پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Bab 5: Siapakah Imam Setelah Hasan al-Askari?

Bab 5

Siapakah Imam Setelah Hasan al-Askari?

 

PADA hari Jum`at sore, kelompok diskusi itu bertemu lagi di kediaman Ir. Madani. Pertemuan itu dimulai dengan ajuan pertanyaan dari Dr. Jalali.

Dr. Jalali: Saya telah mendengar bahwa Imam Hasan al-Askari tidak punya putra sama sekali!

Tn. Hosyyar: Ada sejumlah cara untuk membuktikan bahwa Imam Hasan al-Askari benar-benar memiliki seorang putra:

(a)                   Dalam sejumlah hadis dilaporkan berdasarkan otoritas Nabi saw dan para imam as, diriwayatkan bahwa Hasan bin Ali bin Muhammad mempunyai seorang anak yang akan muncul kembali melancarkan gerakan revolusi dunia setelah kegaiban yang panjang dan akan memenuhi keadilan dan persamaan. Masalah ini telah diriwayatkan dalam pelbagai hadis. Jika Anda ingat, kami telah menyebutkan senarai hadis dalam diskusi sebelumnya. Dalam hadis-hadis tersebut, ditegaskan bahwa al-Mahdi merupakan keturunan kesembilan dari Imam Husain, bahwa ia keturunan keenam dari Imam ash-Shadiq; bahwa ia keturunan kelima dari Imam al-Kazhim; keturunan keempat dari Imam ar-Ridha; keturunan ketiga dari Imam Muhammad Taqi al-Jawad; dan seterusnya.

(b)      Dalam sejumlah hadis, diriwayatkan bahwa al-Mahdi adalah putra Imam Hasan al-Askari as. Misalnya, Shaqr bin Abi Dalf meriwayatkan bahwa ia mendengar dari Imam Ali al-Hadi an-Naqi yang berkata:

            Imam setelahku adalah anakku Hasan. Setelahnya, putranya al-Qâ’im yang akan mengisi bumi dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia dipenuhi dengan kezaliman dan tirani.1

(c)                   Dalam beberapa riwayat, Imam Hasan al-Askari telah mengabarkan bahwa al-Qâ’im dan al-Mahdi adalah putranya dan bahwa keluarga Imam dan Nabi saw dilindungi dari kesalahan dan kesesatan. Berikut ini hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Utsman, wakil kedua dari Imam Keduabelas selama kegaiban kecil (ghaybat-i sughrâ), yang menerimanya dari ayahnya, wakil pertama:

Saya sedang bersama Imam Hasan al-Askari ketika seseorang bertanya kepadanya tentang hadis yang diriwayatkan dari para datuknya, yakni: “Dunia tidak akan pernah kosong dari hujjah (bukti Allah)” dan “Barangsiapa yang meninggal tanpa mengenal Imam Zamannya, maka matinya mati jahiliah.” Imam as menjawab: “Benar, sesungguhnya masalah itu sejelas dan seterang siang hari.” Orang itu melanjutkan pertanyaannya: “Siapakah hujjah dan imam setelah Anda?” Beliau menjawab: “Setelahku, hujjah dan imam adalah putraku Muhammad. Barangsiapa yang mati tanpa mengakuinya, matinya mati jahiliah. Waspadalah putraku akan mengalami kegaiban. Akibatnya, orang-orang akan mengalami kebingungan. Mereka yang tidak setia akan binasa, sementara mereka yang menetapkan masa kemunculannya berarti menyuarakan kebatilan. Ketika periode kegaibannya berakhir, ia akan melancarkan revolusi. Aku melihat panji-panji putih berkibar-kibar di atas kepalanya di Najaf.”2

(d)               Imam Hasan al-Askari mengabarkan kepada segelintir sahabat dekatnya tentang kelahiran putranya. Berikut ini sejumlah hadis yang terkait dengan itu:

(1)               Fadhl bin Syadzan, yang wafat setelah kelahiran Imam Keduabelas dan sebelum kemangkatan Imam Hasan al-Askari, menulis dalam kitabnya tentang Ghaybah, meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Hamzah, yang berkata: “Aku mendengar Imam Hasan al-Askari bersabda: ‘Hujjah Allah dan penggantiku lahir dalam keadaan berkhitan pada 15 Sya’ban 255 H (870 M), pada waktu dini hari.’”3

(2)               Sahabat dekat lain dari para imam, Ahmad bin Ishaq, mendengar Imam Hasan al-Askari bersabda: “Syukur kepada Allah karena Dia tidak mengambilku dari dunia ini tanpa menunjukkan kepadaku seorang pengganti. Ia (anakku) yang paling dekat dengan Nabi dalam hal perawakan dan karakternya. Allah akan menjaganya ketika ia dalam kegaiban sampai kemudian Dia akan memunculkannya agar ia memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan.”4

(3)               Ahmad bin Hasan bin Ishaq al-Qummi meriwayatkan: Ketika pewaris yang saleh [dari Imam Hasan al-Askari] lahir, sepucuk surat datang dari Imam al-Askari melalui Ahmad bin Ishaq. Imam menulis: “Seorang anak telah lahir dariku. Jagalah rahasia ini, karena aku tidak akan membukanya selain kepada para sahabat dan kerabat terdekatku.”5

(4)               Kembali Ahmad bin Ishaq meriwayatkan bahwa suatu hari ia bersama Imam Hasan al-Askari ketika Imam bertanya kepadanya: “Ahmad, apa pendapatmu tentang perkara yang diragukan orang?” Ia menjawab: “Ketika surat Anda yang memberitakan kelahiran putra Anda tiba untuk kami semua, yakni, lelaki, perempuan, anak-anak, tua dan muda, maka kebenaran menjadi nyata dan kami meyakini apa yang Anda sampaikan kepada kami.” Imam as berkata: “Tidakkah Anda tahu bahwa bumi tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah?”6

(5)               Abu Ja’far Muhammad bin Utsman al-Umari, wakil kedua Imam Keduabelas, telah meriwayatkan bahwa ketika Imam Zaman lahir, Imam Hasan al-Askari mengundang Abu Amr Utsman yakni ayahnya sekaligus wakil pertama Imam Keduabelas. Ketika tiba, Imam Hasan menyuruhnya: “Belilah seribu pound roti dan seribu pound daging dan bagikanlah di kalangan Hasyimiyyah. Kemudian, atur juga hewan ternak untuk dikorbankan bagi anakku yang baru lahir (aqiqah).”7

                Semua hadis di atas memberikan bukti penting bahwa ada seorang anak yang lahir dari Imam Hasan al-Askari as.


Kesaksian Orang-orang yang Menyaksikan Imam Mahdi Ketika Masih Kecil

            Dr. Jalali: Bagaimana mungkin terjadi seseorang yang pasti memiliki anak tapi tak seorang pun di dunia akan mengetahui tentangnya? Lebih jauh, bagamaina bisa terjadi setelah lima tahun akan berlalu sementara ia tetap tidak diketahui? Bukankah Imam al-Askari tinggal di Samarra? Tidakkah ia dikunjungi oleh siapa saja? Mungkinkah orang percaya hanya pada satu riwayat tentang adanya putra Imam Hasan yang datang dari Abu Amr Utsman bin Sa`id?

            Tn. Hosyyar: Meskipun itu jelas sejak awal—di saat Samarra dikuasai Dinasti Abbasiyyah—kelahiran putra Imam al-Askari tetaplah terjaga kerahasiaannya. Setidaknya hanya segelintir sahabat dan kerabat terpercaya yang menyaksikan anak tersebut dan membenarkan kehadirannya. Mari kita periksa sejumlah hadis tersebut:

(1)               Di antara orang-orang yang hadir pada hari kelahiran Imam Keduabelas dan yang meriwayatkan peristiwa itu secara lebih mendetail adalah Hakimah Khatun, putri Imam Muhammad at-Taqi dan bibi Imam Hasan al-Askari. Kisah tersebut secara ringkas diceritakan olehnya sebagai berikut:

Suatu hari aku mengunjungi rumah Imam al-Askari. Di malam hari, yang bertepatan dengan malam 15 Sya’ban 255 H (29 Juli 870), ketika aku hendak pulang ke rumah, Imam berkata: “Bibi, tinggallah dengan kami malam ini, karena wali Allah dan penggantiku akan lahir malam ini.” Aku bertanya: “Dari istrimu yang mana?” Ia menjawab: “Sawsan.”  Sebab itu, aku mulai melihatnya untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda kehamilan padanya. Aku tidak melihat apapun. Setelah berbuka puasa dan menyelesaikan shalat, aku tidur seruangan dengan Sawsan. Pada akhirnya, aku bangun dari tidurku dan mulai berpikir tentang apa yang telah dinubuatkan oleh Imam al-Askari. Kemudian aku mulai mendirikan shalat tahajjud. Sawsan juga bangun dan bersiap-siap mendirikan shalat tahajjudnya. Malam semakin mendekati subuh. Namun tidak ada tanda-tanda akan melahirkan pada dirinya. Aku mulai ragu apa yang telah dinubuatkan oleh Imam saat ia berkata dari balik kamarnya: “Bibi, jangan ragu. Waktu kelahiran putraku semakin mendekat.”

 

Tiba-tiba, kondisi Sawsan mulai berubah. Aku bertanya kepadanya apakah dirinya baik-baik saja. Dia menjawab bahwa dirinya merasa tidak nyaman. Aku mulai mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk persalinan dan mengambil alih situasi. Beberapa saat kemudian, wali Allah pun lahir dalam keadaan bersih dan suci. Setelah itu, Imam al-Askari berkata: “Wahai Bibi, bawalah anakku kepadaku.” Ketika aku membawanya ke hadapan Imam, ia mendekatkan bayi itu kepada dirinya sendiri dan menjilat-jilatkan lidahnya ke mata bayi itu. Mata bayi itu terbuka seketika. Lalu Imam menjilatkan lidahnya ke mulut dan telinga bayi serta mengelus kepala bayi dengan tangannya. Pada saat itu, bayi itu mulai membaca ayat al-Quran. Ketika Imam mengembalikan bayi itu kepadaku dan menyuruhku untuk membawanya ke ibunya. Aku membawa bayi itu ke ibunya dan kemudian pulang.

Pada hari ketiga, aku kembali ke rumah Imam al-Askari dan langsung menuju ke kamar Sawsan untuk menengok bayi tersebut. Namun aku tidak melihatnya. Aku pergi ke kamar Imam, tapi ragu-ragu untuk menanyakan ihwal bayi itu. Pada saat itu, Imam memberitahuku: “Wahai Bibi, putraku kini dalam kegaiban dengan perlindungan Allah. Saat aku meninggalkan dunia ini dan ketika Anda melihat para pengikutku berselisih tentang penggantiku, katakan kepada mereka yang amanah di kalangan mereka apa yang telah Anda saksikan mengenai kelahirannya. Akan tetapi, yakinlah bahwa peristiwa ini dibimbing dalam kerahasiaan karena putraku akan dalam kegaiban.”8

(2)               Dua pembantu di kediaman Imam al-Askari telah meriwayatkan bahwa ketika Imam Zaman lahir, ia duduk di atas kakinya seraya menunjukkan jarinya ke langit [menyatakan akan kesaksian keesaan Allah]. Kemudian ia bersin dan berkata: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”9         

(3)               Abu Ghanim, pelayan di rumah Imam al-Askari, meriwayatkan bahwa seorang anak lelaki lahir dari Imam Hasan al-Askari, yang ia namai dengan Muhammad. “Pada hari ketiga, beliau menunjukkan bayi itu kepada para sahabatnya dan berkata: ‘Inilah putraku sebagai pemimpin dan imam sepeninggalku. Ialah al-Qâ’im yang tengah dinanti-nanti setiap orang. Ketika bumi dipenuhi dengan kezaliman dan tirani, ia akan muncul, dan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan.’”10

(4)               Abu Ali Khaidharani meriwayatkan dari budak perempuan yang telah ia siapkan untuk Imam al-Askari bahwa perempuan itu hadir di saat Imam Keduabelas lahir. Nama ibunya adalah Shaiqal.11

(5)               Hasan bin Husain al-Alawi berkata: “Secara pribadi saya berkunjung ke Imam Hasan al-Askari di Samarra untuk mengucapkan selamat kepadanya atas peristiwa kelahiran putranya.” Hadis yang sama telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas al-Alawi.12

(6)               Hasan bin Mundzir melaporkan bahwa suatu hari Hamzah bin Abu al-Fath mengunjunginya (Hasan) dan mengabarkan kepadanya: “Tadi malam, Allah mengaruniai Imam al-Askari seorang putra. Akan tetapi, beliau (Imam) telah menyuruh kami merahasiakan masalah tersebut. Saya menanyakan kepadanya nama bayi tersebut. Beliau menjawab bahwa nama bayi itu Muhammad.”13

(7)               Ahmad bin Ishaq meriwayatkan bahwa suatu hari ia mengunjungi Imam Hasan al-Askari dengan maksud menanyakan tentang penggantinya. Imam memulai percakapan. Beliau berkata:

Wahai Ahmad bin Ishaq, sejak Allah menciptakan Adam sampai Hari Kiamat, Allah tidak dan tidak akan meninggalkan bumi tanpa hujjah-Nya. Karena eksistensi orang inilah, bencana dijauhkan dari bumi dan hujan tercurah ke atasnya, sehingga bumi menghasilkan panen.

            Pada saat itu, Ahmad bertanya kepada Imam as perihal penggantinya. Imam as masuk ke ruang pribadi di rumahnya dan kembali dengan membawa seorang anak lelaki berusia tiga tahun yang wajahnya bersinar laksana bulan purnama. Beliau berkata:

Wahai Ahmad, sekiranya engkau bukan sahabat dekat para imam dan sangat menghormati mereka, niscaya takkan aku tunjukkan putraku kepadamu. Ketahuilah, nama dan gelar anak ini sama dengan nama dan gelar Nabi saw. Dialah orang yang akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan.14

(8)               Mu`awiyah bin Hakim, Muhammad bin Ayyub, dan Muhammad bin Utsman Amri melaporkan kejadian berikut:

Kami berjumlah empat puluh orang berkumpul di rumah Imam Hasan al-Askari. Imam membawa putranya kepada kami berkata: “Inilah imam kalian dan penggantiku. Sepeninggalku, kalian harus taat kepadanya. Jangan memasuki perdebatan tentang masalah ini, jika tidak, kalian akan celaka. Namun, kalian harus ingat bahwa setelah ini kalian tidak akan bisa melihatnya lagi.”15

(9)               Ja’far bin Muhammad bin Malik termasuk anggota kelompok terkemuka dari Syi`ah yang meliputi Ali bin Bilal, Ahmad bin Hilal, Muhammad bin Mu`awiyah bin Hakim, dan Hasan bin Ayyub. Ia meriwayatkan kejadian berikut:

Kami semua berkumpul di rumah Imam Hasan al-Askari untuk mengetahui perihal penggantinya. Kami semua berjumlah 40 orang di sana. Pada saat itu Utsman bin Amr berdiri dan bertanya: “Wahai putra Rasulullah, kami datang ke sini untuk menanyakan sesuatu di mana Anda memiliki ilmu yang lebih baik. “ Imam berkata: “Silakan duduk!” Kemudian Imam meninggalkan ruangan seraya meminta orang-orang tetap tinggal di sana. Ia kembali setelah satu jam, seraya membawa seorang bocah kecil yang wajahnya laksana bulan. Lantas Imam berkata: ‘Inilah Imam kalian. Taatilah dia. Dan juga ketahuilah bahwa kalian tidak akan melihatnya lagi setelah hari ini.”16

(10)                 Abu Harun melaporkan bahwa ia melihat Imam Keduabelas ketika        wajahnya bersinar bak bulan purnama.17

(11)                 Ya’qub meriwayatkan bahwa suatu hari ia mengunjungi Imam al-Askari. Di sebelah kanan Imam, ia melihat sebuah kamar dengan tirai yang tergantung pada pintu masuk. Ia bertanya kepada Imam ihwal siapa Imam Zaman (setelahnya). Imam berkata: “Angkatlah tirai itu!” Ketika ia mengangkat tirai itu, seorang bocah muncul, keluar, dan duduk di pangkuan Imam. Pada saat itu, Imam berkata kepada Ya’qub: “Inilah Imammu!”18

(12)                 Amr al-Ahwazi melaporkan bahwa Imam al-Askari menunjukkan kepadanya putranya dan berkata kepadanya bahwa ia adalah imam sepeninggalnya.19

(13)                 Seorang budak Persia meriwayatkan kisah berikut:

Aku tengah berdiri di pintu Imam Hasan al-Askari ketika ia melihat seorang pelayan meninggalkan rumah dengan sesuatu yang terbungkus di tangannya. Imam berkata kepadanya: “Tunjukkanlah apa yang ada di tanganmu.” Pelayan itu membukanya dan tampaklah seorang anak lelaki yang manis. Imam berkata kepadaku: “Inilah Imammu.” Setelah itu, aku tidak pernah melihat anak lelaki itu lagi.”20

(14)           Abu Nashr, seorang pelayan, dan Abu Ali Muthahhar meriwayatkan bahwa ia mereka melihat putra Imam Hasan al-Askari.21

(15)           Kamil bin Ibrahim meriwayatkan bahwa ia melihat Imam Keduabelas di rumah Imam Hasan al-Askari. Saat itu ia berusia empat tahun dan parasnya laksana bulan purnama. Imam menjawab pertanyaannya sebelum ia (Kamil) bertanya kepadanya.22

(16)           Sa’d bin Abdullah melaporkan: “Aku melihat Imam Zaman yang wajahnya seindah bulan purnama. Ia tengah duduk di pangkuan ayahnya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan.”23

(17)           Hamzah bin Nushair, pelayan Imam Ali an-Naqi, meriwayatkan dari ayahnya. Ketika Imam Keduabelas lahir, anggota keluarga Imam al-Askari saling mengucapkan selamat. Ketika Imam tumbuh sedikit besar, aku diminta untuk membeli daging setiap hari dengan beberapa tulang. Dikatakan bahwa daging itu untuk “Tuan mudamu”.24

(18)           Ibrahim bin Muhammad meriwayatkan:

Suatu saat karena khawatir akan gubernur, aku memutuskan lari dari Samarrah. Aku pergi ke rumah Imam Hasan al-Askari untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku melihat seorang bocah tampan di sampingnya. Aku bertanya kepadanya: “Wahai putra Rasulullah, siapakah anak ini?” Imam menjawab: “Dialah anakku dan penggantiku.”25

            Inilah daftar para sahabat, kerabat, dan pelayan Imam Hasan al-Askari yang jujur yang telah melihat Imam Zaman, putranya, di masa kanak-kanaknya dan membenarkan eksistensinya. Ketika orang menempatkan kesaksian ini di samping kabar yang disampaikan oleh Nabi saw dan para imam as, maka kepastian perihal eksistensi putra Imam Hasan al-Askari terjawab sudah.

 

Mengapa Imam Keduabelas Tidak Disebutkan dalam Wasiat Imam al-Askari?

            Ir. Madani: Dikatakan bahwa pada hari-hari terakhirnya ketika Imam Hasan al-Askari jatuh sakit, ia menunjuk ibunya sebagai pelaksana wasiatnya sehingga ibunya bisa mengatur seluruh urusannya setelah kematiannya. Masalah ini secara resmi disahkan oleh pengadilan. Dalam wasiat ini tidak disebut-sebut putranya. Bahkan, kekayaannya dibagi-bagi antara ibunya dan saudaranya.26 Andaikata ia punya anak, niscaya ia akan menyebutkan anaknya dalam wasiat terakhirnya sehingga ia tidak kehilangan bagian warisannya.

            Tn. Hosyyar: Secara sengaja Imam menghapus nama putranya dari wasiat terakhirnya agar ia tetap bebas dari semua bahaya yang bisa datang kepadanya dari penguasa pada saat itu. Sesungguhnya ia sangat hati-hati dalam hal ini dan ia sangat khawatir akan kelahiran putranya terekspos dimana kadang-kadang, karena terpaksa, ia melakukan taqiyyah dalam masalah putranya bersama para sahabat dekatnya untuk mengaburkan situasi bagi mereka.

            Salah satu sahabat Imam Hasan al-Askari bernama Ibrahim bin Idris meriwayatkan bahwa Imam mengirimnya seekor domba dengan suatu pesan bahwa ia harus menyembelihnya karena yang belakangan (Ibrahim) telah melakukan ‘aqiqah untuk anaknya dan membagikan dagingnya kepada keluarganya. Ibrahim menjalankan perintah Imam tersebut. Namun ketika ia mengunjunginya Imam as berkata: “Anak kami telah meninggal.” Akan tetapi, sekali lagi beliau mengirim kepada Ibrahim dua ekor kambing berikut sepucuk surat yang berisikan perintah Imam kepadanya. Bunyinya:

Bismillâhirrahmânirrahîm. Sembelihlah kambing-kambing ini untuk ‘aqiqah tuanmu dan makanlah dagingnya bersama keluargamu.

            Ibrahim menjalankan perintah tersebut. Namun ketika ia mengunjungi Imam, beliau tidak menyebutkan sesuatu apapun tentangnya.27

            Imam ash-Shadiq as juga telah melakukan kehati-hatian serupa dalam wasiat terakhirnya. Ia telah menunjuk lima orang sebagai pelaksana wasiatnya, termasuk Khalifah Abbasiyyah al-Manshur, Muhammad bin Sulaiman, gubernur Madinah, dua putranya, Abdullah dan Musa, dan istrinya, Hamidah, ibu Musa.28 Dengan melakukan demikian, ia menyelamatkan kehidupan putranya Musa dari bahaya yang mengancam, karena Imam mengetahui bahwa jika imamah dan kepemimpinannya diketahui oleh sang khalifah, Manshur akan mencoba membuang putranya. Sesungguhnya peristiwa-peristiwa itu terjadi secara tepat sebagaimana yang telah Imam ash-Shadiq pikirkan, karena khalifah memerintahkan bahwa andaikata pewaris Imam ash-Shadiq adalah orang yang spesifik [yakni Imam Musa], maka ia harus dibunuh.

 

Mengapa Orang Lain Tidak Mengetahui Kelahiran Imam Keduabelas?

            Dr. Fahimi: Biasanya ketika seorang anak lahir, maka kerabat, tetangga, dan para sahabat akan mengetahuinya. Bahkan ini pun benar untuk seseorang yang sangat dihormati. Dengan sendirinya, tidak ada perselisihan tentang keberadaan seorang anak dari orang tersebut. Bagaimana bisa orang percaya bahwa masyarakat tidak mempunyai informasi perihal seorang anak dari Imam Hasan al-Askari padahal ia punya wewenang di tengah-tengah mereka dan mereka niscaya meragukan akan ihwal peristiwa itu dan berselisih satu sama lain tentangnya?

            Tn. Hosyyar: Anda benar bahwa secara normal situasi itu persis sebagaimana yang telah Anda uraikan. Akan tetapi, Imam Hasan al-Askari sejak awal telah memutuskan bahwa ia tidak akan mempublikasikan informasi apapun tentang kelahiran putranya. Selain itu, keputusan semacam itu dibuat ketika Nabi saw masih hidup dan ketika para imam lain dihadapkan dengan suatu situasi di mana kerahasiaan tentang kelahiran merupakan tanda-tanda dari imam terakhir. Kami mempunyai sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Imam Zain al-Abidin menubuatkan bahwa: “Kelahiran al-Qâ’im kami akan tersembunyi dari manusia dan akan menyebabkan orang-orang berkata bahwa ia tidak lahir sama sekali, sehingga ketika ia mengambil komando tak seorang pun berbai’at di atas lehernya.”29

            Dalam hadis lain, Abdullah bin Atha meriwayatkan:

Aku berkata kepada Imam al-Baqir: “Para pengikut Anda di Irak begitu banyak. Demi Allah, tak seorang di keluarga Anda memiliki kedudukan seperti Anda. Mengapa Anda tidak bangkit?” Imam berkata: “Wahai Abdullah, Anda telah membiarkan omong kosong memasuki pikiran Anda. Demi Allah, aku bukanlah pemimpin yang dijanjikan dari urusan tersebut.” Aku bertanya: “Lantas, siapakah pemimpin urusan tersebut?” Imam menjawab: “Carilah dari orang yang kelahirannya akan tersembunyi dari manusia. Dialah pemimpinmu.”30

            Dr. Fahimi: Mengapa Imam Hasan al-Askari menyembunyikan kelahiran putranya dari manusia sehingga mereka jatuh dalam keraguan dan kebimbangan serta tersesat dalam masalah imamah?

            Tn. Hosyyar: Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, cerita al-Mahdi yang dijanjikan berkembang luas di kalangan Muslimin dari sejak awal kelahiran Islam. Hadis-hadis dan riwayat-riwayat tentang subjek tersebut telah disampaikan oleh Nabi dan pembenaran lebih jauh atas riwayat-riwayat ini oleh para imam telah beredar di kalangan Muslimin. Para penguasa zaman itu juga sangat mengetahui hadis dan riwayat yang menyebutkan bahwa al-Mahdi yang dijanjikan berasal dari keturunan Fathimah dan Husain. Bahkan, hadis-hadis ini menyebutkan kehancuran semua pemerintahan zalim oleh al-Mahdi, yang akan mendirikan pemerintahan yang adil dan persamaan di seluruh dunia. Akibatnya, mereka mengkhawatirkan kelahiran dan kemunculan al-Mahdi yang dijanjikan dan memutuskan untuk menghentikan bahaya revolusi al-Mahdi. Karena alasan inilah, rumah-rumah keluarga Nabi saw, yakni Bani Hasyim, dan lebih khususnya rumah Imam Hasan al-Askari, diawasi terus menerus dan dimata-matai secara cermat oleh para agen rahasia negara Abbasiyyah.

            Khalifah Abbasiyyah, Mu’tamid, telah menunjuk sejumlah bidan untuk melakukan tindakan mata-mata di keluarga Hasyimi guna mengumpulkan informasi tentang kehamilan dan kelahiran anak-anak. Ketika khalifah mendapatkan informasi tentang sakitnya Imam al-Askari, ia memerintahkan para pengawalnya mengawasi terus menerus rumah Imam. Ketika mendengar bahwa Imam as wafat, ia melakukan penyelidikan ke rumah Imam guna mencari lokasi anaknya. Selain itu, ia mengirim sejumlah bidan untuk memeriksa hamba-hamba perempuan Imam guna mengetahui apakah mereka itu hamil. Jika seorang perempuan ditemukan hamil, ia ditawan dan dipenjarakan.

            Para bidan mencurigai salah satu dari hamba perempuan itu hamil dan melaporkannya kepada khalifah. Khalifah memerintahkannya untuk dikurung di sebuah kamar dan menyuruh Tahrir, pelayannya, mengawasinya secara ketat. Ia tidak membebaskannya sampai ia yakin bahwa perempuan itu tidak membawa anak Imam. Ia tidak berhenti pada Ahlulbait Imam Hasan al-Askari. Sebaliknya, segera setelah pemakaman Imam usai, ia memerintahkan agar rumah-rumah itu diselidiki dan diawasi ketat.31

            Sekarang, Anda bisa memahami mengapa Imam Hasan al-Askari, yang hidup dalam keadaan berbahaya tersebut, tidak bisa melakukan apapun selain menyembunyikan kelahiran putranya dari manusia sehingga anaknya akan tetap bebas dari rencana-rencana jahat mereka. Nabi dan para penerusnya yang sah, para imam, menubuatkan kondisi-kondisi ini dan mengabarkan kepada orang-orang kelahiran Imam Keduabelas secara rahasia.

            Bagaimanapun, riwayat-riwayat semacam itu tidak diketahui dalam laporan-laporan sejarah. Sebagaimana Anda maklum, ketika Fir’aun tahu bahwa seorang anak akan lahir di kalangan Bani Israil yang akan mengakhiri kerajaannya, ia berusaha mencegah bahaya tersebut dan mengirim para agennya mengawasi secara ketat semua perempuan hamil dan membunuh semua bayi laki-laki serta menahan semua anak perempuan yang dilahirkan. Semua tindak kejahatan ini tidak menyampaikannya kepada tujuan. Allah menjadikan kelahiran Musa tetap tersembunyi sehingga tujuan Ilahi bisa terpenuhi.

            Menyangkut Imam Hasan al-Askari, meski dalam situasi bahaya, ia tetap mengabarkan kelahiran putranya kepada sejumlah sahabat dan para pengikutnya yang amanah sehingga mereka akan terus menerima petunjuk. Sebab itu, ia meminta mereka merahasiakan masalah itu dari para musuh dan meminta agar mereka tidak menyebutkan namanya sekalipun.

 

Ibu Imam Keduabelas

            Dr. Jalali: Siapakah nama ibu Imam Zaman?

            Tn. Hosyyar: Namanya dikenalkan dalam sumber-sumber dengan berbagai nama. Di antaranya adalah Narjis, Shayqal, Rayhanah, Sawsan, Khumth, Hukaimah, dan Maryam. Jika Anda memperhatikan dua hal berikut, Anda akan memahami sumber kebingungan ini:

(a)    Imam Hasan al-Askari mempunyai beberapa sahaya perempuan dengan nama-nama yang berbeda-beda. Dalam satu kesempatan, Hakimah Khatun telah menyebutkan sahaya-sahaya perempuan ini. Suatu saat ia mengunjungi Imam Hasan as dan melihatnya sedang duduk di halaman rumahnya, dikelilingi oleh sahaya-sahayanya. Hakimah bertanya kepada Imam: “Manakah di antara gadis-gadis ini yang akan menjadi ibu penggantimu?” Imam menjawab: “Sawsan.”32

            Dalam riwayat lain, Hakimah menceritakan peristiwa kelahiran Imam Keduabelas, yang disebutkan sebelumnya, di mana Imam al-Askari memintanya untuk menghabiskan malam 15 Sya’ban (255 H/870 M) di rumahnya karena seorang bayi akan lahir. Saat itu, Hakimah bertanya kepadanya: “Manakah sahaya perempuanmu yang menjadi ibu anak itu?” Imam menjawab: “Narjis.” Hakimah menukas: “Ya, aku sangat menyukainya di antara sahaya-sahaya perempuanmu.”33

            Dari dua riwayat ini dan riwayat-riwayat yang serupa tampak bahwa Imam al-Askari memiliki beberapa sahaya perempuan.

(b) Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, anak Imam al-Askari lahir dalam situasi yang sangat berbahaya karena khalifah Abbasiyyah dan bahkan beberapa anggota klan Hasyimiyyah telah mengetahui saat kelahiran al-Mahdi yang kian mendekat, yang akan menumpas pemerintahan yang zalim dan tiranik serta mendirikan pemerintahan yang adil sebagai gantinya. Sebab itu, para agen khalifah Abbasiyyah mengawasi rumah-rumah Hasyimiyyah secara umum, dan khususnya rumah Imam al-Askari, siang dan malam. Para agen rahasia khalifah terlibat dalam penyelidikan bayi yang baru lahir di rumah-rumah ini untuk selanjutnya membawanya kepada khalifah.

            Setelah menukil dua hal ini, harus ditunjukkan bahwa sudah tentu—dalam situasi yang mengancam dan dalam rumah seperti itu—seorang anak yang dimandatkan Allah mesti dilahirkan dari Imam Hasan al-Askari yang akan tetap dilindungi dari semua bentuk ancaman yang membahayakan. Karena alasan inilah semua langkah penting harus dijalankan. Menurut laporan-laporan terkait, tidak ada tanda-tanda kehamilan pada ibunya. Bahkan, Imam Hasan al-Askari tidak menyebutkan nama aslinya. Di samping itu, pada saat melahirkan hanya Hakimah Khatun, dan mungkin sebagian sahaya perempuan yang hadir. Kenyataannya, lazimnya dalam lingkungan semacam itu bantuan dicari dari seorang bidan atau wanita lain yang berpengalaman. Sesungguhnya, tak seorang pun yang mengetahui apakah Imam Hasan al-Askari itu sudah menikah ataukah belum, dan andaikan ia sudah menikah, tak seorang yang mengetahui jatidiri istrinya.

            Pada malam 15 Sya’ban saat hari sepenuhnya gelap, di malam hari, anak tersebut lahir di bawa rundungan kekhawatiran dan keadaan rahasia. Ini pun terjadi di sebuah rumah dimana ada beberapa sahaya perempuan yang tak seorang pun memiliki tanda-tanda kehamilan yang jelas. Pada saat melahirkan, selain Hakimah, tidak seorang pun yang hadir dan tidak seorang pun yang berani membukakan situasi tersebut.

            Untuk beberapa lama masalah tersebut terjaga kerahasiaannya dan belakangan hanya para sahabat dekat Imam al-Askari yang amanah mulai bertanya dan mendapatkan kabar tentang peristiwa itu. Sebagian di kalangan pengikut percaya bahwa Allah telah menganugerahi Imam Hasan dengan seorang putra, sementara yang lainnya menolaknya. Karena semua sahaya perempuan tidak memiliki tanda-tanda kehamilan yang jelas, riwayat perdebatan seputar identitas ibu anak tersebut tentu saja muncul. Sebagian mengetahui ibunya adalah Sawsan, sebagian Narjis, sebagian Shayqal dan seterusnya. Tak seorang pun, selain segelintir orang yang terpilih, mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Namun mereka tidak dibolehkan menyebutkan informasi tersebut. Hakimah sekalipun, sebagai saksi dan yang hadir selama kelahiran Imam Keduabelas, demi melindungi identitas ibunya, kadang-kadang menyebut namanya secara berbeda-beda seperti Narjis, Shayqal, atau Sawsan, dan di saat lain, sebagai suatu langkah-langkah kehatian ia akan menyandarkan anak itu kepada ibu Imam Hasan al-Askari as.

            Pada tahun 262 H (877 M) Ahmad bin Ibrahim menyambangi Hakimah Khatun, putri Imam al-Jawad. Ia berbicara kepadanya di balik tirai dan menanyakan kepadanya tentang keyakinan Hakimah. Dia menyebutkan para imamnya dan menyebut Muhammad bin Hasan sebagai imam terakhirnya. Ahmad berkata: “Apakah Anda sendiri menyaksikan masalah itu (kelahirannya) ataukah Anda mengatakan hal ini berdasarkan apa yang telah Anda dengar?” Dia menjawab bahwa masalah itu menurut apa yang telah Imam Hasan al-Askari tuliskan kepada ibunya. Ahmad terus bertanya tentang kepada siapakah kaum Syi`ah harus berpegang tentang masalah tersebut. Hakimah menjawab bahwa mereka harus mengikuti ibu Imam Hasan al-Askari. Ahmad keberatan lantas bertanya lagi: “Dalam wasiat terakhir ini, haruskah kita mengikuti seorang perempuan?” Hakimah menjawab bahwa sebenarnya Imam Hasan mengikuti datuknya, Imam Ali bin Husain dalam masalah ini. Imam Husain telah menjadikan adiknya, Zainab, sebagai pewarisnya dan pengetahuan yang dimiliki oleh Ali bin Husain dianggap berasal dari Zainab. Imam Husain telah berbuat demikian, imbuh Hakimah, agar masalah imamah Ali bin Husain tetap terjaga kerahasiaannya. Kemudian Hakimah berujar: “Anda adalah orang yang mengetahui hadis-hadis. Belumkah Anda diberitahu bahwa warisan milik imam kesembilan dari keturunan kesembilan Husain akan dibagikan ketika ia masih hidup?”34

            Seperti yang Anda lihat., dalam riwayat ini, Hakimah tidak menjawab pertanyaan tentang kelahiran Imam terakhir secara langsung. Nyatanya, ia telah menyandarkan riwayat tersebut kepada ibu Imam Hasan al-Askari. Adalah mungkin juga bahwa karena khawatir untuk menuturkan duduk persoalan yang sebenarnya kepada si perawi, ia melakukan taqiyyah. Atau, ia hanya ingin menampilkan riwayat itu dalam suatu cara yang akan menghasilkan keanehan. Akan tetapi, Hakimah di tempat lain meriwayatkan peristiwa yang mengarah kepada pernikahan Imam Hasan al-Askari dengan Narjis Khatun dan kelahiran al-Mahdî dimana ia sendiri sebagai saksinya, secara lebih mendetail. Dia menutup riwayat ini dengan pernyataan berikut: “Kini aku melihat pemimpinku (yakni Imam Keduabelas) secara teratur dan berbicara kepadanya.”35

                Ringkasnya, berbagai perbedaan pendapat mengenai nama ibu imam terakhir bukanlah sesuatu yang aneh. Sebaliknya, berbagai pendapat tersebut mengacu kepada situasi yang sangat sulit dan membahayakan di masa itu. Selain itu, memang jumlah sahaya perempuan milik Imam Hasan al-Askari berikut tindakan beliau yang sangat hati-hati dalam menjaga kerahasiaan masalah tersebut niscaya menciptakan kebingungan. Bukan mustahil bahwa kisah perdebatan sengit yang meledak antara ibu dan saudara Imam, Ja’far al-Kadzdzab (Si Pendusta) bisa menjadi bagian dari konspirasi negara yang didalangi oleh khalifah guna memastikan informasi tentang putra Imam Hasan al-Askari.

            Menurut Syaikh Shaduq dalam Kamâl al-Dîn-nya, ibu Imam Hasan al-Askari terlibat perdebatan dengan Ja’far, saudara Imam, perihal warisan. Ketika masalah itu diadukan kepada khalifah, salah seorang sahaya perempuan milik Imam al-Askari bernama Shayqal didakwa hamil. Shayqal dibawa ke istana Khalifah Mu’tamid. Di istana sang Khalifah, Shayqal dijaga ketat dan diawasi secara cermat oleh para bidan dan perempuan lain di istana itu untuk memastikan nasib kehamilannya. Pada saat itu, kekisruhan politik sebagai akibat dari pemberontakan yang dipimpin oleh Shaffar, kematian Abdullah bin Yahya dan revolusi al-Zanj merongrong kedudukan kekhalifahan. Kaum Abbasiyyah dipaksa meninggalkan Samarra. Akibatnya, mereka tertawan oleh kesulitan-kesulitan mereka sendiri dan menyerahkan pengawasan kehamilan Shayqal.36

                Ada juga alasan lain ihwal perbedaan dalam masalah nama ibu Imam Keduabelas. Mungkin saja semua nama yang tersebut merujuk kepada satu pribadi yang sama. Yakni bahwa ibu Imam Keduabelas memiliki beberapa nama. Penjelasan ini tidak jauh melenceng karena merupakan kebiasaan di kalangan bangsa Arab untuk memberi beberapa nama kepada satu orang yang sama.

            Keterangan ini dibuktikan dari dalam Kamâl al-Dîn­-nya Syaikh Shaduq. Ia sendiri telah meriwayatkan dari Ghiyats bahwa pelanjut Imam Hasan al-Askari dilahirkan pada hari Jum`at, dan ibunya adalah Rayhanah yang juga dikenal sebagai Narjis, Shayqal, dan Sawsan. Karena pada masa kehamilannya ia mempunyai cahaya yang mengitari wajahnya, ia dikenal sebagai Shayqal.37

                Untuk merangkum diskusi ini, kiranya penting untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa meskipun banyak ambiguitas dalam mengidentifikasi nama sebenarnya dari ibu Imam Keduabelas, tidak ada keraguan bahwa ia ada. Dengan kata lain, keraguan semacam itu tidak mengurangi keabsahan akan keberadaannya. Sebagaimana telah Anda perhatikan, para imam, termasuk Imam Hasan al-Askari, telah mengabarkan ihwal eksistensi putra Imam Hasan. Lagi pula, Hakimah binti Imam al-Jawad, adalah seorang perempuan yang sangat amanah yang melaporkan secara terperinci kelahiran Imam Keduabelas. Bahkan, sejumlah para sahabat yang terpercaya dan para pelayan Imam Hasan al-Askari melihat anak itu dan membenarkan keberadaannya, tanpa menghiraukan nama ibunya.

 

Ulama Sunni dan Kelahiran al-Mahdî

            Dr. Fahimi: Jika Imam Hasan al-Askari memiliki seorang anak, tentunya ulama dan sejarahwan Sunni merekam hal itu dalam buku-buku mereka.

            Tn. Hosyyar: Memang benar, ada sekelompok dari mereka yang juga telah meriwayatkan peristiwa kelahiran Imam Hasan al-Askari dan menerima serta mencatat sejarahnya dan ayahnya dalam kitab-kitab mereka. Misalnya:

1.      Muhammad bin Thalhah asy-Syafi`i menulis: “Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan lahir pada tahun 258 H/873 M di Samarra. Ayahnya bernama Hasan al-Khalish. Di antara gelarnya [dari Imam terakhir ini] adalah al-Hujjat, Khalaf Shalih (keturunan yang salih), dan al-Muntazhar (yang dinanti).” Menyusul pernyataan ini, ia telah menyampaikan beberapa hadis bertemakan al-Mahdi, dengan pernyataan penutup: “Hadis-hadis ini menegaskan eksistensi putra Imam Hasan al-Askari yang dalam kegaiban dan akan muncul lagi di kemudian hari.”38

2.      Muhammad bin Yusuf, menyusul lemanya tentang wafatnya Imam Hasan al-Askari, menulis: “Ia tidak memiliki anak lain selain Muhammad. Dikatakan bahwa ia sama dengan Imam Yang Ditunggu (al-imam al-muntazhar).”39

3.      Ibn Shabbagh al-Maliki menulis: Bagian Keduabelas tentang Kehidupan Abu al-Qasim Muhammad, al-Hujjat, Khalaf Shalih, putra Abu Muhammad Hasan al-Khalish: Dia adalah Imam Keduabelas kaum Syi`ah.” Kemudian ia mencatat sejarah Imam dan meriwayatkan hadis-hadis tentang al-Mahdi.40

4.      Yusuf bin Qazughli, setelah menulis laporannya tentang kehidupan Imam Hasan al-Askari, menulis: [119] “Nama putranya adalah Muhammad, dan julukannya adalah Abu Abd Allah dan Abu al-Qasim. Dialah bukti keberadaan Allah, pemilik zaman, al-Qâ`im, dan al-Muntazhar. Imamah berakhir pada dirinya.” Kemudian ia meriwayatkan hadis-hadis tentang al-Mahdi.41

5.      Asy-Syablanji, dalam bukunya bertajuk Nûr al-Abshâr, menulis: “Muhammad adalah anak Hasan al-Askari. Ibunya seorang sahaya perempuan bernama Narjis, atau Shayqal, atau Sawsan. Julukannya adalah Abu al-Qasim. Syi`ah Duabelas Imam mengenalnya sebagai al-Hujjah, al-Mahdi, Khalaf Shalih, al-Qâ`im, al-Muntazhar, dan Pemilik Zaman (shahib az-zaman).”42

6.      Ibn Hajar, dalam ash-Shawâ`iq al-Muhriqah-nya, setelah biografi Imam Hasan al-Askari, menulis: “Ia tidak meninggalkan seorang anak selain Abu al-Qasim, yang dikenal sebagai Muhammad dan al-Hujjah. Ketika ayahnya wafat, anak itu berusia lima tahun.”43

7.      Muhammad Amin al-Baghdadi, dalam buku bertajuk Sabâ`ik adz-Dzahab, menulis: “Muhammad, yang juga dikenal sebagai al-Mahdi, berusia lima tahun ketika ayahnya mangkat.”44

8.      Ibn Khallikan meriwayatkan dalam kamus biografisnya Wafayât al-A’yân: “Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan al-Askari adalah Imam Keduabelas kaum Imamiyyah, yakni Syi`ah Duabelas Imam. Kaum Syi`ah percaya bahwa dialah al-Qâ`im yang ditunggu dan al-Mahdi.”45

9.      Dalam Rawdhat ash-Shafâ, Mir Khwan menulis: “Muhammad adalah anak Hasan. Julukannya, Abu al-Qasim. Imamiyyah mengakuinya sebagai al-Hujjah, al-Qâ`im, dan al-Mahdi.”46

10.  Sya’rani menulis dalam Al-Yawâqît wa al-Jawâhir-nya: “Mahdi adalah anak Imam Hasan al-Askari. Ia lahir pada malam 15 Sya’ban 255 H. Ia masih hidup dan akan tetap demikian sampai ia akan muncul bersama Isa as. Sekarang tahun 957 H, berarti usianya 702 tahun.”47

11.  Sya’rani, mengutip Futuhât al-Makkiyah-nya Ibn Arabi, pasal 36, menulis: “Ketika bumi akan dipenuhi dengan tirani dan kezaliman, al-Mahdi akan bangkit dan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan. Ia keturunan Nabi saw dan dari garis Fâthimah. Kakeknya Husain, dan ayahnya adalah Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi al-Naqi bin Muhammad at-Taqi al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.”48

12.  Khwaja Parsa dalam bukunya Fashl al-Khitâb menulis: “Muhammad bin Hasan al-Askari lahir pada malam 15 Sya’ban 255 H/870. Ibunya bernama Narjis. Ayahnya wafat ketika ia berusia lima tahun. Sejak itu sampai sekarang, ia dalam kegaiban. Dialah imam yang ditunggu-tunggu oleh kaum Syi`ah. Keberadaannya sangat kukuh di kalangan para sahabat, karib kerabat, dan keluarganya. Allah akan memperpanjang usianya sebagaimana yang telah Dia lakukan dalam kasus Elijah dan Eliash.”49

13.  Abu al-Falah al-Hanbali dalam Syadzarât adz-Dzahab dan Dzahabi dalam Al-‘Ibar fi Khabar min Ghabar menulis: “Muhammad adalah anak Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi bin al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far ash-Shadiq al-Alawi al-Husaini. Julukannya Abu al-Qasim dan Syi`ah mengenalnya sebagai Khalaf Shalih, al-Hujjah, al-Mahdi, al-Muntazhar dan Shâhib az-Zamân.”50

14.  Muhammad bin Ali al-Hamawi menulis: “Abu al-Qasim Muhammad al-Muntazhar lahir pada tahun 259 H/874 M di Samarra.”51

            Pendeknya, selain semua ulama Sunni yang disebutkan tadi terdapat sejumlah ulama lain yang telah merekam kelahiran anak Imam Hasan al-Askari.52

***

            TAK terasa waktu berlalu begitu cepat. Malam pun semakin larut. Pertemuan diakhiri dan diputuskan untuk melanjutkannya pada pertemuan mendatang yang akan digelar di kediaman Dr. Jalali.[]

 

Catatan Kaki:
1.      Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.275.
2.      Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.160.
3.      Muntakhab al-Atsar, hal.320.
4.      Ibid.
5.      Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.432.
6.      Muntakhab al-Atsar, hal.345.
7.      Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.430.
8.      Thusi, Ghaybah, hal.141-142.
9.      Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.292; Itsbât al-Washiyyah, hal.197.
10.  Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.431.
11.  Kamâl al-Dîn, hal.105.
12.  Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.433 dan jilid 7, hal.20.
13.  Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.432.
14.  Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal.23.
15.  Ibid., hal.25.
16.  Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.311.
17.  Ibid., jilid 7, hal.20.
18.  Ibid., jilid 6, hal.425.
19.  Ibid., jilid 7, hal.16.
20.  Yanâbî` al-Mawaddah, bab 82, hal.461.
21.  Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.344; Itsbât al-Washiyyat, hal.198; Yanâbî` al-Mawaddah, bab 82, hal.461.
22.  Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.323; Yanâbî` al-Mawaddah, hal.461.
23.  Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal.78 dan 86.
24.  Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.18; Itsbât al-Washiyyat, hal.197.
25.  Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.356. Untuk keterangan terperinci tentang kelahiran Imam Keduabelas, lihat Sayyid Hasyim Bahrani, Tabshirat al-walî fiman ra`a al-Qâ`im al-Mahdî dan Bihâr al-Anwâr, jilid 51, bab 1; dan jilid 52, bab 17 dan 19.
26.  Ushûl al-Kâfî, Bab Mawlid Abi Muhammad al-Hasan bin Ali.
27.  Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.22.
28.  Ushûl al-Kâfî, Bab “Al-Isyârah wa al-Nashsh ‘alâ Abî al-Hasan Mûsâ”.
29.  Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.135.
30.  Ibid., hal.34.
31.  Ushûl al-Kâfî, Bab Mawlid Abi Muhammad al-Hasan bin Ali. Lihat juga sumber-sumber lain yang menyebutkan kondisi-kondisi yang tidak bersahabat yang di dalamnya kaum perempuan ini menderita dalam kekuasaan khalifah Abbasiyyah dan kekhawatirannya akan eksistensi anak dari Imam Hasan al-Askari.
32.  Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.17.
33.  Ibid., hal.25.
34.  Kamâl al-Dîn, jilid 2, hal.178.
35.  Ibid, hal.99-103.
36.  Ibid, jilid 2, hal.149.
37.  Ibid, jilid 2, hal.106.
38.  Mathâlib as-Su`âl (edisi 1287 H), hal.89.
39.  Kifâyat al-Thâlib, hal.312.
40.  Fushûl al-Muhimmah (edisi kedua), hal.273 dan 286.
41.  Tadzkirat al-Khawwâsh al-Ummah, hal.363.
42.  Nûr al-Abshâr (edisi Kairo), hal.342.
43.  Ash-Shawâ`iq al-Muharriqah, hal.206.
44.  Sabâ`ik adz-Dzahab, hal.78.
45.  Wafayât al-A’yân (edisi 1284 H), jilid 2, hal.24.
46.  Rawdhat ash-Shafâ, jilid 3, hal.143.
47.  Al-Yawâqît wa al-Jawâhir (edisi 1351 H), jilid 2, hal.143.
48.  Ibid., hal.143.
49.  Sebagaimana dikutip dalam Yanâbî` al-Mawaddah, jilid 2, hal.126.
50.  Syadzarât adz-Dzahab (edisi Beirut), jilid 2, hal.141; Al-‘Ibar fi Khabar min ghabar (edisi Kuwait), jilid 2, hal.31.
51.  Ta’rikh Manshûrî, salinan mikrofilm dari manuskrip Moskow, nomor folio 114.
Lihat rujukan-rujukan yang disusun dalam jilid Kasyf al-Asfâr oleh Husain bin Muhammad Taqi Nuri dan Kifâyat al-Muwahhidin oleh Thabarsi, khususnya jilid 2.