پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Dua Pandangan Dunia

Dua Pandangan Dunia


            Bagaimana Anda memandang dunia? Anda memandang manusia itu sebagai fenomena yang bagaimanakah? Jawabannya, ada dua pandangan yang berbeda secara keseluruhan: pandangan Ilâhiyah (spiritualisme) dan pandangan materialisme. Istilah lainnya: pandangan dunia Ilâhiyah dan pandangan dunia materialisme.


Pandangan Dunia Material

            Penganut pandangan ini memandang dunia itu mandiri dan eksistensi tanpa kesadaran dan kehendak. Dunia adalah sekumpulan fenomena yang terdiri dari unsur-unsur material yang saling tumpang-tindih tanpa tujuan. Semuanya hampa dan tanpa arah. Di tengah kumpulan besar materi ini, manusia termasuk eksistensi yang sia-sia, bingung dan tanpa tujuan, yang bergerak menuju kebinasaan. Tak bermotivasi. Ujungnya ialah keputusasaan, kegelapan dan ketiadaan. Tak punya tempat perlindungan dan harapan. Ia hidup di dunia kegelapan dan menyeramkan.

            Kehidupan manusia dalam pandangan ini juga hampa. Tak seorang pun yang mengayomi manusia, sebagai wujud yang mengetahui dan utama, yang memahami dan mengenal baik dan buruk perilaku manusia. Ia yang membalas kebaikan atau keburukan. Singkatnya, tidak ada standar bagi penilaian perbuatan manusia dan bagi baik dan buruk perilakunya.

 


Pandangan Dunia Ilâhiyah

            Dalam pandangan ini, alam dunia bukanlah eksistensi yang mandiri, tetapi adalah ciptaan dan bergantung. Alam ini adalah ciptaan yang diciptakan berdasarkan perhitungan detil dengan kesinambungan, kerapian dan kesesuaian yang khas untuk tujuan tertentu. Alam bergantung pada kemampuan Sang Pencipta Yang Mahakuasa, pada kehendak Yang Perkasa dan eksistensi yang Mahabijaksana lagi Mahakaya yang senantiasa melindungi dan menjaganya.

            Tiada sesuatu pun di dunia ini yang hampa dan tanpa akhir. Di antara seluruh maujud, manusia memiliki karunia yang lebih dan tujuan yang lebih tinggi. Sepanjang hidup ia berjalan menuju tujuan ini. Akhir hidupnya adalah harapan, dambaan, dan tiada keputusasaan. Ia adalah maujud yang abadi. Menempuh perjalanan dari alam fana menuju alam baqa. Manusia bertanggung jawab di hadapan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia memiliki tanggung jawab besar di hadapan Tuhannya. Sebab ia diciptakan sebagai yang mukhtâr (bebas memilih) dan mukallaf (yang diberi tugas).

            Pandangan dunia spiritual meyakini bahwa manusia memiliki Pencipta Yang Maha Mengetahui, Yang Mahahadir lagi Maha Melihat atas semua perbuatannya. Pemberi pahala kepada orang-orang baik dan siksaan terhadap orang-orang buruk.

 


Pandangan Dunia Para Nabi

            Pandangan para nabi terhadap dunia dan manusia adalah spiritualis. Mereka memandang fenomena-fenomena alam adalah adaan-adaan (mawjûdât) yang bergantung dan membutuhkan. Mereka adalah tanda-tanda kekuasaan dan keagungan Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa. Para nabi dan para pengikut mereka meyakini bahwa alam ini adalah ciptaan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semua kebaikan berasal dari-Nya dan pemeliharaan tiada henti bagi alam adalah di tangan-Nya. Dunia bukanlah sia-sia dan permainan, tetapi diciptakan untuk tujuan tertentu.

            Mereka juga mempunyai pandangan yang khas tentang manusia dan kebahagiaannya. Manusia adalah adaan (mawjûd) mulia dan pilihan, yang terdiri dari dua dimensi: jasad yang tercipta dari tanah dan ruh yang diciptakan dari alam Ketuhanan (Rubûbi) dan spiritual (malakûti). Oleh sebab itu, ia adalah maujud yang utama, abadi, penerima dan pembawa amanah Allah Swt, yang di hadapan-Nya sebagai yang diberi tugas dan bertanggung jawab.

            Dalam pandangan ini, kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki manusia ialah dalam mengenal Allah, bergerak di jalan-Nya, rela dengan ridha-Nya karena semua kekuatan dan kebaikan berasal dari-Nya. Menghadap kepada-Nya adalah kecenderungan yang ada pada seluruh kebaikan dan nilai-nilai luhur insani.

            Awal seruan para nabi ialah seruan menyembah kepada Allah dan menauhidkan-Nya serta menafikan segala bentuk kesyirikan. Dalam pandangan mereka: menyembah Allah dan tauhid adalah fondasi nilai dan kemuliaan manusia. Dan melupakan Allah dan lalai dari zikir kepada-Nya merupakan pangkal semua kesengsaraan. Cinta pada selain-Nya adalah sumber keburukan, nista dan kesengsaraan.

            Masa depan manusia dan hari kebangkitan, dalam pandangan para nabi seluruhnya, adalah cerah, menjanjikan dan indah. Mereka yakin bahwa orang saleh dan mukmin mempunyai masa depan yang amat cerah dan bahagia. Ia akan pergi dari alam ini ke alam akhirat yang jauh lebih luas, dan di sana ia akan menyaksikan hasil total amal perbuatannya.

            Oleh karena itu, mengenai alam dunia, manusia dan kebahagiaannya, Para nabi mempunyai pandangan sedemikian jelas. Mereka mengimani sepenuh hati pada pandangan yang tinggi dan hakiki mereka ini.


Fondasi Dakwah Para Nabi

Dasar seruan para nabi ialah pandangan dunia spiritual ini. Mereka membangun agama dan syariat mereka atas dasar yang kokoh ini. Kalimat pertama yang Nabi Nuh as ucapkan kepada kaumnya ialah, Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah) aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat) (QS. al-A’raf:59).

Demikian pula awal perkataan Hud as kepada kaumnya,

اعْبُدُواْ اللَّهَ مَالَکُمْ مِّنْ إِلَهٍ غَیْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا مُفْتَرُونَ

Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-ada saja. (QS. Hud:50)

Dan Nabi Shaleh as kepada kaumnya,

اعْبُدُواْ اللَّهَ مَا لَکُم مِّنْ إِلَهٍ غَیْرُهُ هُوَ أَنْشَأَکُم مِّنْ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَکُمْ فِیهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَیْهِ إِنَّ رَبّى قَرِیبٌ مُّجِیبٌ‏

Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya. Kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). (QS. Hud:61)

Juga Nabi Syu’aib di awal risalahnya berkata kepada kaumnya,

قَالَ یَقَوْمِ اعْبُدُواْ اللَّهَ مَا لَکُمْ مِّنْ اِلَهٍ غَیْرُهُ وَلَا تَنقُصُواْ الْمِکْیَالَ وَالْمِیزَانَ إِنِّى أَرَیکُمْ بِخَیْرٍ وَإِنِّى أَخَافُ عَلَیْکُمْ عَذَابَ یَوْمٍ مُّحِیطٍ / وَیَقَوْمِ أَوْفُواْ الْمِکْیَالَ وَالْمِیزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَاتَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْیَآءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْاْ فِى الْأَرْضِ مُفْسِدِینَ‏

Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab yang membinasakan (kiamat). Dan Syu’aib berkata, “Hai kaumku, cukuplah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Hud:84-85)

            Mengenai risalah Nabi Musa, Allah berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى‏ بَِایَتِنَا وَسُلْطَنٍ مُّبِینٍ‏ / إِلَى‏ فِرْعَوْنَ وَمَلَإِیْهِ فَاتَّبَعُواْ أَمْرَ فِرْعَوْنَ وَمَآ أَمْرُ فِرْعَوْنَ بِرَشِیدٍ / یَقْدُمُ قَوْمَهُ یَوْمَ الْقِیَمَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata, kepada Fir’aun dan pemimpin-pemimpin kaumnya, tetapi mereka mengikuti perintah Fir’aun, padahal Fir’aun sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar. Ia berjalan di muka kaumnya pada hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang di datangi. (QS. Hud:96-98)

 

یَوْمَ یَأْتِ لَا تَکَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِىٌّ وَسَعِیدٌ / فَأَمَّا الَّذِینَ شَقُواْ فَفِى النَّارِ لَهُمْ فِیهَا زَفِیرٌ وَشَهِیقٌ‏ / خَلِدِینَ فِیهَا مَادَامَتِ السَّمَوتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَآءَ رَبُّکَ إِنَّ رَبَّکَ فَعَّالٌ لِّمَا یُرِیدُ / وَأَمَّا الَّذِینَ سُعِدُواْ فَفِى الْجَنَّةِ خَلِدِینَ فِیهَا مَادَامَتِ السَّمَوتُ وَ الْأَرْضُ إِلَّا مَا شَآءَ رَبُّکَ عَطَآءً غَیْرَ مَجْذُوذٍ

Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan seizin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS. Hud:105-108)

Jika kita perhatikan dengan cermat, akan kita lihat bahwa dalam dakwah semua nabi itu di samping menetapkan dan menjelaskan kenabian mereka, ada juga dua rukun yang mendasar:

1. Menyembah Allah Yang Maha Esa. 2. Masa depan manusia; bahagia atau sengsara (hari kebangkitan). Oleh sebab itu, keimanan pada dua fondasi ini: keesaan Tuhan (Tauhid) dan hari kebangkitan (ma’ad), membentuk fondasi dakwah para nabi. Mereka mengajak manusia beriman kepada dua fondasi ini dengan mengajukan dalil dan argumen serta mukjizat. Mereka membangkitkan fitrah pencarian Tuhan dengan memotivasi umat agar berpikir dan merenungi rahasia-rahasia alam yang menakjubkan ini. Supaya umat menyembah Allah Yang Maha Esa. Dan dengan pandangan spiritual, mereka (umat) menyaksikan jejak-jejak kekuasaan-Nya di setiap sudut alam. Memahami tujuan penciptaan manusia dan mengimani alam setelah kematian serta memikirkan nasib mereka di masa depan, apakah bahagia atau sengsara.

Pertama-tama para nabi membenahi keyakinan umat terhadap Tuhan dan hari kebangkitan, yang merupakan dasar seluruh amal perbuatan manusia. Kemudian menyampaikan program-program samawi, hukum-hukum dan undang-undang Tuhan kepada mereka. Dengan jalan ini para nabi mengajak mereka kepada kebaikan dan kebajikan sehingga setiap manusia bisa berbuat sesuai dengan keyakinannya itu. Akhlak dan perilaku mereka sesuai dengan keimanan dan keyakinannya. Oleh sebab itu, demi kebaikan manusia, maka harus memulai dari jalan membenahi “pandangan dunia” dan keyakinan mereka. Dan para nabi juga memiliki metode demikian ini. Mereka perkukuh iman kepada Allah dan hari balasan dalam hati manusia supaya manusia tidak berbuat selain karena Allah dan tidak menaati selain-Nya.


Para Nabi dan Misi Tunggal


            Di sepanjang sejarah, ribuan nabi datang dari Tuhan untuk memberi bimbingan dan petunjuk kepada umat. Sebagian mereka memiliki agama dan syariat yang khusus, dan sebagian yang lain menyebarkan agama nabi sebelum mereka. Namun dasar-dasar agama samawi dan program seluruh nabi adalah satu. Mereka mengajak seluruh umat manusia pada satu tujuan. Secara garis besar segenap agama samawi berdiri tegak atas tiga dasar fundamental di bawah ini:

            Pertama, mengenal Allah Yang Esa dan Pencipta alam, dan beriman kepada-Nya (Tauhid).

            Kedua, beriman kepada hari kebangkitan dan alam akhirat serta masa depan abadi manusia (ma’âd).

            Ketiga, beriman kepada para nabi dan kesatuan jalan dan tujuan mereka (kenabian).

            Para nabi menyeru umat manusia supaya menerima tiga dasar fundamental ini. Mereka berharap agar umat menjalankan program-program Tuhan yang memberi petunjuk dalam kehidupan mereka. Mematuhi perintah Allah Yang Mahabijaksana. Dan menerima program kehidupan mereka dari agama-Nya. Semua nabi, dari Adam sampai nabi penutup (Muhammad saw), mengajak manusia kepada kebenaran. Mereka harus menerima jalan dan aturan yang bernama “agama Allah” yang telah dipilih oleh Allah Swt bagi kehidupan manusia. Hanya satu agama, tidak lebih.

            Dasar-dasar dan universalitas dakwah para nabi tiada perbedaan sedikit pun. Setiap nabi memuliakan dan menyebut-nyebut nabi-nabi sebelumnya, dan mengukuhkan ajaran dan teks dakwahnya. Para nabi juga memberi kabar gembira tentang kehadiran nabi yang akan datang. Mewasiatkan kepada umat mereka agar mengimani nabi yang akan datang. Dan agar menerima seruannya.

            Dalam al-Quran Allah berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِیثَقَ الْنَّبِیِّینَ لَمَآ ءَاتَیْتُکُمْ مِّنْ کِتَبٍ وَحِکْمَةٍ ثُمَّ جَآءَکُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَکُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ ءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى‏ ذَلِکُمْ إِصْرِى قَالُواْ أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواْ وَ أَنَاْ مَعَکُم مِّنَ الْشَّهِدِینَ‏

Dan ingatlah,  ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.”  Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.”  Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS. Ali Imran:81).

 

            Mengenai iman kepada para nabi, kesatuan jalan dan tujuan mereka, al-Quran mengatakan,

قُلْ ءَامَنّا بِاللَّهِ وَمَآ أُنْزِلَ عَلَیْنَا وَمَآ أُنْزِلَ عَلَى‏ إِبْرَ هِیمَ وَ إِسْمَعِیلَ وَ إِسْحَقَ وَیَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَى‏ وَ عِیْسَى‏ وَالْنَّبِیُّونَ‏مِنْ رَّبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَیْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ‏ / وَمَن یَبْتَغِ غَیْرَ الْإِسْلمِ دِیناً فَلَنْ یُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى الْأَخِرَةِ مِنَ الْخَسِرِینَ‏

Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri.” Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imran:84-85).

Islam artinya pasrah di hadapan agama Allah. Dalam makna ini semua nabi adalah “Muslim”. Meski demikian, Islam dalam maknanya yang khas ditujukan pada agama samawi terakhir dan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw dari Allah, seorang yang menerima agama ini disebut Muslim.

Nabi Ibrahim as dalam doa dan munajat kepada Allah, demikian beliau mengungkapkan:

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab, “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.”

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”

 

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَیْنِ لَکَ وَمِنْ ذُرِّیَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّکَ وَأَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَتُبْ عَلَیْنَآ إِنَّکَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِیمُ‏ / رَبَّنَا وَابْعَثْ فِیهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ یَتْلُواْ عَلَیْهِمْ ءَایَتِکَ وَیُعَلِّمُهُمُ الْکِتَبَ وَالْحِکْمَةَ وَیُزَکِّیهِمْ إِنَّکَ أَنْتَ الْعَزِیزُ الْحَکِیمُ‏ / وَمَنْ یَرْغَبُ عَنْ مِّلَّةِ إِبْرَهِیمَ إلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَیْنَهُ فِى الدُّنْیَا وَإِنَّهُ فِى الْأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّلِحِینَ‏ / إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَلَمِینَ‏ / وَوَصَّى‏ بِهَآ إِبرهیمُ بَنِیهِ وَیَعْقُوبُ یَبَنِىَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى‏ لَکُمْ الدِّینَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ‏ / أَمْ کُنْتُمْ شُهَدَآءَ إِذْ حَضَرَ یَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِیهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِى قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَهَکَ وَإِلَهَ ءَابَآئِکَ إِبْرَهِیمَ وَ إِسْمَعِیلَ وَإِسْحَقَ إِلَهاً وَحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ‏

Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah:128-133).

Oleh karena itu, Allah mengenalkan para nabi dengan satu tujuan yaitu taslîm (berserah diri) di hadapan Tuhan. Dan orang yang berpaling dari jalan mereka adalah termasuk orang dungu dan bodoh.

Allah mengajarkan kepadanya kitab, hikmah, Taurat dan Injil. Dan memilihnya sebagai nabi kepada Bani Israil. Nabi Isa berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.”

“Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.

Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.”

وَرَسُولاً إِلَى‏ بَنِى إِسْرَ ءِِیلَ أَنِّى قَدْ جِئْتُکُمْ بَِایَةٍ مِّنْ رَّبِّکُمْ أَنِّى أَخْلُقُ لَکُمْ مِّنَ الْطِّینِ کَهَیْئَةِ الْطَّیْرِ فَأَنْفُخُ فِیهِ فَیَکُونُ طَیْراً بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَکْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْىِ الْمَوْتَى‏ بِإِذْنِ اللَّهِ وَ أُنَبِّئُکُمْ بِمَا تَأْکُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِى بُیُوتِکُمْ إِنَّ فِى ذَ لِکَ لَأَیَةً لَّکُمْ إِنْ کُنْتُمْ مُّؤْمِنِینَ‏ / وَمُصَدِّقاً لِّمَا بَیْنَ یَدَىَّ مِنَ الْتَّوْرَیةِ وَلِأُحِلَّ لَکُمْ بَعْضَ الَّذِى حُرِّمَ عَلَیْکُمْ وَجِئْتُکُمْ بَِایَةٍ مِّنْ رَّبِّکُمْ فَاتَّقُواْ اللَّهَ وَأَطِیعُونِ‏ / إِنَّ اللَّهَ رَبِّى وَرَبُّکُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِیمٌ‏ / فَلَمَّآ أَحَسَّ عِیَسى‏ مِنْهُمُ الْکُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِى إِلىَ اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِیُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ ءَاَمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ‏ / رَبَّنَآ ءَاَمَنَّا بِمَآ أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الْرَّسُولَ فَاکْتُبْنَا مَعَ الْشَّهِدِینَ‏

Namun ketika Isa as merasa bahwa seruannya mereka (Bani Israil) tolak dan tidak diikuti, maka beliau bersabda, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (QS. Ali Imran:49-53).

Para utusan Tuhan layaknya para guru sekolah. Yang satu diutus sesudah yang lainnya untuk mengajak manusia berserah diri di hadapan agama Allah. Dengan petunjuk-petunjuk mereka, manusia berada di jalan peningkatan dan kesempurnaan yang merupakan jalan yang lurus. Agama dan misi para nabi adalah sama. Mereka semua berusaha untuk mencapai keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tiada perbedaan sedikit pun di antara agama-agama samawi para nabi kecuali dalam hukum-hukum yang bersifat sekunder, yang disebabkan situasi dan kondisi zaman dan kesiapan personal.

Kondisi zaman dan tingkatan potensi manusia tidak sama pada semua zaman. Karena itu para nabi berbicara dengan mereka sesuai tingkat wawasan dan kesiapan umat. Secara bertahap mereka memberikan pemahaman pengetahuan-pengetahuan agama, kematangan dan kesempurnaan. Sampai giliran utusan terakhir, Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw datang dengan pengetahuan-pengetahuan dan hukum-hukum agama yang luas dan sangat akurat, yang tidak didapati dalam agama-agama sebelumnya. Ia diutus untuk memberi petunjuk kepada umat manusia.

Berdasarkan keluasan dan keagungan pengetahuan dan keluasan hukum-hukum Islam, pencerahan pikiran, penelitian dan penyimpulan teks-teks agama, maka Allah mengumumkan Islam sebagai agama samawi terakhir dan terbaik.

Mengenai kandungan agama Islam dan hubungannya dengan agama-agama dahulu, Allah berfirman, Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (QS. asy-Syura:13).