”[275]

Pembelanjaan hidup Imam Ali as ditopang dari hasil ladang yang beliau miliki di Madinah dan diperoleh dari Yanbu’ (mata air). Beliau mengundang makan orang dengan daging dan roti sedangkan yang beliau makan sendiri adalah roti, zaitun, dan kurma.[276]

 

Bagian Anak-Anak dan Sanak Kerabat dari Baitul-Mal

Dalam pembagian baitul-mal, Imam Ali as tidak mendahulukan atau mengistimewakan anak-anak dan kerabatnya, melainkan menyamakan Imam Hasan dan Imam Husain dengan Muslimin lainnya. Habib bin Abi Tsabit menyebutkan bahwa pada suatu hari, anak saudara lelaki dan menantu Ali yang bernama Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib datang menemui Ali dan berkata, “Wahai Imam! Pengeluaranku sehari-hari cukup tinggi. Maka, ringankanlah beban hidupku ini dengan memberiku uang dari baitul-mal melebihi bagian orang lain. Demi Allah! tiada tersisa uang sedikit pun di kantongku sehingga aku harus menjual rumput untaku!” Imam Ali menanggapi permintaan tersebut, “Demi Allah! Aku tidak dapat memberikan sesuatu kepadamu, kecuali apabila engkau menyuruh pamanmu ini mencuri dan kemudian memberikannya kepadamu.”[277]

Abdullah bin Abi Sufyan menceritakan, ”Salah seorang warga desa menghadiahkan sehelai pakaian kepada Hasan dan Husain lalu mereka mengenakannya. Pada hari Jumat,  manakala berdiri untuk berkhutbah di Madain, Imam Ali terperanjat menyaksikan kedua putranya, Hasan dan Husain memakai pakaian baru. Kemudian Ali mengutus orang kepada Hasan dan Husain untuk menanyakan dari mana mereka memperoleh pakaian baru itu?” Kami berkata, “Salah seorang warga desa menghadiahkannya kepada mereka.” Ali as kemudian mengambil pakaian itu dari Hasan dan Husain lalu menyerahkannya ke baitul-mal.[278]

Imam Ja’far Shadiq mengatakan bahwa ayahnya, Imam Baqir, berkata, “Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib membagikan pakaian kepada penduduk Kufah dan di antara pakaian tersebut terdapat topi yang terbuat dari harir (sutera). Lantas Imam Hasan meminta topi itu kepada ayahnya dengan berkata, “Wahai Ayah! Berikan topi ini kepadaku.” Imam Ali tidak mengabulkan permintaan anak yang dikasihinya itu dan mengadakan undian bagi semua Muslim untuk mendapatkan topi indah itu.  Seorang pemuda Hamadani keluar sebagai pemenang dalam undian itu. Topi itu kemudian diberikan kepada pemuda tersebut dan dibawanya pulang. Setelah itu, dikatakan kepada pemuda itu bahwa Hasan bin Ali meminta topi itu dari ayahnya tetapi tidak dikabulkannya.

Pemuda Hamadani itu memberikannya kepada Imam Hasan dan beliau menerimanya.[279]

Ali bin Abi Rafi’ mengatakan, “Aku diberi tugas untuk menjaga baitul-mal Ali bin Abi Thalib. Di dalam baitul-mal, terdapat kalung yang dibawa dari Basrah. Suatu hari, putri Ali bin Abi Thalib mengutus orang kepadaku dan berkata, “Aku mendengar di dalam baitul-mal, ada kalung dari lu’lk (batu mahal) dan hari ini adalah hari raya Idul Adha. Pinjamkanlah kalung itu kepadaku untuk aku gunakan pada hari raya Idul Adha.” Dalam jawabannya, aku mengatakan, “Aku akan berikan dengan syarat pinjaman itu ada jaminannya.”  Putri Imam Ali as dalam jawabannya mengatakan, “Ya! Aku terima pinjaman ini dengan jaminan dan setelah tiga hari, akan kukembalikan ke baitul-mal.” Dengan diterimanya persyaratan ini, kukirimkan kalung itu kepadanya. Imam Ali melihat kalung itu di leher putrinya dan mengenalinya. Imam lantas bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkan kalung itu?”  Putrinya berkata,  “Aku meminjamnya dari penjaga baitul-mal dan setelah hari raya, akan kukembalikan.”

Ali bin Abi Thalib memangilku dan berkata, “Kenapa engkau berkhianat terhadap harta Muslimin?” Aku berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari mengkhianati Muslimin!” Beliau berkata, “Mengapa engkau meminjamkan harta baitul-mal tanpa seijinku.” Aku berkata, “Putrimu meminjam dariku hanya untuk beberapa hari. Ia pun meletakkan jaminan untuk itu. Setelah hari raya Idul Adha, dia berjanji akan mengembalikannya. Selain dari itu, aku juga menjadi penjaminnya.”

Imam Ali berkata, “Hari ini juga engkau harus mengambilnya dan mengembalikannya ke baitul-mal. Jangan sampai engkau mengulangi hal-hal yang seperti ini. Kalau tidak, engkau akan kukenakan hukuman. Sekiranya putriku meminjamnya tanpa jaminan, niscaya dia layak untuk dihukum.”

Ketika berita ini sampai ke telinga putrinya, ia bertanya, “Wahai Ayah!  Aku adalah putrimu. Katakanlah bahwa aku layak untuk memakainya pada hari raya!” Imam Ali berkata, “Apakah semua wanita Muhajirin menghiasi dirinya dengan kalung semacam ini?”

Selanjutnya, aku mengambil kalung itu dan mengembalikannya ke baitul-mal.[280]

Pada suatu hari Aqil, saudara Imam Ali, menjumpai Imam Ali dan meminta bantuan materi. Ali berkata kepada Imam Hasan, “Berikan pakaian kepada pamanmu.”

Imam Hasan memberikan pakaian dan jubah kepada Aqil. Ketika mengikuti makan malam bersama Imam Ali, Aqil bertanya keheranan, “Adakah makan malam kalian juga seperti ini?” Beliau berkata, “Bukankah ini nikmat Allah!”  wali ilahi hamdu kastira.

Aqil berkata, ”Aku mempunyai hutang. Bayarkanlah hutangku lalu aku akan pergi.” Beliau berkata, “Berapa banyak hutangmu.” Aqil berkata, “Seratus ribu dirham.” Imam berkata, “Tidak demi Allah! Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Bersabarlah sampai datang saat pembagian baitul-mal. Maka, aku akan memberikan kepadamu dari bagian keluarga.” Aqil berkata, “Baitul-mal ada di tanganmu dan engkau menunda untuk memberiku sampai pembagian baitul-mal. Selain itu, berapa banyak bagianmu? Jika semuanya engkau berikan kepadaku, kesulitanku tidak akan selesai.” Beliau berkata, “Apakah aku dan engkau berbeda dengan Muslimin yang lain?”

Kejadian berikut terjadi di Istana “Darul-Imarah” yang letaknya tidak jauh dari kotak uang para pedagang. Imam Ali berkata kepada Aqil, “Pecahkan kotak itu dan ambillah uang milik para pedagang itu.”  Aqil terheran-heran dan berkata, “Adakah engkau menyuruhku untuk memecahkan kotak ini dan mencuri uangnya?” Imam Ali membenarkan, “Engkau juga menyuruhku mengambil uang dari baitul-mal dan memberikannya kepadamu. Apabila engkau ingin, ambillah pedangmu dan aku pun akan mengambil pedangku. Lalu mari kita bersama-sama pergi untuk merampok.” Aqil bertanya, “Apakah kita datang ke sini dengan maksud mencuri sehingga engkau berkata seperti itu?”  Imam berkata, “Mencuri milik satu orang adalah lebih baik daripada mengambil harta semua Muslim.” Aqil berkata, “Kalau demikian, apakah engkau mengijinkan aku pergi kepada Muawiyah.” Ali berkata, “Terserah engkau.” Aqil meminta biaya untuk pergi kepada Muawiyah. Imam Ali berkata kepada Imam Hasan, “Berikan empat ratus dirham kepada pamanmu.”[281]

Pada hari yang lain, Aqil menemui Ali dan meminta bantuannya. Namun, Ali menolak permintaanya. Untuk memberi Aqil pelajaran, Imam Ali meletakkan besi panas di sisi badannya. Dalam kaitan ini, Imam juga melakukan hal yang sama dan berkata, “Demi Allah!  Aku melihat Aqil yang benar-benar miskin memintaku agar memberikan jatah gandum dari baitul-mal kepadanya karena anak-anaknya yang kelaparan agak sedikit pucat. Ia berkali-kali mengulangi permintaannya. Aku mendengarkan ucapannya dengan saksama. Ia mengira bahwa aku akan menjual agamaku karenanya dan mengikuti ucapannya agar aku dapat mengubah pembagian baitul-mal lantaran mengikuti permintaannya. Aku mendekatkan sekeping besi panas ke sisi tubuhnya agar ia mengambil pelajaran.” Aqil berteriak karena tidak tahan dengan panasnya besi itu yang hampir saja membakarnya.  Ali berkata kepadanya, “Semoga orang-orang menangisimu wahai Aqil!  Engkau menjerit tidak tahan karena panasnya besi di dunia yang dipanaskan oleh seorang manusia tetapi engkau menghendaki agar aku terbakar oleh api yang Allah hidupkan karena kemurkaannya. Apakah engkau merintih karena gangguan yang sedikit sedangkan aku tidak merintih karena api neraka yang membakar?”

Peristiwa yang lebih bagus lagi terjadi pada malam hari. Ali berkata, “Seseorang datang ke rumah kami dengan membawa satu wadah kue yang tidak kusukai karena seolah-olah ada air liur ular yang bernaung di dalamnya. Aku berkata kepadanya, “Apakah yang engkau bawa ini sedekah atau zakat? Keduanya adalah haram buat kami.” Ia menjawab, “Ini bukan sedekah dan juga bukan zakat, melainkan hadiah.” Aku berkata, “Semoga ibumu menangisimu! Apakah engkau datang untuk  menipuku dari jalan agamaku? Adakah engkau ini gila atau kerasukan jin atau engkau mengigau. Demi Allah!  Apabila tujuh lapis langit dan semua yang ada di bawah langit engkau berikan kepadaku agar aku menzalimi seekor semut dan agar aku mengambil kulit barley dari mulut semut, maka aku tidak akan melakukannya. Demikianlah dunia kalian di sisiku tidak lebih bernilai daripada selembar daun yang ada di mulut seekor belalang. Apa urusan Ali dengan nikmat-nikmat yang fana dan kelezatan yang tidak kekal. Aku berlindung kepada Allah dari kelalaian, keburukan, ketergelinciran dan aku meminta pertolongan dari-Nya.”[282]

 

Ketegasan dalam Membela Kebenaran

Salah satu keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang terpenting adalah ketegasannya dalam memerangi kezaliman dan membela hak orang-orang yang tertindas. Ali meyakini bahwa kezaliman dan pemaksaan tidak dapat diselesaikan dengan cara toleransi dan irfaq atau ‘kelembutan’ melainkan diperlukan ketegasan.

Dalam kaitan ini, beliau berkata, “Manusia-manusia yang lemah adalah mulia di sisiku sampai aku mengambil hak mereka dan orang-orang yang kuat adalah lemah di sisiku sampai aku mengambil hak orang-orang yang tertindas dari mereka.” [283] 

Mughira bin Sya’bah menjumpai Imam Ali as dan berkata, “Adalah wajib bagi kami untuk menasehatimu bahwa anak buah Usman memiliki kekuasaan di seluruh penjuru kota. Apabila engkau hendak memecat mereka sekaligus, akan bangkit fitnah yang untuk memadamkannya adalah suatu perkara yang sulit. Sebaiknya engkau menambah masa tugas mereka setahun sampai pemerintahanmu menjadi kukuh. Ketika itulah, engkau dapat melakukan apa saja yang engkau inginkan. Di antara mereka adalah Muawiyah yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di Damaskus.”

Dalam jawabannya, Imam Ali berkata, “Apakah engkau menjamin bahwa sampai dicopotnya Muawiyah, aku masih hidup?” Dia mengatakan,”Tidak!”

Imam berkata, “Apabila aku memberikan kepada Muawiyah wilayah di atas dua orang Muslim di malam yang gelap gulita, apakah nanti pada hari kiamat aku tidak akan dipertanyakan? Aku tidak akan pernah meminta bantuan dari orang-orang yang sesat. Aku berkali-kali mengatakan kepada Usman untuk memendekkan dan memutuskan tangan orang-orang yang zalim ini dari masyarakat! Kini, aku memberikan tugas kepada mereka?”[284]

Beliau juga mengatakan, “Demi Allah!  Aku akan mengambil hak orang yang dizalimi dari yang zalim dan aku akan mengambil kendali yang zalim dan mau tidak mau akan menyeretnya kepada jalur kebenaran.” [285]

Membela orang-orang yang dizalimi dan mazlum merupakan salah satu program utama Imam Ali as. Beliau sama sekali tidak pernah keluar dari program itu. Bukan hanya pada peritsiwa-peristiwa besar, melainkan pada peristiwa kecil sekalipun beliau tidak tahan menyaksikan kezaliman.

Imam Muhammad Baqir mengatakan, “Suatu hari Imam Ali bin Abi Thalib, lantaran panasnya matahari, memasuki rumah. Wanita yang sedang menantikan kedatangan beliau berkata,  “Wahai Imam Ali! Suamiku selalu menganiayaku dan melanggar hak-hakku, bahkan dia bersumpah akan memukuliku. Aku takut kepadanya. Maka, bantulah aku!”

Imam Ali as berkata, “Wahai hamba Allah! Bersabarlah sebentar hingga udara sedikit dingin lalu kita pergi bersama-sama ke rumahmu.”

Wanita itu berkata, “Suamiku sangat marah dan apabila kita terlambat datang, aku takut keadaannya akan semakin memburuk.”  Amirul Mukminin setelah sejenak berpikir mengatakan, “Tidak! Demi Allah! Hak yang dizalimi harus diambil. Di manakah rumahmu?” Selanjutnya, bersama wanita itu, dia pergi ke rumah wanita itu. Ia berdiri di pinggir pintu dan berkata, “Takutlah kepada Allah! Mengapa engkau membuat takut istrimu dan mengeluarkannya dari rumah?” Pemuda itu yang tidak mengenal Imam Ali berkata, “Apa hubungannya dengan kamu. Demi Tuhan! Aku akan membakar wanita sundal itu.”

Amirul Mukminin mengatakan, “Aku menyuruhmu kepada kebaikan dan mencegahmu agar tidak melakukan keburukan. Engkau, di hadapanku, mengintimidasi istrimu secara demikian.”

Dalam keadaan seperti itu, orang yang kebetulan lewat mengucapkan salam kepada Imam Ali, “Assalamu alaika ya Amirul Mukminin!” Pemuda itu terkejut ketika mengetahui orang itu adalah Imam Ali as dan merasa takut seraya berkata, “Wahai Aimirul Mukminin! Ampunilah aku! Selanjutnya aku akan menyerah kepada istriku.”

Amirul Mukminin memasukkan pedang ke dalam sarungnya dan berkata kepada wanita itu, “Wahai hamba Allah! Masuklah ke rumah tetapi janganlah engkau berbuat sesuatu yang membuat suamimu marah dan murka sedemikian rupa.” [286]

 

Persamaan di Depan Hukum

Ali as melihat semua orang sama di depan hukum, bahkan dia sendiri di hadapan seorang Nasrani, dari sisi pemeliharaan hukum, adalah sama. Sya’bi mengatakan, “Ali bin Abi Thalib melihat baju perangnya di sisi seorang Nasrani. Beliau membawa Nasrani itu ke sisi Syuraih, seorang hakim atau qadhi. Imam berkata kepada Syuraih, “Ini adalah baju perangku. Aku tidak pernah menjualnya atau memberikannya kepada seseorang.” Syuraih berkata kepada Nasrani, “Apa yang engkau akan katakan terhadap tuduhan Imam Ali as?”

Nasrani itu berkata, “Baju perang ini adalah milikku tetapi aku tidak menuduh Imam Ali as adalah pembohong.”  Syuraih berkata kepada Ali as, “Apakah engkau memiliki saksi dan bukti yang mendukung kesaksianmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Tidak! Aku tidak memiliki bukti.”

Syuraih memihak kepada lelaki Nasrani itu dan menyalahkan Imam Ali as.  Nasrani itu mengambil baju perang tersebut dan bergerak beberapa langkah. Namun, kemudian ia kembali dan berkata, “Aku bersaksi bahwa pengadilan seperti ini berasal dari hukum para nabi. Amirul Mukminin, dalam sengketa, membawaku ke sisi qadhi yang dipilihnya sendiri dan qadhi itu memvonis putusan yang merugikan Ali as. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Wahai Amirul Mukminin!  Baju perang ini adalah milikmu. Di saat engkau pergi ke perang Shiffin, aku berjalan di belakang pasukanmu. Baju perang ini jatuh ke tanah dari untamu dan aku mengambilnya. Ini adalah milikmu dan ambillah kembali.”

Amirul Mukminin berkata, “Kini engkau telah Islam. Maka, baju perang ini adalah milikmu.” Kemudian Ali menaikkannya ke kudanya.

Sya’bi berkata, “Di kemudian hari, aku diberitahu bahwa lelaki Nasrani tersebut menjadi syahid ketika berada di barisan pasukan Ali dalam perang melawan Khawarij.” [287]
Ju’dah bin Hubairah menjumpai Ali as dan berkata, “Kini dua orang datang menjumpai engkau untuk meminta keadilan. Salah seorang dari mereka mencintaimu melebihi harta dan nyawanya sendiri dan yang lainnya adalah musuhmu. Sedemikian bencinya, sehingga kalau bisa, ia akan membunuhmu. Maka adililah dengan memihak sahabatmu.” Amirul Mukminin mengepalkan tangannya ke dadanya seraya berkata, “Hukum adalah hukum Allah dan harus diadili sesuai dengan kebenaran.” [288]

 

[219] A’lamul Wara, jilid 1, hal. 306-307; Al-Irsyad, jilid 1, hal. 5.
[220] Al-Irsyad, jilid 1, hal. 9; A’ lamul Wara, jilid 1, hal. 309.
[221] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 2, hal. 205-206.
[222] Ibid, jilid 2, hal. 7.
[223] Manaqib Ali Abi Thalib, hal. 206.
[224] Ibid, jilid 2, hal. 210.
[225] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 2, hal. 210.
[226] Ibid, hal. 94.
[227] Tazkiratul Khawas, hal. 56.
[228] Tarjumah Imam Ali bin bi Thalib, jilid 3, hal. 63.
[229] Biharul Anwar, jilid, 41, hal. 14.
[230] Ibid jil 41 hal 110.
[231] Manaqib Kharazmi, hal. 40; Mustadrak, Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 127.
[232] Tabaqat Ibn Sa’ad,  jilid 2, hal. 339.
[233] Ibid
[234] Ibid, jilid 2, hal. 338.
[235] Syarah Nahjul Balagahah, Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal. 96.
[236] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 80.
[237] Thabawat Ibn Sa’ad, jilid 2, hal. 348.
[238] Dzahairul Uqba, hal. 79.
[239] Dzahairul Uqba, hal. 79.
[240] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 17-20.
[241] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 14.
[242] Ibid.
[243] Ibid hal 16.
[244] Ibid  jil 41 hal 17.
[245] Ibid jil 41 hal 17.
[246] Ibid jil 41 hal 18.
[247] Biharul Alnwar, jilid 41, hal. 22.
[248] Ibid, jilid 40, hal. 340.
[249] Tarjumah Ali bin Abi Thalib,  jilid 3, hal 202.
[250] Ibid, jilid 3, hal. 188.
[251] Ibid, jilid 3, hal. 191.
[252] Ibid, jilid 40, hal. 324.
[253] Ibid, jilid 40, hal. 330.
[254] Al-Gharat, jilid 1, hal. 90; QS. Al-Ahqaf:20.
[255] Biharul Anwar, jilid 40, hal. 326.
[256] Ibid
[257] Ibid,  jilid 4, hal. 323.
[258] Nahjul Balaghah,  surat nomor 45.
[259] Ibid, surat 45.
[260] Biharul Anwar,  jilid 40, hal. 26.
[261] Ibid, jilid 40, hal. 26.
[262] Biharul Anwar,  jilid 41, hal. 40.
[263] Biharul Anwar, jilid 32, hal. 17-18.
[264] Ibid, jilid 32, hal. 20.
[265] Gharat, jilid 1, hal. 46.
[266] Ibid,  jilid 1, hal. 47.
[267] Tarjumah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 180.
[268] Ibid, jilid 3, hal. 181.
[269] Gharat, jilid 1, hal. 51.
[270] Ibid jil 1 hal 70.
[271] Bihar al anwar jil 41 hal 117.
[272] Gharat, jilid 1, hal. 75.
[273]Gharat, jilid 1, hal. 71.
[274] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 181.
[275] Biharul Anwar, jilid 4, hal. 325.
[276] Gharat, jilid 1, hal. 68.
[277] Ibid, jilid 1, hal. 66.
[278] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 182.
[279] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 104.
[280]  Biharul Anwar, jilid 40, hal. 327.
[281] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 113.
[282] Nahjul Balaghah, khutbah 224.
[283] Nahjul Balaghah, khutbah 37.
[284] Nahjul Balaghah, khutbah 136.
[285] Ibid, khutbah 136.
[286] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 57.
[287] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 196.
[288] Ibid, jilid 3, hal. 200.