پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Bagian Kedua

Bagian Kedua

 

Menciptakan Landasan untuk Mengenalkan Imam

Pemilihan atau Pelantikan Imam

 

Dalam pembahasan yang lalu, telah ditegaskan bahwa sepeninggal Rasulullah saw, wujud seorang imam merupakan sebuah keharusan untuk melanjutkan misi Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw wafat, tiada yang meragukan bahwa kaum Muslimin harus memiliki pemimpin atau imam. Kini timbul pertanyaan, apakah imam tersebut dipilih oleh umat, yakni umat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka, ataukah Allah yang menetapkan dan memilih imam bagi mereka?

Para pengikut Ahlus Sunnah memilih pendapat yang pertama. Menurut keyakinan mereka, imamah bukan merupakan pokok agama atau Allah bersama Rasul-Nya tidak sampai mencampuri urusan imamah (kepemimpinan) tetapi menyerahkan urusan pemilihan khalifah atau imam sepeninggal Rasulullah kepada umat.  Dalam hal ini, masyarakat Ahlus Sunnah berpendapat bahwa di masa hidupnya, Rasulullah tidak memilih seseorang tertentu sebagai khalifah. Dengan demikian, peristiwa berkumpulnya para sahabat di Saqifah yang kemudian menghasilkan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah tidak bisa disalahkan.[91]

Namun, para pengikut mazhab Imamiyah menilai perbuatan para sahabat tersebut salah dan meyakini bahwa persoalan imamah ialah hak Tuhan dan pokok agama.  Begitu pentingnya urusan imamah hingga Allah swt dan Rasul-Nya terlibat secara langsung dalam menentukan atau memilih imam. Oleh sebab itulah, pemilihan imam mustahil dapat dilakukan bila tanpa petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dikarenakan posisi seorang imam menuntut kelayakan zatiah.

Sebelumnya telah ditegaskan bahwa seorang imam harus memiliki dua karakteristik istimewa yang sangat penting: yang pertama, seorang imam harus terpelihara dari dosa dan kesalahan; dan yang kedua, seorang imam harus mengetahui semua hukum dan undang-undang serta ilmu keislaman yang hakiki.  Dari sisi inilah, imam memiliki penjagaan yang biasa disebut dengan ishmah.

Di samping itu, imam harus merupakan manusia yang paling tinggi dan utama dari sisi ilmu dan amal. Menimbang pentingnya keberadaan dua syarat tersebut, maka hanya Allah-lah yang dapat mengetahui siapa yang memiliki dua persyaratan ini dan secara langsung memilih imam. Allah jugalah yang mengetahui rahasia-rahasia batiniah dan ruhaniah mereka dan mengetahui siapa yang terpelihara dari dosa dan memiliki keluasan ilmu. Rahmat Ilahi melazimkan agar Rasulullah mengenalkan para imam suci kepada umat sehingga sepeninggalnya keberadaan para imam dapat dimanfaatkan oleh Umat.

Memperhatikan bahwa Allah mengetahui pentingnya keberadaan imam untuk melanjutkan dan merealisasikan misi Nabi saw dan umat yang tidak mampu mengenali para imam suci, maka adalah mustahil jika Allah menyerahkan persoalan pemilihan imam kepada umat dan tidak memberikan konsep yang diperlukan dalam pelaksanaan masalah sepenting ini. Maka, tidak diragukan lagi bahwasannya Allah-lah yang menunjuk para imam suci dan menyampaikan penunjukkan ini kepada Rasulullah serta memberi pesan-pesan yang diperlukan.[92]

Kalau ada orang yang berkata, bahwa Allah swt telah memilih imam dan memberitahukan persoalan ini kepada Rasulullah saw tetapi Rasulullah saw lupa, atau lantaran sebab lain, beliau tidak memberitahukannya kepada umat, pendapat seperti ini jelas tidak bisa diterima. Semua mengetahui bahwa Rasulullah saw begitu peduli dengan pengekalan dan perluasan agama Islam dan begitu sungguh-sungguh berupaya untuk merealisasikan misi-misi pentingnya sehingga pasti mengetahui bahwa tanpa keberadaan imam suci yang melanjutkan misi suci sepeninggalnya, maka penyempurnaan misinya tidak akan sukses. Mengenai akhlak Rasulullah saw, Allah swt berfirman, Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. [93]

Rasulullah saw begitu peduli dengan urusan umat bahkan saat hendak meninggalkan Madinah untuk beberapa hari saja, beliau selalu menunjuk seorang wali yang ditugaskan untuk mengelola urusan Muslimin di Madinah selama beliau tidak ada. Orang yang ditunjuk beliau adalah orang yang jujur dan layak untuk kemudian diberi arahan-arahan yang perlu.

 

1. Ayat Tathir adalah Landasan bagi Imamah

Memandang pembahasan-pembahasan yang lalu bahwa hikmah ilahiah membuat Allah swt mengenalkan syarat terpenting bagi imamah (kesucian) dan orang-orang yang memiliki syarat terpenting itu secara langsung kepada masyarakat agar mereka tidak terjatuh ke dalam kesesatan. Untuk itulah, Allah swt menurunkan ayat tathir sebagai landasan untuk mengenalkan dan mengarahkan umat kepada Ahlulbait Rasulullah dan para imam suci.

Salah satu ayat yang menunjukkan kesucian Ahlulbait adalah ayat yang sangat populer, yang berbunyi, Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.[94]

Ulama Syiah dan juga sebagian Ahlus Sunnah menjadikan ayat tersebut sebagai alasan atau argumen mengenai kesucian Ahlulbait. Sehubungan dengan ini, harus ditelaah beberapa persoalan.

 

Sebab Turunnya Ayat (sya’nun nuzul ayat)

Tidak ada yang memperselisihkan bahwa ayat di atas diturunkan berkaitan dengan Rasulullah saw, Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Kitab-kitab Syiah dan Ahlus Sunnah meriwayatkan tentang itu.  Di antaranya adalah beberapa riwayat berikut ini.

1.                             Aisyah berkata, “Suatu pagi, Rasulullah saw keluar dari rumahnya dengan mengenakan jubah hitam yang terbuat dari kain wol. Imam Hasan, Imam Husain, Fatimah, serta Ali diminta untuk masuk ke dalam jubah itu seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [95]

2.                             Ummu Salamah berkata, Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun di rumahku. Hari itu, Fatimah membawa sebuah tempat yang dipenuhi oleh makanan. Kemudian Rasulullah meminta Fatimah agar memanggil Ali, Hasan, serta Husain. Ketika semua sudah datang, Rasulullah mengajak mereka makan. Kemudian ayat tathir turun. Rasul menyelimuti mereka semua dengan aba’ah (semacam jubah) dari kota Khaibar dan sebanyak tiga kali Rasulullah berdoa, “Ya Allah!  Mereka adalah Ahlubaitku, jauhkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka.”[96]

3.                             Amer bin Abi Salamah berkata, “Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih bersihnya turun di rumah Ummu Salamah. Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya berkata, “Ya Allah!  Mereka adalah Ahlulbaitku, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka.” Ummu Salamah bertanya, “Ya Rasulullah!  Adakah aku juga bersama mereka?” Rasulullah berkata, “Tetaplah di tempatmu! Engkau juga baik.”[97]

4.                             Zainab berkata, “Tatkala Rasulullah saw menyaksikan rahmat Allah turun dari langit, beliau bertanya, “Siapakah diantara kalian yang bisa memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain?” Aku menawarkan diri untuk memanggil mereka.” Zainab memanggil mereka. Ketika mereka sudah datang, Rasulullah saw menyelimuti mereka dengan aba’ah dan beliau sendiri masuk ke dalam aba’ah itu lantas Jibril turun dan membawakan ayat tathir.[98]

5.                             Shaddad-abi Amarah berkata, “Aku berkunjung ke rumah Watsilah bin Astqa’ bersama beberapa orang lainnya. Tak lama kemudian mereka (menggunjing Ali). Ketika mereka keluar, Watsilah membisiki telingaku, “Maukah aku ceritakan kepadamu suatu peristiwa yang aku saksikan dengan kedua mataku.” Aku menganggukkan kepalaku dan dia mulai mengisahkan apa yang disaksikannya, “Hari itu, aku berkunjung ke rumah Fatimah untuk menjumpai Ali. Sesampainya di rumah Ali, Fatimah mengatakan bahwa suaminya sedang bersama Hasan dan Husain pergi ke rumah Rasulullah. Kemudian aku menyusul mereka ke rumah Baginda Rasul. Di sana, aku menyaksikan Rasulullah mengambil tangan  Hasan dan Husain untuk masuk bersama Ali.  Kemudian Rasulullah mendudukan Ali dan Fatimah di sisinya serta mendudukkan Hasan dan Husain di atas pahanya (memangkunya).  Kemudian beliau menyelimutkan kain ke atas mereka seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Kemudian beliau berkata, “Mereka adalah Ahlulbaitku dan Ahlulbaitku adalah lebih layak.”[99]

6.                             Abu Said Khudri mengatakan, “Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya diturunkan mengenai lima orang, yakni Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain.” [100]

7.                             Dalam khutbahnya, Imam Hasan berkata, “Kami adalah Ahlulbait yang dalam firman Allah disebutkan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya[101]

Memandang hadis-hadis yang disebutkan itu –banyak lagi contoh yang seperti itu- sya’nun nuzul ayat tathir adalah bahwa suatu hari, Rasulullah saw memanggil Imam Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain ke sisinya dan mereka duduk di atas permadani. Kemudian Rasulullah meletakkan kain atau aba’ah atau karpet kasar  hitam dari Khaibar ke atas mereka. Kemudian turun ayat tathir dari Allah dan beliau membacakannya lalu berkata, “Ya Allah! Mereka adalah keluargaku. Maka sucikanlah  kotoran dan kekejian dari mereka.”

Hadis tersebut populer dengan nama hadis kisa’ dan dinukilkan dalam berbagai ungkapan serta tercatat di dalam kitab Ahlus Sunnah dan Syiah.

 

Para Saksi Kejadian

Peristiwa Kisa’ merupakan salah satu peristiwa penting Rasulullah saw yang disaksikan sejumlah keluarga dekat, pembantu, dan para sahabat khusus beliau. Mereka itulah yang meriwayatkan peristiwa tersebut. Sebagian dari mereka adalah sebagai berikut.

1.      Rasulullah saw merupakan tokoh pertama kejadian itu dan berkali-kali mengisahkannya kepada para sahabat.

2.      Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu dari mereka. Imam Ali menceritakan peristiwa tersebut kepada banyak orang dan berhujah dengannya.

3.      Imam Hasan adalah salah seorang dari mereka.

4.      Aisyah, istri Rasulullah saw, dalam sebuah hadis mengatakan, “Aku juga menyaksikan kejadian ini.”

5.      Umar putra Abi Salamah yang merupakan hasil didikan rumah Rasulullah saw.

6.      Zainab yang hidup di rumah Ummu Salamah.

7.      Stauban yang merupakan budak yang dibebaskan oleh Rasulullah saw. Mengenai Stauban disebutkan bahwa dia senantiasa berada dengan Rasulullah, baik ketika Rasulullah berada dalam perjalanan maupun tidak.

8.      Wastilah bin Asqa’ yang merupakan salah seorang abdi di rumah Rasulullah saw.

9.      Ummu Salamah merupakan salah seorang istri Rasulullah saw yang seolah-olah peristiwa tersebut terjadi di rumahnya dan mengisahkannya kepada banyak orang.

10.  Kelompok lain dari perawi hadis seperti Abul Hamra’, Anas bin Malik, Abu Sa’id Khudri, dan Ibn Abbas –meskipun tidak tentu bahwa orang-orang ini menyaksikan peristiwa yang sebenarnya, namun kemudian hari,  mendengar kisah itu dari Rasulullah saw atau dari salah seorang saksi atau mereka melihat bahwa setelah peristiwa ini,  Rasulullah saw untuk sekian lama melewati rumah Sayyidah Fatimah Az-Zahra dan memanggil penghuni rumah itu dengan sebutan Ahlulbait dan mengatakan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[102]

Abul Hamra mengatakan, “Rasul saw selama enam bulan menghampiri pintu rumah Fatimah seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[103]

Abu Barzah mengatakan, “Selama tujuh belas bulan, aku shalat bersama Rasulullah saw dan manakala keluar dari rumah, beliau mengunjungi rumah Fatimah dan berkata, “Ash-shalatu alaikum”! Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Setiap pagi, Rasulullah saw datang ke rumah kami dan berkata, “Semoga Allah merahmati kalian! Bangunlah dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [104]

Abu Said Khudri berkata, “Tatkala ayat Wa’mur ahlaka bish-shalat turun, Rasulullah saw selama sembilan bulan, setiap harinya, mendatangi pintu rumah Fatimah dan Ali seraya berseru, “Telah tiba saat shalat. Semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”[105]

Untuk sekian lama, Rasulullah saw melanjutkan kebiasaan ini dengan tujuan pertamanya adalah beliau ingin menunjukkan bahwa perlakuannya itu bukan perkara biasa. Beliau ingin memberitahukan kepada para sahabatnya agar nanti tidak ada dari mereka yang berkata, “Peristiwa Kisa’ hanya pertemuan kekeluargaan biasa; kedua, beliau ingin menjelaskan siapa sebenarnya Ahlulbait sehingga nantinya tidak ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk istri-istri Nabi saw; dan ketiga, beliau ingin agar para sahabatnya menceritakan hal ini kepada orang-orang lain.

 

Susbtansi Ahlulbait

Istri-istri Rasulullah saw hidup di rumah yang sederhana. Rumah tersebut adalah rumah Aisyah, Ummu Salamah, Zainab dan Shafiyyah.

Kini, timbul pertanyaan, Ahlulbait dan rumah manakah yang dimaksud karena al atau ‘keluarga’ di dalam kata al-bait secara istilah adalah untuk menunjukkan makrifah (tertentu), yakni rumah tertentu dan tidak mencakup semua rumah.

Dari sekian hadis yang ada tentang sya’nun nuzul ayat tathir yang sebelumnya telah kami singgung, dipetik sebuah kesimpulan bahwa rumah yang dimaksud adalah rumah Ummu Salamah. Di rumah itulah, Rasulullah saw mengumpulkan Ali, Fatimah, Hasan, serta Husain dan menyelimuti mereka dengan aba’ah atau permadani kasar seraya membacakan ayat tathir yang dibawa oleh malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah berdoa,  “Ya Allah! Mereka adalah Ahlulbaitku dan bersihkanlah mereka dari kotoran dan kekejian.”

Bahkan Rasulullah saw tidak mengijinkan pemilik rumah, yakni Ummu Salamah, untuk bergabung dengan mereka padahal Ummu Salamah meminta ijin untuk itu. Rasulullah menolak permintaan istrinya itu dengan mengatakan, “Bangunlah dan menjauhlah sedikit dari keluargaku!” Ummu Salamah berkata, “Setelah mendengar itu, aku menjauh dan mencari tempat di bagian pojok rumah.”[106]

Dari beberapa hadis, dapat disimpulkan bahwa Ummu Salamah berada di kamar sebelah atau di belakang kamar tersebut. Rasulullah saw dapat mendudukkan empat orang tersebut ke sisinya di atas permadani dan membacakan ayat. Namun, beliau tidak cukup di situ, melainkan selain dari itu, beliau menghamparkan jubah di atas kepalanya dan kepala mereka sehingga beliau dapat membatasi subtansi Ahlulbait itu hanya kepada mereka dan menghilangkan jalan penyalahgunaan (distorsi) sehingga nantinya istri-istri Nabi saw tidak dapat mengaku sebagai Ahlulbait Nabi juga atau termasuk di dalam ayat tersebut.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw menjelaskan bahwa ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya hanyalah mengenai beliau, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. [107]

Jabir mengatakan saat ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun kepada Rasulullah saw, tidak ada seorang pun di rumah tersebut selain Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. [108]

Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain untuk membuktikan kemuliaan-kemuliaan mereka, dalam banyak kesempatan, berpegangan kepada ayat ini dan bukan hanya tidak seorang pun yang menentang ayat ini, melainkan semua membenarkannya.

Syarik bin Abdillah mengatakan, “Aku melihat Ali yang saat itu sedang membaca khutbah di tengah para sahabatnya.  Beliau berkata, “Demi Allah, kalian aku sumpah! Apakah ada dari selain aku dan keluargaku yang Allah sucikan di dalam kitab-Nya? Di situlah, beliau membaca, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Maka, hadirin pun berkata, “Tidak ada.”[109]

Imam Ali kepada Abu Bakar berkata, “Bersumpahlah demi Allah! Apakah ayat tathir itu diturunkan mengenaiku, istri, dan anak-anakku ataukah mengenai engkau dan anak-anakmu?” Abu Bakar menjawab, “Mengenai engkau dan keluargamu.” Beliau berkata lagi, “Bersumpahlah demi Allah! Tidakkah Rasulullah saw di hari kisa memanggilku, istri, dan anak-anakku dan mengatakan bahwa kami adalah keluarganya yang menuju kepada-Nya dan bukan ke neraka?” Abu Bakar menjawab, “Benar! Rasulullah benar-benar mengatakan hal itu tentang dirimu dan keluargamu.” [110]

Imam Hasan dalam khutbahnya yang terperinci mengatakan, “Aku adalah dari keluarga yang Allah swt sucikan dari kotoran sesuci-sucinya.”[111]

Setelah peristiwa penting Ahlulbait di rumah Ummu Salamah dan turunnya ayat tathir, kata Ahlulbait berubah menjadi sebuah laqab yang mulia dan penuh kebanggaan  sehingga mereka berbangga dan berargumen dengan itu. Tema ini dapat dijumpai dalam kalimat Rasulullah saw, Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain serta para imam lainnya.

 

Jawaban Sebuah Persoalan

Sebagian orang mengatakan bahwa  ayat tathir dalam konteks adalah ayat yang diturunkan berkaitan dengan istri-istri Rasulullah saw. Merekalah yang menjadi khitab dan karena qarinah konteks haruslah dikatakan bahwa ayat tathir diturunkan mengenai mereka, atau bahwasannya mereka termasuk ke dalam apa yang dimaksud ayat ini.  Dari itulah, ayat ini tidak bisa dibatasi sebagai argumen atas kesucian lima orang, melainkan para isteri Rasulullah juga harus dianggap suci. Jika tidak, maka kita juga harus membuang keyakinan atas kesucian lima orang tadi.

Sebagai jawaban atas keraguan ini, dapatlah dikatakan bahwa kemungkinan yang pertama adalah ijtihad di hadapan nash karena, dalam banyak hadis yang mencapai kedudukan tawatur dan yang sebelumnya telah banyak disinggung, dapat disimpulkan bahwa ayat tathir diturunkan khusus bagi Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.  Untuk menghilangkan keraguan ini, Rasulullah saw menutupkan kain ke atas kepala mereka dan membaca ayat tersebut. Rasulullah saw pun menjawab permintaan Ummu Salamah, Aisyah, serta Zainab yang meminta ijin untuk bergabung ke dalam jubah itu dengan berkata, “Tetaplah di tempatmu dan janganlah mendekat.” Padahal Rasulullah saw bersabda berkal-kali, “Ayat ini diturunkan untukku, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.” Maka, adalah mengherankan kalau dikatakan bahwa karena konteks kalimatnya, haruslah dikatakan bahwa ayat ini turun mengenai istri-istri Nabi saw.

Kedua, apabila turun mengenai istri-istri Nabi saw, ayat ini harus disampaikan dengan khitab mu’annas dan dikatakan, innama yuridullah liyudzhiba ankunnar rijsa, bukan dalam bentuk jamak mudzakkar.

Ketiga, adalah benar bahwa ayat innama yuridullah liyudzhiba ankumur rijsa diturunkan di sisi ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw. Namun, ia haruslah dianggap sebagai kalimat muktaridhoh yang penyebutannya sudah menjadi biasa di tengah orang-orang Arab yang fasih dan juga disebutkan di dalam al-Quran seperti, Maka ketika suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia, “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar. Hai Yusuf berpalinglah dari ini, dan kamu wahai istriku mohon ampunlah atas dosamu itu karena kamu sesungguhnya termasuk orang orang yang berbuat salah.”[112]

Kalimat Hai Yusuf berpalinglah dari ini merupakan kalimat muktaridhoh dan mintalah ampunan yang digunakan di antara kalimat.

 

Tafsir Ayat Tathir

Dalam tafsir ayat tathir telah disinggung beberapa hal:

 

Rijsun dalam Bahasa

Dalam bahasa Arab, segala sesuatu yang keji, kotor dan tercemari disebut dengan rijsun, baik itu kotoran lahiriah yang di dalam istilahnya disebut najis ataupun kotoran batiniah yang di dalam istilahnya disebut dengan dosa.  

Dalam Aqrabul Mawarid ditulis, rijsun artinya ‘kotor dan tercemari’, dengan makna dosa yang menyebabkan siksa. Dalam Al-Munjid disebutkan rijs yakni ‘kotor’ dan juga diartikan dengan ‘perbuatan yang buruk’. Ibn-Astir dalam kitab An-Nihayah menulis, rijs yakni ‘najis dan kotor’ juga digunakan untuk perbuatan-perbuatan buruk dan haram.

Dalam Lisanul Arab, ditulis rijs yakni ‘najis yang juga digunakan untuk perbuatan-perbuatan haram’. Raghib Isfahani dalam Al-Mufradat mengatakan, rijis artinya ‘kotor dan keji’. Kekejian itu adakalanya dari sisi tabiat, kadang menurut penilaian akal dan syariat, serta dan adakalanya kotor dari seluruh sisi, seperti bangkai.

 

Rijs dalam Al-Quran

Di dalam al-Quran, rijs digunakan dalam dua makna: adakalanya dipakai atas makna najis lahiriah misalnya, Katakanlah, tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.[113]

Rijs adakalanya juga digunakan untuk arti kotor dari sisi batiniah dan jiwa seperti, Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannnya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah ia sedang mendaki ke langit, Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. [114]

Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu, bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya yang telah ada, dan mereka mati dalam keadaan kafir. [115]

Ia berkata sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa kekotoran dan kemarahan dari Tuhanmu. [116]

Sebagaimana kita saksikan bahwa pada ayat-ayat di atas, kata rijs digunakan untuk makna kotoran jiwa.

 

Makna Rijs dalam Ayat

Kini, harus kita melihat apakah makna rijs yang disebutkan pada ayat tathir adalah najis lahiriah atau najis jiwa?

Dengan sedikit ketelitian, akan menjadi jelas bahwa dalam ayat tersebut, rijs yang dimaksud adalah bukan najis lahiriah, melainkan kotoran jiwa karena kewajiban menjauhi najis lahiriah tidaklah dikhususkan bagi Ahlulbait, melainkan bagi semua orang yang mukallaf. Tambahan pula, lahiriah ayat ini menunjukkan pembatasan berkaitan dengan kata innama (pembatasan).

Selain dari itu, kewajiban menjauhi najis (lahiriah) bagi Ahlulbait tidaklah mendatangkan keutamaan dan kelebihan sehingga mereka dapat berbangga dengannya dan berkata,  “Kamilah yang dikehendaki Allah untuk menjauhi najis.” Sekiranya demikian, maka kita tidak lagi memerlukan semua formalitas dan pembatasan seperti itu yang Rasulullah lakukan dengan menutupkan pakaiannya terhadap lima orang tadi dan mendoakan mereka agar sukses menjauhi kenajisan dan memandang persoalan ini begitu penting sehingga istri beliau pun, Ummu Salamah, tidak diijinkan masuk ke dalam jubah dan tidak dimasukkan ke dalam khitab ayat ini.

Sekiranya ayat itu bermakna seperti tadi, lalu bagaimana Imam Ali, Imam Hasan, serta Imam Husain berkali-kali berbangga dengan itu ketika mengatakan, “Kamilah substansi ayat tathit dan ayat itu turun untuk kami” Tidak ada akal sehat yang menerima kemungkinan seperti ini.

Maka dari itu, haruslah dikatakan bahwa najis dalam ayat itu bukanlah berat dosa dan kotoran.

 

Maksud dari  Iradah dalam Ayat Tathir

Di dalam al-Quran, terdapat dua iradah yang dinisbatkan kepada Allah swt:  iradah takwiniah dan iradah tasyriiyah. Maksud dari iradah takwini adalah bahwa dalam sistem takwin, sesuatu yang dikehendaki itu akan menemukan wujudnya atau termanifestasikan seperti, Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. [117]

Ayat berikut menyatakan hal yang sama, Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah  berkata kepadanya, “Jadilah, maka terjadilah ia.”[118]

Dalam iradah takwini, sesuatu yang dikehendaki pasti berlaku dan tidak bisa keluar dari kehendak itu.  Bila Allah menghendaki sesuatu, maka keterwujudannya merupakan suatu keharusan.

Jenis yang kedua adalah kehendak atau iradah tasyriiyah yang berarti Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mewujudkan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki-Nya seperti, Barangsiapa di antara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [119]

Ayat berikut menyatakan hal yang sama, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.

Dalam kehendak tasyri, yang dimaksud Allah agar terwujud dalam tatanan tasyri dan peletakan hukum sehingga dikeluarkanlah perintah yang diperlukan.

Dalam dua ayat di atas, telah disebutkan bahwa dalam tatanan tasyri,  tidak ada kesulitan dan kerumitan dan tidak ditetapkan undang-undang yang mempersulit. Kini haruslah dilihat makna iradah yang disebutkan dalam ayat tathir, apakah itu takwiniyah atau tasyriiyah? Apabila itu adalah kehendak tasyriiyah maka artinya adalah demikian, Allah swt, dalam tatanan tasyri dan undang-undang,  telah menetapkan bahwa kalian, Ahlulbait, janganlah bermaksiat, yakni Allah swt telah menetapkan hukum dan undang-undang yang apabila mengamalkannya,  kalian akan terpelihara dari dosa.

Sedikit saja teliti dan obyektif, maka kita akan meyakini dan membenarkan bahwa ayat ini tidak dapat ditafsirkan seperti itu. Kita meminta dari para pembaca agar berpikir obyektif. Apakah dapat dikatakan, bahwa Allah swt, dalam membuktikan kemuliaan Ahlulbait, mengatakan kepada mereka, “Aku muliakan kalian dan dalam maqom tasyri, aku menghendaki agar kalian tidak berbuat dosa?” Keinginan atau kehendak ini tidaklah khusus bagi Ahlulbait, melainkan bagi orang mukmin yang mukallaf dikehendaki agar menjauhi dosa.  Apabila maksud dari ayat  itu demikian, maka semua formalitas itu tidak diperlukan, yakni ketika Rasulullah saw menempatkan beberapa orang tertentu di bawah jubahnya dan tidak mengijinkan istrinya, Ummu Salamah, masuk ke bawah jubah itu. Kemudian beliau membaca ayat tersebut dan mendoakan mereka. Bukankah Rasulullah juga menghedaki agar Ummu Salamah tidak melakukan dosa? Apakah perkara seperti itu dikategorikan sebagai kemuliaan yang Ahlulbait berbangga dengannya berkali kali?

Imam Ali bin Abi Thalib dalam kisah tanah Fadaq berdebat dengan Abu Bakar dan mengatakan, “ Wahai Abu Bakar! Apakah ayat tathir itu diturunkan mengenaiku dan keluargaku atau mengenaimu dan keluargamu? Maka, Abu Bakar pun menjawab, “Mengenai engkau dan keluargamu.”

Lagi, Imam Ali mengatakan, “Apakah selain dariku dan Ahlulbaitku, engkau menjumpai orang yang termasuk ke dalam ayat tathir?” Abu Bakar pun mengatakan tidak. 

Bukankah Imam Husain membacakan khutbah bagi masyarakat, setelah syahadah ayahnya yang mulia, dan mengatakan, “Aku termasuk Ahlulbait, yang diturunkan bagi mereka ayat tathir dan yang Allah sucikan sesuci- sucinya.”

Apakah ihtijaj atau argumen dan kebanggaan seperti ini dapat dinisbatkan dengan iradah tasyriiyah seperti meninggalkan dosa yang merupakan suatu perkara umum?

Maka dari itu, ayat tathir tidak dapat dinisbatkan dengan iradah tasyriiyah, melainkan dengan iradah takwiniyah. Maka dari itu, arti ayat itu menjadi demikian, “Kehendak takwiniyah Allah swt adalah para Ahlulbait terpelihara dari dosa dalam sistem penciptaan dan inilah makna ishmah.”

Dengan interpretasi seperti ini, maka perintah Allah swt dan sikap Rasulullah saw yang mementingkan pengenalan subtansi-substansi Ahlulbait dan penafian yang lain serta kebanggaan dan ihtijaj para imam suci merupakan suatu hal yang dapat diterima dan mesti diperhatikan.

Selain dari itu, dalam beberapa hadis, ayat tersebut ditafsirkan dengan ishmah dari dosa dan iradah takwiniyah.

1.        Dalam sebuah hadis, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Allah swt berfirman, Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan keraguan dari Ahlulbait dan menyucikan mereka sesuci-sucinya.” [120]

2.        Rasulullah saw dalam sebuah hadis setelah ayat Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan keraguan dari Ahlulbait dan menyucikan mereka sesuci-sucinya, bersabda, “Aku dan Ahlulbaitku suci dari dosa.” [121]

3.        Imam Hasan mengatakan, ”Kami adalah Ahlulbait yang dimuliakan Allah dengan Islam dan Dia memilih kami. Kemudian Allah menjauhkan kotoran (keraguan) dari hati kami dan menyucikan kami.  Kami tidak pernah meragukan Allah dan agama-Nya. Kami dibersihkannya dari segala kotoran dan kesesatan.” [122]

4.        Abu Bashir menukil dari Abu Ja’far yang mengatakan, “Rijs adalah keraguan. Maka, kami tidak pernah meragukan  agama kami.” [123]

5.        Sebagaimana yang engkau perhatikan, Ahlulbait Nabi saw di dalam al-Quran diperkenalkan sebagai orang-orang yang suci dari dosa dan kesalahan dan dengan jalan inilah, telah tersedia jalan untuk mengenali para pengganti yang sesungguhnya dari Rasulullah saw dan penerimaan masyarakat terhadap mereka.

 

Mengikuti Ahlulbait

Di era kenabiannya, Rasulullah saw senantiasa berupaya untuk memperkenalkan Ahlulbait kepada masyarakat dan menyiapkan landasan bagi imamah mereka.

Rasulullah saw bersabda, “Bintang-bintang adalah keamanan penduduk langit. Bila bintang-bintang binasa, maka penduduk langit juga akan sirna. Ahlulbaitku juga merupakan keamanan penduduk bumi. Bila Ahlulbaitku binasa, maka penduduk bumi juga akan binasa.” [124]

Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw yang mengatakan, “Perumpamaan keluargaku adalah bagaikan perahu Nuh. Siapa saja yang mengendarainya akan selamat dan barangsiapa berpegangan dengannnya akan selamat di akhirat dan barangsiapa melanggarnya  akan tenggelam.” [125]

 

Mahabbah Ahlulbait

Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, “Hamba Allah di hari kiamat tidak akan mengambil langkah kecuali ia ditanya empat pertanyaan: dari usianya dihabiskan untuk apa; dari badannya digunakan untuk apa; dan juga tentang hartanya, diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa; dan juga ditanyakan tentang mahabbah Ahlulbait.” [126]

Adalah jelas bahwa yang dimaksud dengan mahabbah bukanlah kecintaan hati, melainkan adalah kepatuhan dan ketaatan.

 

Mawaddah Dzil Qurba

Ibn Abbas mengatakan, “Ketika ayat Katakan Wahai Muhammad, aku tidak meminta kepada kalian ganjaran kecuali kecintaan kepada keluargaku turun, para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah! Orang-orang yang Allah perintahkan untuk mencintai mereka, siapakah mereka itu?” Beliau mengatakan, “Ali dan Fatimah serta anak-anak kedua orang tersebut.”[127]

 

Penentuan Khalifah dan Imam Pertama

Rasulullah saw mengetahui dengan baik ilmu dan ishmah serta kemuliaan-kemuliaan dan kelayakan Imam Ali as untuk menjadi khalifah dan melanjutkan misi-misinya. Namun, Rasulullah mengetahui bahwa pelantikan dan pengenalan Imam Ali untuk maqom khalifah dan imamah adalah suatu pekerjaan yang sulit dan mendapat penentangan keras dari pihak pecinta kedudukan dan jabatan. Karena Rasulullah melihat maslahatnya, pekerjaan penting dan menentukan ini dilakukannya dalam dua tahap.  Tahap pertama adalah menyiapkan landasan buat penerimaan. Tahapan kedua adalah penentuan dan pelantikan secara resmi dalam momentum yang tepat.

 

Tahap Pertama: Penyiapan Landasan

Rasulullah saw berupaya dalam banyak kesempatan untuk menyinggung keutamaan dan kemuliaan Imam Ali as dan memujinya. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis yang tercatat dalam kitab hadis. Namun, karena memandang keluasaan penyebutannya dalam buku ini adalah tidak mungkin,  Anda dapat merujuknya kepada kitab fadhail dan sirah. Sebagai contoh, akan disinggung sebagiannya.

 

Seruan untuk Keluarga

Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Ketika ayat Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat[128] turun, Rasulullah saw berkata kepadaku, “Sediakanlah makanan dan undanglah keluarga dekat.”

Aku menyiapkan makanan untuk empat puluh orang dan mengundang mereka. Seusai makan, Rasulullah saw berkata kepada mereka, “Wahai anak-anak Abdul Muthalib! Demi Allah! Aku tidak menyaksikan pemuda di tengah bangsa Arab yang membawa sesuatu yang lebih daripada apa yang aku bawakan untuk kalian. Aku membawa kebaikan dunia dan akhirat untuk kalian. Allah SWT memerintahkanku untuk menyeru kalian ke arah itu. Siapakah di antara kalian yang siap membantuku dalam urusan penting ini untuk menjadi khalifah dan washi-ku?”

Karena mendengar kalimat-kalimat ini, para hadirin berdiri sebagai protes. Aku yang merupakan orang yang paling muda di antara mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Aku bersedia untuk membantumu dalam urusan penting ini.”

Rasulullah saw meletakkan tangannya di atas pundakku seraya berkata, “Sesungguhnya ini adalah saudaraku, washi-ku, dan khalifahku di antara kalian. Dengarkan kepadanya dan patuhilah dia!”

Kemudian masyarakat bangun dan menertawakan Muhammad seraya berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad memerintahkanmu agar taat kepada anakmu.”[129]

 

Anjuran Tentang Ali

Ibn Abbas menukilkan dari Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa ingin hidup dan mati sepertiku dan tinggal di surga Aden yang diciptakan Allah, maka setelahku, hendaknya ia menerima wilayah Ali, bersahabat dengan para sahabatnya, dan mengikuti para imam setelahku karena mereka itu adalah itrah-ku yang tercipta dari tabiatku dan ilmu serta pemahamanku berpindah kepada mereka. Betapa celaka orang-orang yang mendustakan mereka dan memutuskan hak keluargaku dan mereka tidak akan mendapatkan syafaatku.”[130]

Hudzaifah menukil dari Rasulullah saw yang mengatakan, “Barangsiapa yang ingin hidup sepertiku dan mati sepertiku, dan ingin ke ranting pohon yang Allah swt tanam di surga, maka hendaknya ia berpegangan dengan wilayah Ali bin Abi Thalib setelahku.” [131]

Rasulullah saw berkata kepada Anshar, “Wahai Anshar!  Adakah kalian ingin aku beri petunjuk yang apabila sepeninggalku nanti, kalian berpegangan dengannya, kalian tidak akan sesat?” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah!  Katakanlah!” Rasulullah bersabda, “Cintailah Ali Bin Abi Thalib dan muliakanlah dia sebagaimana Jibril dari sisi Allah telah membawakan pesan ini untukkku agar aku mengatakan hal ini kepada kalian.” [132]

Hudzaifah menukilkan bahwa sejumlah sahabat berkata kepada Rasulullah saw, “Tidakkah engkau menjadikan Ali sebagai khalifah?” Beliau berkata, “Jika kalian menerima wilayah-nya, maka Dia akan menunjukkan kepada kalian jalan yang lurus.” [133]

Abu Said Khudri menukilkan bahwa Rasulullah saw meletakkan tangannya di pundak Ali dan berkata, “Wahai Ali! Engkau memiliki tujuh peringai yang pada hari kiamat nanti tidak seorang pun dapat berdebat denganmu. Keimananmu mendahului keimanan orang lain. Engkau lebih baik dalam kesetiaan kepada Allah dan engkau lebih kuat dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan engkau paling pengasih dan cinta kepada rakyat dan paling adil dalam membagikan baitul-mal dan lebih bijak dalam urusan pengadilan dan pada hari kimat engkau yang paling unggul.” [134] 

Anas bin Malik mengatakan, “Rasulullah saw mengutusku kepada Abu Barzah Aslami. Ketika Abu Barzah Aslami telah hadir di sisi Rasulullah, aku mendengar Rasulullah berkata kepadanya: “Wahai Aba Barzah! Tuhan semesta alam telah mengikat janji denganku tentang Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Ali adalah bendera hidayah dan tempat bersinarnya keimanan serta imam para sahabatku. Ia adalah cahaya orang-orang yang mengikuti perintah-perintahku. Wahai Aba Barzah!  Ali bin Abi Thalib nanti pada hari kiamat adalah amin dan pemilik benderaku. Ali adalah pemegang kunci gudang-gudang rahmat Allah swt.”[135]

Ummu Salamah berkata, “Aku mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, “Ali bersama dengan al-Quran dan al-Quran bersama dengan Ali dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat.”[136]

Rasulullah saw berkata, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barangsiapa yang mencari ilmu, maka ia harus masuk melalui pintunya.” [137]

Aisyah berkata, “Aku mendengar dari Rasulullah saw yang berkata, “Ali bersama dengan kebenaran dan kebenaran bersama Ali hingga hari kiamat. Keduanya tidak akan berpisah antara satu dengan lainnya.” [138]

Ibn Umar mengatakan, “Rasulullah saw mengikat tali persaudaraan di antara sahabatnya. Ali datang dalam keadaan beliau menangis dan berkata, “Wahai Rasulullah!  Engkau menjalin tali persaudaraan di antara para sahabat tetapi engkau memperkecualikan diriku.” Rasulullah saw berkata, “Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat.”[139]

As’ad bin Zurarah menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, “Pada malam Mikraj, tatkala aku tiba di Sidratul Muntaha, dari sisi Allah swt telah turun wahyu tentang tiga sesuatu mengenai Ali kepadaku.  Ali adalah imam orang-orang yang bertakwa, penghuhlu orang-orang Muslim dan pemimpin orang-orang yang menuju surga.” [140]

Rasulullah saw berkata kepada Ali, “Wahai Ali! Engkau adalah penghulu orang-orang Muslim dan imam orang-orang yang bertakwa dan pemimpin orang-orang yang ahli ibadah dan amir orang-orang religius.” [141]

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa suka berpegangan dengan agamaku dan menaiki perahu penyelamat sepeninggalku, maka hendaknya ia mengikuti Ali bin Abi Thalib dan memusuhi musuh-musuhnya dan mencintai para sahabatnya karena dia adalah washi dan khalifahku di masa hidupku dan sepeninggalku. Ali adalah imam setiap Muslim dan amir orang-orang mukmin. Perkataannya adalah perkataanku. Perintahnya adalah perintahku. Larangannya adalah laranganku. Pengikutnya adalah pengikutku. Sahabatnya adalah sahabatku. Meninggalkannya adalah sama dengan meningalkanku.” [142]

Abu Dzar menukilkan dari Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa taat kepadaku, maka ia taat kepada Allah, dan barangsiapa menentangku, maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa taat kepada Ali, maka ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa membangkang kepada Ali, maka ia telah bemaksiat terhadapku.” [143]

Anas Bin Malik menukil dari Rasulullah saw yang bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Sepeninggalku, engkau akan menjelaskan hal-hal perselisihan umat.” [144]

Zaid bin Arqam mengatakan, “Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa ingin hidup dan mati sepertiku dan tinggal di surga khuld, hendaknya ia berpegangan dengan wilayah Ali karena Ali akan membimbingmu kepada hidayah dan tidak akan membawa kalian kepada kesesatan.” [145]

Hadis-hadis yang telah disebutkan untuk contoh dan puluhan bahkan ratusan yang seperti itu dari sisi makna dapat dianggap mutawatir sehingga dapat disimpulkan dengan baik, bahwa Rasulullah saw membawa perintah dari Allah swt untuk melantik Ali sebagai imam dan hadis-hadis tersebut yang dikeluarkan dalam banyak ungkapan adalah sebagai persiapan bagi landasan dan taushiyah sehingga pada saat-saat yang diperlukan, Rasulullah akan melaksanakan tugas besar pelantikan secara resmi.

 

Tahapan Kedua: Pelantikan secara Resmi

Meskipun di sepanjang 23 tahun risalahnya, Rasulullah saw senantiasa berupaya secara gamblang untuk memperkenalkan kepribadian istimewa Imam Ali as dan menyediakan landasan bagi pemikiran umum untuk menerima wilayah dan menunaikan misi penting ilahiah secepat mungkin, dirasakan landasannya belum siap dan sejumlah pemuka Quraisy serta pembesar sahabat adakalanya mengklaim sebagai khalifah. Mereka tidak pernah menerima pemilihan seperti ini dan dengan berbagai alasan, mereka menolak itu.

Rasulullah saw mengkhawatirkan keadaan yang ada. Karena mengkhawatirkan perpecahan dan perselisihan, beliau menunda misi besar ini sambil menunggu momentum yang tepat. Keadaan ini terus berlangsung hingga tahun kesepuluh hijriah.

 

Haji Wada (Haji Terakhir)

Di tahun kesepuluh hijriah, Rasulullah saw memutuskan untuk menunaikan faridhah haji, pergi ke Mekkah sehingga kemungkinan di sepanjang ibadah haji, tercipta momentum yang tepat untuk melantik Ali secara resmi sebagai imam dan wali atau washi sepeninggal beliau.

Beliau mengumumkan kepada Muslimin Madinah dan negeri-negeri Islam lainnnya, “Aku akan pergi haji. Siapa saja yang mampu hendaknya mengikuti perjalanan ini.”

Ditulis bahwa lebih dari seratus ribu orang berangkat haji dan di miqat, untuk menunaikan umrah, mereka ber-muhrim, bertawaf di Ka’bah, menunaikan shalat thawaf dan ber-sai antara Shafa dan Marwa di sisi Rasulullah saw.

Setelah itu, untuk menunaikan ibadah haji, mereka ber-muhrim serta menunaikan wuquf di Arafah dan Masy’ar. Kemudian mereka pergi menuju Mina untuk melakukan tiga jenis lemparan jumrah dan taqshir.

Setelah itu, mereka melakukan Qurban dengan mencukur kepala atau taqshir. Mereka lalu keluar dari ihram dan dengan kadar yang wajib, mereka bermalam di Mina dan bersiap diri untuk tawaf dan menunaikan kewajiban-kewajiban terakhir haji.

Dalam semua tahapan ini, mereka mendapatkan petunjuk nilmiya dan fuquh Rasulullah saw. Di sepanjang ibadah haji, Rasulullah saw berkali-kali membaca khutbah dan memberikan nasihat. Beliau menekankan soal pemeliharaan persatuan dan pembelaan terhadap Islam. Beliau juga menasihatkan soal penjagaan dan pengamalan al-Quran serta mengikuti itrah dan Ahlulbait.

Perangai dan perilaku Rasulullah saw sedemikian rupa sehingga seolah-olah beliau melihat kematiannya sudah dekat dan ini merupakan haji yang terakhir. Meskipun terdapat peluang untuk menyampaikan tugas ilahiah ini, yakni untuk melantik Ali secara resmi sebagai khalifah, di Arafah atau Mina, di depan semua para jamaah haji, beliau menunda penyampaian tersebut.

Mungkin beliau belum melihat momentum yang sesuai dan beliau cemas akan pembangkangan serta konspirasi orang-orang yang berambisi kekuasaan dan politik. Akhirnya, ibadah haji berakhir dan kafilah besar para peziarah Baitullah berangkat menuju negerinya. Rasulullah saw beserta kafilah bergerak menuju Madinah. Beliau cemas karena di sepanjang ibadah haji tidak mendapatkan momentum yang tepat untuk melantik Ali.

 

Ghadir Khum 

Rasulullah saw dan para pengikutnya sampai di telaga Khum. Daerah itu, yang dekat dengan Juhfah, merupakan lokasi perpisahan jamaah haji. Ini merupakan peluang terakhir untuk melantik Ali di depan para jamaah haji dari berbagai negeri.

Waktu itu menjelang zuhur ketika udara begitu panas menyengat. Di tempat yang seperti itu, Jibril turun dan membacakan ayat ini kepada Rasulullah saw, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Alah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[146]

Di tempat itu, Rasulullah saw memerintahkan kepada para jamaah yang sudah lepas dari tempat itu agar kembali dan kepada kelompok haji yang masih ada di belakang disuruh maju ke depan dengan segera. Ada beberapa pohon besar di tempat itu yang beliau perintahkan untuk menyapu bagian bawahnya dan mempersiapkan tempat untuk shalat. Para jamaah terheran-heran dengan pertemuan yang tidak terduga itu apalagi dalam keadaan udara yang sangat panas. Mereka bertanya-tanya apakah akan terjadi peristiwa yang sangat penting.

Kemudian dibuatlah mimbar dan Rasulullah saw naik ke mimbar itu dan berkhutbah di hadapan lautan jamaah haji itu. Beberapa hadirin yang memiliki suara keras memindahkan pidato Rasulullah kepada orang-orang yang letaknya jauh.  Peristiwa penting ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah.

 

Hadis Ghadir

Rasulullah saw di tempat itu membacakan khutbah yang terperinci, yang nantinya dikenal dengan nama hadis Ghadir. Teks khutbah tersebut tercatat di kitab-kitab muktabar Ahlus Sunnah dan Syiah dengan berbagai bentuk ungkapan.  Beberapa perawi secara terperinci menukil khutbah itu dan sebagian lainnya dengan bentuk yang lebih pendek. Namun. semuanya memiliki kesamaan dalam menukil kalimat-kalimat yang menunjukkan wilayah Imam Ali bin Abi Thalib. Kami di sini akan menukil salah satunya saja.

Zaid bin Arqam mengatakan, “Ketika kembali dari haji Wada, Rasulullah saw berhenti di Ghadir Khum (telaga Khum). Pertama, beliau memerintahkan untuk membersihkan tempat-tempat di bawah pohon. Lantas, beliau berkhutbah dan mengatakan, “Tampak aku telah dipanggil menuju Allah dan aku akan memenuhi panggilan itu. Dua perkara yang sangat berharga akan aku amanahkan kepada kalian, kitab Allah (al-Quran) dan keluargaku. Hati-hatilah dalam menjaga dua amanah ini dan bagiamana kalian bersikap terhadap dua amanah ini. Dua perkara ini tidak akan berpisah satu dengan lainnya hingga hari kiamat.”

Pada waktu itu, beliau mengatakan, “Allah swt adalah Maula-ku dan aku adalah maula semua mukmin.” Kemudian beliau mengambil tangan Ali dan berkata, “Barangsiapa yang aku adalah Maula-nya maka Ali adalah wali-nya. Ya Allah! Bersahabatlah dengan orang-orang yang menjadikan Ali sebagai wali (pimpinan) dan musuhilah siapa saja yang memusuhi Ali.”[147]

Barro’ bin Azib dalam menukil hadis ini menambahkan sebuah kalimat yang pertama kali Rasulullah saw sabdakan, “Apakah aku tidak lebih utama daripada mukmin dari diri mereka?” Mereka mengatakan, “Benar!” Rasulullah berkata, “Apakah aku lebih utama daripada setiap mukmin dari diri mereka semua?” Mereka berkata, “Ya!” Rasulullah berkata, “Maka ini (Ali) adalah wali bagi setiap orang yang menjadikan diriku maula-nya.”[148]

Di dalam hadis lain, Barro menambahkan kalimat, “Kemudian Umar bin Khattab menjumpainya dan berkata, “Selamat untukmu wahai Ali! Engkau telah menjadi maula setiap mukmin dan mukminah.” [149]

 

Perawi Hadis Ghadir

Hadis Ghadir adalah mutawatir dan pasti sumbernya. Lebih daripada seratus sepuluh orang sahabat besar Rasulullah saw menukilkan hadis ini, di antaranya adalah orang-orang di bawah ini.

“Abu Hurairah, Abu Ya’li Anshari, Abu-al Haitsam bin Iltiyhan, Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khattab, Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan Mujtaba, Imam Husain, Fatimah Zahra, Usamah bin Zaid, Ummu Salamah (istri Rasulullah saw), Anas bin Malik (Pembantu Rasulullah saw) Barra’ bin Azib, Jabir bin Samrah,  Jabir bin Abdillah Anshari, Hudzaifah bin Asid, Hishan bin Tsabit, Khuzaimah bin Tsabit Anshari, Zubair bin Azam, Zaid bin Tsabit, Abu Said, Khudri, Salman Farisi,  Miqdad bin Umar, Kindi, Abbas bin Abdul-Muthalib,  Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib,  Abdullah bin Abbas,  Abdullah bin Umar bin Khatab, Ammar bin Yasir.” [150]

 

Sanad Hadis

Kebanyakan pengarang Ahlus Sunnah dan Syiah yang menukil menyandarkan hadis ini dalam kitab-kitab hadis, sejarah, tafsir, dan kalam. Selain itu, telah dikarang kitab-kitab yang berkaitan dengan hadis ini.

Memperhatikan bahwa hadis Ghadir Khum adalah mutawatir dan pasti  sumbernya, maka tidaklah diperlukan pembahasan mengenai sanadnya. Namun bersamaan dengan itu, banyak sekali ulama yang masih membahas sanadnya dan menyebutkan hadis itu sebagai hadis Hasan dan Shahih. Misalnya, kita dapat menyebutkan sebagian darinya.

1.        Hafidz Abu Isa Tirmidzi dalam Sunan.

2.        Hafidz Abu Ja’far Thahawi dalam Musykilul Atsar.

3.        Abu Abdillah Hakim dalam Al-Mustadrak ala as-Shahihain

4.        Abu Muhammad bin Muhammad Al-Ashi dalam Zain Al-Fata.

5.        Hafidz bin Abdul Bar Qurthubi dalam Isti’ab.

6.        Abul Hasan bin Al-Maghazili Syafi’i dalam Al-Manaqib.

7.        Abu Hamid Ghazali dalam Sirrul Alamin.

8.        Abul Faraj bin Jauzi Hambali dalam Al-Manaqib.

9.        Sibt bin Jauzi Hanafi dalam Tadzkirah.

10.    Ibn Abil Hadid Mu’tazili dalam Syarah Nahjul Balaghah.

11.    Abu Abdillah Ghanji Syafi’i dalam Kifayah Ath-Thalib.

12.    Ala’uddin Semnani dalam Al-Urwah.

13.    Sayid Mahmud Alusi dalam Ruh Al-Ma’ani.

14.    Syaikh Muhammad Al-Hut, Biruti Syafii dalam Asnal Mathalib.

15.    Syahabaddin Abu Al-Faidz Ahmad bin Muhammad Shiddiq dalam Tasynif Al-Adzan.

16.    Hafidz Imadudin Kastir asy-Syafii dalam Al-Bidayah wan Nihayah.

17.    Hafidz Nuruddin Haitsami dalam Majma’uz Zawaid.

18.    Syamsyuddin Jazari Syafii dalam Asnal Mathalib.

19.    Hafidz bin Hajar Asqalani dalam Tahdibut Tahdzib.

20.    Abul Khair As-Syirazi Syafii dalam Abthalul Bathil.

21.    Hafidz Abu Al-Abbas Syahabuddin Qasthalani dalam Mawahibul Ladunniyah.

22.    Hafidz Syahabbuddin bin Hajar Haitsami dalam As-Shawaiq Al-Muhriqah.

23.    Jamaluddin Husaini Syirazi dalam Arbain.

24.    Jamaluddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Shalahuddin Hanafi dalam Al-Mu’tashir bin Al-Mukhtashar.

25.    Syaikh Nuruddin Harawi Qari Hanafi dalam Al-Mirqat fi Syarhil Misyakat.

26.    Syaikh Muhammad Shadrul-alim dalam Ma’arijul Ula fi Manaqibil Murtadho.

27.    Sayid bin Hamzah Harani dalam Al-Bayan wat Ta’rif.

28.    Abu Abdillah Zarqani dalam Syarahul Mawahib.

29.    Syahabuddin Hifdzi Syafii dalam Syarahul Aqd Al-Jawahir.

30.    Mirza Mhammad Badakhsyi dalam Nuzulul Abrar.

31.    Mufti Syam al-Imadi Hanafi dalam Ash-Shalahul Fakhirah.

32.    Abu Irfan as-Shiban Syafii dalam Is’afur  Raghibin.

33.    Zainuddin Munawi Syafii dalam Faidzul Ghadir.

34.     Nuruddin Halabi Syafii dalam Sirah Al-Halabiyah.

35.    Syaikh Ahmad bin Katsir A’la dalam Wasilatul Amal fi Manaqibil A’la.

36.    Syaikh Abdul Haq Dahlawi Bukhari dalam Syarahul Musykilat.

37.    Syaikh Mahmud bin Muhammad Syaikhani dalam Shiratus Sawi dalam Manaqibun Nabi.[151]

 

Pertanyaan Amirul Mukminin

Imam Ali bin Abi Thalib dalam banyak tempat bersumpah kepada masyarakat agar setiap orang yang hadir dalam peristiwa Al-Ghadir dan mendengar apa yang disampaikan Rasulullah saw hendaknya memberikan kesaksian.  Seringkali banyak orang yang memberikan kesaksian dan mengatakan, “Kami mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, “Barangsiapa yang aku adalah tuannya maka Ali adalah tuannya.”

Di antara pertanyaan yang dikemukakan Ali adalah pada hari Syura, di zaman Usman bin Affan, di hari Rahabah, di Kufah, pada peristiwa Perang Jamal, Perang Shiffin, dalam hadis ar-Rakban, dan setiap kali beberapa kelompok memberikan kesaksian. Pada hari Rahabah, 24 orang memberikan kesaksian. Di antara mereka adalah nama-nama sebagai berikut.

1.        Abu Zainab bin Auf Anshari.

2.        Abu Imrah bin Amer bin Muhshin Anshari.

3.        Abu Fadzalah al-Anshari.

4.        Abu Qadamah Anshari.

5.        Abu Ya’li Anshari.

6.        Abu Hurairah Dusi.

7.        Abu Haitsam Baihan.

8.        Tsabit bin Wadiah Anshari.

9.        Habasyi bin Janadah Saluli.

10.    Abu Ayyub Khalid Anshari.

11.    Khuzaimah bin Tsabit Anshari.

12.    Abu Syuraih Khuwailid bin Amer al-Khazai.

13.    Zaid atau Yazid bin Syarahil Anshari.

14.    Sahal bin Hanif Anshari.

15.    Abu Said Sa’ad bin Malik Khudri.

16.    Abu al-Abbas Sahal bin Sa’ad al-Anshari.

17.    Amir bin Laili Ghaffari.

18.    Abdurrahman bin Abdurrabb-Anshari.

19.    Abdullah bin Tsabit Anshari (pembantu Rasulullah saw).

20.    Ubaid bin Azib Anshari.

21.    Abu Tharif Udai bin Hatim.

22.    Aqabah bin Amir Jahani.

23.    Najiyah bin Amer Khazai.

24.    Nu’man bin Ajlan Anshari.[152]

 

Argumentasi

Hadis Ghadir senantiasa menjadi sandaran dan argumentasi Imam Ali bin Abi Thalib, Ahlulbait, dan para pendukungnya. Fatimah Zahra mengatakan, “Apakah kalian melupakan ucapan Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum, “Barangsiapa yang aku maula-nya maka Ali adalah maula-nya,” dan ucapannya bahwa, “Engkau di hadapanku memiliki kedudukan Harun di hadapan Musa as.”[153]

Imam Hasan mengatakan, “Umat ini mendengar apa yang dikatakan kakekku mengenai ayahku, “Engkau kepadaku seperti Harun terhadap Musa, melainkan setelahku, tidak akan datang nabi,” dan dalam Ghadir Khum, ia mengambil tanganku dan mengatakan, “Barangsiapa yang aku tuannya maka Ali adalah tuannya.  Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.” [154]

Imam Husain di Mekkah mengatakan, “Aku sumpah kalian atas nama Allah! Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw melantiknya (Ali) pada hari Ghadir Khum dan memanggilnya dengan wilayah seraya mengatakan, “Hendaknya yang menyaksikan ini menyampaikannya kepada yang tidak hadir?” Mereka mengatakan, “Allahumma na’am” ‘Ya Allah itu benar’. [155]

Dalam kaitan ini, Abdullah bin Ja’far, Amer bin Ashi, Ashbugh bin Nabatah, Qays bin Sa’ad, Bir Muawiyah, Barad dan Ammar bin Yasir, dan Bir Umar bin Ash ber-ihtijaj (berargumen dengan ini).” [156]

 

Kandungan Hadis

Rasulullah saw dalam khutbah ini mengatakan, “Tampaknya aku telah dipanggil menuju perjalanan akhirat dan aku menerimanya. Dua sesuatu yang sangat penting dan berharga akan aku amanahkan kepada kalian. Salah satunya tidak lebih berharga dari satunya. Dua sesuatu itu adalah Kitab Allah dan keluargaku. Jagalah, dengan baik, sepeninggalku sikap kalian terhadap dua pusaka itu! Sesungguhnya dua perkara itu tidak akan berpisah hingga hari kiamat.” [157]

Rasulullah saw dalam lembaran khutbah ini menyifati al-Quran dan keluarganya kepada umat Islam sebagai dua hal yang sangat berharga dan mulia dan mengatakan,  “Aku amanahkan dua perkara ini kepada kalian. Jagalah dua pusaka mulia ini dan berupayalah menjaga dua pusaka mulia ini sebaik-baiknya.”

 

Al-Quran

Nasehat Rasulullah saw pada saat yang sangat sensitif tersebut bukanlah suatu basa-basi. Itu adalah nasehat resmi.  Rasulullah saw tidak ingin menasehati umat Islam agar mencetak al-Quran dengan baik dan menyimpannya di rumah serta menghormatinya atau adakalanya membacanya dengan suara yang baik. Al-Quran tidak diturunkan dengan tujuan tersebut. Akan tetapi, al-Quran adalah kitab petunjuk dan program hidup yang didatangkan agar, dengan kandungannya yang kaya dan bercahaya, menyelamatkan manusia dari kegelapan dan kesesatan serta membawanya ke alam cahaya dan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.

Al-Quran adalah sumber ilmu agama yang paling besar dan muktabar, yang diturunkan kekal untuk selamanya. Ia di sepanjang sejarah, semua masa, dan tempat memberikan manusia petunjuk. Maka dari itu, haruslah dikatakan bahwa Rasulullah saw, pada saat yang begitu peka, ingin mengenalkan al-Quran sebagai satu marja’ atau sumber ilmu dan agama yang muktabar kepada manusia agar mereka merujukkan berbagai kesulitan kepada al-Quran dan mengambil manfaat darinya. Rasulullah saw juga menghendaki agar manusia mengejar tujuan-tujuan Qurani dan berupaya untuk mengaplikasinnya. Rasulullah saw mengaharapkan perangai seperti ini dari umatnya.

 

Itrah dan Marjaiyah Ilmiyah Manusia

Maksud dari itrah adalah Ahlulbait yang –sebelumnya telah dibahas, memiliki maqom ishmah dan ilmu mereka telah terbuktikan. Rasulullah saw menyerahkan ilmu dan makrifah kepada Ali bin Abi Thalib. Melalui Ali, Rasulullah memindahkannya kepada para imam suci lainnya. Jadi, itrah merupakan para pembawa ilmu nubuwah. Apabila –dalam khutbah ini dan hadis-hadis lainnya, terhadap mereka telah diperintahkan kecintaan, itu dikarenakan keistimewaan mereka karena mereka adalah pemegang ilmu agama dan telah diwasiatkan kepada umat agar menerima mereka sebagai marja’ yang muktabar dan orisinal serta memanfaatkan wujud mereka. Maksud Rasulullah saw dari semua pesan dan anjuran yang berkali-kali ia sampaikan tersebut bukanlah agar manusia memuliakan mereka, berbuat baik terhadap mereka, atau menampakkan kecintaan secara formalitas dan lahiriah.

Apabila al-Quran menyuruh kita untuk mencintai dzal qurba dan berbuat baik kepada Ahlulbait, itu dimaksudkan agar kita mengikuti dan menerima marjaiyah ilmu mereka.  Perlu diterimanya mar’jaiyah diniyah Ahlulbait bukanlah terbatas kepada orang-orang yang menerima kepemimpinan mereka melainkan dari semua Muslim. Mereka dikehendaki agar dalam mengambil ilmu agama merujuk kepada Ahlulbait. Bahkan orang-orang yang tidak menerima imamah mereka karena kejahilan atau alasan lain berkewajiban untuk mengambil ilmu agama dari Ahlulbait.

Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, “Al-Quran dan itrah tidak akan berpisah hingga hari kiamat.” Artinya, tidak ada yang dapat mengatakan bahwa Hasbuna Kitab Allah dan kemudian menghapuskan itrah dari kepemimpinan agama atau mengatakan kecintaan kepada Ahlulbait tetapi dalam praktiknya, mereka tidak mengamalkan al-Quran.

Makna ini diperoleh dengan memperhatikan kalimat yang terdapat dalam riwayat yang disabdakan Rasulullah saw, “ Selagi kalian berpegangan dengan kedua pusaka (al-Quran dan Ahlulbait), maka kalian tidak akan sesat sepeninggalku untuk selama-lamanya.”

Rasulullah saw sepanjang hidupnya berkali-kali menjelaskan kedudukan ilmiah Ahlulbait kepada para sahabatnya dan memikat perhatian umat kepada mereka. Dalam khutbah Ghadir yang penting dan bersejarah, juga diwasiatkan makna ini.

 

Tafsir Maula

Bagian khutbah Ghadir yang paling penting adalah kalimat, “Barangsiapa yang aku adalah tuannnya maka Ali adalah maula-nya.” Kalimat tersebut dengan sedikit perbedaan disepakati terdapat dalam semua teks hadis Ghadir. Keluarnya kalimat ini dari lisan Rasulullah saw disepakati oleh Syiah dan Ahlus Sunnah. Namun, dalam isi dan kandungannya, terdapat perbedaan. Syiah memandang kalimat itu sebagai dalil atas khilafah, imamah, dan wilayah Imam Ali as. Namun, Ahlus Sunnah menolak pendapat ini.

Sumber perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam penafsiran kata maula. Ahlus Sunnah menafsirkan maula dengan arti ‘pecinta dan penolong’. Namun, Syiah menafsirkannya dengan makna ‘lebih utama untuk berkuasa’. Dalam kaitannya dengan hal ini, telah terjadi banyak pembahasan, perdebatan, serta argumen antara dua kelompok. Semuanya tercatat dalam kitab-kitab kalam.

Pertama, di sini kami akan menyinggung maula dengan berbagai maknanya dan kemudian akan mengkritisi dan mengkaji semua itu.

Penulis kitab al-Ghadir menyebutkan secara keseluruhan terdapat 27 makna dari kata maula dengan urutan sebagai berikut.

1.        ar-Rab:  Tuhan

2.        al-‘Am: paman

3.        Ibn al-‘Am: anak paman

4.        al-Ibn:  anak lelaki

5.        Ibn al-Ukhtu: putra saudari perempuan

6. al-Mu‘tiq:   (pembebas)

7.        al-Mu’taq: (yang dibebaskan)

8.        al-Abd: (hamba)

9.        al-Malik: (raja)

10.    at-Tabi’: (pengikut)

11.    al-Mun’im alaihi (yang diberi kenikmatan).

12.    asy-Syarik

13.    al-Halif (sekutu)

14.    ash-Shahib (penyerta)

15.    al- Jar (tetangga)

16.    an-Nazil (tetamu yang datang)

17.    ash-Shihru (keluarga suami)

18.    al-Qarib (yang dekat)

19.    al-Mun’im (pemberi nikmat)

20.    al-Aqid (mitra kontrak)

21.    al-Wali (pengasuh atau pengayom)

22.    al-Aula bi-a syai (yang lebih layak)

23.    as-Sayyid (besar)

24.    al-Muhib (yang mencintai)

25.    an-Nashir (penolong)

26.    al-Mutasharrif fil Amri (yang melibatkan diri dalam suatu pekerjaan)

27.    al-Mutawalli fil Amri (penanggung jawab suatu pekerjaan).[158]

Dengan sedikit ketelitian, maka akan menjadi jelas, bahwa maula dalam hadis Ghadir tidaklah berkesesuaian dengan satu pun makna di atas, dari yang pertama hingga yang kedua puluh, dan tidak dapat ditafsirkan dengan itu karena kelaziman makna pertama adalah syirik dan ia tidak dapat dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Rabbul Alamin hanyalah Allah dan selain-Nya tidak ada Tuhan.

Makna nomor tujuh, delapan, dan dua belas juga tidak sesuai karena Rasulullah saw bukanlah budak yang telah dibebaskan dan bukan hamba. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memiliki mitra.

Di lain nomor (sisanya) hingga nomor ke-21, meskipun pada pandangan awalnya dapatlah maula itu ditafsirkan dengan salah satu maknanya, tidak akan ada talazum ‘pelaziman’ antara Rasulullah saw dan Imam Ali, misalnya bilamana Rasulullah adalah paman seseorang, belum tentu Ali juga paman orang tersebut. Makna-makna lainnya juga seperti ini.

Sisa makna dari nomor ke-21 hingga 27, di awal pandangannya, bisa masuk. Masyarakat Ahlus Sunnah memilih makna yang ke-24 dan ke-25 di antara tujuh jenis makna. Maka, maula dalam hadis ini diartikan sebagai ‘cinta atau penolong’. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw hendak mengenalkan Ali sebagai pecinta atau penolong masyarakat dan mengatakan, “Barangsiapa yang aku adalah pecintanya dan penolongnya maka Ali juga demikian. Jadi, terimalah dia sebagai teman dan bantulah dia!”

Dengan sedikit ketelitian, maka akan menjadi jelas bahwa kemungkinan yang disebutkan tadi bukanlah suatu ucapan yang berfaedah dan dapat diterima. apakah maksud Rasulullah saw mengucapkan kalimat tadi?  Apakah beliau hanya ingin mengatakan, “Wahai manusia! Ketahuilah barangsiapa yang aku adalah yang dicintainya maka Ali juga yang dicintainya?” Apakah ucapan seperti ini memiliki nilai hingga Rasulullah saw harus menyampaikannya dalam udara yang sangat panas dan membakar. Dengan penekanan yang begitu besar, Rasulullah mengumpulkan banyak kafilah haji di telaga Khum, membacakan khutbah, dan mengatakan, “Wahai manusia! Barangsiapa yang aku dicintainya maka Ali juga yang dicintainya?” Apakah pengucapan kalimat ini sedemikian penting hingga ayat ini diturunkan, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya, Allah memelihara kamu dari gangguan manusia, Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang kafir.[159]

Dengan kemungkinan seperti ini, mengapa keluar seruan Rasulullah saw agar masyarakat mengucapkan selamat kepada Ali as? Umar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu al-Fida’, setelah khutbah ini, menemui Ali dan mengatakan, “Selamat atasmu wahai Ali! Engkau telah menjadi maula setiap orang mukmin dan mukminah.”[160]

Apakah Umar mengucapkan selamat karena Ali adalah yang dicintai dan ditolong oleh Rasulullah dan umat Islam? Apakah ucapan semacam ini dapat dinisbatkan kepada Rasulullah saw? Imam Ali as dan anak-anak beliau serta para sahabatnya berbangga dan berargumen dengan ucapan Rasulullah saw, “Man kuntu maula faaliyyun maula.” Lalu, apakah dicintai dan ditolong oleh mukmin merupakan sebuah keutamaan dan kebanggaan dan hal itu dapat menjadi alasan atau bukti bagi ke-imamah-an Imam Ali as? Bila tujuan Rasulullah saw menyampaikan ucapan ini adalah sebuah pesan dan anjuran agar manusia mencintai Ali, kalimat tersebut tidak menyampaikan maksud itu, melainkan beliau harus mengatakan, “Man kuntu mahbubahu faaliyyun mahbubahu,” atau “Man ahabbani fal yuhhibbu aliyyan.”

Umat Syiah menafsirkan maula dengan makna ‘aula bittasharruf’ yang berarti ‘kepemimpinan agama dan imamah. Salah satu bukti klaim ini adalah ucapan Rasulullah saw yang mengatakan, “Alastu aula bikum min anfusikum.” Ucapan tersebut  adalah sebuah isyarat terhadap ayat, “Annabiyu aula bilmukminin min anfusihim.”[161] Rasulullah saw lebih utama terhadap diri orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.

Pada ayat tersebut, telah dikatakan bahwa Rasulullah saw, dalam menunaikan urusan sosial, adalah lebih utama daripada mereka. Inilah makna kekuasaan Ilahi Ali dan imamah.  Oleh karena itulah, Rasulullah saw dalam khutbah ini bersabda dengan kalimat, “Man kuntu maula faaliyyun maula.” Beliau melantik Ali sebagai imam dan hakim Ilahi. Dengan menerima tafsiran seperti ini, semua masalah terselesaikan. Pelantikan Imam Ali kepada maqom imam dan khalifah menemukan nilainya dalam penekanan Rasulullah terhadap ayat, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu mengerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan amanatnya, Allah memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[162]

Rasulullah, dalam menunaikan tanggung jawab penting seperti ini, mengumpulkan umat di telaga Khum dan di tengah udara yang membakar tersebut, beliau menyampaikan khutbah. Dengan menerima makna seperti ini, masalah baiat dan ucapan selamat para sahabat merupakan suatu hal yang benar dan masuk akal.

Setelah Rasulullah membacakan khutbah Ghadir, Zaid bin Arqam mengatakan, “Rasulullah saw menghendaki dari masyarakat untuk berbaiat kepada Ali.”  Di saat itulah, masyarakat mengatakan, “Kami mendengar dan mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.”

Orang yang pertama kali membaiat Rasulullah dan Ali adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Thalhah, dan Zubair. Setelah mereka, giliran kaum muhajirin dan Anshar yang membaiat dan acara baiat ini terus berlangsung hingga shalat Isya. [163]

Maka, dengan menerima makna semacam ini, turunnya ayat, Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatmu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu,[164] dapat diterima dan beralasan.

Abu Hurairah mengatakan, “Ayat tersebut diturunkan pada hari Ghadir dan setelah ucapan Rasulullah saw, “Man kuntu maulahu faaliyyun maulahu.” Di saat itulah, Rasulullah saw bersabda, “Allah Mahabesar atas penyempurnaan agama, nikmat serta keridhaan-Nya terhadap risalahku dan wilayah Ali setelahku.” [165]

Dengan menerima makna seperti ini, maka pendeklarasian dan argumentasi Ali di berbagai kesempatan untuk membuktikan wilayah dan imamah-nya adalah sangat beralasan.

Imam Ali bin Abi Thalib mengingatkan masyarakat di desa Rahabah dengan mengatakan, “Barangsiapa yang hadir di telaga Khum dan mendengarkan khutbah Rasulullah saw hendaknya berdiri dan bersaksi.” Kemudian sebanyak dua belas orang berdiri dan berkata, “Kami mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Man kuntu maulahu faaliyyun maulahu.” [166]

Sekiranya maula diinterpretasikan dengan makna yang pertama, yaitu ‘lebih utama untuk menguasai’ dan ‘sebagai hakim dan imam’, niscaya penunjukkan yang disebutkan dalam sejumlah hadis akan menemukan maknanya.

Imam Ali as di hari Syura mengatakan, “Aku sumpah kalian atas nama Allah! Adakah di antara kalian yang ditunjuk oleh Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum untuk menduduki wilayah selain aku?” Mereka mengetakan, “Allhumma la ‘demi Allah tidak’.” [167]

Imam Husain as dua tahun sebelum kematian Muawiyah berkhutbah di Mekkah dan di dalam khutbahnya itu, beliau mengatakan, “Aku sumpah kalian atas nama Allah!  Apakah kalian mengetahui bahwasannya Rasulullah saw telah menetapkan Ali pada hari Ghadir Khum dan menganugerahinya dengan wilayah dan mengatakan, “Yang hadir dan menyaksikan hendaknya menyampaikannya kepada yang gaib (tidak hadir)?” Mereka mengatakan, “Allahumma na’am.” [168]

Apabila maula kita artikan dengan ‘imam dan hakim’, penunjukkan itu akan menemukan maknanya. Hal ini berbeda kalau diartikan dengan ‘yang dicintai dan ditolong’.  Bagaimana mungkin Rasulullah saw menunjuk Imam Ali as sebagai yang dicintai dan yang ditolong? Masyarakat Syiah, dengan menimbang qarinah seperti ini, mengartikan kata maula dalam hadis Ghadir dengan makna ‘lebih utama dalam menguasai’, yakni sebagai imam dan hakim Ilahi. Mereka berkeyakinan bahwa Rasulullah saw di dalam perkumpulan besar itu telah menunjuk Imam Ali as secara resmi sebagai imam dan mengenalkannya kepada masyarakat.

Di bagian akhir, kiranya hal ini perlu diingatkan, bahwa meskipun ulama Syiah bersikeras menafsirkan kata maula dalam hadis ini dengan makna ‘yang lebih utama menguasai’, kelihatannya penafsiran ini tidaklah perlu. Bahkan kalau sekiranya diartikan dengan makna yang lain, seperti al-wali ‘yang berkuasa dalam urusan’ atau ‘al-mutawwali dalam urusan’, tetap akan diperoleh hasil yang diinginkan.

Dalam menjelaskan pokok persoalan bahwa kata maula dan mustaqqat atau cabang-cabang lainnya yang seperti itu adalah berasal dari asal kata wala yalihi. Asal kalimat ini adalah dengan artian dekat dan berada dalam posisi berdekatan dan berdampingan.

Adakalanya, berada dalam posisi berdampingan bermaksud untuk membantu dan mengurusi urusan yang berkaitan dengan seseorang atau sesuatu lainnya. Dalam memahami makna ini, digunakan kalimat wilayah dan mustaq-mustaq-nya.

Dalam kaitan ini dan dengan makna yang sama, disebutkan wali perempuan, wali anak kecil, wali anak yatim, wali anak-anak, wali orang yang gila, dan wali yang, misalnya, berhubungan dengan wilayah, yang dalam menunaikan urusannya memerlukan orang lain di sampingnya. Adakalanya juga lingkaran wilayah yang lebih luas, seperti wali negeri, propinsi, wali umat, atau wali Muslimin. Dalam kaitan ini, wali atau wali urusan sosial yang berkaitan dengan masyarakat sebuah kota atau propinsi atau umat.

Dalam mustaqqat wilayah, pada dasarnya, makna kinayah-nya yang dimaksud adalah pengasuhan dan pengelolaan yang bukan maknanya yang asli atau substansial.

Ucapan yang sama juga dapat disebutkan dalam tafsiran kata maula. Maula berbentuk muf’al atau nomina yang menunjukkan waktu dan tempat (nomina zaman dan tempat). Maknanya adalah kedudukan atau maqom wilayah. Untuk itulah, Rasulullah saw bertanggung jawab melangsungkan urusan sosial masyarakat dan pada khutbah Ghadir Khum, melantik Imam Ali sebagai imam dan mengenalkannya kepada mereka.

Oleh karena itu, tidaklah perlu kita menafsirkan maula dengan makna ‘yang lebih utama menguasai’ melainkan dapat tetap dalam maknanya yang asli. Di saat yang sama, ia mencakup tujuan Rasulullah saw menunjuk Ali sebagai imam pemerintahan Islam. Hakim dan imam dikatakan sebagai maula karena berada dalam posisi sebagai pengatur urusan sosial masyarakat. Oleh karena itu, mereka lebih utama daripada yang lain.

 

Menuju Madinah

Setelah semalam berhenti di tanah suci Ghadir Khum, Rasulullah saw bersama Anwadah dan para peziarah Baitullah berangkat menuju Madinah.

Rasulullah saw senang dapat menunaikan kewajiban ilahiahnya tanpa penentangan dan reaksi kaum munafik atas penunjukkan atau pelantikan Ali sebagai imam. Namun, beberapa pemuka Quraisy yang berambisi terhadap khilafah Rasulullah saw begitu kecewa dengan perbuatan Rasulullah tersebut. Adakalanya mereka menunjukkan kebencian dan permusuhan di majelis-majelis khusus serta membicarakan secara bersama-sama kekecewaan mereka. Namun, mereka tidak berani menampakkan penentangannya secara terang-terangan. Rasulullah saw mengetahui kemarahan dan dendam orang-orang munafik dan para pemuka Quraisy atas terbunuhnya keluarga dan kaum mereka di tangan Ali bin Abi Thalib. Melihat hal ini, Rasulullah saw selalu khawatir terhadap kemungkinan terjadinya konspirasi terhadap khilafah dan imamah Imam Ali as. Ali adalah hasil jerih payah Nabi saw. Sepanjang risalahnya, Rasulullah menyimpan ilmu dan makrifah Islam di sisi Ali dengan harapan bahwa setelahnya, Imam Ali dapat melanjutkan misi-misinya dalam memberikan petunjuk kepada umat di jalan Islam yang hakiki dan orisinal menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Ali as telah melakukan beberapa hal sebagai pendahuluan bagi rekomendasi Rasulullah saw. Namun, bagaimanapun Rasulullah sangat khawatir terhadap kemungkinan konspirasi para penentang, perpecahan umat, dan tersingkirkannya Ali dari kedudukan imam dan khalifah.

Kekhawatiran ini dapat dirasakan dari ucapan dan perilaku Rasulullah saw sejak masuknya beliau ke Madinah hingga detik-detik terakhir kehidupannya. Berkali-kali Rasulullah berpesan tentang Ahlulbait dan keluarganya serta mengingatkan masyarakat agar tidak masuk ke dalam konflik dan perpecahan. Beliau pun menunjukkan kecemasannya terhadap fitnah-fitnah yang terjadi.

Abu Muwaihibah, budak yang dibebaskan Rasulullah saw, mengatakan, “Di pertengahan malam, Rasulullah saw memanggilku dan mengatakan, “Aku diutus untuk pergi berziarah kepada orang-orang yang mati di Baqi’ dan mendoakan mereka.”

Lalu, bersama beliau, aku pergi ke Baqi’ dan beliau mendoakan orang-orang yang telah mati seraya berkata, “Salamku atas kalian, orang-orang yang berada di dalam kubur! Tempat kalian berada adalah lebih mudah dan lebih baik daripada apa yang dihuni manusia yang masih hidup. Fitnah-fitnah seperti pecahan-pecahan kegelapan malam menghujam kami. Fitnah-fitnah datang silih berganti. Yang terakhir adalah lebih buruk dan lebih sulit daripada yang pertama.”[169]

 

Makar Mulai Tersingkap

Sejumlah pemuka Quraisy dan para pendukung khilafah memutuskan untuk menentang pesan-pesan Rasulullah saw yang berkaitan dengan khilafah dan wilayah Ali bin Abi Thalib serta Ahlulbait. Konspirasi ini bermula sejak sakitnya Rasulullah semakin parah.

Jenis penyakit Rasulullah tidaklah jelas. Namun, tulisan-tulisan yang ada mengindikasikan adanya demam dan sakit kepala yang serius.

Dengan datangnya sakit, kekhawatiran Rasulullah saw semakin meningkat. Kekhawatiran Rasulullah bukanlah terhadap kematian dan pertemuan dengan Allah swt melainkan terhadap perpecahan umat dan fitnah yang ada di depan jalan.

Muslim dalam Shahih-nya menukil dari Ibn Abbas mengatakan, “Tatkala Rasulullah saw berada di saat-saat terakhir hidupnya, di rumah beliau, ada beberapa orang, termasuk Umar bin Khattab. Saat itu, Rasulullah bersabda, “Bawakanlah pena dan kertas agar aku dapat menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga nantinya kalian tidak tersesat dan jatuh ke lembah kesalahan.” Umar berkata, “Rasulullah mengucapkan hal itu karena sakit yang begitu berat! Kita memiliki al-Quran dan itu sudah mencukupi maksudnya sehingga kita tidak lagi memerlukan tulisan Rasulullah saw.”

Di saat itu, terjadi peselisihan pendapat di antara hadirin. Sebagian mengatakan, “Marilah kita bawakan pena dan kertas agar Rasulullah dapat menuliskan sesuatu untuk kita.” Sebagiannya cenderung kepada pendapat Umar.

Ketika perselisihan memuncak, Rasulullah saw bersabda, “Pergilah dari sisiku!” [170]

Dalam Shahih-nya Muslim dari Ibn Abbas mengatakan, “Hari Kamis!  Hari kamis, hari apa itu! Dalam keadaan seperti itu, Ibn Abbas meneteskan air mata dan mengatakan, “Rasulullah saw berkata, “Bawakanlah pena dan kertas untukku agar aku tuliskan sesuatu untuk kalian yang nantinya kalian tidak akan tersesat.” Kemudian mereka berkata, “Rasulullah saw mengigau.” [171]

Ibn Abil Hadid menukil pernyataan Ibn Abbas yang mengatakan, “Di masa bermulanya khilafah Umar, aku menjumpainya. Ia berkata kepadaku, “Apakah anak pamanmu (Ali) berprasangka bahwa Rasulullah saw telah menjelaskan imamah-nya?” Aku berkata, “Ia meyakini itu.”  Aku katakan hal yang lebih daripada itu. Aku menanyakan persoalan ini kepada ayahku. Ia menjawab, “Ali berkata benar. Kemudian Umar berkata, “Benar! Rasulullah pernah membicarakan hal itu. Namun, beliau tidak menemukan hujjah dan masih terdapat uzur. Dari itulah, Rasulullah saw menantikan momentum untuk mengukuhkannya. Di masa sakitnya, Rasulullah memutuskan untuk menjelaskan namanya. Namun, aku (Umar), didorong oleh keprihatinan dan untuk menjaga Islam, mencegah maksud Rasulullah itu.  Bahkan demi Allah!  Quraisy tidak akan mematuhi imamah dan khilafah Ali. Bila Ali ditunjuk sebagai imam, maka orang-orang Arab akan berusaha melanggarnya. Kemudian Rasulullah saw memahami bahwa aku memahami maksud beliau. Kemudian Rasulullah membatalkan pelantikan Ali as. Allah melaksanakan segala apa yang dikehendaki-Nya.”[172]

Syaikh Mufid menulis, “Rasulullah saw di masa sakitnya mengatakan, “Bawakanlah untukku pena dan kertas agar aku tuliskan kitab yang sepeninggalku nanti kalian tidak akan pernah tersesat. Rasulullah mengatakan hal itu dan kemudian pingsan. Kemudian hadirin bangun untuk membawakan kertas dan pena. Umar berkata, “Kembalilah! Rasulullah mengigau!” Kemudian lelaki itu kembali.

Para hadirin setelah itu menyesali keterlambatan dan kesalahan mereka karena tidak membawakan Rasulullah pena dan kertas serta mengutuk diri mereka sendiri dan berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi rajiun! Kami khawatir akan penentangan terhadap Rasulullah saw.”

Tatkala Rasulullah saw sadar, merela berkata, “Apakah kini kita bawakan kertas dan pena.” Rasulullah berkata, “Apakah setelah kalian mengatakan seperti tu, kini kalian hendak membawakan kertas dan pena. Tidak! Namun, aku akan mewasiatkan kepada kalian tentang Ahlulbaitku.” [173]

Umar dengan mengatakan kalimat sesungguhnya dia mengigau telah menjalankan siasatnya. Dari satu sisi, ia telah mencegah tersampaikannya wasiat sensitif Rasulullah saw dan di sisi lain, Rasulullah saw yang dijamin oleh Allah dengan, Tidak berbicara dari hawa nafsu, dituding telah mengigau! Maka, adalah jelas bahwa setelah tudingan biadab seperti itu, wasiat Rasulullah saw tidak lagi menguntungkan karena mereka akan mengatakan wasiat itu dikeluarkan dalam keadaan mengigau. Oleh karena itulah, Rasulullah tidak melihat jalan lain kecuali di detik-detik terakhir hidupnya, mengulangi pesan-pesannya untuk kesekian kalinya tentang Ahlulbait dan itrah. Namun, perhatikanlah bagaimana sikap mereka (Umar dan kawan-kawan) terhadap kasus yang serupa.

Ibn Abil Hadid menulis, “Tatkala sedang menanti ajalnya, Abu Bakar berkata kepada Usman, “Tulislah! Ini adalah suatu perjanjian dari Abdullah bin Usman, di saat-saat akhirnya untim berpisah dengan dunia dan zaman yang pertama untuk masuk ke akhirat, di ham jam yang manusia fajir menyesali, dan kafir menyatakan kesialamam.

Dalam keadaan yang seperti itu, Abu Bakar pingsan. Kemudian penulis, pada saat itu, menulis nama Umar bin Khattab.

Ketika siuman, Abu Bakar berkata kepada penulis (Usman), “Apakah yang engkau tulis? Bacakanlah untukku!”

Penulis membacakan apa yang disebutkan Abu bakar dengan ditambah nama Umar. Abu bakar berkata, “Aku tidak menyebutkan nama Umar. Atas dasar apa engkau menulis itu?”  Penulis berkata, “Aku berpikir bahwa dalam menentukan khalifah, engkau pastilah memilih Umar!”  Abu Bakar membenarkan penulis dan berkata, “Engkau melakukan hal yang benar.” [174]

 

Bermulanya Fitnah

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Rasulullah saw di akhir usianya, khususnya setelah haji terakhir, senantiasa menyatakan kekhawatirannya terhadap fitnah yang bergerak secara beruntutan seperti gumpalan-gumpalan awan hitam di kegelapan malam. Sayangnya, setelah wafat Rasulullah saw, kesan fitnah itu langsung tampak.

Fitnah yang paling besar, yakni fitnah penentuan khalifah datang di saat jenazah Rasulullah saw belum dikebumikan dan keluarganya sedang sibuk melakukan takziyah serta mempersiapkan pengafanan dan penguburannya.

Di masa yang begitu sensitif dan menyedihkan itu, Umar bin Khattab, Abu Bakar, dan Abu Ubaidah bin Jarroh, tanpa memberitahu keluarga Rasulullah saw dan Bani Hasyim, keluar dari rumah Rasulullah saw dan dengan begitu cepat mereka bergerak menuju ke Saqifah Bani Sa’adah. Di saat itu dan mungkin lebih cepat daripada itu, beberapa Anshar berkumpul di Saqifah dan pembesar Anshar, Sa’ad bin Ubadah yang tengah sakit, adalah di antara yang hadir di Saqifah.

Tidak beberapa lama kemudian, beberapa Muhajirin bergabung dengan mereka, diantaranya adalah Mu’az bin Jabal, Usaid bin Hudhair, Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, dan Mughirah bin Sya’bah.

Orang dari Bani Hasyim, Bani Umayah, Ashab-Bader dan Muhajirin yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) tidak ada yang hadir. Salman Farisi, Ammar bin Yasir, Miqdad, Thalhah, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, dan orang-orang yang lain tidak hadir.

Setelah sedikit perbincangan dan perundingan, jelas sudah bahwa maksud dari perkumpulan ini adalah untuk menentukan khalifah. Dalam pembahasan tersebut, tidak disinggung tentang siapakah yang di mata Rasulullah layak untuk menjadi khalifah dan apa yang dikatakan Rasulullah saw tentang hal ini. Akan tetapi, majelis tersebut lebih mirip dengan sebuah pentas perlombaan untuk menduduki kursi khalifah dan menyingkirkan para pesaing mereka. Para jago pentas ini adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Ibn Jarroh dari Muhajirin. Di sisi lain, pesaing mereka adalah Sa’ad bin Ubadah dari Anshar. Pembahasan utamanya adalah apakah Muhajirin yang lebih layak untuk menjadi khalifah ataukah Anshar? Para pemuka dari kedua kubu itu adalah Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Keduanya bepidato kepada hadirin dan menyebut-nyebut kelebihan mereka. Perselisihan dan persengketaan semakin mencapai puncaknya. Di saat seperti itulah, Abu Bakar menjadi penengah dan berkata kepada hadirin, “Kini, Umar dan Abu Ubaidah siap untuk kursi khilafah. Berbaiatlah kepada mereka yang engkau kehendaki. Umar dan Abu Ubaidah langsung mengatakan, “Demi Allah! Kami tidak menerima urusan khilafah dalam keadaan engkau adalah Muhajirin yang paling mulia dan khalifah Rasulullah saw dalam shalat jamaah. Berikan tanganmu untuk aku berbaiat kepadamu!”

Abu Bakar langsung membuka tangannya untuk dibaiat dan di saat itu, Basyir bin Sa’ad mendahului kedua orang itu dan berbaiat kepada Abu Bakar.[175]  

Ibn Abil Hadid dalam nukilan lainnya menulis, “Tatkala mengambil tangan Umar dan Abu Ubaidah, Abu Bakar mengatakan kepada manusia, “Aku rela dengan khilafah salah satu di antara kedua orang ini bagi kalian.” Abu Ubaidah kepada Umar berkata, “Berikan tanganmu untuk aku baiat.” Umar berkata, “Engkau melakukan kesalahan yang paling besar dan tidak ada yang lebih besar daripada yang engkau lakukan!  Bagaimana engkau mengatakan itu sementara Abu bakar hadir?”

Kemudian, ia berkata kepada masyarakat, “Siapakah yang siap mendahului langkah-langkah yang oleh Rasulullah saw dahulukan? Rasulullah saw merelakan engkau untuk menjadi pemuka (imam shalat) kami. Apakah kami tidak akan menjadikan engkau sebagai pemimpin dunia kami?” Lantas, ia mengambil tangan Abu bakar dan membaiatnya.”[176]

Dengan cara seperti ini, tahapan baiat yang pertama berlangsung dengan persahabatan antara Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah sehingga seolah-olah selain dari ketiga orang ini, tidak ada orang lain yang layak menjadi khalifah.

Setelah itu, kaum Muhajirin dan Anshar dihadapkan pada sebuah tindakan yang telah dilakukan dan mereka tidak memiliki jalan lain kecuali berbaiat.  Di saat itulah, Umar mengatakan kepada masyarakat yang hadir, “Khalifah Rasulullah saw telah diketahui! Apalagi yang kalian nantikan? Cepatlah berbaiat! Kaum Muhajirin supaya tidak ketinggalan berebut membaiat Abu Bakar sehingga Sa’ad bin Ubadah Anshari yang sedang dalam keadaan sakit dan tidur di sebuah sudut hampir saja meninggal karena saking berdesakannya manusia. Di saat itulah, salah seorang hadirin berkata, “Mengapa kalian tergesa-gesa? Kalian hampir membunuh Sa’ad.” Umar menjawab, “Bunuhlah dia semoga Allah membunuhnya.” [177]

Dalam keadaan seperti ini, kaum Muhajirin yang hadir di Saqifah membaiat Abu Bakar. Tahap kedua baiat berlangsung lancar dan sukses. Namun, Anshar menolak berbaiat kepada Abu Bakar dan berkata, “Kami hanya akan membaiat Ali.”[178]

Pada tahap ketiga, Abu bakar harus pergi ke masjid agar dibaiat umat secara umum. Namun, ia harus sedikit bersabar sampai kabilah atau suku Aslam tiba di masjid dan landasan untuk baiat terwujud dengan lebih baik. Ketika berita mengatakan bahwa suku Aslam sedang bergerak menuju Masjid, mereka yakin menang. Umar berkata, “Ketika menyaksikan suku Aslam, aku meyakini kemenangan.” [179]

Suku Aslam pergi ke masjid dan membaiat Abu Bakar. Dengan baiat mereka, posisi Abu Bakar semakin kukuh dan manusia yang lain pun membaiatnya.

Sejarah menyatakan bahwa Umar dalam peristiwa Saqifah memainkan peranan yang penting.

Ibn Abil Hadid mengatakan, “Umar adalah orang yang mengukuhkan baiat kepada Abu bakar, menumpas para penentangnya, memecahkan pedang Zubair, dan memukul dada Miqdad serta menginjak-injak Sa’ad bin Ubadah di Saqifah. Ialah yang mengatakan, “Bunuhlah dia karena Allah membunuhnya!” Umar jugalah yang menundukkan hidung Habab bin Mundzir dan mengancam untuk membakar Bani Hasyim yang berlindung di rumah Fatimah serta mengeluarkan mereka dari rumah itu. Oleh karena itu, sekiranya tidak ada upaya Umar, maka baiat kepada Abu Bakar tidak akan kukuh.” [180]

Demikianlah adanya. Semua tindakan itu berlangsung dengan cepat dan tergesa gesa. Yang menarik adalah Umar sendiri di kemudian hari mengakui bahwa baiat kepada Abu Bakar berlangsung dengan cepat tanpa musyawarah.

Ibn Abil Hadid menulis, “Di dalam sebuah khutbah di Madinah, Umar berkata, “Aku mendengar seseorang berkata, “Sekiranya Umar meninggal, maka aku membaiat Ali.” Janganlah sombong orang yang berkata, “Sesungguhnya baiat kepada Abu Bakar itu tergesa gesa tetapi Allah menjaga keburukannya.” [181]

Ibn Abil Hadid menulis, “Yang menyampaikan ucapan tersebut adalah Ammar bin Yasir yang berkata, “Apabila Umar meninggal, aku akan berbaiat kepada Ali.”

Di sini, Ibn Abil Hadid membahas secara terperinci makna fitnah dan berkata, “Meskipun diartikan dengan manka ‘kesalahan atau ketergelinciran’ tetapi di sini diartikan dengan manka baghtah ‘ketergesa-gesaan’.”[182]

Perlu diingatkan di sini bahwa pada peristiwa Saqifah, banyak sekali kelompok dari Muhajirin dan Anshar yang menolak untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Beberapa orang berikut ini adalah di antara mereka yang menolak untuk berbaiat: Ali bin Abi Thalib, semua Bani Hasyim, Zubair bin Awwam, Abu Sufyan bin Harb, Khalid bin Ash, Abbas bin Abdul Muthalib dan anak-anaknya, serta Abu Sufyan bin Abdul Muthalib.”[183]

Dalam peristiwa Saqifah, beberapa hal di bawah ini perlu direnungkan:

1.        Mengapa Umar, Abu Bakar, serta Abu Ubaidah, dalam keadaan jenazah Rasulullah saw berada di atas tanah, keluar dari rumah Rasulullah dan tergesa-gesa bergerak menuju Saqifah?

2.        Apabila melihat bahwa penentuan khalifah itu perlu, lalu mengapa mereka tidak memberitahu tujuan mereka kepada Bani Hasyim dan umat Islam lainnya? Apakah mereka itu bukan muhrim?

3.        Apakah mereka ingin memilih khalifah dengan musyawarah ataukah sebatas ingin mendudukkan salah seorang dari mereka di kursi khilafah. Apabila tujuannya adalah musyawarah, lalu mengapa tidak terlihat kesan seperti itu?

4.        Mengapa dan apa yang terjadi sehingga pesan dan wasiat Rasulullah saw mengenai Ali dilupakan secara total dan nama Ali sama sekali tidak disebut? Anggaplah mereka tidak menerima nash yang terkait lalu apakah kemuliaan dan kesempurnaan zatiah Ali dapat dipungkiri?  Apakah Ali bukan salah seorang dari sekian orang yang mungkin layak untuk menjabat khalifah setelah Rasulullah saw?

5.        Apabila pemilihan khalifah harus berlangsung dengan musyawarah, lalu mengapa penentangan Anshar diabaikan sama sekali dan bahkan Umar dalam hubungan dengan Sa’ad bin Ubadah, pembesar Anshar, berkata. “Bunuhlah dia! Semoga Allah membunuhnya?”

6.        Mengapa para pelaku pentas ini hanya terdiri dari Abu bakar, Umar, dan Abu Ubaidah sementara yang lainnya tidak hadir? Apakah selain dari ketiga orang ini, orang lain tidak layak menjabat khalifah?

7.        Kehadiran Kabilah Aslam dan baiat mereka memainkan peranan penting dalam mendukung khilafah Abu bakar sehinggga Umar menantikan kedatangan mereka dan memandang kemenangan terakhirnya bergantung kepada kedatangan mereka. Dari mana Umar mengetahui bahwa mereka akan berbaiat kepada Abu bakar? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa sebelumnya ia telah melakukan koordinasi dan konfirmasi dengan kepala kabilah ini?

8.        Apakah kalian menganggap baiat semacam ini merupakan sebuah perkara biasa yang Abu Bakar pertama kali tanpa musyawarah berkata kepada hadirin, “Umar dan Abu Ubaidah  layak untuk kursi khilafah. Berbaiatlah dengan salah seorang dari mereka yang kalian anggap layak.” Kemudian Abu Ubaidah bekata kepada Umar, “Berikan tanganmu untuk aku baiat!” Lantas sebagai protes, Umar berkata kepada Abu Ubaidah, “Dalam keadaan Abu Bakar hadir, dan di masa Rasulullah saw sakit, Abu Bakar adalah imam shalat, lalu siapa yang dapat mendahului Abu Bakar?” Lantas Umar mengambil tangan Abu Bakar dan berbaiat kepadanya? Apakah mereka menentukan khalifah dengan cara seperti ini? Apakah kalian tidak melihat kemungkinan bahwa dalam hal ini, telah dilakukan koordinasi yang diperlukan sehinggga semuanya berlangsung dengan cepat dan sesuai dengan keinginan mereka. Setelah itu, Bani Hasyim pun dihadapkan pada sebuah pekerjaan yang sudah terjadi?

9.        Adakah kalian tidak melihat kemungkinan bahwa peristiwa menyedihkan di Saqifah Bani Saidah berlangsung menyusul sakitnya Rasulullah saw dan bekaitan erat dengan pernyataan Rasulullah kepada hadirin, “Bawalah kertas dan pena untuk kutuliskan kepada kalian surat wasiat yang kalian tidak akan pernah tersesat.” Lalu Umar berkata, “Sesungguhnya lelaki ini mengigau! Cukup bagi kita Kitab Allah!” Dengan cara seperti ini, ia mencegah wasiat Rasulullah saw. Apakah dua peristiwa ini dilatarbelakangi atau mengejar satu tujuan yang sama?”

 

Alasan Menyingkirkan Ali

Umar bin Khattab mengatakan kepada Ibn Abbas, “Demi Allah! Sahabat dan temanmu (Ali bin Abi Thalib) adalah lebih layak daripada yang lainnya untuk menjabat sebagai khalifah setelah Rasulullah saw. Akan tetapi, aku mengkhawatirkan darinya dua perkara.” Ibn Abbas berkata,  “Wahai Amirul Mukminin! apakah dua perkara tersebut?” Ia menjawab, “Pertama, ia masih muda. Kedua, kecintaannya kepada anak-anak Abdul Muthalib.”[184]

Ibn Abbas berkata, “Di malam Jabiyah, masyarakat berpisah dari sisi Umar dan setiap orang mendekat atau berakrab-akrab dengan sahabatnya. Aku, di malam itu, berada antara berjalan, berbicara dan berbincang-bincang dengan Umar. Umar mengadu kepadaku mengenai penentangan Ali terhadap baiat kepadanya. Aku bertanya, “Apakah dia (Ali) tidak memiliki uzur?” Umar berkata, “Benar! Ia memiliki uzur.” Aku bertanya, “Apa uzur-nya?” Ia berkata, “Wahai Ibn Abbas! Abu Bakar adalah orang pertama yang melakukan kesalahan dalam menyerahkan khilafah kepada kami. Kaum kami tidak rela kalau khilafah dan nubuwwah bercampur di dalam diri kalian.” Aku berkata, “Mengapa wahai Amirul Mukminin? Tidakkah kalian melihat kebaikan pada diri kami?” Umar berkata, “Mereka menyaksikan kebaikan tetapi apabila khilafah juga diserahkan kepada kalian, kalian akan berbangga dan sombong dengan itu.”[185]

Ibn Abil Hadid menulis bahwa masyarakat keluar dari sisi Umar dan selanjutnya kembali ke sisi mereka seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Bilakah khalifah ditetapkan sekarang?” Ia berkata, “Aku memutuskan untuk memilih seseorang untuk menjadi khalifah, yang menuntun kalian berjalan di jalan yang benar.” Dalam keadaan seperti itu, ia mengisyaratkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Di saat itu, aku seolah-olah tertutupi kabut keraguan dan lantas aku menyaksikan seorang lelaki yang memasuki kebun. Dia memetik dengan cepat buah-buahan yang sudah masak untuk dirinya dan mengumpulkannya. Kemudian aku takut di masa hidup dan matiku bahwa akulah yang menjadi penyebabnya.” [186]

Demikianlah, menimbang keutamaan dan kesempurnaan Imam Ali serta pesan-pesan Rasulullah saw mengenainya, tidaklah dapat dipungkiri oleh siapa pun bahwa para “pahlawan pentas khilafah”, pertama-tama, telah melupakannya dan tidak pernah menyinggung hal itu. Selanjutnya adakalanya mereka berhadapan dengan protes beberapa orang dalam menjustifikasi kekhilafahan mereka. Mereka berlindung di balik tiga alasan: pertama, bahwa Ali saat itu masih terlalu muda; kedua, Ali sangat mencintai anak-anak Abdul Muthalib; dan ketiga, masyarakat tidak senang menyaksikan nubuwah dan wilayah berkumpul di satu keluarga.

Hanya saja tidak satu alasan pun yang dapat diterima karena kriteria untuk khilafah dan wilayah adalah kesempurnaan dan kelayakan esensial di atas orang lain. Berdasarkan itulah, Rasulullah saw membimbing serta menjagokannya untuk maqom wilayah dan Rasulullah sendirilah yang telah menunjuk Ali sebagai wali dari sejak Ali masih belia. Berkumpulnya khilafah dan nubuwah sama sekali bukanlah masalah kecuali memang membangkitkan kedengkian terhadap Ahlulbait Nabi saw.

 

Kesan Buruk Peristiwa Saqifah

Peristiwa Saqifah yang menyedihkan merupakan fitnah paling besar yang kemudian disusul dengan fitnah-fitnah berikutnya dan kesan buruknya tetap melekat pada diri umat sepanjang sejarah hingga kini. Di antara kesan-kesan buruk itu, yang terpenting ialah sebagai berikut.

1.        Pemerintahan suci Nabi dan imam telah diselewengkan dari jalur aslinya dan mengubahnya menjadi pemerintahan non-suci. Lebih lanjut, peristiwa itu menciptakan landasan bagi pemerintahan dinasti (warisan) dan pemerintahan-pemerintahan sekuler di sepanjang sejarah beserta imbas-imbas buruknya.

2.        Dipisahkannya al-Quran dari Ahlulbait tentulah bertentangan dengan nash yang jelas dalam al-Quran.

3.        Hukum, undang-undang politik, dan sosial Islam tidak terlaksana secara baik dengan dukungan ishmah. Akibatnya, tujuan-tujuan besar Rasulullah, seperti tauhid global, keadilan sosial, berkembangnya Islam di dunia dan kemenangan terhadap agama-agama lainnya tidak dapat dilanjutkan.

4.        Terkucilnya itrah dan para penyimpan ilmu serta undang-undang Islam yang sejati dari maqom marjaiyah ilmy ditambah dengan berkuasanya logika yang salah, hasbuna Kitab Allah ‘Cukuplah Kitab Allah’.

5.        Perpecahan dan perselisihan di antara umat dan munculnya berbagai mazhab serta implikasi buruknya seperti perpecahan dan konflik mazhab, bahkan perang dan pertumpahan darah internal yang menyedihkan. Belum lagi terjadinya perpisahan dan buruksangka yang mengakibatkan lepasnya kekusaaan, keagungan, kewibawaan, dan kemuliaan Islam serta terbukanya pintu bagi berkuasanya kaum penjajah asing.

 

Bermulanya Kelahiran Syiah dan Sunnah

Menurut ayat dan hadis yang banyak, Rasulullah saw adalah wajib ditaati.

Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kalian. [187]

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

Kaum Muslim di awal Islam mengetahui bahwa perintah, larangan, dan konsep-konsep Rasulullah saw berasal dari wahyu. Oleh karena itu, mereka patuh di hadapan wahyu secara total dan memandang pelanggarannya sebagai dosa. Kewajiban untuk taat bukan hanya terbatas pada zaman Rasulullah saw. Namun sayangnya, tidaklah demikian, bahkan sepeninggal Rasulullah untuk yang pertama kalinya perintah suci ini dilangggar. Di Saqifah Bani Sa’idah, sejumlah sahabat secara terang-terangan melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginan Rasulullah karena menentukan khalifah yang tidak sesuai dengan nash Rasulullah.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa berkali-kali Rasulullah saw, termasuk di Ghadir Khum, mengenalkan keluarganya sebagai salah satu pusaka penting dan sebagai acuan yang kaya bersama al-Quran. Dalam hal ini, Rasulullah mengatakan, “Al-Quran dan itrah sampai kiamat tidak akan berpisah.”

Meskipun telah ada semua penekanan dan taushiyah tersebut, sepeninggal Rasulullah saw, sekelompok sahabat melupakan ucapan Rasulullah itu dan dengan penuh keacuhan, berupaya memilih khalifah dan menyingkirkan Ahlulbait dari marjaiyah ilmu dan makrifah agama serta memisahkan alQuran dari itrah. Maka, logika hasbuna Kitab Allah, yang dilafalkan di masa sakit Rasulullah saw, secara praktik berkuasa. Perilaku para tokoh Saqifah menunjukkan seolah-olah Rasulullah sama sekali tidak pernah menyinggung Ali bin Abi Thalib dan itrah! Apakah ada yang lebih buruk daripada membelakangi perintah dan pesan Rasulullah saw?

Hanya saja tidak semua sahabat yang berkompromi dengan makar ini. Sebagian lainnnya tetap konsisten dengan kewajiban untuk menaati perintah dan larangan Rasulullah saw. Mereka tidak bersedia membaiat Abu bakar. Imam Ali as memandang Abu Bakar sebagai khalifah tanpa perantaraan Rasulullah saw.

Kelompok ini berada di pihak minoritas dan penentangan mereka tidak membawa sesuatu apa pun. Pada akhirnya, setelah sekian lama, semuanya atau kebanyakannya, mau atau tidak mau, terpaksa berdiam diri di hadapan kondisi yang berlaku. Akan tetapi, bagaimanapun pemikiran Islam yang orisinal tetap kekal.

Di sinilah dua kelompok mazhab Islam terfondasikan. Kelompok mayoritas, yang nantinya populer dengan nama Ahlus Sunnnah dan kelompok minoritas yang nantinya bernama Syiah.

Kaum Syiah memandang imamah Imam Ali sebagai hujjah yang muktabar. Maka, ta’wil serta taujih (justifikasi) nash-nash ini adalah suatu perkara yang tidak benar dan ijtihad melawan nash. Imam Ali dipandang sebagai khalifah langsung dan imam yang pertama setelah Rasulullah saw. Mereka mengambil sumber pengetahuan agama dari itrah dan Ahlulbait. Mereka berijtihad dalam masalah fikih dan dalam menggali sumber ijtihad dan istinbat –selain al-Quran dan hadis, mereka juga bersandar kepada para imam suci.

Kaum Syiah pada awalnya, dan untuk sekian lama, bukanlah merupakan suatu mazhab atau kelompok. Namun berikutnya, mazhab-mazhab lainnya bercabang darinya. Namun, yang paling asli adalah mazhab istna asyariyah.

 

Mazhab Syiah Dua Belas Imam (Istna Asyariyah)

Istna asyariyah dinisbatkan kepada imamiyah dan dua belas Imam yang populer. Dari situlah, mazhab ini dinamakan istna asyariyah yang mereka berkeyakinan bahwa setelah Rasulullah saw, ada dua belas Imam, yang silih berganti menjadi khalifah dan imam. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut.

1.      Ali bin Abi Thalib.

2.      Hasan bin Ali.

3.      Husain bin Ali

4.      Ali bin Husain

5.      Muhammad bin Ali.

6.      Ja’far bin Muhammad

7.      Musa bin Ja’far

8.      Ali bin Musa.

9.      Muhammad bin Ali.

10.  Ali bin Muhammad

11.  Hasan bin Ali.

12.  Hujjah bin Hasan (Imam Mahdi).

Kaum Syiah Imamiyah meyakini bahwa orang-orang tersebut adalah wajib ditaati dan terpelihara dari dosa serta kesalahan. Mereka mengetahui semua ilmu kenabian dan menjadi khalifah Rasulullah saw.

 

Dalil-Dalil Imamah dan Pengenalan para Imam

 

Imamah dan khilafah Imam yang pertama (Ali bin Abi Thalib), menimbang apa yang telah disebutkan sebelum ini, adalah suatu perkara yang pasti dan jelas. Oleh karena itu, hal ini tidaklah memerlukan pengulangan. Namun, pembuktian imamah para imam lainnya memerlukan pembahasan dan istidlal ‘pemberian dalil’. Untuk membuktikan imamah para imam suci dapatlah digunakan berbagai jenis argumen.

 

1. Hadis nabawi

Kita memiliki banyak hadis yang Rasulullah saw bersabda, “Setelahku, akan ada dua belas khalifah yang semuanya adalah dari Quraisy.” Hadis-hadis seperti ini telah tercatat dalam kitab Ahlus Sunnah dan Syiah.

Dua Belas Orang dan Semuanya dari Quraisy

Jabir bin Samrah mengatakan, “Kami mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, “Urusan masyarakat akan berjalan dengan baik selagi dua belas orang memerintah mereka.” Setelah itu, Rasulullah saw mengucapkan sebuah kalimat yang tidak kupahami.  Aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw?” Ia berkata, “Mereka semua adalah dari Quraisy.” [188]

Sammak bin Harb mengatakan, “Jabir bin Samrah mengatakan, “Kami mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, “Islam akan tetap mulia selagi dua belas khalifah berkuasa atas mereka.” Setelah kalimat tersebut, Rasulullah mengatakan sesuatu yang tidak kupahami. Aku menanyakannya kepada ayahku, “Apakah yang diucapkan oleh Rasulullah saw?”  Beliau berkata, “Mereka semua adalah dari Quraisy.”[189]

Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Aku menulis untuk Jabir bin Samrah agar memberitahukanku sesuatu yang ia dengar dari Rasulullah saw.  Dalam jawabannya, ia menulis, Rasulullah saw pada Jumat malam ketika Aslami dirajam, mengatakan, “Agama ini akan tegak berdiri sampai hari kiamat selagi dua belas orang khalifah yang semuanya dari Quraisy berkuasa atas mereka.”[190]

            Bagi para ahli, adalah jelas bahwa jumlah dua belas khalifah atau amir yang diberitakan Rasulullah saw tidak bisa dicocokkan dengan jumlah khalifah yang datang pasca-Rasulullah saw. Bukan hanya tidak cocok bagi empat Khalifah ar-Rasyidin tetapi bagi khalifah-khalifah Bani Umayah, Bani Marwan, dan Bani Abbas, dan juga para khalifah dan sultan yang nantinya datang. Jumlah itu juga tidak sesuai bila digabungkan dan disusun sebagian dengan sebagian lainnnya. Yang bisa dipaskan adalah dua belas imam Syiah yang semuanya berasal dari Quraisy dan Bani Hasyim.

 

Dua Belas Orang

Rasulullah saw dalam banyak hadis mengenalkan bahwa jumlah imam setelahnya adalah dua belas orang. Salman Muhammadi mengatakan, “Aku menjumpai Rasulullah saw dalam keadaan beliau mendudukkan Husain di kedua pahanya. Rasulullah saw mencium mata Husain dan mengecup mulutnya seraya mengatakan, “Engkau adalah (sayyid) anak seorang sayyid dan ayah para sayyid. Engkau adalah imam, putra imam dan ayah para imam. Engkau adalah hujjah, putra hujjah, dan ayah sembilan imam yang kesembilannya adalah qaim ali Muhammad.” [191]

Abdullah bin Abbas menukil dari Rasulullah saw yang berkata, “Para imam setelahku berjumlah seperti nuqaba’ ‘pemimpin-pemimpin’ Bani Israil dan Hawariyyin Isa as. Barangsiapa mencintai mereka adalah mukmin dan barangsiapa yang membenci mereka adalah munafik. Mereka adalah hujjah Allah terhadap manusia dan bendera-bendera petunjuk.”[192]


Dua Belas Orang dan Nama-Nama Mereka

Jabin bin Abdillah Anshari berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah! Para imam dari anak Imam Ali bin Abi Thalib, siapa sajakah mereka?” Rasulullah berkata, “Mereka adalah Hasan dan Husain, dua pemuda ahli surga; setelah mereka, Sayyidul Abidin, di masanya, Ali bin Husain; setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Sampaikan salamku kepadanya; setelahnya , Shadiq Ja’far bin Muhammad; dan setelahnya, Kadzim Musa bin Ja’far; dan setelah itu, Ridha Ali bin Musa; dan setelah itu, Taqi Muhammad bin Ali; dan setelah itu, Naqi Ali bin Muhammad; dan setelah itu, Zaki Hasan bin Ali; dan setelah itu, putranya, Qaim bilhaq, Mahdi Ummah, yang memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, washi-ku, dan anak-anakku. Barangsiapa yang menaati mereka mematuhiku dan barangsiapa yang mengingkari salah satu dari mereka mengingkariku. Berkah wujud mereka adalah langit tidak menjatuhi bumi dan bumi tetap terpelihara.” [193]

Hasan bin Ali mengatakan, “Dari Rasulullah saw, aku mendengar bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Engkau adalah pewaris ilmuku, tambang hikmahku, dan imam setelahku. Ketika engkau syahid, putramu, Hasan, adalah imam; dan tatkala Hasan syahid, putramu, Husain, adalah imam;  ketika Husain syahid, putranya, Ali, akan menjadi imam; setelahnya, sembilan orang dari putra Husain akan menjadi imam. Setelah itu, Hasan bin Ali mengatakan, “Ya Rasulullah! Siapakah nama-nama mereka.” Beliau mengatakan, “Ali dan Muhammad, Ja’far dan Musa dan Ali dan Muhammad dan Ali dan Hasan serta Mahdi yang dari keturunan Husain dan akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan.”[194]

Husain bin Ali mengatakan, “Tatkala ayat Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin[195] diturunkan, aku mengatakan kepada Rasulullah saw, “Apakah ta’wil ayat ini?” Beliau mengatakan, “Demi Allah! Selain kalian tiada yang dimaksudkannya. Kalianlah ulul arham.  Ketika aku meninggal, Ali adalah lebih utama daripada lainnya untuk maqom-ku, dan ketika ayahmu meninggal, saudaramu, Hasan, lebih layak daripada lainnnya, dan ketika saudaramu meninggal, engkau lebih layak daripada lainnnya.” Kemudian aku berkata, “Sepeninggalku siapa?”  Rasulullah menjawab, “Putramu yang lebih layak daripada lainnnya dan; ketika dia meninggal, anaknya yang bernama Musa lebih layak; ketika Musa meninggal; anaknya yang bernama Ali lebih layak; dan ketika Ali meninggal dunia, anaknya yang bernama Hasan lebh layak; dan ketika Hasan meninggal dunia, putramu yang kesembilan akan gaib. Mereka itu adalah dari keturunanmu. Allah swt memberikan ilmu dan kepahamanku kepada mereka dan mereka adalah dari tabiatku.  Maka, sekelompok dari umatku akan menggangguku jika mengganggu mereka?  Syafaatku pada hari kiamat tidak akan menimpa mereka.”[196]

Shahal bin Sa’ad Anshari mengatakan, “Aku bertanya kepada putri Rasulullah saw,Fatimah, siapakah para imam itu?” Fatimah berkata,  “Rasulullah berkata kepada Ali, “Wahai Ali! Engkau sepeninggalku adalah imam dan khalifah. Engkau lebih utama daripada orang-orang mukmin. Ketika engkau meninggal dunia, putramu, Hasan, menggantikanmu; dan ketika Hasan meninggal dunia, Husain menggantikannya; dan ketika Husain meninggal dunia, tempatnya digantikan oleh putranya, Ali bin Husain; dan bila Husain bin Ali wafat, posisinya digantikan oleh putranya yang bernama Muhammad; dan ketika Muhammad wafat, putranya , Ja’far, menggantikannya; dan setelah itu, Musa bin Ja’far; dan ketika Musa wafat, tiada yang lebih layak menggantikannya kecuali putranya, Muhammad; dan ketika Muhammad wafat, putranya, Ali, menggantikannya; dan ketika Ali wafat, putranya, Hasan, yang paling layak menggantikannya; dan apabila Hasan wafat, maka posisinya digantikan oleh putranya, Qaim Mahdi. Di tangannyalah, Timur dan Barat ditundukkan.”[197]

Ali bin Abi Thalib menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan diperhatikan oleh Allah hendaknya berpegang dengan wilayah Ali as. Dan barangsiapa yang berkehendak menemui Allah dalam keadaan Allah meridhainya hendaknya menerima wilayah putra Ali, Hasan, dan barangsiapa yang hendak bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak cemas dan khawatir hendaknya menerima wilayah putramu, Husain; dan barangsiapa ingin bertemu Allah dalam keadaan dosa-dosanya berguguran hendaknya menerima wilayah Ali bin Husain karena ia yang disifati Allah swt dalam firman-Nya, Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[198]; dan barangsiapa yang berkeinginan untuk bertemu dengan Allah dalam keadaan senang harus menerima wilayah Muhammad bin Ali dan barangsiapa yang berkeinginan bertemu dengan Allah dalam keadaan catatan amalannya diberikan melalui tangan kanannya hendaknya menjadikan Ja’far bin Muhammad Shadiq sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih hendaknya menjadikan Musa bin Ja’far Kadzim sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan senang dan tertawa hendaknya menjadikan Musa ar-Ridha sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu Allah dalam keadaan derajatnya ditinggikan dan keburukannya diganti dengan kebaikan hendaknya menerima wilayah Muhammad; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan hisabnya dimudahkan dan dimasukkan ke surga, yang luasnya sama dengan jumlah langit dan bumi dan disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, hendaknya menerima wilayah Ali;  dan barangsiapa ingin menemui Allah dalam keadaan berbaris bersama orang yang bertakwa hendaknya menerima wilayah  Hasan bin Ali; dan barangsiapa ingin menemui Allah dalam keadaan keimanannya sempurna dan keislamannya baik hendaknya menerima wilayah yang dinanti-nantikan kemunculannya, yaitu Muhammad Shahibuz Zaman, Mahdi. Mereka adalah pelita-pelita kegelapan, para imam hidayah, dan bendera-bendera takwa. Barangsiapa yang mencintai mereka dan menerima wilayah mereka aku menjaminkan surga baginya.”[199]



Dua Belas Orang dan Maksum

Abdullah bin Abbas berkata, “Aku mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, “Aku, Ali, Hasan, dan Husain serta sembilan keturunan Husain adalah suci dan terpelihara dari dosa.”[200]

Tatkala menjelang wafatnya, Rasulullah saw berkata kepada Fatimah, “Janganlah engkau menangis dan bersedih karena engkau adalah penghulu para wanita surga dan ayahmu adalah penghulu para nabi dan anak pamanmu (Ali) adalah penghulu para washi dan dua putramu adalah penghulu para pemuda surga dan akan lahir dari keturunan Husain sembilan orang yang merupakan para imam suci dan Mahdi umat adalah dari kami.” [201]

Anas bin Malik mengatakan, “Aku mendengar dari Rasulullah saw yang berkata kepada Ali, “Engkau adalah washi dan saudaraku di dunia dan akhirat. Engkau menunaikan agamaku, setia kepada janji-janjiku, dan untuk membela sunnahku, engkau berperang. Engkau berperang untuk ta’wil al-Quran sebagaimana kau berjihad untuk turunnya al-Quran. Maka, aku adalah Nabi yang terbaik dan engkau washi yang paling baik, dan kedua putramu, Hasan dan Husain adalah cucu yang terbaik. Dari keturunan mereka, sembilan imam akan lahir, yang suci, terpelihara, dan berdiri untuk menunaikan keadilan. Para imam setelahku berjumlah sama dengan nuqaba ‘para pemimpin’ Bani Israil dan Hawariyyin Isa as. Mereka adalah itrah-ku dan dari daging serta darahku.”[202]

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa ingin melihat Qudhaib Ahmad yang Allah swt dudukkan dengan tangan-Nya sendiri dan berpegangan dengannya hendaknya berpegangan dengan wilayah Ali bin Abi Thalib dan para imam dari anak-anaknya karena mereka adalah makhluk pilihan Allah yang terbaik dan terpelihara dari segala dosa dan kesalahan.”

Abu Thufail menukil dari Imam Ali as bahwa Rasulullah bersabda, “Engkau (Ali) adalah washi-ku terhadap orang-orang yang mati di dalam Ahlulbaitku dan khalifah terhadap umatku yang hidup. Memerangimu sama dengan memerangiku dan berdamai denganmu sama dengan berdamai denganku.”

“Engkau (Ali) adalah imam dan ayah para imam. Sebelas orang dari keturunanmu adalah para imam suci. Mahdi umat ini yang memenuhi dunia dengan keadilan merupakan salah seorang dari mereka. Celakalah bagi orang yang membenci mereka dan dendam terhadap mereka.” [203]

Dalil-dalil pembuktian kesucian Ahlulbait dan itrah Rasulullah saw dapat dijadikan sebagai salah satu argumen imamah dua belas orang suci tersebut. Masalah ini sebelumnya telah dibahas secara terperinci dan mendetail. Di sini, telah dibuktikan tiga persoalan.

    Ishmah ‘keterjagaan’ dari dosa dan kesalahan merupakan salah satu persyaratan penting seorang imam.

2.      Dengan digabungkannya tiga persoalan ini dapatlah dijadikan argumen untuk    membuktikan imamah tiap-tiap imam.

3.      Substansi (manifestasi) Ahlulbait juga menjadi jelas.

Untuk penjelasan lebih lanjut, kalian dapat merujuk kepada pembahasan yang lalu.

2. Kewajiban Berpegangan dengan Tsaqalain

Abu Said Khudri mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku mengamanahkan dua sesuatu yang bernilai kepada kalian, yang salah satunya lebih besar daripada yang lainnya. Pertama adalah Kitab Allah yang merupakan tali antara mereka dan tanah; dan yang lainnya Itrah dan Ahlulbaitku. Ketahuilah bahwa dua hal ini tidak akan berpisah hingga keduanya masuk kepadaku di telaga Kautsar.”[204]

Abu Said Khudri menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, “Aku mengira, bahwa tak lama lagi aku dipanggil dan aku jawab panggilan itu. Aku tinggalkan dua sesuatu yang mahal kepada kalian. Kitab Allah dan itrah keluargaku. Kitab Allah adalah tali yang digelantungkan dari langit ke bumi. Itrah-ku adalah Ahlulbaitku. Allah memberitahukanku bahwa kedua hal ini sampai hari kiamat tidak akan berpisah. Maka waspadailah sikap kalian terhadap dua amanah ini.”[205]

Zaid bin Arqam mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku tinggalkan sebagai amanah dua sesuatu untuk kalian, yang apabila berpegangan dengannya, kalian tidak akan sesat dari diriku. Salah satunya lebih penting daripada yang lainnya.   Pertama, Kitab Allah yang merupakan tali yang bergelantung dari langit ke bumi; dan lainnya, itrah dan Ahlulbaitku. Dua pusaka ini tidak akan terpisah sampai masuk ke telaga Kautsarku. Maka, berhati-hatilah terhadap sikap kalian kepada dua pusaka itu.”[206]

Kekalnya Ahlulbait hingga Hari Kiamat

Rasulullah saw bersabda, “Bintang-bintang adalah pengaman penduduk langit. Apabila bintang-bintang tersebut tidak ada, penduduk langit juga akan binasa. Ahlulbaitku adalah pengaman penduduk bumi. Apabila Ahlulbaitku binasa, penduduk bumi juga akan binasa.”[207]

Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, “Ahlulbaitku seperti bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang berpegangan dengannya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan tenggelam.”[208]

Dari dua hadis ini dan yang sepertinya disimpulkan bahwa ahlil bait Nabi akan kekal hingga hari kiamat dan muslimin berkewajiban nmengikuti mereka untuk keselamatan mereka sendiri.

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin hidup sepertiku, mati sepertiku, dan tinggal di surga yang Allah bangun hendaknya berpegangan dengan wilayah Ali sepeninggalku dan bersahabat dengan para sahabatnya serta mengikuti para imam setelahku. Ketahuilah bahwa mereka adalah Ahlulbaitku yang diciptakan dari tanahku dan memiliki ilmu serta pemahaman sepertiku.  Adalah kecelakaan bagi orang-orang yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan silaturrahim karena syafaatku tidak akan menimpa mereka.”[209]

3. Mukjizat

Sebagaimana telah disebutkan di dalam kitab-kitab kalam dan hadis, Rasulullah saw, pada masa-masa darurat dan untuk membuktikan nubuwah dirinya, melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa, yang berada di luar kemampuan manusia normal. Tiap-tiap imam yang dua belas, seperti dinukilkan dari riwayat-riwayat dalam buku sejarah dan hadis, juga memiliki hal yang sama. Hal ini dapat bermanfaat untuk membuktikan imamah mereka. Kami, di dalam buku yang relatif pendek ini, tidaklah dapat membawakan mukjizat-mukjizat tersebut. Yang berminat dapatlah merujuknya kepada kitab-kitab yang terkait.

 

4. Pelantikan dan Pengenalan Imam Sebelumnya.

Sebagaimana sebelumnya telah disebutkan bahwa Rasulullah saw di masa hidupnya telah mengenalkan dan merekomendasikan Ali bin Abi Thalib sebagai imam sepeninggal beliau.  Pelantikannya adalah dari Allah dan merupakan hujjah bagi manusia. Rasulullah juga menyinggung soal imamah Hasan dan Husain. Imam Ali, di masa hidupnya dan dengan taushiyah Rasulullah saw, memilih putranya yang bernama Hasan sebagai imam. Imam Hasan memilih saudaranya, Imam Husain, sebagai imam dan memberitahukannya kepada masyarakat. Dengan demikian, setiap imam memiliki tugas untuk mengenalkan imam setelahnya. Di masa yang akan datang, kami akan menjelaskan persoalan ini secara rinci.

Sebagai kata akhir, perlulah kiranya diingatkan bahwa kami pada pembahasan-pembahasan yang akan datang dan untuk menetapkan tiap-tiap imam, hanya akan menggunakan argumentasi ini dan tidak akan mengulangi argumentasi yang lalu.


Akidah Kami tentang para Imam.

      Dengan mempertimbangkan argumen aqliyah terhadap pentingnya wujud imam yang sebelumnya telah disinggung, dengan mempertimbangkan sebagian ayat-ayat yang berkaitan dengan imamah, dan dengan mempertimbangkan banyak hadis yang sampai kepada kami melalui Rasulullah saw dan para imam suci tentang imamah, akidah kami mengenai dua belas imam adalah sebagai berikut.

1.      Mereka seperti nabi yang terpelihara dari melakukan dosa dan kesalahan secara sempurna.

2.      Dalam makrifah mengenal Allah dan dalam tauhidnya serta sifat kesempurnaan dan keagungannya, mereka berada pada posisi kemanuasiaan dan keimanan kepada Allah yang tertinggi. Maad ‘hari kebangkitan’ dan nubuwah telah merasuk ke bagian dalam jiwa mereka dan mereka menyaksikan hakikat alam gaib dengan mata hati.

3.      Mereka terhiasi dengan semua keutamaan dan kemuliaan akhlak dan terpelihara atau terjauhkan dari semua akhlak yang tercela dan sifat-sifat buruk.

4.      Mereka mengetahui semua hukum, undang-undang, persoalan universal, cabang agama, kewajiban, muharamat, mustahabbat, dan makruhat. Namun, wahyu tidak turun kepada mereka dan mereka bukan pembuat syariat. Akan tetapi, mereka mendapatkan ilmu dari penyimpulan al-Quran atau melalui kakek-kakek mereka dari ilmu para nabi. Selain itu, mereka memanfaatkan kitab-kitab yang diwarisi dari Rasulullah saw.

5.      Mereka mengetahui dengan baik hukum, undang-undang, dan persoalan yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat. Dalam kaitan ini, mereka memiliki wewenang khusus.

Para Imam memiliki dua peranan yang besar. Yang pertama adalah menjaga atau memelihara hukum dan undang-undang agama serta menyebarluaskan ilmu, makrifah, dan hukum Islam. Selain itu, mereka melanjutkan tujuan-tujuan Rasulullah saw. Imam Ali as dan imam lainnya siap untuk menunaikan tanggung jawab yang penting ini dan di tangan merekalah, ilmu yang diperlukan, sebagaimana telah disebutkan, diajarkan oleh Rasulullah saw agar mereka mampu mengerjakan kewajiban atau tugas yang penting ini. Dalam hadis Tsaqalain, hadis Safinah, dan puluhan hadis lainnya, Rasulullah mengenalkan itrah dan Ahlulbait sebagai marja’ ilmu yang paling muktabar dan menganjurkan Muslimin agar memanfaatkan ilmu mereka. Namun disesalkan, tujuan Rasulullah saw tidak terealisasikan secara sempurna karena orang-orang yang haus kekuasaan dan jabatan, bukan hanya menyingkirkan Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya dari kursi khilafah, juga mewujudkan berbagai rintangan dan gangguan terhadap kursi marjaiyah ilmu Ahlulbait. Dengan cara inilah, mereka membuat umat Islam tidak memperoleh ilmu asli nubuwah. Namun bagaimanapun keadaannya, setiap imam dengan memperhatikan berbagai fasilitas serta kondisi zamannya, berupaya mengembangkan individu-individu secara sungguh-sungguh. Berkat upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan inilah, di sepanjang sejarah, ratusan ribu hadis di berbagai bidang telah tersebar luas. Sebagian besar dari hadis-hadis itu tercatat dan terekam di dalam kitab-kitab hadis yang tersisa sampai sekarang.  Apabila para imam diberikan peluang yang lebih besar lagi, pastilah umat Islam akan memperoleh ilmu dan makrifah yang lebih banyak lagi.

Yang kedua adalah kewajiban para imam yang penting, yakni menjabat maqom khilafah dan mengelola negara dengan menjalankan hukum-hukum serta undang-undang politik dan sosial Islam. Ini adalah suatu bagian dari kewajiban besar Rasulullah saw. Rasulullah saw, dalam merealisasikan tujuan ini, telah memberikan pesan-pesan yang diperlukan. Dalam kisah Ghadir Khum, Rasulullah memilih Ali bin Abi Thalib untuk menduduki maqom ini dan melantiknya. Rasulullah pun, dalam melanjutkan tujuan-tujuan para nabi dan menjabat maqom ini, memiliki kesiapan yang sempurna. Namun, perealisasiannya memerlukan penerimaan masyarakat dan jihad serta upaya dalam mewujudkan landasannya.

Sayangnya, sekelompok orang yang haus kekuasaaan mengabaikan pesan Rasulullah saw dan menyalahgunakan kebohongan serta kelalaian masyarakat untuk menyelewengkan khilafah dari jalur yang dikehendaki Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib, dengan kondisi dan keadaan yang seperti itu, tidak memiliki jalan lain kecuali bersabar dan menahan diri. Kurang lebih selama 25 tahun, Imam Ali melewatinya dengan kesabaran hingga masyarakat secara sadar dan dengan hasrat serta keinginan mereka, membaiat Imam Ali as. Namun tidak lama kemudian, sekelompok oportunis   yang haus kekuasaan, yang sebelumnya mengeruk keuntungan dari akibat diskriminasi yang tidak benar, kesewenang-wenangan –dan mereka terbiasa dengan itu serta tidak tahan dengan hasrat keadilan dan dihilangkannya diskriminasi yang dilakukan Bani Alawi dan Nabawi– berupaya untuk menentang dan menggagalkan pemerintahan Ali dengan perang dan penentangan internal yang keras. Selanjutnya, kira-kira lima tahun setelah itu, Imam Ali jatuh syahid karena “dosa” menegakkan keadilan di mihrab ibadah. Maka, khilafah pun kembali diselewengkan dari jalurnya yang benar hingga bertahun-tahun lamanya. Selama itu, khilafah berada di tangan Bani Umayyah dan Bani Abbas serta tidak tersedia peluang bagi kepemimpinan para imam suci.  Setiap imam memandang khilafah Rasulullah sebagai haknya yang sah dan mereka siap memegangnya. Namun, karena keengganan dan kesalahan Muslimin, mereka tidak pernah menduduki kursi khilafah yang merupakan hak sah mereka.

 

Tanda-Tanda Syiah yang Hakiki

Syiah disebutkan bagi orang yang mengimani imamah dan khilafah Ali bin Abi Thalib secara langsung. Selain itu, dia juga mengimani imamah sebelas orang dari anak-anak Ali dan menampakkan kecintaan mendalam terhadap mereka. Orang-orang yang seperti ini dikenal dengan Syiah Dua Belas Imam. Namun, harus kita ketahui bahwa sekedar iman konseptual dan pengakuan formal tidaklah cukup dalam merealisasikan substansi Syiah yang sebenarnya dan menjaminkan bagi kita kebahagiaan akhirat serta menyelamatkan kita dari kebinasaan duniawi dan ukhrawi. Pada dasarnya, iman tanpa amal tidak lebih daripada sebuah pemahaman konseptual.

Dalam kata syiah itu sendiri, terkandung sejenis iltizam amali ‘pelaziman praktis’. Syiah secara bahasa berarti ‘pengikut’. Syiah dinamakan syiah karena mereka mengikuti perilaku, perbuatan, dan akhlak Rasulullah saw, Imam Ali, serta para imam suci sehingga amal merupakan kelaziman iman yang sebenarnya.  Bila amal tidak ada, keimanan juga tidak menemukan maknanya. Mawaddah ‘kasih sayang’ dan kecintaan yang sejati juga disertai dengan mencari keridhaan dan memenuhi keinginan-keinginan mahbub ‘yang dicintai’.  Apakah mungkin orang mengaku sebagai pecinta Ahlulbait tetapi perbuatan dan perilakunya bertentangan dengan perintah-perintah mereka?

Untuk lebih mengenali orang-orang Syiah yang sejati sebaiknya kita merujuk kepada ucapan para imam suci. Dalam kaitan ini, kami memiliki banyak hadis yang akan kami singgung sebagia contoh.  Jabir menukil dari Muhammad Baqir yang mengatakan, “Wahai Jabir! Apakah Syiah itu sudah cukup bila seseorang mengatakan, aku mencintai Ahlulbait. Demi Allah! Bukanlah Syiah kami kecuali orang yang bertakwa dan mematuhi Allah.”

Wahai Jabir! Syiah kami tidak dikenali kecuali dengan sifat berikut: rendah hati, khusyuk dalam ibadah, amanah, banyak berzikir dan mengingat Allah, berpuasa, berbuat baik kepada ayah dan ibu, menjaga keadaan para tetangga yang miskin dan fakir, orang-orang yang berhutang, para yatim, yang jujur dan berkata benar, kecuali apabila kebaikan terdapat di balik menentang itu, Syiah kami adalah penyelamat kaum.

Jabir berkata, “Wahai putra Rasulullah! Di masa seperti ini, kami tidak menyaksikan orang yang seperti itu?”

Beliau berkata, “Wahai Jabir! Janganlah engkau ke sana kemari! Apakah sudah cukup bila seseorang menilai, aku mencintai Ali dan menerima wilayah-nya, tetapi tidak satu pun perbuatannya yang menyerupai Ali.” Apabila ia berkata, “Aku mencintai Rasulullah saw –padahal Rasulullah saw adalah lebih utama daripada Ali– tetapi tidak mengikuti sirah dan perilaku Rasulullah saw serta tidak melakukan sunnah beliau. Maka, kecintaan kepada Rasulullah saw itu tidak membawa keuntungan baginya. Maka, takutlah kepada Allah dan lakukanlah amal yang saleh. Tidak ada kekeluargaan antara Allah dengan seseorang. Yang paling dicintai dan dimuliakan Allah adalah orang yang paling bertakwa dan taat kepada-Nya. Wahai Jabir! Demi Allah! Kecuali melalui takwa, tidak seorang pun yang dekat kepada Allah. Baralah dari api tidaklah di tangan kami. Tidak seorang pun yang memiliki hujjah di depan Allah.  Barangsiapa yang patuh kepada Allah adalah wali dan sahabat kami. Barangsiapa yang menentang perintah Allah adalah musuh kami. Tidak seorang pun yang mencapai wilayah kami kecuali dengan amal saleh dan menjauhi dosa.” [210]

Imam Ja’far Shadiq mengatakan kepada Fudzail, “Sampaikan salam kami kepada Syiah kami dan katakan, bahwa kami tidak dapat melakukan sesuatu apa pun di depan Allah untuk kalian, melainkan kalian menjauhi dosa-dosa. Maka jagalah lisan dan tangan kalian dari melakukan dosa. Jadilah kalian ahli sabar dan shalat sebagaimana Allah bersama orang-orang yang sabar.” [211]

Imam Shadiq mengatakan kepada Ibn Jundab, “Katakanlah kepada Syiah kami, janganlah engkau pergi ke sana kemari! Demi Allah! Tidak akan mencapai wilayah kami kecuali dengan menjauhi dosa dan berupaya untuk beribadah dan membantu saudara-saudara seagama. Siapa yang menzalimi orang lain bukanlah dari Syiah kami.” [212]

Imam Shadiq berkata, “Wahai orang-orang Syiah! Jadilah kalian sebagai penyebab kemuliaan dan penjaga harga diri kami dan janganlah kalian menumpahkan harga diri kami di depan orang lain! Berkatalah mulia kepada masyarakat dan jagalah lisanmu! Hindarilah ucapan-ucapan yang sia-sia dan buruk!”[213]

Imam Ja’far Shadiq berkata kepada Abu Usamah, “Hendaklah engkau menjaga takwa dan menjauhi dosa serta berupaya dalam beribadah dan jujur dalam berbicara dan menunaikan amanah dan berakhlak mulia dan berbuat baik kepada tetangga. Ajaklah manusia dengan selain lisanmu! Jadilah perhiasan kami dan jangan kalian tumpahkan harga diri kami di depan orang lain!  Perpanjanglah sujud dan rukuk karena ketika salah seorang dari kalian memanjangkan rukuk dan sujudnya, setan akan berteriak, “Celaka aku! Hamba ini mematuhi Tuhan sementara aku bermaksiat. Ia bersujud sedangkan aku tidak.”[214]

Imam Ja’far Shadiq mengatakan, “Berhati-hatilah kalian! Janganlah melakukan perbuatan yang menyebabkan manusia mencela kami karena anak yang buruk dengan perbuatan buruknya telah menumpahkan kemuliaan atau harga diri ayahnya. Untuk orang yang kalian nisbatkan kepadanya, jadilah perhiasan bagi mereka, bukannya menjadi penyebab jatuhnya harga diri dan kemuliaan mereka.”[215]

Imam Hasan Askari mengatakan kepada Syiah, “Aku nasehatkan kepada kalian untuk menjaga takwa dan wara’ dalam agama, ijtihad untuk Allah, jujur, menunaikan amanat kepada seseorang, berperangai baik, memanjangkan sujud, dan berbuat baik kepada tetangga.  Rasulullah diutus untuk hal-hal seperti ini. Shalatlah di masjid Muslimin dan makamkanlah jenazah mereka! Jenguklah yang sakit di antara mereka dan tunaikanlah hak mereka karena tatkala ada di antara kalian yang bertakwa, wara’, jujur, menunaikan amanah, dan berperangai baik dengan masyarakat, maka akan dikatakan kepadanya, “Dia adalah Syiah.” Di saat itulah, kami merasa bahagia dan bangga. Jadikanlah takwa sebagai bekal dan jadilah kalian perhiasan dan kebanggaan kami. Dengan cara ini,  kalian telah mewujudkan landasan bagi kecintaan kami dan cegahlah hal-hal yang menyebabkan buruknya nama kami sebab kami layak untuk menyandang segala kebaikan yang dikatakan dan sebenarnya kami terjauhkan dari keburukan yang dinisbatkan kepada kami. Di dalam Kitab Allah, kami telah dinyatakan disucikan sesuci-sucinya oleh Allah dan kamilah yang dikatakan sebagai zawil qurba, dan tiada orang yang dapat mengklaim seperti ini selain kami, kecuali dia pembohong. Banyaklah berzikir kepada Allah! janganlah kalian melupakan kematian! Perbanyaklah membaca al-Quran dan kirimlah shalawat kepada Nabi saw karena shalawat kepada Rasulullah saw pahalanya adalah sepuluh kali lipat. Laksanakanlah anjuran seperti ini! Aku mengucapkan selamat tinggal kepada kalian dan aku menyampaikan salam kepada kalian.” [216]

Imam Shadiq dalam sebuah surat kepada Syiahnya menulis, “Jagalah waktu shalat, khususnya shalat wustha! Shalatlah untuk Allah dan lakukanlah qunut! Allah swt dalam kitab-Nya telah memerintahkan mukminin agar mencintai orang-orang miskin karena siapa saja yang meremehkan, memandang kecil mereka, dan bersombong diri terhadap mereka telah terpeleset atau tergelincir dari agama Allah sehingga Allah marah dan murka terhadapnya. Ayahku, Rasulullah saw, bersabda, “Allah swt memerintahkanku agar aku mencintai orang-orang miskin. Ketahuilah! Barangsiapa yang merendahkan seorang Muslim akan diseret Allah swt kepada keburukan dan kehinaan sehingga masyarakat semakin membencinya dan memusuhinya.” [217]

Imam Ja’far Shadiq mengatakan, “Wahai Syiah Keluarga Muhammad! Barangsiapa yang tatkala marah tidak menahan dirinya, tidak bersikap serta berperilaku lembut, baik dengan teman-teman maupun sahabatnya, berkompromi dengan orang-orang yang berkompromi, dan tidak menentang para penentang bukanlah Syiah kami. Wahai Syiah Keluarga Muhammad! Sedapat mungkin peliharalah takwa! Walahaula wala quwwata illa billah!”[218]

Dari hadis-hadis tersebut dan puluhan lainnya yang seperti itu, dapat dipetik beberapa persoalan penting:

    Hanya menyatakan Syiah dan wilayah Ahlulbait adalah belum cukup untuk membuktikan kesyiahan. Akan tetapi, ciri atau tanda Syiah yang paling penting adalah mengamalkan kewajiban agama dan meninggalkan dosa.

2        Menunjukkan kecintaan kepada Ahlulbait dengan tidak disertai dengan mengamalkan kewajiban dan meninggalkan dosa tidak akan membawa kita menuju kebahagiaan akhirat dan menyelematkan kita dari kebinasaan.

3        Wilayah Ahlulbait tidak akan dicapai kecuali dengan menunaikan kewajiban agama dan meninggalkan maksiat.

4        Barangsiapa yang menaati perintah Ilahi merupakan wali dan sahabat para imam dan barangsiapa yang bermaksiat adalah musuh Ahlulbait meksipun menyatakan berwilayah dengan lisannya.

5        Kunci melepaskan diri dari neraka dan memasuki surga tidak berada di tangan seorang imam pun. Akan tetapi, surga dan neraka bergantung kepada amal manusia itu sendiri.

6        Para imam meminta para pengikutnya agar membuat orang lain berprasangka baik kepada Ahlulbait dan Syiah melalui perbuatan, perilaku, dan akhlak yang baik.

7        Rasulullah saw sendiri dan para imam adalah ahli amal. Mereka begitu serius dalam menunaikan kewajiban dan meninggalkan dosa, bahkan dalam melakukan hal yang mustahab dan meninggalkan yang makruh. Mereka berada di barisan terdepan pada zamannya dalam memelihara akhlak yang baik dan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Mereka juga terpelihara dari akhlak yang buruk.

Muslimin dan Syiah berkewajiban menjadikan orang-orang suci itu sebagai teladan. Mengikuti mereka akan menjaminkan bagi kita kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini tidak akan mungkin kecuali melalui cara yang demikian.

 

[91]  Al-Mawaqif , jilid 8, hal. 344.
[92] Shirault Haq, jilid 3, hal. 188; Al-babul awwal fi wujubi nashbil Imam Talkhis as-syafi, jilid 1, hal. 65.
[93] QS. At-Taubah: 128
[94] QS. Ahzab: 33.
[95] Shahih Muslim, jilid 4, hal. 18. dari Aisyah, ummul mukminin  -semoga Allah merahmatinya- berkata “Nabi saw keluar suatu siang (belum sempurna).
[96] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 125.
[97] Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 125.
[98] Ibid.
[99] Majma’uz Zawaid.
[100] Yanabi’ Al-Mawaddah , hal. 126.
[101] Ibid
[102] Ghayah al-Muram, jilid 3, hal. 190.
[103] Majma’uz Zawaid, jilid 9, hal. 168.
[104] Ghayah al-Muram, jilid 3, hal. 200.
[105] Ibid.
[106] Majma’ az-zawaid jil 9 hal 166.
[107] Majma’ zawaid
[108] Tafsir-nur ast-staqalain jil 4, hal 277.
[109] Ghayah-al muram.
[110] Fi Ihtijaj.
[111] Majma’ az-zawaid jil 9 hal 146.
[112] QS. Yusuf: 27-29
[113]  QS. al-An’am: 145.
[114]  QS. An’am : 125.
[115]  QS. ATTaubah: 125.
[116]  QS. A’raf: 71.
[117]  QS. ar-Ra’ad: 11.
[118]  QS. Yasin:  82.
[119]  QS. Al-Baqarah: 185.
[120] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 199.
[121] Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 2, hal. 257.
[122] Ahlulbait fil Kitab was Sunnah, hal. 113.
[123] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 199.
[124] Dzahairul- uqba hal 17.
[125] Ibid hal 20.
[126] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 92.
[127] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 92.
[128]  QS.as-Syuara’: 214.
[129] Tarikh Thabari, jilid 2, hal. 320 yang berkata Ali.
[130] Hilyatul Auliya, jilid 1, hal. 128.
[131] Hilyatul Auliya, hal. 127.
[132] Ibid, jilid 1, hal. 104.
[133] Hilyatu Auliya, jilid 1, hal. 104.
[134] Ibid, hal. 106.
[135] Hilyatul Auliya, jilid 1, hal. 107.
[136] Nurul Abshar, hal. 88.
[137] Ghayatul Muram, jilid 5, hal. 338.
[138] Ibid, jilid 5, hal. 283.
[139] Ghayatul Muram, jilid 5, hal 93.
[140] Ibid, jilid 1, hal. 119.
[141] Ibid, jilid 1, hal. 127.
[142] Ibid, jilid 1, hal. 131.
[143] Al-Mustadrak , Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 121.
[144] Ibid
[145] Al-Mustadrak, Hakim Nisyaburi , jilid 3, hal. 128.
[146]  QS. Al-Maidah: 67.
[147] Al-Mustadrak, Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 199.
[148] Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 3, hal. 229.
[149] Ibid jil 3 hal 229.
[150] Al-Ghadir jil 1 hal 41-44.
[151] Al-Ghadir , jilid 1, hal. 543-572.
[152] Al Ghadir jil 1 hal 376.
[153] Al Ghadir jil 1 hal 397.
[154] Al ghadir jil 1 hal 398.
[155] Al-Ghadir, jilid 1, hal. 399.
[156] Ibid, jilid 1, hal. 400-414.
[157] Al-Mustadrak , Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 109.
[158] Al-Ghadir, jilid 1, hal. 641.
[159]  QS. Al-Maidah: 67.
[160] Al-Bidayah wan Nihayah,  jilid 3, hal. 229.
[161]  QS. Al-Ahzab: 6.
[162] QS.Al-Maidah: 67.
[163] Al-Ghadir, jilid 1, hal. 508. (menukil dari kitab al-Wilayah, Muhammad bin Jarior Thabarsi).
[164] QS. Al-Maidah: 3.
[165] Al -ghadir jil 1 hal 105.
[166] Al bidayah wan nihayah jil 3 hal 229.
[167] Al ghadir jil 3 hal 329 ( menukil dari kitab  adz-dzurrul nadzim jil 1 hal 116.)
[168] Al-Ghadir, jilid 3, hal. 400.
[169] Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 5, hal. 243.
[170] Shahih Muslim jil 3 hal 1259.
[171] Shahih muslim jil 3 hal 1259.
[172] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 12, hal. 21.
[173] Al-Irsyad, jilid 1, hal. 184.
[174] Syarah Nahjul Balagah, jilid 1, hal. 163.
[175] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 39.
[176] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 2, hal. 25.
[177] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 25.
[178] Al-Kamil fit Tarikh, jilid 2, hal. 325; Syarah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 22.
[179] Tarikh Thabari, jilid 3, hal. 322.
[180] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 2, hal. 174.
[181] Ibid, jilid 2, hal. 23.
[182] Ibid, jilid 2, hal. 26.
[183] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 2, hal. 21.
[184] Syarah Nahjul Balagahah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal 57.
[185] Ibid, jilid 2, hal. 57.
[186] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 57.
[187] QS. An-Nisa: 59.
[188] Shahih muslim jil 3 hal 1452.
[189] Shahih Muslim, jilid 3, hal. 1453.
[190] Shahih Muslim, jilid 3, hal. 1453.
[191] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 113.
[192] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 113.
[193] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 163.
[194]  Ghayah al muram jil 1 hal 193.
[195] QS. Al-Ahzab:6
[196] Ghayah al muram jil 1 hal 194.
[197] Ghayah al muram jil 1 hal 216.
[198] QS. Al-Fath: 29.
[199] Jami’u Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 103.
[200] Ghayatul Muram, jilid 2, hal. 162.
[201] Ibid, jilid 2, hal. 239.
[202] Ibid, jilid 2, hal. 240.
[203] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 193.
[204] Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 3, hal. 26.
[205] Musnad Ahmad, jilid 3, hal. 27.
[206] Al-Jami Ash-Shahih, Tirmidzi, jilid 5, hal. 663.
[207] Al-Mustadrak, Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 150.
[208] Ibid,  hal. 151.
[209] Al-Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 226.
[210] Kafi, jilid 2, hal. 740.
[211] Misykatul Anwar, hal. 44.
[212] Tuhaful Uqul,  hal. 413.
[213] Misykatul Anwar, hal. 67.
[214] Kafi jil 2 hal 77.
[215] Ibid jil 2 hal 219.
[216] Tuhaful Uqul, hal. 313.
[217] Thuhaful Uqul, hal. 313.
[218] Ibid,  hal. 401.