پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Pengutusan Nabi saw

Pengutusan Nabi saw

 

            Pada tanggal 27 Rajab tahun 610 Masehi, Nabi saw pada usia empat puluh tahun diutus menjadi rasul.[72] Diterangkan dalam sejarah bahwa sebelum bi’tsah terkadang dia menyaksikan tanda-tanda dalam tidur atau bangunnya. Dia melihat Jibril dan mendengar suara-suara tertentu. Bahkan terkadang diajak berbicara sebagai utusan Allah.

            Baladzuri menyampaikan, “Ketika Allah berkehendak memuliakan Muhammad saw dan mengaktifkan kenabian beliau, saat itu beliau keluar kota untuk suatu keperluan. Beliau melewati lembah-lembah dan bukit-bukit, dan setiap pohon yang beliau lewati mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaika ya Rasulallah.’ Beliau menoleh ke kanan-kiri dan ke belakang, tetapi tidak ada seorang pun.[73]    

            Terkadang pada saat tidur atau terjaga beliau melihat ada satu sosok yang mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaika ya Rasulallah.’

            Beliau bertanya padanya, ‘Siapa engkau?’

            Ia menjawab, ‘Aku Jibril. Allah mengutusku untuk memilih engkau sebagai seorang nabi.’

Rasulullah menyaksikan kejadian ini, namun tidak beliau ceritakan kepada siapa pun.[74]

            Pada suatu kesempatan beliau mengutarakan masalahnya kepada istri beliau, Khadijah. Sang istri menjawab, ‘Aku berharap demikian.’[75]

            Awal tahap wahyu ialah mimpi yang benar. Ia tidak bermimpi kecuali terang dan jelas seperti cahaya subuh. Maka ia cenderung menyepi. Ia pergi ke gua Hira dan berkhalwat. Di sana beliau melakukan ibadah kepada Tuhannya, beri’tikaf beberapa malam, lalu pulang menemui Khadijah dan menyiapkan perbekalan. Hingga ketika sedang berada di gua Hira, kebenaran menjadi terang baginya dan Jibril berbicara dengannya.[76]

            Begitulah perjalanan Rasulullah saw. Setiap tahunnya beliau berada dalam gua Hira selama minimal sebulan untuk aktif melakukan ibadah.”[77]

            Ubaid bin Umair berkata, “Rasulullah dalam setahun selama sebulan berada di gua Hira dan melakukan ibadah. Di masa itu beliau memberi kaum fakir makan. Ketika masa waktu khalwatnya selesai, beliau kembali ke Mekkah. Sebelum ke rumah, beliau melakukan thawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali atau lebih.”[78]

            Hira adalah nama satu bukit, tinggi dan terletak di sebelah utara Mekkah ke arah Mina. Dulu jaraknya satu farsakh (6 km) dekat dengan kota. Kini rumah-rumah kota menjalar sampai dekat bukit ini. Di tengah bukit ini terdapat sebuah gua yang dapat menampung tiga orang yang bernama Gua Hira. Gua ini adalah tempat i’tikaf dan ibadah Nabi Muhammad saw dan turunnya malaikat wahyu (Jibril). Beliau melakukan i’tikaf dalam gua yang bercahaya dan suci ini, selama berbulan-bulan. Siang dan malam sibuk melakukan ibadah kepada Tuhan semesta alam dan bermunajat dengan-Nya.

            Beliau duduk di atas papan batu dan bertafakur selama berjam-jam. Merenungi keajaiban-keajaiban ciptaan-Nya. Menatap langit yang bertabur bintang dan keindahan Mekkah. Memandangi terbit dan terbenamnya matahari. Bertafakur tentang keajaiban-keajaiban tubuh manusia, pepohonan, tetumbuhan, binatang, bukit-bukit, tanah-tanah datar, lautan dan samudra beserta gelombang-gelombangnya yang bergemuruh. Dan bersujud di hadapan kekuasaan dan keagungan Tuhan Sang Pencipta alam.

            Terkadang beliau menyesali kebodohan masyarakat yang melupakan Tuhan semesta alam dan menyembah berhala-berhala yang tak berarti.

            Terkadang beliau memikirkan kezaliman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan kaum bangsawan dan konglomerat, dan penderitaan yang dialami kaum lemah dan tertindas, sekaligus berupaya mencari solusinya. Ketika merasa putus asa dari semuanya, beliau bertawajuh kepada Allah Swt dan bermunajat. Beliau selalu memohon (kepada Allah) dalam menyelesaikan problem-problem ideologis, sosial dan moral masyarakat.

            Ketika masa i’tikaf sebulannya berakhir, beliau kembali ke Mekkah dengan hati sejuk, tenang, bercahaya, yakin dan optimis. Dan setelah thawaf di Ka’bah, beliau pulang ke rumah dan menjalani kehidupan sehari-hari.

            Demikianlah kehidupan Nabi saw berlangsung, hingga menginjak usia empat puluh tahun sampailah masa bi’tsah.

            Pada usia empat puluh tahun, sebagaimana biasanya beliau saw berkhalwat di bukit Hira, berniat bertafakur dan beribadah. Pada usia ini beliau memilih bulan Rajab untuk i’tikaf. Tafakur dan ibadah beliau pada kesempatan ini lebih banyak dan lebih mendalam ketimbang masa-masa sebelumnya. Sujud-sujud beliau lebih panjang, munajat-munajat beliau lebih menyentuh, tafakur-tafakur beliau lebih dalam, nuansa dan hawanya tidak seperti biasanya, daya tarik Ilahiah mengguncang keadaan dan menerangi jati dirinya, cenderung terbang. Terbang menuju alam malakut tertinggi dan alam nuraniah.

            Bergantinya siang dan malam bulan Rajab mengiringi daya-daya tarik spiritual yang semakin kuat. Ruh Muhammad saw lebih meninggi dan siap untuk mengadakan kontak dengan alam gaib dan menerima wahyu.

            Tiba waktunya tanggal 27 Rajab. Nabi saw tenggelam dalam tafakur. Saat itulah Jibril turun dan berkata, “Engkau adalah utusan Allah dan engkau diperintahkan untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada umat manusia.”[79]

            Imam (Ali bin Muhammad) Hadi as menerangkan tentang kejadian ini:

            “Rasulullah saw membagikan seluruh apa yang beliau peroleh dari perniagaan di Syam kepada fakir miskin. Setiap hari beliau pergi ke bukit Hira dan menaiki puncak bukit. Menyaksikan tanda-tanda rahmat Allah, keajaiban-keajaiban dan keindahan-keindahan hikmah-Nya, memandangi langit, bumi, laut dan darat. Lalu mengambil hikmah darinya (‘ibrah). Beliau menyembah Allah sebagaimana Dia patut disembah.

            Menginjak usia empat puluh tahun, Allah menjadikan hati beliau sebaik-baik hati, hati yang paling taat dan yang paling khusyuk. Lalu Dia membuka pintu-pintu langit di hadapan beliau agar dapat melihatnya. Dia mempersilahkan para malaikat untuk turun sehingga Muhammad saw bisa melihat mereka. Dia menurunkan rahmat-Nya kepada beliau dan meliputi dari kaki ‘Arsy sampai kepala Muhammad saw. Jibril turun. Meraih kedua bahu Nabi Muhammad saw dan menekannya seraya berkata, “Ya Muhammad! Bacalah!”

            “Apa yang kubaca?” jawab beliau.

            Jibril berkata, “Wahai Muhammad,

إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّکَ الَّذِى خَلَقَ / خَلَقَ الْإِنسَانَ مِن عَلَقٍ / اقْرَأْ وَ رَبُّکَ الْأَکْرَمُ / الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ / عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ یَعْلَمْ‏

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq:1-5)

            Saat itu apa yang Jibril terima dari Allah, ia wahyukan kepada Muhammad saw dan kemudian naik ke langit.

            Muhammad saw turun dari bukit Hira. Beliau menjadi tak terkendali karena menyaksikan keagungan Tuhan. Terasa begitu berat menyaksikan Jibril dan memikul wahyu Ilahi, menggigil seperti demam. Khawatir Quraisy mendustakan beliau dan menuduh beliau gila. Padahal beliau adalah manusia yang paling bijak dan paling mulia. Dan sangat jauh dari setan dan dari ucapan dan perbuatan orang-orang gila.

            Maka Allah berkehendak mengkaruniai beliau kelapangan dada dan menjadikan hati beliau tenang. Karena itu bukit-bukit, batu-batu besar, pasir-pasir dan benda yang beliau lewati mengucapkan salam kepada beliau: “Assalamu ‘alaika ya Muhammad! Assalamu ‘alaika ya Waliyallah! Assalamu ‘alaika ya Rasulallah! Berbahagialah! Karena Allah memberi Anda keutamaan dan keindahan. Anda memiliki kemuliaan di atas semua manusia dari awal sampai akhir. Janganlah bersedih karena Quraisy menyebut Anda orang gila. Sebab manusia utama ialah yang diutamakan Allah. Manusia mulia ialah yang dimuliakan Allah. Janganlah gundah dengan pendustaan Quraisy dan kaum Arab bebal. Karena Allah segera akan mengantarkan Anda menuju derajat yang paling tinggi dan paling mulia.”[80]

            Dengan menyaksikan Jibril dan menerima wahyu, segenap eksistensi beliau menjadi terang. Dengan keimanan yang kukuh, hati yang tenang dan niat yang pasti, beliau dari bukit Hira pulang ke rumah.

            Ibn Syahr Asyub menyampaikan, “Muhammad saw pulang ke rumah dan rumah menjadi bercahaya. Khadijah sang istri terkejut sambil bertanya, ‘Cahaya apakah ini?’

            Nabi saw menjawab, ‘Cahaya kenabian. Maka ucapkanlah: Asyhadu an lâ ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh.’

            Khadijah mengungkapkan, ‘Hal ini sudah aku ketahui sejak lama. Ketika itu aku sebagai muslim.’”[81]

            Mengenai awal surah yang turun kepada Nabi saw, antara ulama berbeda pendapat. Mayoritas sejarahwan berpendapat: Awal surah yang turun ialah al-’Alaq. Hal ini juga diterangkan dalam beberapa hadis.

            Ali bin Sari meriwayatkan dari Imam Shadiq as, yang berkata:

“Awal surah yang turun kepada Rasulullah saw ialah (al-‘Alaq):

إقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّکَ الَّذِى خَلَقَ

Dan akhir surah ialah (an-Nashr)”:

إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ82

[72] Bihâr al-Anwâr, juz 18, hal., 189. Sebagian mengatakan: Pengutusan (Nabi saw) tanggal 20 atau 17 Ramadhan.
[73] Ansâb al-Asyraf, juz 1, hal., 104.
[74] Bihâr al-Anwâr, juz 18, hal., 184.
[75] Ibid., 194.
[76] Ansâb al-Asyraf, juz 1, hal., 105.
[77] Sîrah Ibn Hisyam, juz 1, hal., 251.
[78] Ibid., hal., 252.
[79] Kejadian awal bi’tsah dan awal masa turunnya Jibril, dalam buku-buku sejarah disampaikan dengan berbagai versi. Sebagian tidak sesuai dengan kedudukan luhur kenabian. Karena itu dalam menjelaskan kejadian yang luar biasa ini, kami merujuk kepada hadis-hadis Ahlulbait yang lebih mengetahui ketimbang yang lain.
[80] Bihâr al-Anwâr, juz 18, hal., 205.
[81] Manâqib Alû Abî Thâlib, juz 1, hal., 72.
[82] Al-Kâfi, juz 2, hal., 628.