پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

SEKAPUR SIRIH

"Kematian orang yang tidak mengenal imamnya adalah kematian jahiliah."

(HR. Ahmad)

Melihat hadis di atas dan puluhan hadis lainnya, mayoritas ulama bersepakat tentang posisi fundamental imamah. Namun, bagi sebagian orang, membicarakan imamah berarti memasuki "area terlarang" karena berkaitan dengan kemelut kepemimpinan pasca-Rasulullah saw dan mengarah kepada kasus-kasus sejarah yang telah "dipetieskan" dan tokoh-tokoh yang "tak tersentuh". Tak aneh jika kemudian muncul apologi dan justifikasi bahwa memikirkan "persatuan" umat Islam lebih urgen daripada membuka "luka lama".

Asumsi di atas boleh jadi "benar" jika kita menempatkan imamah sebagai suatu persoalan politik semata. Akan tetapi, sebagaimana yang ditegaskan hadis-hadis Rasulullah saw, imamah jelas merupakan persoalan akidah yang pengingkaran terhadapnya dikenai konsekuensi akidah pula (mati dalam keadaan jahiliah). Alhasil, pembahasan mengenai imamah adalah sama pentingnya dengan membahas masalah tauhid, misalnya.

Karena merupakan permasalahan akidah, imamah bukanlah soal "kalah" dan "menang" seperti lazim ditemui dalam demokrasi atau "benar dapat dua" dan "salah dapat satu" seperti tertera -konon- dalam doktrin ijtihad. Jika demikian, maka imamah mutlak menjadi domain pembuat syariat, yakni Allah Swt dan Rasul-Nya saw. Satu lagi, kalau memang berkaitan dengan akidah, imamah pastilah persoalan "super penting" yang menjadi inti dan fondasi bagi persoalan-persoalan umat lainnya. Artinya, segala macam krisis yang mendera umat saat ini pasti salah satunya diakibatkan keengganan (baca: ketabuan) kita untuk mulai membahas persoalan imamah secara objektif dan mendalam.

Untuk itulah, Ayatullah Ibrahim Amini sangat menekankan pembahasan masalah imamah ini. Baginya, imam merupakan poros

kehidupan beragama dan bermasyarakat. Melalui imamiah, segala kepentingan umat terpenuhi. Tanpa imam, agama tidak akan terorganisasi sehingga menjadi hina. Bukankah kehinaan agama adalah tujuan para penindas dan orang-orang zalim.

Dalam buku yang berjudul asli Ulghuhoye Fadhilat ini, Ayatullah Amini -yang juga menulis buku Imam Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi (Al-Huda, 2002), menjelaskan keniscayaan eksistensi seorang imam pada setiap zaman. Tidak seperti ulama lain yang hanya bersandarkan kepada dalil-dalil naqliyah (al-Quran dan sunnah), Ayatullah Amini, dengan bahasa yang sederhana, memaparkan pembahasan yang cukup pelik ini melalui argumentasi-argumentasi aqliyah 'rasional'. Hal ini dapat dipahami karena bagi Ayatullah Amini, sebagaimana juga dianut teologi Syiah, akidah (yang di dalamnya terdapat imamah) adalah sesuatu yang harus diyakini secara rasional.

Selain itu, dalam buku ini, Ayatullah Amini menjelaskan karakteristik-karakteristik imam yang secara esensial berbeda dengan manusia biasa. Hal ini perlu ditegaskan karena pertama, tidak setiap orang layak dan patut menjadi imam dan kedua, tugas yang diemban seorang imam bukanlah tugas yang bisa dilakukan manusia zonder karakteristik-karakteristik tersebut. Untuk tema bahasan ini, sekali lagi, Ayatullah Amini menggunakan pendekatan rasional meskipun tanpa mengabaikan al-Quran dan sunnah.

Tak cukup hanya memasuki tataran wacana, Ayatullah Amini dalam buku ini juga menuliskan kisah setiap imam dari sejak kelahiran, pengangkatan (sebagai imam) hingga kematian. Dari sini, kita dapat menyaksikan betapa tabah dan cerdasnya setiap imam menghadapi dan mengatasi segala ujian yang tentu saja berbeda dari zaman ke zaman. Kisah-kisah tersebut juga, secara tidak langsung, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita mengenai beberapa persoalan yang masih menjadi kontroversi seputar imamah ini. Meskipun tidak terperinci, kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang dikutipkan di sini dapat menjadi teladan sekaligus bukti tersendiri bagi imamah setiap Imam.

Alhasil, inilah karya mengenai suatu persoalan akidah yang cukup kontroversial dengan bahasa yang mudah dan uraian yang sistematis sekaligus logis. Paparan filosofis tidak membuat bahasan menjadi kering karena masih satu tarikan napas bersama ayat-ayat suci al-Quran dan hadis-hadis para manusia suci. Riwayat-riwayat para imam yang ditampilkan dalam buku ini juga mampu membawa pembaca kepada

nuansa keteladanan yang tidak pernah akan dijumpai dalam kisah¬kisah teladan orang-orang besar manapun.

Pendek kata, buku ini sangat layak untuk dibaca setiap Muslim yang peduli terhadap nestapa umat Islam yang hingga kini -sejak wafatnya Rasulullah saw- belum pernah menikmati dan memanfaatkan seoptimal mungkin kasih sayang Allah berupa kehadiran seorang pembimbing, pemimpin, penegak kebenaran dan keadilan, serta penolong, yaitu imam.

Selamat membaca!