پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

IMAM KEENAM: IMAM JA’FAR SHADIQ AS

IMAM KEENAM: IMAM JA’FAR SHADIQ AS

 

Imam Ja’far Shadiq as, menurut sejumlah riwayat, lahir ke dunia pada tanggal 17 Rabiul Awwal, tahun 83 Hijriah di Madinah. Ayahnya adalah Imam Muhammad Baqir dan ibunya adalah Fatimah Ummu Farwah, putri Qasim bin Muhammad.  Laqab-nya Shadiq, Fadhil, Thahir, Qaim, Kafil, Munji, dan Shabir sementara kunyah-nya Abu Abdillah, Abu Ismail, dan Abu Musa.

Pada tanggal 25 Syawal, 148 Hijriah, pada usianya yang ke-65, Imam Shadiq meninggal dunia dan jasad sucinya dimakamkan di pemakaman Baqi’. Imam selama dua belas tahun hidup bersama dengan kakeknya, Imam Sajjad, dan sembilan belas tahun bersama ayahnya, Imam Muhammad Baqir. Masa imamah-nya adalah 34 tahun.


Kepribadian Imam Shadiq      

Dari segi ilmu, fikih, hasab, nasab, ibadah, sair serta suluk spiritual, dan kemuliaan budi pekerti, Imam Ja’far Shadiq adalah sosok yang paling terkenal atau populer pada zamannya. Beberapa cendekiawan mengakui dan memberikan kesaksian mereka tentang hal ini.

Malik bin Anas, seorang ahli fikih Madinah, mengatakan tentang Imam, “Sewaktu aku mengunjungi rumahnya, Imam Ja’far bin Muhammad senantiasa menghormatiku. Dia meletakkan bantal sandaran untukku sambil berkata, “Malik! Aku menyukaimu.” Perkataan Imam itu membuat hatiku senang dan aku berterimakasih kepadanya.  Imam Ja’far tidak pernah keluar dari tiga keadaan: puasa, shalat  dan zikir. Imam adalah ahli ibadah yang paling konsisten, zuhud, takut kepada Allah.  Imam banyak meriwayatkan hadis, senang duduk di majelis ilmu, dan banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Setiap kali Imam meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw, warna wajah Imam seketika itu berubah menjadi pucat biru atau kuning sehingga tidak bisa dikenali lagi. Tahun itu, aku berada di sisi Imam untuk menunaikan ibadah haji. Pada saat Imam hendak mengucapkan talbiyah untuk ihram, suaranya terputus di kerongkongannya sehingga tidak dapat mengucapkan talbiyah dan hampir saja terjatuh dari kuda tunggangannya.  Aku berkata, “Wahai putra Rasulullah! Katakanlah! Engkau mau tidak mau harus mengucapkan talbiyah!” Imam mengatakan, “Wahai Ibn Amir! Dengan keberanian apa aku harus mengatakan labbaik! Allahumma labbaik! sedangkan aku takut Allah swt mengatakan kepadaku, la labbaik wa la sa’daik.”

Malik bin Anas mengatakan, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang pun, yang dari segi kezuhudan, kemuliaan, ibadah, dan ketakwaan, lebih mulia daripada Ja’far bin Muhammad.”

Amer bin Abi Miqdam mengatakan, “Ketika memandang Ja’far bin Muhammad, aku merasakan bahwa dia adalah dari keturunan Nabi saw.”

Zaid bin Ali mengatakan, “Pada setiap zaman, ada lelaki dari Ahlulbait kami, yang melaluinya Allah sampaikan hujjah-Nya terhadap manusuia. Hujjah zaman ini adalah Ja’far bin Muhammad, putra saudaraku. Barangsiapa yang mengikutinya tidak akan sesat dan barangsiapa yang menentangnya tidak akan mendapatkan petunjuk.”

Ismail bin Ali bin Abdullah bin Abbas berkata, “Pada suatu hari, aku tiba di sisi Abu Ja’far Manshur. Dia menangis sehingga jenggotnya penuh dengan air mata. Ia berkata kepadaku, “Tidakkah engkau tahu apa yang terjadi terhadap Ahlulbaitku?” Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Peristwa apa gerangan?” Dia berkata, “Sayyid alam semesta dan sisa orang-orang baik telah wafat!” Aku berkata, “Siapakah dia wahai Amirul Mukminin?” Dia berkata, “Ja’far bin Muhammad.” Aku berkata, “Allah swt semoga memberikan pahala dan panjang umur.” Dia berkata, “Ja’far bin Muhammad adalah orang yang Allah swt firmankan,  Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.[371] Ja’far adalah di antara orang yang Allah pilih dan termasuk dari sabiqin dalam kebajikan.

Ibn Habban menganggap Ja’far bin Muhammad sebagai orang yang terpercaya dan mengatakan, “Ja’far dari segi fikih, ilmu, dan kemuliaan adalah termasuk dari pembesar Ahlulbait dan hadisnya dapat dijadikan hujjah.”

Syahristani mengenai Imam Ja’far Shadiq mengatakan, “Imam memiliki ilmu yang melimpah dalam agama dan kesusasteraan, sempurna dalam hikmah dan kezuhudan di dunia, serta ahli wara’ dan takwa. Imam menghindari hawa nafsu. Imam tinggal untuk beberapa lama di Madinah dan para pengikut serta sahabatnya menghirup ilmu darinya.  Setelah itu, Imam pindah ke Irak dan tinggal di sana beberapa lama.”

Ahmad bin Hajar Haitsami menuliskan, “Anak Muhammad Baqir yang paling mulia adalah Ja’far Shadiq. Maka itulah, dia merupakan khalifah dan washi ayahnya. Masyarakat menukil banyak ilmu darinya, yang suaranya tersebar luas di semua negeri. Para pembesar agama juga menukil hadis darinya, seperti Yahya bin Sa’id. Ibn Juraih, Malik, Du Sufyanui, Abu Hanifah, Sya’bah, dan Ayyub Sajastani.”

Ibn Shabbagh al-Maliki menulis, “Ja’far Shadiq, di antara saudara-saudaranya, adalah khalifah, washi, dan imam setelah ayahnya. Dari segi keutamaan, kecerdasan, serta kewibawaan, dia lebih tinggi daripada semuanya. Masyarakat menukil banyak ilmu darinya dan suaranya terdengar ke seluruh negeri. Hadis-hadis yang dinukil darinya tidak pernah dinukilkan dari seorang Ahlulbait pun.”

Muhammad bin Thalhah Syafi’i menulis, “Ja’far bin Muhammad Shadiq adalah di antara pembesar dan sayyid Ahlulbait. Ia memiliki ilmu yang melimpah dan banyak beribadah serta banyak berzikir secara berkesinambungan. Ia zuhud dan banyak membaca al-Quran. Dia sangat teliti dalam memaknai al-Quran. Ibarat lautan, dia menebarkan mutiara dan memperoleh hasil yang sangat menakjubkan. Dia membagi waktunya untuk berbagai ketataan dan mengintrospeksi jiwanya dalam kaitan ini. Manusia yang melihatnya akan mengingat akhirat. Yang mendengarkan ucapannya akan menjadi zuhud. Yang mengikutinya akan mendatangi surga. Wajahnya yang bercahaya menjadi bukti bahwa dia adalah keturunan Rasulullah saw. Kesucian amalnya  memberitahukan kepada kita bahwa dia adalah keturunan Rasulullah saw.”

Sekelompok pemuka dan ulama menukil hadis dari Imam Shadiq, seperti Yahya bin Sa’id Anshari, Ibn Juraih, Malik bin Anas, Tsauri, Ibn Uyainah, Sya’bah, dan Ayyub Sajistani. Mereka semua menukil hadis dari Imam. Itu adalah sebuah kemuliaan tersendiri.

Syaikh Mufid mengenai Imam menulis, “Shadiq Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain, di antara saudara-saudaranya, terpilih sebagai khalifah, washi, dan imam setelah ayahnya. Dari segi keutamaan, ia lebih mulia daripada yang lain. Ia adalah yang paling mashur dan wibawa di mata umum dan khusus. Ilmunya menyebar luas di seluruh negara. Di antara Ahlulbait, dari Imam Shadiq-lah, hadis paling banyak dinukil. Ashab hadis menyebutkan empat ribu orang perawi hadis Imam Shadiq yang terpercaya.”



Nash Imamah

Sebelumnya telah disebutkan, bahwa untuk membuktikan imamah dua belas imam suci, banyak sekali argumen yang ada. Tiap-tiapnya sudah cukup untuk membuktikan imamah mereka. Semua itu dinamakan dalil atau argumen umum. Selain dari itu, bagi tiap-tiap imam, ada dalil khusus yang terdiri dari nash-nash yang didapatkan dari imam yang sebelumnya dan menjelaskan imamah imam setelahnya. Pengulangan argumen atau dalil umum tidaklah diperlukan. Oleh karena itu, kami merasa cukup dengan menyebutkan dalil-dalil spesifik atau khusus saja.

            Abu Nadhrah mengatakan, “Menjelang wafatnya, Imam Muhammad Baqir memanggil putranya, Imam Ja’far Shadiq, untuk menyerahkan perjanjian imamah kepadanya.  Saudara Imam Ja’far, Zaid bin Ali, berkata, “Adalah suatu kebaikan jika Anda beramal seperti halnya Hasan dan Husain.”  Imam Baqir berkata, “ Wahai Abal Hasan! Amanat itu tidak bisa dibandingkan dengan perumpamaan. Imamah adalah suatu perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya oleh hujjah ilahiah.”[372]

            Abu Shabah Kanani berkata, “Hadrat Abu Ja’far memandang putranya yang bernama Abu Abdillah dan berkata kepadaku, “Apakah engkau melihat hal ini? Dia adalah di antara orang yang Allah swt firmankan, Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”[373]

Jabir bin Yazid Ja’fi berkata, “Abu Ja’far ditanya tentang “qaim” setelahnya. Tangannya menepuk Abi Abdillah dan berkata, “Demi Allah! Anakku ini adalah qaim keluarga Muhammad.”

Ali bin Hakam menukil dari Thahir Abu Ja’far yang berkata, “Aku berada di sisinya Abu Ja’far. Kemudian tibalah Ja’far. Abu Ja’far berkata, “Ja’far adalah di antara manusia yang terbaik.”[374]

Abdul A’la menukil dari Imam Ja’far Shadiq yang berkata, “Ayahku menjelang wafatnya berkata, “Panggillah beberapa orang untuk menjadi saksi!”  Kemudian aku memanggil empat orang dari Quraisy, yang di antaranya adalah Nafi’ (tuan dari Abdullah bin Umar) ke sisi ayahku.  Kemudian ayahku berkata kepadaku, “Tulislah, هذا ما او صی به یعقوب بنیه یا بنی ان الله ا صطفی لکم الدین فلا تمو تن الا و انتم مسلمون  Muhammad bin Ali berwasiat kepada putranya, Ja’far, untuk mengafaninya dengan pakaian Bardi yang dikenakannya saat shalat pada hari Jumat dan meletakkan amamah-nya di kepalanya dan menjadikan kuburnya segi empat dan empat jari lebih tinggi dari permukaan bumi dan mengeluarkan pakaian tuanya dari tubuhnya.”

Kemudian Imam Baqir berkata kepada para saksi, “Semoga Allah merahmati kalian!” Aku berkata kepada ayahku, “Apa gunanya keberadaan saksi?” Ayahku berkata, “Anakku! Aku khawatir mereka akan mengalahkanmu dan mengatakan, “Ayahnya tidak berwasiat tentangnya. Aku ingin engkau menjadi hujjah dan dalil.”[375]

            Jabir bin Yazid Ja’fi meriwayatkan bahwa Imam Muhammad Baqir ditanya tentang qaim. Imam Baqir menunjuk Abu Abdillah dan berkata, “Demi Allah! Ini adalah qaim keluarga Muhammad.”

Anbasah bin Mush’ab berkata, “Ketika Abu Ja’far wafat, aku menjumpai Abu Abdillah, putranya, dan membacakan hadis Jabir. Dia berkata, “Jabir berkata benar. Bukankah setiap imam adalah qaim setelah imam sebelumnya?”[376]

Muhammad bin Muslim berkata, “Aku berada di sisi Imam Muhammad Baqir. Kemudian putranya Ja’far datang dengan mengenakan rambut palsu dan bermain dengan tongkat. Lantas Imam Muhammad Baqir memeluknya dan merapatkan putranya itu ke dadanya seraya berkata, “Ayah dan ibuku sebagai untukmu! Janganlah bermain!” Kemudian Imam Baqir berkata kepadaku, “Ia akan menjadi imam sepeninggalku nanti. Ikutilah dia dan ambillah manfaat dari perbuatannya. Demi Allah! Ini adalah Shadiq yang Allah swt telah namakan dengan nama tersebut. Allah swt akan membantu semua Syiahnya, baik di dunia dan akhirat sedangkan musuhnya akan dilaknat oleh semua nabi.”

Di saat itu, Ja’far tertawa dan wajahnya ceria. Kemudian Imam Baqir berkata kepadaku. “Bertanyalah kepada putraku apa saja yang kauinginkan?”

Aku bertanya, “Wahai putra Rasulullah! Dari manakah asal tawa tadi?” Ja’far berkata, ”Wahai Muhammad! Akal dari hati, kesedihan dari liver, nafas dari paru-paru, dan tawa dari.” Kemudian aku berdiri dan mencium keningnya.” [377]

Hammam bin Nafi’ berkata, “Pada suatu hari, Abu Ja’far berkata kepada para sahabatnya, “Ketika kalian tidak menemukanku, maka bermakmumlah kepadanya.  Dia adalah imam dan khalifah sepeninggalku. Saat itu, Imam Baqir, dengan tangannya yang suci, menunjuk Abu Abdillah Imam Shadiq.”[378]

            Hisyam bin Salim meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq yang berkata, “Menjelang wafatnya, Ayahku berkata kepadaku, “Wahai Ja’far! Aku berpesan kepadamu hendaknya engkau berbuat baik kepada para sahabatku!” Aku bertanya, “Ayahku! Demi Tuhan! Aku akan mendidik mereka sehingga mereka tidak lagi membutuhkan orang lain dalam mencari ilmu pengetahuan dan mata pencaharian.”

Surah bin Kalib berkata, “Pada suatu hari, Zaid bin Ali berkata kepadaku, “Dari mana engkau mengerti bahwa temanmu Ja’far adalah imam?” Aku berkata, “Dengan alasan bahwa sebelumnya, kami menjumpai Imam Muhammad Baqir. Setiap kali aku bertanya sesuatu, Imam Baqir berkata, “  قا ل رسو ل الله و قا ل الله عز و جل فی کتا بهsampailah pada hari ketika saudaramu, Muhammad, meninggal dunia. Saat itu, untuk mencari ilmu, aku datang kepada kalian, Ahlulbait, di antaranya engkau.  Sebagian pertanyaan engkau jawab tetapi sebagian lagi tidak kaujawab. Kemudian aku datang ke sisi Ja’far, putra saudaramu. Maka, apa pun yang kami tanyakan dijawabnya seperti ayahnya dan berkata, “قا ل الله تعا لی و قا ل رسو ل الله  .”

Kemudian Zaid bin Ali tersenyum dan berkata, “Demi Allah! Apa yang kaukatakan itu disebabkan kitab-kitab Ali bin Abi Thalib berada di sisinya.”[379]

Amer bin Abi Miqdam berkata, “Aku melihat Imam Ja’far Shadiq di Arafah, di mauqif, yang dengan suara keras berkata, “Wahai manusia! Rasulullah saw adalah imam dan setelahnya, Ali bin Abi Thalib adalah imam, dan setelahnya, Hasan dan berikutnya Husain bin Ali adalah imam. Setelah Husain as, Ali bin Husain, dan setelahnya, Muhammad bin Ali adalah imam dan setelah itu  هه.”  Ucapan di atas diulanginya sebanyak tiga kali: kepada manusia yang ada di hadapannya; kepada manusia yang ada di sisi kanan; dan selanjutnya, kepada manusia yang ada di sebelah kiri; dan berikutnya, kepada manusia yang ada di belakang, diulangi tiga kali.”

Amer berkata lagi, “Tatkala pergi ke Mina, aku menanyakan tafsir kalimat هه  kepada para ahli sastra Arab. Mereka menjawab, bahwa kata هه  dalam bahasa Bani Fulan artinya ialah انا فا سآ لونی  yang artinya maka tanyalah kepadaku. Aku juga bertanya kepada sejumlah orang dan mereka menafsirkannya sama.”[380]

            Abdul Ghaffar bin Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad Baqir, “Wahai putra Rasulullah! Apabila terjadi suatu peristiwa terhadapmu, lalu setelahmu nanti, kepada siapa kami akan merujuk?” Beliau berkata, “Kepada Ja’far. Dia adalah sayyid anak-anakku dan ayah para imam. Ia jujur dalam ucapan dan perilakunya.”[381]

            Syeikh Mufid dalam argumentasi mengenai imam menulis, “Dalam dalil aqliyah, telah terbuktikan bahwa imam haruslah seorang manusia yang termulia  sehingga ilmu, zuhud, serta amalnya adalah lebih tinggi daripada yang dimiliki saudara-saudara lelaki, anak-anak paman, dan manusia lain pada zamannya.”[382]

          

Ilmu dan Pengetahuan

Salah satu tanggung jawab para imam suci yang paling besar adalah menyebarluaskan ilmu, kemuliaan akhlak, dan fikih sejati Islam yang dipelajarinya dari Rasulullah saw.  Semua imam suci memiliki kesiapan yang sempurna untuk menunaikan kewajiban yang penting ini. Namun sayangnya, mereka dihadapkan kepada batasan-batasan dari para khalifah yang zalim. Selain merampas khilafah, para khalifah yang tiran itu juga tidak mengijinkan para imam untuk menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan agama yang diperlukan oleh masyarakat. Para pengikut imam suci juga tidak berani merujuk dan bertanya kepada mereka dan terpaksa melakukan taqiyyah ‘menyembunyikan keimanan’, khususnya di era Bani Umayyah yang memang mengondisikan iklim yang mencekam dan mengkhawatirkan di tengah umat Islam dan melancarkan propaganda buruk terhadap Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait. Namun, di masa Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Shadiq, keadaannya berubah. Kondisi yang menakutkan itu telah pecah dan masyarakat mulai menyadari ketertindasan Ahlulbait. Masyarakat memerlukan ilmu nubuwwah yang asli, yang diamanahkan kepada para imam.

Pemerintahan Bani Umayyah semakin melemah dan goyah sehingga terpaksa mengurangi pembatasan-pembatasan. Pada awal-awal periode pemerintahan Bani Abbas, juga terjadi hal yang sama karena tonggak-tonggak pemerintahan mereka belum kukuh sehingga terpaksa memberikan kebebasan berbuat bagi para Ahlulbait.

Dengan memperhatikan berbagai sisi di atas dan juga mungkin sisi-sisi lainnya, Imam Baqir dan Imam Shadiq memanfaatkan peluang itu untuk menyebarluaskan  ilmu, pengetahuan, serta fikih nubuwwah yang hakiki.

Imam Shadiq mendidik dan membimbing banyak murid serta mengajarkan kepada mereka ribuan hadis dalam berbagai bidang, yang di antaranya terdapat dalam kitab-kitab hadis.  Apabila merujuk kepada kitab-kitab hadis, kita akan melihat bahwa hadist dalam jumlah yang paling besar adalah yang hadis diriwayatkan dari dua Imam besar tersebut.

Dalam Manaqib ditulis, bahwa ilmu yang dinukil dari Imam Ja’far Shadiq tidak pernah dinukil dari orang lain. Sejumlah shahibul hadis mengumpulkan nama-nama perawi yang muwatsaq, yang jumlahnya mencapai empat ribu orang.[383]

Dalam kitab Hilyatul Auliya, Abu Na’im meriwayatkan bahwa para pemuka agama dan ulama besar yang meriwayatkan hadis dari Ja’far bin Muhammad adalah seperti Malik  bin Anas, Sya’bah bin Hujjaj , Sufyan Tsauri, Ibn Juraih, Abdullah bin Amer, Ruh bin Qasim, Sufyan Uyainah, Sulaiman bin Bilal, Ismail bin Ja’far, Hatim bin Ismail, Abdul Azis bin Mukhtar, Wahab bin Khalid, dan Ibrahim bin Thahan.

Muslim dalam Shahih-nya menukil hadis dari Imam Ja’far dan berargumen dengan itu [384]. Yang lainnya mengatakan bahwa Malik, Syafi’I, Hasan, Shalih, Abu Ayyub Sajistani, Amer bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal juga meriwayatkan hadis dari Ja’far bin Muhammad.

Malik bin Anas berkata, “Hingga kini belum terlihat dan terdengar bahwa ada seseorang dari sisi ilmu, kemuliaan, ibadah, dan ketakwaan yang lebih mulia dan utama daripada Ja’far Shadiq.”[385]

Imam Ja’far Shadiq berkata, “Aku mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan apa yang ada di surga dan neraka, dan di masa akan datang dan masa lalu, dan aku menggunakan al-Quran.”  Kemudian Imam membuka tangannya dan berkata, “Allah berfirman di dalam al-Quran,  فیه  تبیان کل شیء .[386]

Shalih bin Aswad berkata, “Aku mendengar dari Ja’far bin Muhammad yang berkata, “Tanyakanlah apa saja yang engkau kehendaki sebelum kalian kehilangan aku karena setelahku, seseorang tidak akan dapat menyampaikan hadis seperti diriku.”[387]

Ismail bin Jabir menukil dari Ja’far Shadiq yang berkata, “Allah swt mengutus Muhammad sebagai Rasul dan setelah itu, tidak akan ada nabi lain. Allah menurunkan al-Kitab dan setelah itu, tidak akan ada kitab lain.  Di dalam Kitab itu, Allah swt menghalalkan sejumlah perbuatan dan mengharamkan sebagian.  Halal Allah tetap halal hingga hari kiamat dan haramnya akan haram hingga hari kiamat.  Berita-berita orang yang terdahulu, masa akan datang, dan masa sekarang terdapat dalam Kitab samawi ini.”  Kemudian Imam menunjuk dadanya dan berkata, “Semuanya kami ketahui.”[388]

            Imam Ja’far Shadiq berkata, “Ilmu terbagi menjadi empat bagian: simpanan-simpanan masa lalu, yang bersifat tertulis, apa yang didoktrin di hati kami, dan apa yang disebutkan di telinga kami. Kitab Jufr Ahmar, Jufr Abyadh. Mushaf Fatimah, Kitab Jami’ah ada di sisi kami.  Apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat telah tercatat di sana.”[389]

Ibn Abil Hadid menulis, “Para sahabat Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad belajar ilmu fikih dari Abu Hanifah. Syafi’i adalah murid Muhammad bin Hasan yang belajar ilmu fikih dari Abu Hanifah.  Ahmad bin Hambal belajar ilmu fikih dari  Syafi’i.  Maka fikih pun kembali kepada Abu Hanifah sedangkan Hanifah belajar dari Ja’far bin Muhammad.”[390]

Mas’udi menulis, “Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad mengadakan jalsah atau majelis bagi masyarakat umum dan orang-orang khusus. Mereka datang dari berbagai penjuru negeri untuk menanyakan berbagai persoalan halal dan haram, tafsir  dan ta’wil al-Quran, serta hukum-hukum pengadilan. Tidak ada seorang pun yang keluar dari majelis itu kecuali telah merasa puas terhadap jawaban Imam Ja’far.”[391]



Ibadah dan Penghambaan

Imam Ja’far Shadiq, seperti juga ayah-ayahnya yang mulia, dari sisi ubudiyah berada pada peringkat tertinggi dan manusia yang paling mulia di zamannya.  Di antaranya, kami akan menyinggung sebagiannya.

Telah diriwayatkan bahwa ketika, dalam shalat, membaca ayat-ayat al-Quran, Imam Ja’far Shadiq keluar dari keadaan biasa atau tak sadarkan diri.  Ketika sadar, Imam ditanya mengapa dia pingsan. Imam menjawab, “Aku sedang mengulang-ulang ayat sehingga seolah-olah aku mendengarnya langsung secara lisan dari Allah atau Jibril.”[392]

Aban bin Taghlib berkata, “Aku menjumpai Imam Ja’far Shadiq yang sedang shalat. Aku menghitung zikir, rukuk, serta sujud Imam. Aku mendapati bahwa Imam mengucapkan tasbih sebanyak enam puluh kali.”[393]

Hamzah bin Hamran dan Hasan bin Ziyad berkata, “Aku menemui Imam Ja’far Shadiq yang sedang mengimami shalat ashar berjamaah. Imam mengulangi zikir   سبحان ر بی العظیم و بحمده  sebanyak 33 atau 34 kali dalam rukuk dan sujud. “[394]

            Yahya bin Ala’ berkata, “Pada malam ke-23 bulan Ramadhan, Imam Shadiq sakit keras. Imam memerintahkan agar ia digotong beserta pembaringannya ke sisi makam Rasulullah saw untuk menjalani ibadah hingga subuh.”[395]

            Ibn Thaglib berkata, “Dalam perjalanan antara Madinah ke Makkah, aku berada di sisi Imam Ja’far. Tatkala sampai di Haram, Imam turun dan mandi. Lantas Imam menjinjing sepatunya dengan tangannya sendiri dan memasuki Haram dengan tanpa alas kaki.”[396]

            Hafadz bin Bakhtari menukil dari Imam Shadiq yang berkata, “Di masa muda, aku begitu bersungguh-sungguh dalam ibadah. Ayahku berkata, “Anakku! Dalam ibadah, janganlah engkau melelahkan dirimu karena Allah swt –ketika menyukai hamba-Nya, akan menerima amal hamba-Nya itu walaupun sedikit.”[397]

Muawiyah bin Wahab berkata, “Aku pergi dengan Imam Ja’far Shadiq ke pasar Madinah dengan mengendarai keledai hingga tiba di dekat pasar.  Imam Ja’far turun dari keledainya dan bersujud.  Sujudnya begitu lama. Ketika Imam selesai dari sujudnya, aku bertanya, “Engkau telah turun dari kendaraan dan bersujud?” Imam menjawab, “Aku teringat kepada salah satu nikmat Allah. Oleh karena itulah, aku bersujud untuk bersyukur kepada Allah swt.” Aku bertanya, “Walaupun di dekat pasar yang banyak manusia berlalu-lalang?” Imam mengatakan, “Tidak ada orang yang melihatku.”[398]

Malik bin Anas berkata, “Untuk sekian lama, aku berlalu-lalang di sisi Ja’far bin Muhammad dan tidak melihatnya kecuali dalam tiga keadaan: dalam keadaan shalat, puasa, atau membaca al-Quran. Imam selalu dalam keadaan wudhu manakala menukil atau meriwayatkan hadis.”[399]

Malik bin Anas berkata, “Dalam suatu perjalanan haji, aku berada di sisi Imam Ja’far. Di Miqat, Imam menahan hewan kendaraannya untuk muhrim.  Namun, setiapkali hendak mengucapkan talbiyah, ia tidak kuasa mengatakannya. Suaranya terputus di mulutnya sehingga hampir saja ia jatuh dari kendaraannya. Aku berkata, “Wahai putra Rasulullah! Mengapa engkau tidak mengucapkan talbiyah?” Imam mengatakan, “Bagaimana aku mengucapkan talbiyah sementara Allah swt mungkin menjawab, “ لا لبیک و لا سعد یک “ ‘tidak ada sambutan dan kebahagiaan untukmu’[400]

Mencari Rejeki Halal

Meskipun memiliki kesibukan ilmiah yang banyak dan sebagian besar waktunya diluangkan untuk menyebarluaskan dan mengajarkan ilmu agama, Imam Ja’far Shadiq, di waktu kosong dan senggangnya, berupaya untuk mencari rejeki yang halal.

Abdul A’la berkata, “Di suatu hari yang panas,  aku menyaksikan Imam Ja’far Shadiq  di sebuah jalan yang menuju Madinah. Aku berkata, “Wahai putra Rasulullah! Kukorbankan diriku untukmu! Dengan maqom tinggi yang kaumiliki di sisi Allah dan asalmu yang dari keluarga Rasulullah, mengapakah di hari yang panas ini engkau menyusahkan dirimu sendiri?” Imam menjawab, “Wahai Abdul A’la! Aku keluar dari rumah untuk mencari rejeki sehingga aku tidak membutuhkan manusia-manusia sepertimu.”[401]

Ismail bin Jabir berkata, “Aku melihat Imam Ja’far Shadiq di ladangnya dengan mengenakan pakaian yang menyerupai karbas sedang mengairi ladangnya.[402]

Abu Umar Syaibani berkata, “Aku menyaksikan Imam Shadiq di ladangnya sedang mengenakan pakain kasar dan bekerja dengan pacul lalu keluarlah keringatnya.  Aku berkata, “Ijinkan aku membantumu.” Imam berkata, “Aku suka apabila manusia, di tengah panasnya matahari, mencari rejeki yang halal.”[403]

Syua’ib berkata, “Aku menyewa beberapa buruh untuk bekerja di ladang Imam Ja’far. Menurut rencana, mereka akan bekerja hingga ashar. Manakala mereka sudah selesai dari pekerjaannya, Imam berkata, “Sebelum keringat mereka kering, bayarlah upah mereka!”[404]

Muhammad bin Adzafir menukil dari ayahnya yang mengatakan, “Imam Shadiq memberikan seribu tujuh ratus dinar kepadaku dan berkata, “Berdaganglah untukku dengan uang ini.” Lantas, Imam berkata, “Meskipun memperoleh keuntungan itu adalah kebaikan, tujuanku bukanlah itu. Namun, tujuanku adalah agar Allah swt melihatku dalam keadaan diriku mendatangkan kebaikan dan keuntungan bagi-Nya.”

Kemudian ayahku berkata, “Aku berdagang dengan uang itu dan mendapatkan keuntungan sebanyak seratus dinar. Aku berkata kepadanya, “Aku mendapatkan keuntungan bagimu.” Imam mengatakan, “Jadikan jumlah itu sebagian dari modalmu!”

Tidak lama kemudian, ayahku wafat. Imam Shadiq menulis kepadaku,  “Semoga Allah memberikan kepadamu afiyah! Aku memiliki seribu delapan ratus dinar di sisi ayahmu. Aku berikan uang itu agar dijadikan modal dagang. Berikanlah uang itu kepada  Amer bin Yazid!”

Lalu, aku memperhatikan surat-surat ayahku. Di sana tertulis, “Abu Musa memiliki 1800 dinar di sisiku, Abdullah bin Sanan, dan Amer bin Yazid juga mengetahui hal ini.”[405]


Infak dan Ihsan

Seperti juga ayah-ayahnya yang mulia, meskipun tidak memiliki uang yang banyak, Imam Shadiq, dalam batas kemampuannya, menginfakkan hartanya kepada kaum fakir-miskin dan orang-orang yang berhutang. Akan kami sebutkan sebagian contohnya.

Hisyam bin Salim mengatakan, “Kebiasaan Imam Ja’far Shadiq adalah memikul kantung yang berisikan roti, daging, dan uang di kegelapan malam ke rumah-rumah orang miskin Madinah dan membagikannya kepada mereka, padahal mereka tidak mengenalnya. Sepeninggal Imam Shadiq, mereka baru menyadari bahwa yang berbuat baik itu adalah Imam Ja’far Shadiq.”

Mu’li bin Hunais mengatakan, “Di malam yang hujan, aku melihat Imam Ja’far sedang bergerak ke perkampungan Bani Saidah. Maka, aku mengikutinya dari kejauhan. Tiba-tiba apa yang ada di pundaknya itu terjatuh. Imam mengatakan,  بسم الله اللهم رده علینا  ‘dengan nama Allah, ya Allah, kembalikanlah kepada kami’. Aku mendekat dan mengucapkan salam.  Setelah menjawab salam, Imam mengatakan, “Wahai Mu’li bin Hunais! Upayakanlah untuk mengembalikan apa yang jatuh dari pundakku kepadaku!” Di kegelapan malam itu, aku mencari yang jatuh itu. Ternyata ada roti yang tercerai-berai. Lalu aku juga menemukan kantung. Aku berkata, “Ijinkanlah aku untuk membawakannya untukmu.” Imam menolak tawaranku itu dan berkata, “Aku sendiri lebih pantas untuk membawanya.”


Objektif dan Mencintai Sesama Manusia

Abu Ja’far Nazari mengatakan, “Imam Ja’far Shadiq memberikan seribu dinar kepada Mushadif, budaknya, dan berkata, “Berdaganglah dengan uang ini dan pergilah ke Mesir karena keluargaku sudah banyak!” Mushadif membeli sejumlah barang dengan uang itu dan bersama para pedagang, ia pergi ke Mesir. Tatkala sudah mendekati Mesir, sekelompok orang di luar Mesir menyambut kedatangan mereka.  Para pedagang menanyakan barang-barang apa saja yang diperlukan oleh masyarakat secara umum. Mereka menjawab, barang-barang ini masih langka di kota ini.  Maka, para pedagang berikrar untuk tidak menjual barang dagangan kecuali dengan harga dua kali lipat dan mereka melakukan itu. Lantas mereka mengambil uang dagangannya dan kembali ke Madinah.

Mushadif datang menjumpai Imam Ja’far.  Ia membawa dua kantung uang  yang tiap-tiap berisi seribu dinar.

Mushadif berkata, “Ini seribu dinar yang merupakan pokok modal dan seribu dinar lagi adalah keuntungannya.”  Imam berkata, “Keuntungan yang melimpah! Bagaimana engkau mendapatkan keuntungan sebanyak itu?” Mushadif menceritakan kejadian yang sebenarnya.   Imam Shadiq berkata, “Mahasuci Allah! Bagaimana engkau mengikat janji untuk tidak menjual barang daganganmu dengan keuntungan ganda!”

Kemudian, Imam Ja’far mengambil salah satu kantung seraya berkata, “Aku hanya akan mengambil pokok modalku dan selebihnya aku tidak membutuhkan keuntungan yang kauperoleh dengan jalanmu. Wahai Mushadif! Memukul pedang  adalah lebih mudah daripada mencari rejeki halal.”[406]

Mu’tab mengatakan, “Imam Shadiq berkata kepadaku, “Barang dagangan ini telah mahal di Madinah. Sejauhmana perbekalan makanan kita?” Aku berkata, “Cukup untuk beberapa bulan.” Imam berkata, “Kalau demikian, bawalah ke pasar dan juallah!” Aku berkata, “Di Madinah, barang yang diperlukan sangat terbatas.” Imam berkata, “Bawa, juallah, dan belilah untuk keperluan kami dari hari ke hari, sebagaimana masyarakat umum lainnya yang membeli perbelanjaan sehari-harinya.”

Imam berkata, “Makanan keluargaku dari barley dan gandum. Allah mengetahui bahwa aku dapat menyediakan makanan keluargaku dari gandum murni tetapi aku lebih suka Allah swt menyaksikan bahwa aku, dalam kehidupanku dan keluargaku, telah memelihara kesederhanaan dan kebersahajaan.”[407]



Taushiyah agar Menyenangkan Orang

Imam Ja’far Shadiq, selain melakukan ihsan dan memberikan solusi-solusi bagi orang-orang yang dilanda kesulitan, juga menganjurkan orang lain agar melakukan hal yang sama.  Seorang lelaki datang menemui Imam Ja’far Shadiq lalu menceritakan kesulitannya. Lelaki itu harus membayar pajak kepada pemerintahan Najasi yang saat itu berkuasa hingga ke Ahwas dan Fars. Namun, lelaki itu tidak mampu membayarnya.  Berhubung Imam Ja’far Shadiq adalah panutan raja Najasi, maka lelaki itu memohon bantuan Imam Ja’far agar pajak tersebut dikurangi.  Imam Ja’far, dalam sebuah suratnya, menulis,   یسم الله الرحمن الرحیم سر اخاک یسر ک الله  yang artinya, ‘bahagiakanlah saudaramu maka Allah akan membahagiakanmu’.

Lelaki itu mengambil surat tersebut, menemui Najasi, dan berbicara empat mata dengannya.  Surat itu diserahkannya kepada Najasi seraya berkata, “Surat ini ditulis oleh Imam Ja’far Shadiq untuk Anda.” Najasi mengambil surat itu dan menciumnya lalu meletakkannya di matanya seraya berkata, “Apakah hajat dan keperluanmu?” Ia berkata, “Aku memiliki hutang pajak yang tidak mampu kubayar.” Raja Najasi itu bertanya, “Berapa jumlahnya?”  Lelaki itu menyebut sepuluh ribu dirham. Najasi memanggil sekretarisnya dan berkata, “Tunaikanlah hutang lelaki ini dari harta pribadiku!” Bahkan, Najasi memerintahkan agar pajak di tahun depan juga dibebaskan. Kemudian Najasi bertanya kepada lelaki itu, “Apakah aku telah membahagiakanmu?” Ia berkata, “Benar, kukorbankan diriku untukmu.” Lantas Raja itu memerintahkan agar lelaki itu diberi kendaraan, seorang budak lelaki, seorang budak wanita, dan sehelai pakaian.  Setiapkali pemberian itu diserahkan, Najasi bertanya, “Apakah aku telah membuatmu senang?” Lelaki itu membenarkannya. Lantas Najasi memberikan permadani, yang di atasnya ia menerima surat dari Imam Ja’far Shadiq –manusia yang sangat dicintainya itu, kepada lelaki itu. Selanjutnya, Najasi meminta lelaki itu datang kepadanya sewaktu-waktu jika ia memiliki hajat lagi.

Lelaki itu mengambil harta tersebut dan keluar. Tak lama kemudian, lelaki itu menemui Imam Ja’far dan menceritakan pertemuannya dengan Najasi.  Imam Ja’far sangat senang. Lelaki itu berkata, ”Wahai putra Rasulullah! Sepertinya Anda ridha dengan perbuatannya?” Imam mengatakan, “Benar demi Allah! Allah dan Rasul-Nya juga ridha dengan perbuatan ini.”[408]

Muhammad bin Basyar berhutang seribu dinar kepada Syahab dan tak mampu membayarnya.  Ia menjumpai Imam Ja’far Shadiq. Ia meminta Imam berbicara dengan Syahab agar bersedia menunda  hutangnya hingga musim haji selesai. Imam Ja’far memanggil Syahab dan berkata kepadanya, “Anda mengetahui tentang keadaan Muhammad dan hubungannya dengan kami.” Ia berhutang sebanyak seribu dinar kepadamu. Ia tidak membelanjakan uang itu untuk makanan dan memuaskan syahwatnya, melainkan berhutang kepada masyarakat. Aku menghendaki agar engkau menghalalkan hutangnya. Mungkin engkau berpikir bahwa sebagai ganti uang ini, Allah akan mengambil kebaikan-kebaikannya dan memberikannya kepadamu?” Syahab berkata, “Aku berpikir seperti itu.” Imam Shadiq berkata, “Allah swt lebih adil daripada itu. Bagaimana semua pahala hamba-Nya, yang di malam-malam dingin berdiri untuk beribadah dan di siang yang panas berpuasa dan bertawaf di rumah llahi, diambil darinya lalu diberikan kepada orang lain! Tidak!  Akan tetapi, karunia Allah  sangat melimpah dan diutamakan bagi hamba-hamba-Nya yang mukmin.”  Syahab berkata, “Wahai putra Rasulullah! Kuhalalkan hutangku kepadanya.”[409]



Sabar dalam Menghadapi Musibah

Qutaibah berkata, “Aku menjumpai Imam Ja’far untuk mengunjungi putranya yang sedang sakit.  Aku melihat Imam tampak sedih. Aku menanyakan keadaan putranya. Imam berkata, “Demi Allah! Masih seperti sebelumnya.”

Setelah sekian jam, Imam masuk ke rumah dan tak lama kemudian, kembali.  Wajah Imam berbinar dan kesedihannya hilang. Aku menduga putranya telah sembuh.  Aku bertanya kepada Imam, “Bagaimana keadaan putra Anda?” Imam mengatakan bahwa putranya telah meninggal dunia.  Aku bertanya, “Sewaktu anakmu masih hidup, engkau tampak sedih tetapi kini, ketika sudah meninggal, kesedihanmu malah hilang. Bagaimana bisa seperti ini?” Imam berkata, “Demikianlah sirah kami, Ahlulbait, yakni bahwa sebelum terjadinya musibah, kami berduka tetapi setelah itu terjadi,  kami ridha dan pasrah dengan ketetapan Allah.”[410]

Sufyan Tsauri menjumpai Imam Ja’far.  Imam tampak berduka dan gelisah.  Imam berkata, “Aku melarang anggota keluargaku pergi ke atap rumah. Ketika aku masuk ke rumah, salah seorang budak sedang menggendong salah seorang putraku naik ke tangga. Tatkala melihatku, ia takut dan gemetar sehingga anakku jatuh dan meninggal. Kini, aku bukan cemas soal kematian anakku tetapi cemas mengapa budakku takut kepadaku sehingga peristiwa itu terjadi.” Kemudian Imam berkata kepada budaknya itu, “Kubebaskan engkau di jalan Allah dan engkau tidak apa-apa.”  Imam mengulangi ucapan itu dua kali.”[411]

Ala’ bin Kamil berkata, “Aku berada di sisi Imam Ja’far.  Tiba-tiba, terdengar suara tangisan dari dalam rumah. Karena mendengar suara teriakan itu, Imam Ja’far bangun dan berkata, “Inna lilla wa inna ilahi rajiun.” Kemudian Imam duduk dan melanjutkan pembicaraannya sampai selesai.  Selanjutnya Imam berkata, “Kami menyukai kesehatan dan keselamatan diri, anak-anak, serta harta kami. Namun, ketika ketetapan Allah menghendaki lain, maka tidak sepatutnya kami menyesalkan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah.”[412]

[371] QS. Fathir: 32
[372] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 12.
[373] Ibid, jilid 47, hal. 13; QS. al-Qashash: 5
[374] Ibid jilid 47, hal. 13.
[375] Ibid, jilid 47, hal. 14; Fushulul Muhimmah, hal. 204; al-Irsyad, jilid 2, hal. 181.
[376] Ibid, jilid 47, hal. 15; al-Irsyad,  jilid 2, hal. 180.
[377] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 15.
[378] Ibid, jilid 47, hal. 15.
[379] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 36; Manaqib Ali Abi Thalib,  jilid 4, hal. 272.
[380] Ibid, jilid 47,  58.
[381] Istbatul Huda, jilid 5, hal. 328.
[382] Al-Irsyad, jilid 2, hal. 182.
[383] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 268.
[384] Ibid, jilid 4, hal. 269.
[385] Ibid, jilid 4, hal. 269.
[386] Ibid, jilid 4, hal. 270.
[387] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 33.
[388] Ibid, jilid 47, hal. 35.
[389] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 1, hal. 18.
[390] Ibid, jilid 1, hal. 18.
[391] Istbatul Washiah, hal. 156.
[392] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 58.
[393] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 50.
[394] Ibid, jilid 47, hal. 50.
[395] Ibid, jilid 47, hal. 53.
[396] Ibid jil 47 hal 54.
[397] Ibid jil 47 hal 55.
[398] Bihar anwar jil 47 hal 21.
[399] Tahdzib at tahdzib jil 2 hal 104, Manaqib Ali Abi Thalib jil 4 hal 297.
[400] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 297.
[401] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 55.
[402] Ibid,  jilid 47, hal. 56.
[403] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 57.
[404] Ibid, jilid 47, hal. 57.
[405] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 56.
[406] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 59.
[407] Ibid jil 47 hal 59.
[408] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 370.
[409] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 364.
[410] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 49.
[411] Ibid, jilid 47, hal. 24;  Manaqib Ali Abi Thalib,  jilid 4, hal. 296.
[412] Ibid, jilid 47, hal. 49.