پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Penetapan Kenabian Muhammad saw

Penetapan Kenabian Muhammad saw

 

            Mengenal para nabi Allah—antara lain Nabi Muhammad saw—dapat dicapai melalui beberapa cara:

            1-Menelaah dan mengkaji akhlak, perilaku dan pola hidup pribadi yang mengaku nabi secara akurat.

            2-Menelaah dan meneliti semua akidah, hukum-hukum, undang-undang dan moralitas agama yang dibawanya.

            3-Kabar gembira (bisyârah) yang disampaikan para nabi tentang si pengaku nabi itu.

            4-Adanya kasus-kasus di luar kebiasaan (mukjizat) yang tidak bisa dilakukan manusia lainnya.

            Dengan menelaah sejarah awal Islam akan jelas bahwa kaum Muslim menerima Islam tidak sama tingkatannya. Yakni ada sebagian mereka langsung beriman dengan tidak menuntut mukjizat dari Nabi saw. Ada juga sebagian tetap tidak mengimani Islam meskipun setelah menyaksikan mukjizat. Secara umum mereka bisa yakin dan mempercayai kenabian beliau dan membenarkan seruan beliau, disebabkan atau melalui jalan yang lain (bukan dengan jalan mukjizat—peny.). Di sini kami sebutkan sebagian jalan itu:


Jalan Pertama

            Dengan menelaah sejarah awal Islam akan didapatkan bahwa sebagian individu (sahabat) terkesan dengan kepribadian beliau yang luar biasa, akhlak yang terpuji, perilaku yang baik, berpegang teguh pada kejujuran dan kebenaran, dan juga amanah yang dimiliki Nabi Muhammad saw. Dengan jalan ini mereka bisa melihat dan mengimani kebenaran pengakuan beliau sebagai seorang nabi.

            Nabi Muhammad saw sebelum diutus dan bahkan sejak masa kanak-kanak memiliki kepribadian yang istimewa, dan dikenal cinta kebaikan, amanah, pembela kaum lemah dan dhuafa, jujur dan lurus.

            Sayidah Khadijah, wanita pertama yang menerima seruan beliau dan masuk Islam, dapat dinilai sebagai termasuk orang pertama yang masuk Islam. Ia mengenal Nabi Muhammad sebagai yang terbaik dibandingkan dengan yang lain. Sangat mengenal beliau dengan sifat-sifat dan kesempurnaan-kesempurnaan batiniah, tingkat-tingkat kebenaran dan ketakwaan beliau. Karena itulah, ia bisa menerima seruan beliau di awal dakwah dan sebelum orang lain (masuk Islam). Dia menganggap kesempurnaan-kesempurnaan esensial tersebut sebagai bukti kebenaran seruan beliau dan memotivasi dia dalam meniti risalah.

            Diterangkan dalam sejarah bahwa Nabi Muhammad saw, setelah menyaksikan Jibril di gua Hira dan pada awal turunnya wahyu, bergegas pulang ke rumah dan menceritakan kejadian tersebut kepada istri beliau (Khadijah).

            Beliau menceritakan, “Aku menemui Khadijah dan aku sampaikan, ‘Aku merasa khawatir atas diriku.’” Lantas beliau ceritakan kepada Khadijah tentang pertemuannya dengan Jibril dan pesannya.

            Khadijah menjawab, “Gembiralah! Demi Allah, dia sama sekali tidak merendahkan engkau. Demi Allah! Engkau menjaga silaturahmi, jujur dan amanah, (turut) memikul beban hidup orang lain, menghormati tamu dan menolong kesulitan hidup masyarakat.”[16]

            Rasulullah saw terkadang menjadikan masalah (kesan sahabat atau jalan pertama) ini sebagai bukti kebenaran kenabian beliau. Dan beliau berharap kepada orang-orang agar menerima kenabian beliau.

            Baladzuri mengatakan, “Ketika ayat,

وَأَنذِرْ عَشِیرَتَکَ الْأَقْرَبِینَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (QS. asy-Syu’ara:214), turun kepada Nabi Muhammad saw. Beliau naik ke atas bukit Shafa dan memanggil kaum Quraisy dengan suara yang keras. Quraisy pun mendengar jeritan beliau dan berkata, ‘Muhammad di atas bukit Shafa dan memanggil kalian.’ Semua orang bergegas kepada beliau dan mengatakan, ‘Hai Muhammad, untuk apa kamu memanggil kami?’

            Beliau berkata, ‘Seandainya aku beritahu bahwa di balik bukit ini pasukan musuh berkuda siap menyerang, apakah kalian percaya?’

‘Ya’, jawab mereka. ‘Kami percaya apa yang kamu katakan. Sebab kamu di mata kami bukan pembohong dan kami tidak pernah mendengar kebohongan berasal darimu.’

‘Kalau begitu aku peringatkan kalian akan azab pedih di hari kiamat. Hai anak-anak Abdul Muthalib! Hai Bani Abdu Manaf! Hai Bani Zuhrah (beliau sebutkan suku-suku Quraisy yang lain)! Allah telah menyuruhku supaya mengajak kerabat dekatku kepada Islam. Aku tidak mengharapkan keuntungan duniawi dari kalian dan aku tidak tahu nasib akhirat kalian (saat ini), melainkan katakanlah ‘lâ ilâha illallâh!’”

Ali bin Abi Thalib as pun menerima Islam dari jalan ini. Ialah lelaki pertama yang tersentuh di awal bi’tsah (pengutusan Nabi saw). Ia meyakini Nabi saw. Menerima dan mengimani seruan beliau.

Abu Bakar juga melalui jalan ini menjadi Muslim. Abul Fida menukil dari Ishaq, “Sebelum bi’tsah Abu Bakar sudah bergaul dengan Rasulullah. Ia mengenal beliau sebagai orang jujur, amanah, berperangai baik dan berbudi pekerti, terjaga dari berkata bohong kepada orang-orang. Apalagi berbohong kepada Allah Swt.”[17]

Mayoritas Muslim di awal Islam beriman karena faktor ini. Sebab mereka percaya kepada kejujuran, kesucian, amanah dan kebenaran beliau. Mereka menyatakan, “Dia sama sekali belum pernah berbohong dan tidak akan pernah berbohong.” Karena itu dengan yakin, mereka menerima klaim kenabian dan kerasulan beliau dan mengimaninya.

Nanti akan kami bahas tentang kepribadian istimewa dan memikat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw, juga akhlak, sifat dan perilaku baik beliau saw.


Jalan Kedua

            Mengenal validitas dan kemelangitan satu agama dan membenarkan pembawa pesannya, dapat ditempuh melalui jalan menelaah dan mengkaji teks-teks akidah dan undang-undang moralitas agama tersebut. Jika akidah yang ditawarkan memiliki beberapa ciri antara lain: sesuai dengan standar akal, bukan khayalan dan takhayul, menampung dan menyingkap problem-problem moral-sosial masyarakat, menganjurkan akhlak dan perilaku yang baik dan melarang kerusakan-kerusakan sosial dan moral. Maka agama itu adalah hak dan samawi. Pembawanya dari Tuhan dan dia adalah seorang nabi Allah yang nyata.

            Namun jika agama itu akidahnya khayalan dan batil, hukum-hukumnya lemah dan tak berdasar serta tidak mampu mengatasi problem-problem sosial dan moral, maka pengaku nabi itu pastilah seorang pembohong, agamanya batil dan tak bermakna.

            Sebagian Muslim awal Islam menerima Islam dengan jalan ini. Setelah menelaah dan merenungi akidah dan undang-undang Islam, mereka sampai pada suatu kesimpulan bahwa penyampaian dan penyusunan akidah tersebut seratus persen benar dan sempurna, tidak mungkin disusun oleh seorang manusia. Ia tentulah dari Tuhan, yang disampaikan pada masyarakat terbelakang, di pusat pemujaan berhala dan kebejatan moral di Jazirah Arab. Di bawah ini kami bawakan beberapa misal:

            ‘Amr bin ‘Anbasah mengatakan, “Di awal bi’tsah, di Mekkah aku datangi Rasulullah saw yang sedang bersembunyi (melakukan dakwah sirr—peny.). Aku bertanya kepadanya, ‘Siapa Anda?’

            ‘Aku seorang rasul,’ jawabnya.

            ‘Rasul siapa?’ tanyaku.

            ‘Rasulullah!’

            ‘Benarkah Allah mengutus Anda?’

            ‘Ya.’

            ‘Untuk apa?’

            Ia menjawab, ‘Agar kamu hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Dan agar kamu menghancurkan berhala serta menjalin hubungan yang baik dengan keluargamu.’

            ‘Dia mengutus Anda untuk perkara-perkara yang baik,’ tambahku.”

            ‘Amr mengatakan, “Aku masuk Islam karena mendengar perkataan ini.”[18]

            Tentang masuk Islamnya Khalid bin Sa’id, Abul Fida mengatakan, “Khalid, bertemu dengan Rasulullah saw dan berkata, ‘Untuk apakah Anda menyeru kami?’

            Nabi menjawab, ‘Iman kepada Allah Yang Esa dan kenabian Muhammad serta berlepas dari penyembahan batu yang tidak mendengar dan tidak melihat, tidak memberi manfaat dan mudarat kepada siapa pun, dan tidak bisa membedakan para penyembahnya dari selain mereka.’

            Saat itu Khalid berucap, ‘Asyhadu an lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna muhammadan rasûlullâh.’ Maka Rasulullah gembira dengan masuk Islamnya Khalid.”[19]

            Kata-kata yang disampaikan kaum Muhajirin kepada raja Habasyah, Najasyi menguatkan jalan ini.

            Ibn Atsir menyampaikan secara detil kisah hijrahnya kaum muslimin. Ringkasnya sebagai berikut:

            Pada tahun kelima bi’tsah, sebagian Muslim merasa lelah karena siksaan dan gangguan para musuh. Untuk menjaga jiwa dan agama mereka, terpaksa mereka hijrah ke Habasyah. Tidak lama kemudian kaum Quraisy mengirim dua orang delegasi ke Habasyah dengan membawa banyak hadiah dengan tujuan agar raja Habasyah menahan dan mendeportasi kaum Muslim yang lari itu ke Mekkah. Delegasi (Quraisy) itu datang menemui Raja Najasyi dan menjelaskan maksud dan perkara mereka. Raja Najasyi memanggil pengungsi Muslim itu dan bertanya, “Agama apakah yang menyebabkan Anda meninggalkan ajaran ayah-ayah kalian dan tidak memeluk agama kami atau agama-agama lainnya?”

Ja’far bin Abi Thalib—jubir kaum Muslim—menjawab, “Kami di masa jahiliyah menyembah berhala-berhala, makan daging binatang yang haram, berbuat keburukan, memutuskan tali keluarga sendiri, tidak menghormati tamu dan para penguasa kami merampas hak kaum lemah. Sampai Allah mengutus seorang nabi kepada kami, yang kami kenal nasabnya dan dipercaya kejujuran, amanah dan kesuciannya. Ia mengajak kepada pengesaan Tuhan (Tauhid) dan penafian kesyirikan serta meninggalkan penyembahan berhala. Ia memerintahkan kami untuk jujur, menunaikan amanah, bersilaturahmi dengan kerabat, berbuat baik kepada tetangga dan menjauhi semua dosa seperti membunuh. Ia mengajak kami mendirikan shalat dan berpuasa.”

Ja’far juga menjelaskan beberapa undang-undang Islam lainnya. Kemudian berkata,

“Kami mengimani Nabi (saw) dan membenarkannya. Bagi kami apa yang dihalalkan beliau adalah halal dan apa yang diharamkan beliau adalah haram. Karena itu kami dianiaya dan disakiti oleh sahabat-sahabat kami (sendiri). Mereka menyiksa dan mendera kami dengan sewenang-wenang, agar kami tinggalkan agama kami dan kembali memuja berhala. Karena mereka berkuasa, kami dizalimi dan dilarang menjalankan kewajiban-kewajiban agama kami. Maka kami hijrah ke negeri Anda dan berharap di sini kami tidak teraniaya.”

Najasyi bertanya, “Apakah sesuatu yang dia (Nabi) bawa dari Tuhan untuk kalian itu ada bersama kalian?”

“Ya”, jawab Ja’far. Kemudian dia membacakan beberapa ayat dari surah Maryam.

Raja Najasyi dan para uskup yang hadir menangis mendengar ayat-ayat itu.

Raja Najasyi berkata, “Perkataan ini dan apa yang turun kepada Isa berasal dari satu sumber yang bercahaya. Kalian bebas di negeri kami. Pergilah kemana pun yang kalian mau. Saya tidak akan pernah menyerahkan kalian kepada mereka.”[20]

Oleh karena itu, jalan menelaah dan mengkaji akidah dan hukum-hukum Islam dapat dinilai sebagai satu perantara mengenal agama yang hak. Di awal Islam dan masa sesudahnya banyak yang menjadi Islam lewat jalan ini. Di zaman ini pun sebagian para pencari kebenaran memeluk Islam melalui jalan ini.

Perlu kami sebutkan poin berikut ini: Walaupun banyak kaum Muslim pada awal Islam dan masa sesudahnya meyakini dan mempercayai kebenaran pengakuan Nabi saw, kemudian memeluk Islam dan meyakini bahwa mereka (para Nabi) adalah hujah Allah, tetapi boleh jadi jalan-jalan tersebut tidak memuaskan bagi yang lain. Sehingga tidak dapat dijadikan argumen kepada setiap orang. Ia hanya dapat dipandang sebagai bukti-bukti yang mendukung kebenaran ajaran suatu agama, bukan bagian dari argumen-argumen (rasional) yang pasti dan niscaya.


Jalan Ketiga: Nabi saw dan Berita Gembira

            Cara ketiga yang dapat mendukung kebenaran orang yang mengaku nabi ialah bisyârah (berita gembira) dari nabi sebelumnya yang menetapkan kenabian orang itu. Jalan ini pun bisa diterapkan untuk meneguhkan kenabian Nabi Muhammad saw. Misalnya al-Quran menerangkan dan memastikan berita-berita tentang kenabian Muhammad saw. Di antaranya sebagaimana berikut:

            Dan setelah datang kepada mereka al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu (QS. al-Baqarah:89).

            Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui (QS. al-Baqarah:146).

            (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. al-A’raf:157).

            Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. ash-Shaff:6).

            Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa di masa pengutusan Nabi saw dan turunnya al-Quran, orang-orang Yahudi dan Nasrani tinggal di Jazirah Arab dalam penantian kemunculan seorang nabi yang diutus di tanah itu, membela keyakinan penyembahan Tuhan dan tauhid, dan melindungi orang-orang mukmin dan agama-agama samawi. Kaum Yahudi dan Nasrani sangat mengetahui sifat-sifat dan tanda-tanda nabi yang dijanjikan itu, seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Bahkan mereka tahu namanya Ahmad.

            Sudah dimaklumi bahwa Nabi Isa, Musa dan para nabi lainnya, memberi kabar gembira tentang kedatangan nabi tersebut dan menerangkan sifat-sifatnya, bahkan nama dan tanda-tandanya termaktub dalam Taurat dan Injil. Yahudi dan Nasrani sangat yakin dengan kedatangan nabi tersebut sehingga apabila mereka disakiti oleh kaum musyrik dan kafir dan orang-orang berkuasa, maka mereka mengancam kaum musyrik tersebut bahwa akan segera diutus nabi yang dijanjikan untuk melindungi mereka.

            Ibn Hisyam mengatakan, “’Ashim, putra Umar bin Qatadah, menukil dari orang-orang sekabilahnya bahwa mereka mengatakan, ‘Dengan kasih sayang Allah dan hidayah-Nya, Hammad menyeru kami kepada Islam. Kami (dulu) musyrik. Terkadang muncul perbuatan zalim dan sewenang-wenang antara kami dan sebagian tokoh Yahudi. Ketika kami berbuat buruk terhadap mereka, mereka mengatakan, ‘Zaman pengutusan nabi yang dijanjikan telah dekat, setelah ia diutus kami akan membunuh kalian seperti ‘Ad dan Eram.’ Kami selalu mendengar ancaman mereka ini.

            Ketika Nabi Muhammad saw diutus menjadi rasul, kami sambut seruan beliau dan kami tahu dialah nabi yang pengutusannya dijadikan ancaman oleh orang Yahudi kepada kami. Karena itu kami mendahului beriman kepadanya daripada kaum Yahudi itu. Sementara mereka menjadi kafir. Kemudian turunlah surah al-Baqarah mengenai kami dan mereka.”[21]

            Baladzuri mengatakan, “Shafiyah, putri Abdul Muthalib berkata kepada Abu Lahab, ‘Saudaraku, bisakah kamu biarkan putra saudaramu dan (agama) Islamnya? Demi Allah, ulama Yahudi selalu memberitahu bahwa akan lahir seorang nabi dari keturunan Abdul Muthalib, dan Muhammad-lah nabi yang dijanjikan itu.’”[22]

            Dalam buku-buku sejarah terlihat banyak nama ulama Ahlulkitab dan para pendeta yang menanti kemunculan beliau sebelum pengutusan Nabi saw dan mereka memberitahukan hal tersebut kepada yang lain. Kami akan menyebutkan beberapa contoh di bawah ini:

Nabi Muhammad saw di masa kanak-kanak melakukan perjalanan ke Syam bersama paman beliau, Abu Thalib. Di tengah perjalanan beliau sampai di tempat seorang pendeta yang bernama Buhaira. Pendeta itu mengundang kafilah Nabi. Setelah menyaksikan tanda-tanda yang luar biasa yang ada pada diri beliau, ia menyampaikan beberapa pertanyaan kepada paman beliau. Kemudian dengan pelan ia berkata, “Kembalikan putra saudara Anda ke kampung halamannya! Jagalah ia dari bahaya Yahudi. Demi Tuhan, jika mereka melihatnya dan mengenalnya maka mereka akan mencelakakannya. Ketahuilah, putra saudara Anda ini akan sampai pada maqam yang amat tinggi.”[23]

Pendeta bernama ‘Aisha tinggal di “Mur Zhuhran”. Ia adalah seorang yang berilmu tinggi. Setiap tahun ia pergi ke Mekkah dan bertemu dengan penduduknya. Di antara sekian kepergiannya itu dia berkata kepada orang-orang, “Hai penduduk Mekkah, akan lahir segera di tengah kalian seorang yang bangsa Arab dan bangsa non-Arab (Ajam) akan tunduk kepadanya! Masanya sudah dekat. Siapa yang sezaman dengannya dan beriman kepadanya niscaya harapannya tercapai. Dan siapa yang bertentangan dengannya maka dia telah melakukan kesalahan. Demi Tuhan, aku sedang menantikan dirinya.”[24]

Muhammad bin Salamah menyampaikan, “Pada suku Bani Abdul Asyhal, ada seorang Yahudi bernama Yusya’. Di masa kecilku aku pernah mendengar ia berkata, ‘Masanya sudah dekat, akan diutus seorang nabi dari “Bait” (Ka’bah) ini. Siapa yang melihatnya harus membenarkannya.’ Ketika kami hidup sampai Nabi saw diutus, maka kami masuk Islam. Tetapi Yahudi itu karena hasud tidak mau menerima Islam.”[25]

‘Ashim bin Umar berkata, “Seorang lelaki tua dari Bani Quraizhah berkata kepadaku, ‘Tahukah kamu apa yang menyebabkan Tsa’labah bin Sa’yah, Asid bin Sa’yah, Asad bin ‘Ubaid dan sejumlah orang dari Bani Hadal menjadi muslim?’

‘Tidak’, kataku.

Ia berkata, ‘Seorang Yahudi bernama Ibn Hayiban, beberapa tahun sebelum Islam, datang dari Syam kepada kami dan bermukim. Demi Allah, aku tidak melihat orang lebih baik dari dia. Sekian lama dia diam di hadapan kami. Ketika ajalnya sudah dekat dia berkata,

‘Hai jemaah Yahudi, tahukah kalian kenapa aku memilih kota ini?’

‘Tidak’, jawabku.

Ia berkata, ‘Karena aku menunggu seorang nabi yang sudah dekat masa kemunculannya dan akan hijrah ke kota ini. Aku berharap ia diutus dan aku mengikutinya. Masa nabi tersebut sebentar lagi. Dalam mengimaninya jangan sampai kalian didahului mereka. Ia akan memerangi para penentangnya.’

Ketika Nabi saw sudah diutus dan mengepung Bani Quraizhah, para pemuda tersebut berkata, ‘Hai Bani Quraizhah, inilah nabi yang telah Ibn Haiban katakan itu!’

Bani Quraizhah menjawab, ‘Bukan dia.’

Mereka berkata, ‘Demi Allah, dialah orangnya! Sebab dia mempunyai sifat-sifat dan tanda-tanda itu.’ Setelah mendengar itu, mereka masuk Islam dan dikarenakan hal ini, jiwa-jiwa dan harta benda serta keluarga mereka terjaga.”[26]

            Tentang perjalanan Salman Farisi dan keislamannya diriwayatkan, Salman berkata, “Aku pergi bersama seorang pendeta besar menuju Baitul Maqdis. Ada seorang pria yang sangat baik, mulia dan dihormati. Di tengah perjalanan ia memandangku dan berkata, ‘Kami memiliki Tuhan dan akan ada kiamat, surga, neraka dan perhitungan (amal perbuatan).’ Setelah beberapa nasihat, ia berkata, ‘Hai Salman, Tuhan akan segera mengutus seorang nabi yang bernama Ahmad. Ia akan di utus di tanah Mekkah. Ia menerima hadiah tetapi tidak menerima sedekah. Di tengah pundaknya terdapat (tanda) penutup kenabian. Masanya sudah dekat. Tetapi karena aku sudah tua, mungkin aku tidak akan mencapainya. Jika kamu melihatnya akuilah dia dan berimanlah kepadanya.’”

            Salman berkata, “Meskipun dia menyuruhku untuk meninggalkan agamamu?”

            “Ya”, jawabnya, “Sebab kebenaran ada padanya. Mengikutinya akan diridhai Allah.”[27]

            Ketika Khadijah mendengar laporan dari pendeta dan apa yang dilihat oleh pembantunya dalam perjalanan ke Syam tentang Nabi Muhammad saw, kemudian ia sampaikan kepada Waraqah bin Naufal, seorang Nasrani yang berilmu, ia berkata, “Jika benar laporan ini, maka Muhammad adalah nabi bagi umat ini! Aku yakin bahwa telah ada bagi umat ini seorang nabi yang sedang kami tunggu!”[28]

            Yang jelas, kita tidak bisa menyatakan bahwa isnâd (jalur periwayatan) semua “berita gembira” itu adalah benar. Tetapi mungkin sebagiannya dapat diambil (kebenarannya—penerj.). Namun kita dapat menyimpulkan dari ayat-ayat di atas dan dari seluruh berita gembira tersebut bahwa di tengah umat berita-berita itu telah menyebar di masa pengutusan Nabi saw dan sesudah itu dan umumnya orang-orang, khususnya ulama Ahlulkitab, sedang dalam penantian seorang nabi yang akan di utus di Jazirah Arab. Dan mereka mengetahui sifat-sifat dan tanda-tandanya.

            Kemungkinan berita gembira ini bisa tersebar dengan dua jalan: pertama, dari lisan ke lisan dalam bentuk perkataan-perkataan dan ramalan-ramalan para tokoh. Dengan jalan itu, berita ini tersebar di tengah umat. Di samping itu, juga termaktub di kitab-kitab sehingga bisa dinukil dari sabda nabi-nabi dahulu. Kedua, dengan menukil kitab-kitab samawi seperti Taurat, Injil, Zabur dan lain-lain.

            Dalam ayat 157 surah al-A’raf bisa disimpulkan bahwa sebagian tanda dan sifat Nabi saw terdapat dalam Taurat dan Injil. Yahudi dan Nasrani telah mengetahui tentangnya. Ayat tersebut telah sampai ke telinga mereka. Mereka tidak akan pernah bisa mengingkarinya. Bahkan dengan jalan ini, sebagian mereka menerima Islam sebagaimana contoh-contoh yang telah kami sebutkan di atas.

            Namun sayangnya kebanyakan Yahudi dan Nasrani menolak untuk menerima Islam dan membenarkan perbuatan ini. Alasan mereka: nabi yang dijanjikan harus dari Bani Israil. Sedangkan Muhammad bukan dari Bani Israil! Karena itu tokoh-tokoh mereka menerima konsekuensinya yang serius, dan oleh sebab itu mereka menghalangi orang-orang agar tidak menerima Islam. Fanatisme keagamaan, cinta harta dan kedudukan, tidak akan mengizinkan mereka menerima kebenaran.

            Penelitian dua macam bisyârah (berita gembira dari perkataan para nabi dan dari kitab-kitab samawi) serta pengkajian Taurat dan Injil, komparasi berbagai Injil untuk menyeleksi Injil yang orisinal, dan penilaian adanya perubahan (tahrîf) dalam dua kitab tersebut sebagaimana yang dinyatakan, memerlukan pembahasan yang panjang lebar yang tidak mungkin dilakukan di sini. Karena itu bagi yang berminat kami anjurkan supaya merujuk buku-buku tentang berita-berita gembira tersebut.


Nabi saw dan Mukjizat

            Jalan keempat untuk mengenal para utusan samawi itu ialah mukjizat. Mukjizat adalah hal di luar kebiasaan sehingga orang biasa tidak mampu melakukannya, dan tidak dapat dilacak dengan sebab-sebab dan faktor-faktor pada umumnya. Ketika para nabi mengklaim bahwa mereka memiliki hubungan (khusus) dengan Allah Swt dan mendengar pesan-pesan-Nya, maka untuk menetapkan pengakuannya itu mereka harus mempunyai mukjizat. Karena mukjizat takkan terjadi dari selain Allah (sehingga bisa membuktikan bahwa mereka adalah utusan Allah Swt—peny.).

            Semua nabi memiliki mukjizat. Nabi saw mengakui mukjizat yang dilakukan para nabi sebelumnya. Dalam al-Quran disinggung puluhan mukjizat para nabi terdahulu. Oleh karena itu, Nabi saw pun memiliki mukjizat. Sebab tidak pada tempatnya menceritakan kisah mukjizat para nabi terdahulu tersebut tetapi, pada saat yang sama, beliau sendiri tidak mampu menunjukkan mukjizat, setelah itu beliau mengatakan, “Untuk menetapkan kenabian, para nabi dahulu mempunyai mukjizat sedangkan aku tidak memilikinya! Maka (meski demikian) terimalah seruanku tanpa mukjizat.”

            Oleh karena itu, Nabi saw juga memiliki berbagai mukjizat, sebagaimana yang diceritakan dalam buku-buku sejarah.

Baladzuri mengatakan, “Waraqah berkata kepada Nabi Muhammad saw, ‘Tidak akan diutus seorang nabi kecuali mempunyai tanda dan bukti. Lantas apa bukti Anda?’

Maka Rasulullah saw memanggil pohon “Samurah”. Maka pohon itu pun membelah tanah dan berjalan menghampiri beliau. Waraqah berkata, ‘Aku bersaksi pada kenabian Anda. Jika Anda menyuruh kami berjihad niscaya aku terima dan akan menolong Anda!’”[29]

Amirul Mukminin (Ali) as bersabda, “Suatu ketika aku bersama Rasulullah saw, sekelompok Quraisy mendatangi beliau dan mengatakan: ‘Hai Muhammad, engkau membuat perkara yang besar (mengaku nabi) yang tidak pernah dilakukan oleh ayah-ayah dan keluargamu. Kami minta bukti! Jika engkau bisa melakukannya, maka kami akan mengakui bahwa engkau adalah seorang nabi, dan jika tidak maka kami menganggap kamu adalah penyihir dan pendusta.’

Nabi saw berkata, ‘(Bukti) apa yang kalian minta?’

Mereka mengatakan, ‘Buatlah pohon ini terangkat dari tanah dengan akar-akarnya dan berjalan menghampiri Anda.’

Beliau berkata, ‘Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Jika aku penuhi apa yang kalian inginkan, apakah kalian beriman dan bersaksi atas kebenaran?’

‘Ya’, jawab mereka.

Beliau bersabda, ‘Aku penuhi keinginan kalian tetapi aku tahu kalian (tetap) tidak akan beriman. Sebagian dari kalian suatu saat akan jatuh ke dalam sumur.’

Ada sebagian yang menyebarkan fitnah dan berusaha memecah belah umat. Ketika itu beliau berbicara dengan pohon, ‘Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir dan bersaksi bahwa aku adalah rasul Allah, maka tercabutlah kamu dari tanah dan dengan izin Allah datanglah kepadaku.’”

Amirul Mukminin (Ali) as berkata, “Demi Allah, pohon itu tercabut dan berjalan menghampiri Nabi saw. Saat itu ia bersuara seperti suara kepakan burung-burung. Pohon itu datang dan berdiri di hadapan Rasulullah. Sebagian rantingnya menjorok ke atas kepala Nabi saw dan sebagian lainnya ke atas bahuku. Saat itu aku berdiri di sebelah kanan beliau.”

Ketika kaum Quraisy menyaksikan kejadian ini, dengan takabur mereka berkata, “Buatlah pohon ini separuhnya datang kepadamu dan separuhnya lagi tetap di tempatnya.” Maka Nabi saw memerintahkannya dan pohon itu melakukannya.

            Kemudian mereka mengatakan, “Separuh pohon yang datang kepadamu itu perintahkan agar kembali kepada separuhnya yang lain dan menjadi satu pohon yang sempurna.” Nabi pun melakukannya dan pohon kembali seperti semula.

Imam Ali as berkata, “Setelah menyaksikan mukjizat ini aku berucap, ‘Asyhadu an lâ ilâha illallâh! Aku yang pertama masuk Islam dan bersaksi bahwa apa yang dilakukan pohon ini adalah atas seizin Allah dan (ditujukan) untuk pembuktian kenabianmu.’

Tetapi orang-orang itu mengatakan, ‘Ia adalah penyihir dan pembohong yang aneh. Adakah selain orang ini (Imam Ali) yang membenarkanmu?’”[30]

Oleh karena itu kisah berjalannya pohon atas perintah Nabi saw, yang dinukil dari Imam Ali as dan juga dari Waraqah bin Naufal adalah sebuah mukjizat.

Dalam kitab-kitab hadis, sejarah dan sebagainya, tercatat ratusan mukjizat bagi Nabi saw yang cukup untuk mendukung kenabiannya. Yang jelas kami tidak mengatakan semua mukjizat yang dinisbahkan kepada Nabi saw adalah pasti dan tidak diragukan. Tetapi di antaranya ada yang benar dan diakui sehingga cukup untuk menetapkan adanya kenabiannya. Mukjizat-mukjizat ini bukan mukjizat-mukjizat yang dimiliki Nabi Musa as dan Isa as untuk menetapkan kenabian mereka.

Al-Quran dan buku-buku sejarah menyampaikan bahwa mereka menuduh Nabi Muhammad saw sebagai seorang penyihir dan pendusta. Karena itu wajar apabila perbuatan-perbuatan tidak biasa yang beliau lakukan dipandang sihir oleh mereka. Tetapi karena beliau bukan seorang penyihir maka harus kita katakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah mukjizat.

Alhasil satu catatan yang perlu kita ketahui: mukjizat adalah perkara yang di luar kebiasaan yang dimanfaatkan oleh nabi dalam situasi yang darurat dan ditujukan untuk penetapan kenabian. Karena itu nabi tidak melakukannya menuruti kecenderungan dan keinginan pribadi. Nabi bukanlah pesulap dan selebriti yang tugasnya menghibur dan memikat para penonton. Tetapi dia utusan Tuhan, yang diutus untuk menyampaikan pesan-pesan yang menghidupkan dan memberi petunjuk kepada manusia.

Umat hendaklah memperhatikan sepenuhnya kebenaran, amanah dan program-program nabi. Yang jelas dia (Muhammad saw) juga memiliki mukjizat. Tetapi beliau menggunakannya untuk menyempurnakan hujah dan menetapkan kenabiannya. Lebih dari itu, bagi orang-orang yang mencari mencari keuntungan saja, beliau tidak perlu mengeluarkan mukjizat lagi.

Al-Quran, yang dikenalkan sebagai mukjizat abadi dan dimiliki oleh semua orang, lebih penting dari semua mukjizat. Tetapi dengan adanya semua itu, masih saja ada golongan yang menentang dan mencari keuntungan dengan tidak mau menerima Islam, dan menuduh Nabi saw seorang penyihir dan gila. Orang-orang pendengki ini berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Kami akan menerima seruanmu apabila engkau melakukan hal di luar kebiasaan.” Dalam perkara semacam ini tidak perlu mendatangkan mukjizat. Sebagaimana disampaikan juga oleh al-Quran tentang permintaan kaum musyrik kepada Nabi,

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى‏ أَن یَأْتُواْ بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا یَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ کَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِیراً / وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِى هَذَا الْقُرْءَانِ مِن کُلِّ مَثَلٍ فَأَبَى‏ أَکْثَرُ النَّاسِ إِلَّا کُفُوراً / وَ قَالُواْ لَن نُّؤْمِنَ لَکَ حَتَّى‏ تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ یَنبُوعاً / أَوْ تَکُونَ لَکَ جَنَّةٌ مِّن نَّخِیلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَرَ خِلَلَهَا تَفْجِیراً / أَوْ تُسْقِطَ السَّمَآءَ کَمَا زَعَمْتَ عَلَیْنَا کِسَفاً أَوْ تَأْتِىَ بِاللَّهِ وَ الْمَلَئِکَةِ قَبِیلا / أَوْ یَکُونَ لَکَ بَیْتٌ مِّن زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى‏ فِى السَّمَآءِ وَلَن نُّؤْمِنَ لِرُقِیِّکَ حَتَّى‏ تُنَزِّلَ عَلَیْنَا کِتَباً نَّقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّى هَلْ کُنتُ إِلَّا بَشَراً رَّسُولاً

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”

Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam  al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya).

Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami.  Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.” Katakanlah: “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (QS. al-Isra:88-93)

Dalam ayat ini, pertama-tama al-Quran dikenalkan sebagai sebuah mukjizat abadi, yang jin dan manusia tidak mampu menciptakan sepertinya. Kemudian diteruskan dengan menyebutkan kehendak para penentangnya. Kaum penentang tidak mampu mendatangkan mukjizat, meski demikian mereka tetap masa bodoh dengan mukjizat (al-Quran) ini. Dan beralasan akan beriman jika dituruti apa yang mereka pinta (berupa mukjizat-mukjizat lainnya). Misalnya mereka mengatakan, “Akan kami terima seruanmu apabila engkau sanggup membelah tanah dan mengalirkan mata airnya.” Atau, “Engkau memiliki kebun yang penuh dengan kurma dan anggur yang di dalamnya mengalir sungai-sungai…”, dan sebagainya. Dalam hal ini difirmankan kepada Nabi saw: “Jawablah kepada kaum bebal ini: ‘Tuhanku Mahasuci. Aku tidak lebih hanyalah manusia yang diutus oleh Tuhan kepada kalian, supaya aku menyampaikan pesan-pesan-Nya.’”

 

[16] Al-Kâmil fî at-Tarîkh, juz 1, hal., 478.
[17] Abul Fida, As-Sîrah an-Nabawiyah, juz 1, hal., 433.
[18] Abul Fida, As-Sirâh an-Nabâwiyah, juz 1, hal., 433.
[19] Ibid., hal., 442.
[20] Al-Kâmil fi at-Tarîkh, juz 2, hal., 79.
[21] Sîrah Ibn Hisyâm, juz 1, hal., 225.
[22] Ansâbu al-Asyrâf, juz 1, hal., 119.
[23] Abul Fida, As-Sirâh an-Nabâwiyah, juz 1, hal., 243-245.
[24] Ibid., hal., 222.
[25] Ibid., hal., 294.
[26] Ibid.
[27] Ibid., 306.
[28] Ibid., 159.
[29] Ansâb al-Asyrâf, juz 1, hal., 106.
[30] Nahj al-Balâghah, Khotbah 192.