پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

BAB 11: Tingkat Kesempurnaan Akal Manusia Menjelang Kemunculan Imam Mahdi

BAB 11
Tingkat Kesempurnaan Akal Manusia
Menjelang Kemunculan Imam Mahdi

 

PERTEMUAN diadakan tepat waktu. Dr. Jalali memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.

Dr. Jalali: Kenyataan hidup yang ada di sekitar kita menunjukkan banyaknya perbedaan pemikiran, keyakinan, dan agama. Fakta ini juga menghasilkan faktor- faktor yang munculnya perbedaan-perbedaan yang ada dalam imajinasi Anda. Dengan perbedaan seperti ini, bagaimana mungkin membayangkan bahwa segenap manusia akan tunduk pada satu pemerintahan dan satu kekuasaan ketika dunia diatur oleh pemerintahan al-Mahdi?

Tn. Hosyyar: Bila kondisi umum dunia dan tingkat pengetahuan, persepsi dan akal manusia tetap pada level yang sama sebagaimana sebelumnya, maka memang mustahil memikirkan suatu pemerintahan dunia yang bersatu di bawah kepemimpinan Imam Mahdi. Akan tetapi, di pihak lain, ketika tingkat pemikiran dan peradaban manusia serta pengetahuan di abad-abad silam tidak sama dengan abad sekarang—setelah melalui perubahan dan transformasi yang begitu pesat yang merupakan bagian sejarah manusia di mana secara bertahap manusia mencapai tingkatan lebih tinggi—maka amatlah logis meyakini bahwa tingkat pengetahuan sekarang berbeda dengan yang sebelumnya. Dengan kata lain, tingkat pengetahuan manusia dari masa ke masa tidaklah stagnan. Dapat dikatakan, dengan bekal kepercayaan diri seperti ini, pemahaman kemasyarakatan akan lebih baik. Untuk memahami hal ini dengan sempurna, kita harus memahami zaman lampau dan membandingkannya dengan zaman sekarang guna merumuskan visi kita atas kemungkinan masa depan.

Sudah umum diketahui dan bukti tak terbantahkan bahwasanya sifat egoisme dan mementingkan diri sendiri merupakan instink alamiah manusia. Sifat-sifat ini berperan banyak dalam mendorong manusia untuk mencapai kesempurnaan, kebahagiaan, dan kepentingan pribadi lainnya. Setiap orang berusaha keras untuk meraih keinginan pribadi dan berusaha mengatasi segala penghalang. Dalam langkahnya ini, galibnya sangat sedikit perhatian yang dicurahkan kepada kepentingan orang lain. Akan tetapi, saat mereka menyadari bahwa kepentingannya lebih baik dikhidmatkan dengan cara menjaga kepentingan orang lain, maka mereka menerima gagasan tersebut. Bahkan dengan senang hati mengorbankan beberapa kesenangannya untuk orang lain.

Mungkin, kesadaran akan kepentingan pribadi dalam bentuk penjagaan kebaikan umum inilah yang mendorong perkembangan lembaga pernikahan. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan menyadari bahwa mereka saling memerlukan. Rasa membutuhkan dan saling kebergantunganlah yang memperkuat tali pernikahan mereka. Kebutuhan untuk menyeimbangkan keegoisan diri sendiri guna meraih kebahagiaan merupakan kunci untuk mengembangkan keluarga yang sehat dan hubungan sosial yang saling menguntungkan. Dalam kenyataannya, masing-masing anggota keluarga hanya memiliki satu keinginan yaitu meraih kebahagiaan sendiri. Namun, karena untuk meraih kebahagiaan ini pasti bergantung pada kebahagiaan anggota keluarga lainnya, maka usaha meraih kebahagiaan kolektif melalui rasa kerja sama dan interaksi dengan segera menjadi dasar hubungan kemanusiaan yang ideal.

Untuk waktu yang lama, manusia menerapkan keluarga besar (extended family) dalam tenda-tenda. Menyusul peristiwa-peristiwa pertikaian, konflik dan perselisihan yang mengganggu rasa aman mereka, keluarga-keluarga itu berkumpul membentuk sebuah masyarakat untuk mengkonsolidasikan sumber-sumber penghasilan mereka guna membela diri sendiri terhadap keluarga dan kelompok lainnya. Perkembangan ini mendorong pembentukan kelompok kekeluargaan dan kebangsaan. Anggota-anggota kelompok ini—melalui kesalingcocokan—mengorbankan beberapa hak individu dan masyarakat untuk kepentingan suku bangsa sehingga akan terjalin rasa bahagia bersama, lalu timbulah kehendak mendirikan pertahanan guna melindungi kepentingan umum mereka dan menghadang ancaman dari luar. Kemajuan dalam pemikiran kolektif dan kesadaran akan kebutuhan yang mendesak ini perlu dipelihara, baik dalam hubungannya dengan intern suku bangsa dan dalam hubungannya dengan suku bangsa lain. Pada akhirnya, faktor-faktor tersebut mendorong masyarakat untuk membentuk dusun-dusun dan kota-kota untuk membela kepentingan umum.

Perkembangan dari kehidupan desa ke kota dan kehidupan bernegara terjadi secara berjenjang dan didorong oleh sebuah keputusan pragmatis guna memajukan kebaikan bersama yang sangat ditentukan oleh kebutuhan akan keamanan dan hubungan damai dengan masyarakat yang lebih banyak dan kuat. Kelahiran suatu bangsa merupakan kosekuensi logis kebutuhan manusia untuk mendapatkan manfaat maksimal dari hukum wilayah tertentu.

Bila ditilik dari beberapa segi, bangsa merupakan perkembangan dari struktur keluarga. Dalam sebuah bangsa, rakyat memperoleh dasar untuk berkehidupan sosial dan politik. Yang lebih penting lagi, rasa kebangsaan melebihi perbedaan ras dan bentuk-bentuk perbedaan lainnya yang kemudian berkumpul dalam budaya satu bangsa. Akhirnya, sejalan dengan perkembangan bangsa tersebut maka segala konflik dan permusuhan musnah. Kemudian tampaklah manfaat kebersamaan yang dapat memacu tercapainya masyarakat yang bahagia. Dengan pengalaman ratusan abad hidup bersama, maka keegoisan yang berlebihan dan kepicikan disaring. Walaupun demikian semua manfaat yang diraih melalui kontrak sosial yang diketahui bersama tetap meniscayakan kebutuhan kerja yang lebih keras lagi untuk meningkatkan kondisi kehidupan. Ini harus ditindaklanjuti melalui penciptaan infrastruktur sosial dan ekonomi.        

Peranan teknologi dalam meningkatkan kualitas kehidupan ditentukan oleh usaha negara dalam memberi keyakinan bahwa kemajuan ilmu dapat diraih melalui lembaga-lembaga khusus dan melalui pengontrolan manusia rasional. Saat ini kita merupakan saksi bagi teknikalisasi masyarakat dunia yang membawa pada terobosan yang luar biasa di dalam hubungan global melalui teknologi komunikasi. Hal-hal yang pernah muncul di generasi yang lampau sebagai fiksi ilmiah telah menjadi kenyataan. Dari sekian banyak hal yang ada, batas negara dan budaya yang tampak seperti “tirai besi”, yang memisahkan bangsa-bangsa ke dalam blok Barat dan Timur, dapat ditembus berkat sarana elektronik. Revolusi komunikasi telah mengubah tatanan ideologi dunia. Tak satu pun negara dapat hidup menyendiri. Namun di tengah-tengah semua kemajuan ini, masih terdapat permasalahan yang mengganjal, yaitu bagaimana caranya menciptakan seorang individu yang responsif pada nilai-nilai spiritual dan etika yang berfungsi sebagai tulang punggung masyarakat sehat. Apakah demokratisasi bangsa-bangsa dapat menjamin terpeliharanya kebutuhan inti manusia yang fundamental dan mutlak ini?

Masyarakat dunia telah banyak melakukan eksperimen dengan berbagai macam pemikiran (filsafat) dan ideologi untuk memperkuat visi bersama yang dapat menjamin keharmonisan dan keadilan di antara orang yang berbeda-beda bangsa dan keyakinan. Nasionalisme, komunisme, sosialisme, kapitalisme, dan isme-isme lain saling membagi negara-negara dan menggabungkan beberapa diantaranya (negara) ke dalam satu isme atau isme lainnya, menggiring negara-negara tersebut ke perang nuklir yang dahsyat, memaksa mereka bergabung dalam organisasi internasional, misalnya Persatuan Bangsa-bangs (PBB). Penelitian manusia dalam rangka mencapai keharmonisan dan kedamaian yang adil tetap menjadi anugrah yang paling berharga bagi masyarakat dunia. Pada saat yang sama, peristiwa dua perang dunia yang dasyat dapat menjadi ukuran jauh-dekatnya rasa kemanusiaan yang ideal di hati manusia di bumi ini.

Organisasi-organisasi internasional dicemari oleh politik kotor negara kuat. Bentuk imperialisme dan kolonialisme yang berbeda terus merajalela bahkan di era pascakolonialisme. Walaupun telah merasakan pengalaman buruk karena perang dan konflik, namun negara-negara di dunia ini tetap saja mengumpulkan senjata perusak massal yang dapat membumihanguskan manusia hanya dalam beberapa bentar.

Sekiranya sejarah masa lalu bisa dijadikan sebagai solusi bagi arah masa depan aktivitas manusia, tentunya tak akan sulit mengkategorikan jenis manusia. Jenis manusia secara mendasar dibagi dua: pertama, jenis manusia yang semata-mata memburu materi; kedua, jenis manusia yang menerima Tuhan sebagai satu-satunya pembimbing guna menjawab tantangan moral-spiritual. Dengan kata lain, dengan mengunggulkan materi dan memfungsikan individualisme dan sekularisme sebagai dua sayap yang mendukungnya, maka Tuhan dan etika ketuhanan serta arahan spiritual diremehkan dan secara sistematis disingkirkan dari kehidupan publik sebuah bangsa. Pada saat yang sama, terdapat dorongan alami manusia untuk mencari Pencipta mereka dan meyembah Tuhan Maha Pemurah. Sebelum keinginan ini terpenuhi, manusia niscaya tidak akan merasakan kedamaian dan keharmonisan. Tak satu pun ideologi, baik ideologi materi maupun sekular, mampu menggantikan keyakinan sederhana dan alamiah ini yang dapat memberikan kedamaian batin, keharmonisan kosmik, dan integritas total manusia.

            Agama Ibrahimik, terutama, telah menekankan agama kemanusiaan yang alamiah yang diasaskan pada ketaatan fitriah (an innate disposition) untuk menyembah Tuhan Yang Esa dan mengejawantahkan kehendak Tuhan di bumi dengan cara menciptakan masyarakat yang berorientasi spiritual dan etika. Agama-agama wahyu ini juga menjanjikan bahwa Tuhan akan menganugrahi kekuasaan kepada orang-orang yang menyambut dorongan alamiah mereka dengan menjadikan mereka panutan dan pemimpin bagi manusia. Selain itu, karena seluruh keyakinan-semu dan tuhan-tuhan palsu cenderung memicu konflik, maka mereka harus diluluhlantakkan sekiranya tatanan Tuhan ingin diwujudkan. Keinginan ini dapat terwujud bilamana manusia mengakui alam semesta-yang-berporos-Tuhan ini demi mencapai masyarakat dunia yang ideal. Masyarakat semacam ini akan merespon secara alami seruan Islam dan Nabi-Nya saw yang menyeru Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani untuk meninggalkan perbedaan dan menyembah satu Tuhan, Allah Yang Mahakuasa. Seruan ini diabadikan dalam al-Quran surah Ali Imrân [3] ayat 64:

Wahai Ahli Kitab! Marilah berpegang kepada suatu kalimat yang sama antara kami dan kalian, bahwa kita hanya menyembah kepada-Nya saja, dan tidak  mempersekutukan-Nya, dan janganlah beberapa orang di antara kita mempertuhankan selain Allah.

            Al-Quran mempersembahkan program penciptaan tatanan etis revolusioner ini yang akan merefleksikan kehendak Ilahiah di bumi melalui hamba-hamba-Nya yang saleh yang telah menyerahkan diri mereka sendiri kepada kehendak Alla SWT, yakni kaum Muslimin. Nabi saw pun telah mewartakan kepada kita bahwa seorang yang berkualitas dan saleh akan  memimpin manusia sehingga mereka bersatu di bawah Tuhan Yang Mahaesa dengan menolak semua bentuk penyembahan dan hanya memusatkan pada maksud dan tujuan Ilahi. Dialah al-Mahdi yang dijanjikan, seorang keturunan Muhammad saw. Imam al-Baqir as pernah berkata, “Tatkala al-Qâ`im hadir, dia akan meletakan tangannya di atas kepala hamba-hamba Allah SWT. Dia akan menyatukan akal budi manusia. Dia akan memimpin mereka untuk mencapai tujuan yang satu. Dia akan menjadikan mereka berakhlak mulia.”1

            Dalam hadis lain, Imam Ali bin Abi Thalib as menyampaikan esensi peranan al- Qâ`im bagi masa depan umat manusia. Dia berkata: “Ketika al-Qâ`im muncul maka permusuhan dan kemurkaan akan hilang-lenyap di mata manusia, dan keamanan umum akan tercipta di seluruh jagad.”2

            Akhirnya, Imam al-Baqir berkata, “Tatkala al- Qâ`im memegang kendali, maka seluruh kekayaan umum, tambang dan harta karun yang ada dalam bumi akan melimpah  [untuk dibagikan secara adil di antara manusia]."3

 

Kemenangan Terakhir Kaum Mustadh`afin

            Dr. Jalali: Di seluruh penjuru dunia, selalu ada penindas dan tiran yang memimpin dan mengatur kaum mustadh`afin. Para penindas ini menguasai segala sesuatu dan menggunakan kekuatannya untuk meneror rakyat umum. Dengan latar belakang ini, bagaimana al-Mahdi mengambil alih kekuasaan dan mengalahkan para tiran ini?

            Tn. Hosyyar: Sebenarnya, kemenangan al-Mahdi adalah kemenangan kaum mustadh`afin dunia dari para penindas. Sebenarnya mereka adalah mayoritas dan sumber kekuatan. Sedangkan para penindas adalah kaum minoritas walau sebesar bagaimanapun kekuatan mereka. Dengan hakikat inilah, kemenangan universal Imam Keduabelas dapat diraih. Izinkanlah saya menjabarkannya berdasarkan latar belakang tersebut sehingga segalanya menjadi jelas.

            Berdasarkan al-Quran dan beberapa riwayat hadis, kita tahu bahwa kaum mustadh`afin dipimpin oleh Imam Mahdi akan memberontak para penindas. Mereka akan meraih kemenangan. Mereka selamanya akan mengalahkan kekuatan tirani dan kezaliman dan mengambil alih pemerintahan dunia. Allah Yang Mahatinggi berfirman:                 

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka para pemimpin (a'immatan), dan menjadikan mereka para pewaris (bumi). (QS al-Qashash [28]:  5)

            Secara eksplisit, ayat ini menyampaikan kabar gembira bahwa yang akan memegang kekuasaan dan pemerintahan dunia adalah “kaum mustadh`afin”. Jadi kemenangan Imam Keduabelas sama dengan kemenangan kaum tertindas di bumi. Untuk lebih jelasnya, izinkan saya menekankan hal-hal berikut:          

(1) Apa makna mustadh`‘afin dan siapakah mereka itu?

(2)  Apa karakteristik penindas (mustakbirin)?

     (3) Kenapa para penindas menguasai para mustadh`afin?

     (4) Mungkinkah kaum mustadh`afin mengalahkan para penindas?

     (5) Siapakah pemimpin gerakan dunia ini?

            Al-Quran menyejajarkan kata “mustadh`afin” dengan kata mustakbirin. Oleh karenanya, dua kata ini mesti ditelaah secara bersamaan. Menurut al-Quran, mustakbirin (penindas) mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu.  Fir`aun, sebagai seorang penindas, dikabarkan dalam al-Quran:

Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan (QS al- Qashas [28]: 4)

            Tiga karater para penindas yang disebutkan pada ayat di atas adalah: pertama, berbuat sewenang-wenang; kedua, suka memecah belah; dan ketiga, berbuat kerusakan.

            Dalam ayat lain Allah berfirman:

Fir`aun berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang melampaui batas. (QS Yûnus [10]: 83)

            Dalam ayat ini, perbuatan melampaui batas disebutkan sebagai karakter seorang penindas.

            Allah berfirman dalam surah az-Zukhruf [43]: 54):

Maka dia (Fir`aun) mempengaruhi kaumnya, lalu mereka patuh padanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.

             Ayat ini memusatkan perhatian pada “mempengaruhi  kaumnya” yaitu menghina dan memaksa mereka tunduk kepadanya. Karakter ini merupakan karakter seorang tiran.

            Allah berfirman dalan surah al-Ankabût [29]: 39:

Dan (juga) Qarun, Fir`aun, dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi, mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran).

            Dalam ayat ini sifat suka menolak kebenaran dimasukan pada sifat seorang penindas.

            Allah berfirman dalam surah al-A’râf [7] ayat 75-76:

Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus oleh Tuhannya?“ Mereka menjawab,“Sesungguhnya kami beriman pada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.”

            Dalam bagian lainnya al-Quran menyatakan bahwa para tiran adalah orang-orang yang menyebarkan kekafiran dan berbuat kesyirikan:

Orang-orang yang tertindas akan berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, “Jika bukan karena kalian, kami akan menjadi orang-orang yang beriman.”…Dan orang-orang tertindas berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, “Sekali-kali tidak, dengan cara merencanakan siang dan malam, apabila kalian terus memerintah kami untuk mengingkari Allah dan mensyirikannya.”

Beberapa sifat penindas yang dapat diketahui dari ayat-ayat al-Quran di atas adalah :

1.      Membanggakan diri, yaitu menganggap dirinya besar

2.      Menciptakan perbedaan dan konflik di antara orang-orang agar dapat memecah belah mereka

3.      Berbuat melampaui batas

4.      Menghina dan menyiksa manusia

5.      Menyebarkan kerusakan

6.      Menolak kebenaran

7.      Menyebarkan kekafiran dan membuat kesyirikan

Para penindas adalah orang-orang yang menyatakan lebih besar dari orang lain tanpa dasar. Mereka berkata bahwa mereka adalah para negarawan dan para ahli cemerlang yang lebih mampu mengatur urusan orang-orang. Mereka memandang orang-orang tidak mempunyai kedewasaan dan kemampuan untuk merealisasikan kebaikan mereka sendiri. Karena itu, rakyat mesti menuruti orang-orang yang menyebut dirinya ahli ini bila ingin mencapai kemakmuran dan kebahagiaan.

Salah satu metode yang dipakai orang-orang ini untuk memecah belah rakyat adalah pecah dan kuasai (divide and rule). Selain itu, untuk mengokohkan kekuatan mereka, mereka benar-benar aktif menyebarkan kerusakan dengan cara menghidupkan kekafiran dan mendukung penyimpangan dan kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Dengan cara memanipulasi dan mengeksploitasi kekayaan rakyat, mereka berhasil mendominasi kehidupan sosial dan politik rakyat. Atas nama pertahanan negara dan rakyat, mereka mengumpulkan senjata-senjata perusak yang pada akhirnya merugikan masyarakatnya sendiri. Jadi, orang-orang semacam ini terlibat dalam eksploitasi besar-besaran untuk mengumpulkan kekayaan dan menumpuk-numpuknya untuk kepentingannya sendiri tanpa pertanggungjawaban sedikit pun. Sebenarnya orang-orang ini, menurut al-Quran, adalah orang-orang yang membanggakan diri dengan cara menipu dan menyalahgunakan kekuasaan yang berasal dari rakyat.

Sebaliknya, orang-orang mustadh`afin sebenarnya bukan orang-orang yang lemah dan cacat. Mereka adalah orang-orang yang menderita karena tekanan para penindas yang menyepelekan martabat mereka dan mengeksploitasinya habis-habisan guna meraih tujuan material dan jahat. Karena eksploitasi para penindaslah maka orang-orang mustadh`afin lupa pada harkat dan martabatnya sendiri dan jatuh pada perbudakan mental para penindas.

Sebenarnya, segala sesuatu yang berupa kekayaan negara, tanah, air dan lain-lain adalah milik mereka. Sumber daya alam, tenaga kerja, pengetahuan, industri, dan sumber kehidupan baru yang menghasilkan kekayaan juga milik mereka. Daya para pekerja, pemilik industri, tentara, para pelaksana keadilan, dan lembaga-lembaga pemerintah dibuat oleh mereka. Jadi orang-orang inilah (mustadh`afin) yang menjadi sumber kekuatan. Bukannya para penindas. Bila rakyat tidak bekerja sama dengan para tiran, maka darimanakah sumber kekuatan mereka (para penindas)?

Para penindas berhasil menjauhkan rakyat dari diri mereka yang suci dan fitri serta terpuruk dalam kekuasaan mereka yang tidak adil. Mereka menghembuskan janji-janji palsu dan licik. Mereka memperalat rakyat untuk memerangi rakyat lainnya. Dengan kata lain, para penindas sepanjang sejarah menjadi menjadi kaum minoritas yang berusaha melestarikan kebodohan rakyat akan diri mereka sendiri dan ditindas selamanya sehingga para penindas dapat mendominasi mereka selamanya.

Dengan latar belakang di atas, kita dapat mengetahui misi para nabi as, yaitu membebaskan mereka dari kebodohan dan menyadarkan harkat martabat diri sendiri. Para nabi as menjadi menjadi pemimpin orang-orang tertindas, membimbing mereka untuk membebaskan diri dari praktik perbudakan yang dilakukan oleh para tiran yang berlaku sombong dan curang secara terbuka, mengancam para penindas untuk tidak meneruskan kejahatan dan eksploitasinya. Dengan kata lain, misi para nabi as adalah menyokong para tertindas untuk menyadari tujuan penciptaan masyarakat yang adil dan merata di muka bumi.

Al-Quran merekam perjuangan para nabi as menentang para tiran. Ibrahim as bangkit melawan Namrud, Musa berdiri tegar melawan dominasi Fir`aun, Isa gigih melawan para penguasa yang zalim, dan Nabi Muhammad saw bangkit melawan Abu Jahal, Abu Sufyan, para kaisar, penguasa lainnya di zamannya. Beliau mengobarkan api jihad untuk membebaskan rakyat dari belenggu penindasan dan tirani para penguasa. Misi Nabi saw yang membedakan dengan misi para tiran adalah menyadarkan manusia akan hakikat dirinya. Misi Nabi saw ini dapat dilihat dalam ayat al-Quran berikut:

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat, yang menyeru  'Sembahlah Allah, dan jauhilah thâghût!' (QS an-Nahl [16 ]:  36)

Maka barangsiapa mengingkari thâghût dan percaya kepada Allah, maka ia telah berpegang pada pegangan yang terkokoh.

  Al-Quran membolehkan perang di jalan Allah dan menjadikannya kewajiban bagi seorang Muslim, karena ia diperintahkan untuk menyelamatkan dan melindungi kaum tertindas.  Allah berfirman dalam al-Quran:

Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri ini yang penduduknya pelaku kejahatan dan dan angkatlah bagi kami seorang penolong dari-Mu!" Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, sedangkan orang-orang kafir berperang dijalan taghut. Oleh karena itu perangilah teman-teman syetan; niscaya tipu daya mereka lemah. ( QS an-Nisâ`[4]:  76)

Mari kita simpulkan apa-apa yang kita diskusikan di atas:

(1)                Para penindas yang menguasai rakyat bukanlah orang besar. Mereka sebenarnya tidak memiliki kekuasaan. Mereka hanya memakai kekuasaan yang pada hakikatnya milik kaum mustadh`afin yang mereka perbudak dengan cara melemahkan dan mengeksploitasi mereka.

(2)                Orang-orang yang tertindas adalah kaum mayoritas yang memiliki kekuasaan yang riil. Mereka tidak selemah dan tidak seburuk yang tampak disebabkan strategi cuci otak (braiwashing) para tiran.

(3)                Penyebab utama kemalangan orang-orang tertindas adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. Karena mereka merasa lemah dan para tiran kuat dan berkuasa, maka secara tak sadar mereka menjadi kendaraan yang dapat didominasi. Mereka menaati perintah dan mengiakan berbagai jenis penghinaan dan perampasan tanpa perlawanan. Penyebab utama kejumudan mereka adalah ketidaksadaran akan kekuatan mereka sendiri. Ujung-ujungnya, kaum terjajah akan dicengkeram oleh tipu daya para penjajah berupa unjuk kekuatan palsu.

(4)                Satu-satunya cara untuk menyelamatkan kaum tertindas dari kondisi yang memprihatinkan adalah dengan cara membangkitkan kesadaran diri. Cara ini memerlukan revolusi pemikiran dan usaha keras guna mengantisipasi akibat cuci otak yang sudah lama digalakkan oleh penindas dan para pendukungnya. Ikhtiar ini membebaskan mereka  dari belenggu-belenggu dominasi zalim. Kekuatan semacam ini yang bersemayam di masyarakat perlu digali dan diberdayakan untuk meraih kesejahteraan segenap masyarakat. Bila semua sektor masyarakat—para sarjana, profesional, pekerja, tentara, dan lain sebagainya—telah mengetahui kesadaran diri ini, niscaya mereka bisa mengatasi rezim yang paling opresif sekalipun di muka bumi.

Bagaimanapun, seideal dan sepraktis apapun usulan yang diajukan, tetap saja ada sedikit keraguan mengenai apakah ini yang dikehendaki al-Quran dari manusia:          

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka para pemimpin (a'immatan), dan menjadikan mereka para pewaris (bumi). Dan Kami akan teguhkan kedudukan mereka di muka bumi. (QS al-Qashash [28]:  5-6)

Revolusi universal untuk membebaskan manusia dari jeratan para tiran dan para penguasa jahat akan dilancarkan oleh Imam Keduabelas. Para sahabat, pengikut, dan para pendukungnya akan menjadi para pewaris sebagaimana yang dijanjikan dalam ayat di atas. Imam al-Baqir as berkata:

Ketika al-Qâ`im muncul, Allah Yang Mahatinggi akan memerintahkannya untuk meletakkan tangannya di atas kepala-kepala orang-orang sehingga kesadaran dan akal mereka menjadi sempurna [untuk menerima arahannya dalam melangsungkan revolusi globalnya]. 4

Dari pesan al-Quran dan hadis di atas, nyatalah bahwa revolusi ini berwatak universal dan demi agama Allah serta penerapan teraju keadilan Tuhan. Pemimpin revolusinya adalah Imam Mahdi al-Muntazhar as dan para pendukungnya yang sejati dan amanah akan melakukan perjuangan, jihad yang absah dan adil,  di jalan Allah.

 

Allah berfirman dalam al-Quran:   

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana  Dia menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. (QS an-Nûr [24]: 55)

Dalam sebuah riwayat hadis, dikabarkan bahwa orang-orang yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Imam Mahdi, para sahabat, dan pengikutnya. Melalui merekalah agama Allah, Islam (dalam arti yang mendasarnya, islâm bermakna ketundukan kepada kehendak Allah), akan tersebar ke seantero dunia, menggantikan semua agama yang ada. Al-Quran dan hadis-hadis dari para imam as menjanjikan suatu hari ketika kaum mustadh`afin terjaga dari tidur dan kebodohan yang mematikan harga diri mereka. Mereka akan menyadari klaim-klaim kosong para tiran yang arogan dan sombong.

Pada saat itu, mereka akan berkumpul di bawah kepimpinan Imam Mahdi, di bawah naungan panji tauhid. Mereka akan meraih kemenangan karena keimanan kepada Allah. Mereka akan menghadapi para penguasa zalim. Dengan sebuah pukulan kolektif yang mematikan dan didorong oleh kekuatan iman, mereka akan melumpuhkan para penindas selama-lamanya. Di saat inilah, pemerintahan yang berkeadilan dan berkesetaraan akan tegak dan kekuatan kafir yang jahat akan punah selamanya. Tidak akan ada lagi peperangan antara manusia, sebab keadilan Allah akan mengatur dan menghapuskan penyebab konflik dan peperangan. Zaman ini adalah zaman perdamaian dan keharmonisan gemilang di bawah pemerintahan Allah

 

Mengapa Imam Mahdi Tidak Muncul?

Dr. Jalali: Saat ini kezaliman, penindasan, dan kekafiran, serta materialisme telah menyebar di mana-mana. Lantas, mengapa al-Mahdi yang dijanjikan itu tidak muncul untuk mengakhiri kondisi dunia yang chaotic ini?

Tn. Hosyyar: Setiap pemberontakan atau gerakan revolusioner untuk mencapai tujuan tertentu mesti didahului oleh persiapan. Salah satu prasyaratnya adalah kesiapan dan rasa perlunya manusia untuk melakukan revolusi dan juga kesiapan psikologis serta dukungan atasnya. Jika tidak demikian, maka revolusi yang dilancarkan akan gagal. Revolusi Imam Mahdi pun tidak lepas dari persyaratan ini. Revolusi beliau akan berhasil bila didukung oleh kondisi yang baik. Gerakan al-Mahdi bukan gerakan reformasi biasa yang menjangkau komunitas kecil. Ia merupakan gerakan internasional. Misinya global dan mencakup seluruh umat manusia. Oleh karenanya amat sulit merealisasikan gerakan ini tanpa mempersiapkan landasannya. Dalam rangka mengukur aspek revolusi yang menentang ini, perlu diingat bahwa salah satu tujuan kemunculan Mahdi adalah mengeliminasi semua bentuk diskriminasi—rasial, keyakinan, kebudayaan, bahasa, dan seterusnya—sehingga umat manusia mampu menggalang hubungan yang sangat erat di antara mereka.

Untuk menciptakan masyarakat global yang berbasis perdamaian dan keharmonisan melalui penerapan keadilan dan kejujuran, al-Mahdi mesti memperbaiki situasi sampai ke akar-akarnya, sehingga segala bentuk konflik yang merusak masyarakat hilang. Tugas semacam ini sulit dilakukan. Bahkan dengan adanya organisasi dunia seperti PBB pun tugas itu tidak dapat diselesaikan. Selama umat manusia tidak dikembalikan pada naluri spiritualnya, dan selama materialisme serta bentuk-bentuk sikap egois ekstrem lainnya yang tampil dalam bentuk individualisme tidak dilempangkan, maka masyarakat manusia yang berorientasi-Tuhan (God-centered) tidak mungkin terwujud. Masyarakat semacam ini hanya dapat ditegakkan di atas hukum-hukum Tuhan dan tatanan Islam.

Revolusi al-Mahdi menyuntikkan semangat pada orang-orang yang bingung. Ia akan menghancurkan semua tuhan palsu dan jahat yang diciptakan oleh pikiran manusia, yaitu batas-batas geografis, suku bangsa, kebangsaan, partai-partai politik, nabi-nabi palsu, dan lain sebagainya, serta mengganti mereka semua dengan kesucian akal, keikhlasan amal, dan nilai-nilai yang berperan dalam perbaikan nilai-nilai insani.

 

Tentu saja, membicarakan dan menulis hal ini adalah hal yang mudah. Namun menerapkannya jelas perkara sulit. Gerakan internasional semacam ini akan memeras banyak tenaga untuk membentuk manusia yang siap menyambut kemenangan. Naluri revolusi religius menuntut kesadaran yang mendalam pada jiwa manusia. Khususnya orang-orang Islam, sebab mereka mesti menjadi pelopor dan pemegang kepemimpinan revolusi. Mereka harus membuktikan kemampuan mengemban tanggung jawab besar ini dengan cara yang luhur. Al-Quran menunjukkan keadaan luhur dengan baik sebagai prasyarat untuk memangku tugas kemanusiaan.

Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh al-Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. (QS al-Anbiya [21]: 105)

Oleh karena itu, Mahdi al-Muntazhar tidak akan muncul selama umat manusia belum meraih tingkat kesempurnaan yang amat penting bagi pemerintahan yang benar. Tentu, kematangan mental bukanlah perkembangan semalam. Ia sebuah proses yang menuntut berbagai kejadian dan pengalaman untuk meraih kesuksesan. Umat manusia harus terus berjuang keras sampai seluruh energinya habis dan hakikat batas negara yang dibuat manusia jelas kesalahannya sebagaimana jelasnya cahaya matahari di siang hari. Hanya dengan demikianlah mereka dapat berhenti memikirkan istilah-istilah sempit dan meributkan hal-hal yang dapat menumpahkan darah dan kekejaman. Manakala umat manusia mulai memikirkan hal-hal yang menyatukan mereka dan seorang berkulit coklat, putih, atau hitam mulai memikirkan problem umum manusia yang dia diskusikan dengan orang lain, maka saat inilah revolusi terakhir harus terjadi.

Situasi yang memicu keputuasaan ini juga terjadi pada bidang-bidang lainnya sampai pada keadaan di mana umat manusia tidak mempunyai pilihan kecuali apa-apa yang Allah siapkan. Bahkan dalam bidang hukum pun, manusia terus menerus merevisi hukum dalam rangka menghasilkan hukum yang lebih adi dan lurus. Oleh karena itu, dari satu generasi ke generasi yang lain para ahli fiqih terlibat dalam penyebaran hukum-hukum baru dan mencabut hukum lama sehingga hukum-hukum tersebut dapat merefleksikan perubahan-perubahan waktu dalam proses pembuatan hukum. Proses ini akan terus berlangsung hingga orang-orang menyadari bahwa hukum yang dibuat tersebut mempunyai keinginan dan kepentingan pribadi penguasa. Di saat itulah ditemukan hukum-hukum Tuhan  abadi yang telah dibawa para nabi as, wakil Allah di muka bumi.

Saat ini manusia masih belum siap tunduk pada rencana Allah SWT. Mereka percaya, mereka akan senang dan bahagia bila mereka menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena dalih inilah, mereka mengesampingkan nilai-nilai moral-spiritual dan mengakrabkan diri dengan materialisme semata. Mereka terus mengejar materi sampai tiba waktunya ketika mereka menyadari bahwa kemajuan ilmu dan tekhnologi ini—walaupun mampu membawa umat manusia pada titik tertinggi di angkasa dan memanfaatkannya, atau mampu memelihara kekuasaannya—sama sekali tidak mampu memecahkan masalah ketidakadilan di dunia internasional dan menghapuskan sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme demi menegakkan masyarakat dunia yang etis dan adil.

Pada saat manusia memilih penguasa, gubernur, dan komandan, mereka mengakui wewenang orang-orang tersebut dan mempunyai beberapa harapan. Mereka juga selalu berharap, individu-individu yang lebih pintar dan lebih kuat akan dapat mengendalikan para penindas dan bekerja untuk meraih kemakmuran bersama. Namun, harapan ini jarang sekali terpenuhi dan pemerintahan ideal pun jarang terwujud. Dalam setiap zaman selalu muncul berbagai jenis dan bentuk pemerintahan. Namun mereka semua selalu terjebak dalam kekurangan, ketidakadilan, kerusakan sehingga diganti oleh bentuk pemerintahan lain yang baru. Pemerintahan-pemerintahan tersebut mau tidak mau harus menguras segala kemampuannya untuk menyadarkan manusia bahwa sesuatu yang cukup adalah cukup adanya, sampai tibalah waktunya pemerintahan Tuhan yang berdasarkan tauhid mengambil alih mereka semua. Hisyam bin Salim mewartakan sebuah hadis dari Imam ash Shadiq. Beliau bermadah:

Pemilik perintah [al-Mahdi] tidak akan menjalankan pemerintahan sebelum semua manusia [dengan segala bentuk pemeritahan dalam benak] telah selesai menerapkan kepemerintahannya. Sehingga ketika pemerintahan al-Mahdi telah melembaga, tak akan ada seorang pun yang berkata, “Seandainya kami berkuasa, kami pun akan melaksanakan pemerintahan dengan adil.”5

Imam al-Baqir bermadah:

Pemerintahan kami adalah pemerintahan terakhir. Semua keluarga yang haus kuasa akan meraih kekuasaan sebelum kami. Fenomena ini akan mencegah klaim apapun setelah pemerintahan kami tegak: “Seandainya kami berkuasa, kami pun akan bertindak seperti Ahlulbait Muhammad.” Makna ini cocok dengan ayat al-Quran yang berbunyi: “Hasil terakhir adalah milik orang yang bertakwa”. 6

Berdasarkan diskusi di atas, terbukti bahwa kedewasaan manusia belum cukup mampu berperan sebagai wadah dalam pemerintahan yang berdasarkan keyakinan tauhid. Namun, tidak ada alasan untuk berputus asa sebab kondisi ini tidak akan tetap begini selamanya. Pada akhirnya, karunia dan kasih sayang Allah SWT akan meliputi manusia. Allah akan melimpahi umat manusia kebijaksanaan yang bermakna dan keyakinan untuk memenuhi tujuan penciptaan. Tak seorangpun menolak kehendak seluruh generasi sejak zaman dahulu, yaitu umat manusia mesti bahagia dan sejahtera dalam kehidupannya, mesti ada keadilan dan persamaan dalam masyarakat,  mesti ada rasa aman dari ancaman internal dan eksternal. Aspirasi ini merupakan bagian dari penciptaan Tuhan yang bertahta dalam jiwa manusia. Oleh karena itu, Allah SWT membimbing dan membantu mereka dalam meraihnya. Manusia akan mengalami keadaan ini tatkala semua ideologi dan isme-isme yang diciptakan manusia benar-benar telah gagal total dalam menggapai masyarakat yang baik. Di saat penuh dengan keputusasaan ini, akan ada harapan baru pada ajaran-ajaran para nabi dan pada hukum-hukum keadilan serta kesetaraan Tuhan. Tentu akan ada suatu kesadaran bahwa masyarakat manusia—agar menjadi logis secara spiritual dan moral serta makmur—memerlukan dua hal: pertama,  rencana yang gamblang dan sempurna dari Tuhan yang menyatakan program reformasi dan kebangkitan; kedua, pemimpin  maksum (terjaga dari dosa dan kesalahan) yang akan melaksanakan rencana Tuhan tersebut tanpa kesalahan perbuatan atau kelalaian. Allah, dengan kebijaksanaan-Nya, telah menyiapkan al-Mahdi pada saat yang benar-benar sensitif tersebut sehingga beliau dapat menerapkan program yang diajarkan Islam kepada Nabi saw.

 

Alasan Lain Ditundanya Kemunculan Imam Mahdi

Alasan lain yang disebutkan dalam hadis diriwayatkan oleh Imam ash-Shadiq as:

Pada pinggang orang-orang kafir dan munafik, Allah menaruh benih orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, Imam Ali bin Abi Thalib melarang membunuh ayah-ayah orang kafir sehingga anak-anak yang beriman dapat lahir dari mereka. Setelah itu kapanpun beliau bertemu mereka, beliau akan membunuh mereka. Demikian pula, al-Qâ`im kami tidak akan muncul hingga makhluk-makhluk Allah lahir dari mereka. Setelah itu, al-Qâ`im akan muncul dan membunuh orang-orang kafir.7

Program yang akan dijalankan oleh Imam Keduabelas adalah menawarkan agama Islam kepada orang-orang kafir. Barangsiapa yang menerimanya akan selamat dari pembunuhan, dan barangsiapa menolak Islam akan dibunuh. Sebaliknya kita sudah sama-sama mafhum bahwa menurut sejarah banyak anak-anak yang lahir dari orang tua kafir dan orang tua munafik. Bukankah orang-orang Muslim awal lahir dari orang tua kafir pra-Islam? Bila Nabi Muhammad membunuh seluruh orang kafir selama penaklukan Makkah, maka tidak akan ada orang Islam yang lahir di zaman tersebut. Karena kasih sayang Allah, maka manusia dibiarkan memegang keyakinannya sehingga apabila waktunya telah tiba maka anak-anak beriman akan lahir dari mereka. Bumi mesti melahirkan orang-orang beriman, sesuai dengan potensi dan kemampuannya, sehingga Allah memberi kehidupan bagi mereka. Selama manusia melahirkan orang-orang yang beriman dan penyembah Allah, maka ia mesti tetap tinggal di bumi. Situasi semacam ini akan tetap berlangsung hingga orang-orang paham bahwa mereka harus mengakui keesaan Allah dan menyembah-Nya. Pada saat itu, Imam Zaman as akan muncul. Sejumlah besar kaum kafirin akan masuk Islam melalui tangannya. Dan barangsiapa yang tetap dalam kekafiran di saat itu maka tidak akan lahir keturunan yang beriman darinya.

*****

HARI telah larut namun diskusi amat menarik perhatian dan menuntut keseriusan. Oleh karena itu, pertemuan ditunda dan diputuskan untuk  dilanjutkan di rumah Dr. Jalali.[]

 

Catatan:

1.      Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal.336.
2.      Ibid., hal.316.
3.      Ibid., hal.351.
4.      Ibid., hal.336.
5.      Ibid., hal.244.
6.      Ibid., hal.332.
7.      Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.105.