پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Wahyu

Wahyu

 

            Wahyu secara etimologis artinya: penyampaian perkataan secara rahasia dan kilat kepada yang lain. Adapun secara terminologis bermakna percakapan Tuhan dengan para nabi.

Mereka (para nabi) mengaku bahwa mereka punya hubungan khusus dengan Allah Swt. Dan Allah berfirman kepada mereka dan menyampaikan pesan untuk umat. Mereka mengaku mendengar firman Tuhan dan menyaksikan hakikat-hakikat di alam gaib. Mereka diperintah oleh Allah supaya menyampaikan pesan-pesan-Nya.

            Ilmu Para nabi diperoleh melalui wahyu, berbeda sepenuhnya dengan cara menimba ilmu manusia pada umumnya. Kita, manusia, mempunyai tiga macam pengetahuan:

1-Pengetahuan terhadap objek yang bisa dijangkau indra (ilmu indrawi/mahsûsât).

2-Pengetahuan akan hal-hal universal (kulliyât).

3-Pengetahuan sensasi-sensasi batiniah dan intuisional (wijdâni).

Pengetahuan indrawi diperoleh secara langsung melalui pancaindra. Dalam mengetahui pengetahuan universal indra kita juga berperan, sebab partikular-partikularnya sudah diketahui sebelumnya dengan indra ini. Lalu digeneralisasikan dari semua partikular tersebut. Sedangkan jenis pengetahuan ketiga, ialah sensasi-sensasi batiniah seperti: rasa sakit, lapar dan haus, rasa gembira dan sedih. Semuanya itu dirasakan dan didapati dengan indra lahir atau batin, baik langsung maupun tidak. Adapun wahyu, bukan bagian dari ketiga macam pengetahuan tersebut.

            Di alam gaib para nabi menyaksikan hakikat-hakikat tetapi tidak dengan mata lahir, dan mendengar perkataan Tuhan tetapi tidak dengan telinga. Dalam hal ini ilmu-ilmu ini disampaikan dari Tuhan ke dalam kalbu nabi melalui wahyu. Pada saat itu lahir penyaksian (hakikat-hakikat). Benar-benar berlawanan dengan ilmu-ilmu biasa yang diperoleh melalui indra dan kemudian masuk ke dalam benak dan jiwa kita. Al-Quran menginterpretasikan wahyu di bawah ini,

وَإِنَّهُ لَتَنزِیلُ رَبِ‏ّ الْعَالَمِینَ /  نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِینُ /  عَلَى‏ قَلْبِکَ لِتَکُونَ مِنَ الْمُنذِرِینَ‏ / بِلِسَانٍ عَرَبِىٍ‏ّ مُّبِینٍ

Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Rûh al-Amîn (jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. asy-Syu’ara:192-195)

قُلْ مَنْ کَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِیْلَ فإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى‏ قَلْبِکَ

Katakanlah: “Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Quran) ke dalam hatimu.” (QS. al-Baqarah:97)

Dalam kitab tafsir Rûh al-Bayân diterangkan:

Bilamana (ada wahyu) diwahyukan kepada Muhammad saw, pertama-tama turun ke dalam kalbu beliau. Karena itulah beliau sangat menantikan wahyu dan hanyut di dalamnya. Wahyu itu dari kalbu beliau kemudian menuju ke pemahaman dan pendengaran beliau. Ini artinya wahyu turun dari atas ke bawah dan ia adalah derajat kaum khusus (khawâsh).[3]

Almarhum Allamah Thabathaba`i mengatakan:

“Yang dimaksud qalb (baca:kalbu) adalah jiwa seorang manusia yang berpotensi memahami. Hal ini bisa dipahami dari ayat al-Quran yang mengatakan:

نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِینُ / عَلَى‏ قَلْبِکَ

Dia dibawa turun oleh ar-Rûh al-Amîn (Jibril) ke dalam hatimu. (QS. asy-Syu’ara:193-194)

Dan tidak mengatakan langsung  قلبک  yang menunjukkan pada bagaimana nabi menjangkau al-Quran. Juga apa yang diterima oleh ruhnya adalah jiwa mulia beliau tanpa intervensi indra lahir di dalamnya.

Oleh karena itu, beliau bisa menyimak apa yang diwahyukan kepada beliau, tanpa menggunakan mata dan telinga lahir. Sebab jika penglihatan dan pendengaran beliau dengan mata dan telinga lahir ini, maka apapun yang beliau dengar dan lihat, adalah sama sebagaimana yang didengar dan dilihat oleh orang-orang biasa. Dan riwayat-riwayat hadis juga dengan tegas menolak pemahaman ini.”[4]

Oleh sebab itu ilmu-ilmu para nabi diperoleh melalui wahyu. Bukan merupakan bagian dari ilmu berperantara (hushûli), sensasional dan rasional manusia. Tetapi semacam ilmu yang lebih tinggi, yang substansinya tidak jelas bagi kita. Semacam konsensi (syu’ûr) batiniah yang dirahasiakan, yang di dalamnya tidak ada kesalahan dan kekeliruan.

Menurut beberapa ayat al-Quran bahwa wahyu dilakukan dengan salah satu dari tiga cara:

Cara pertama, Allah Swt menyampaikan wahyu secara langsung ke dalam kalbu nabi.

Cara kedua, wahyu disampaikan melalui perantara lain dan dari situ nabi menerimanya. Misalnya, taklîm (mengajak bicara) Nabi Musa di bukit melalui pohon. Al-Quran mengatakan:

Ketika sampai padanya, dari sebelah kanan lembah dan di tempat yang diberkati, muncul suara melalui pohon.

Cara ketiga, disampaikan dengan perantara malaikat wahyu (Jibril) ke dalam kalbu nabi.

Tiga cara ini disinggung dalam al-Quran,

وَمَا کَانَ لِبَشَرٍ أَن یُکَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْیاً أَوْ مِن وَرَآىِ حِجَابٍ أَوْ یُرْسِلَ رَسُولًا فَیُوحِىَ بِإِذْنِهِ مَا یَشَآءُ إِنَّهُ عَلِىٌّ حَکِیمٌ‏

Dan tidak ada bagi seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengan  dia kecuali dengan perantara wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (Malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi Mahabijaksana. (QS. asy-Syu’ara:51)

Akan tetapi wahyu dengan jalan apapun itu dilakukan dengan wasilah Allah Swt. Karena itu dalam banyak ayat, wahyu dinisbahkan kepada Allah dengan perantara dan melalui sebab-sebab, di antaranya Jibril.

Oleh karena itu, adanya tiga macam wahyu itu disebabkan kondisi-kondisi batiniah nabi dan beragam daya tarik Tuhan. Dalam hal ini terkadang ruh malakûti nabi naik mencapai maqam Jibril dan dia mendengar wahyu darinya. Namun dia tidak melihat dirinya. Dan ada kalanya juga dia bahkan menyaksikan diri Jibril. Terkadang kenaikan spiritualitasnya sampai batas mendengar firman Tuhan di tempat tertentu seperti pohon. Sekali waktu dia naik sedemikian sehingga tidak ada perantara dan mendengar firman secara langsung dari Allah Swt.

Keterangan ini telah disinggung oleh Allamah Thabathaba`i:

“Penyampaian wahyu itu ada dua macam yaitu adanya tirai (hijab) yakni adanya si pembawa pesan (Jibril) sebagai perantara Allah untuk menyampaikannya,  dan Allah langsung menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Tetapi kedua jalan itu sebenarnya tidak berbeda (karena pada kenyataannya dalam penyampaian wahyu langsung pun masih ada hijab yang tidak disadari Nabi saw—peny.). Sebab wahyu tidak seperti perbuatan-Nya yang lain tanpa perantara. Pokok masalahnya ialah perhatian si mukhâthab (yang diajak bicara, yakni Nabi) yang menerima perkataan. Jadi jika nabi memandang suatu perantara yang membawa perkataan (Tuhan) dan perantara ini datang dari Tuhan membawa perkataan dan risalah kepadanya, maka (Dia) terhijab. Seperti perantara malaikat, yang dalam hal ini wahyu dari malaikat tersebut. Jadi bilamana nabi bertawajuh kepada Tuhan maka itu wahyu dari Tuhan. Walaupun ada suatu perantara, tapi nabi tidak menyadarinya.”[5]

 

[3] Tafsir Rûh al-Bayân, juz 6, hal., 306.
[4] Al-Mîzân, juz 15, hal., 345.
[5] Al-Mîzân, juz, 14, hal., 150.