پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Muhammad saw, Nabi Terakhir

Muhammad saw, Nabi Terakhir

 

            Nabi Muhammad saw adalah nabi yang terakhir. Sesudah beliau tidak akan diutus nabi lagi. Sejak awal dakwah, beliau mengumumkan diri beliau sebagai penutup para nabi dan hal ini diterima oleh kaum Muslim. Masalah khâtamiyah (kepenutupan) dalam ajaran Islam merupakan hal yang pasti (dharûri) dan tidak memerlukan argumentasi.

            Kepenutupan Nabi saw diterangkan dalam al-Quran juga dalam kitab-kitab hadis. Al-Quran menerangkan,

مَا کَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِکُمْ وَلَکِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِیِّینَ وَکَانَ اللَّهُ بِکُلِ‏ّ شَىْ‏ءٍ عَلِیماً

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Ahzab:40)

            Jika kata خاتم dalam ayat ini kita baca tâ` kasrah (baca: khâtim), seperti yang dibaca oleh sebagian pembaca al-Quran (qâri`), maka kata ini bermakna penutup. Dan menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir. Namun jika dibaca tâ` fathah (baca: khâtam), maka maknanya ialah sesuatu yang menutup sesuatu yang lain. Karena itu cincin dan stempel juga disebut khâtam. Sebab setiap akhir surah dibubuhi (dicap) olehnya sebagai tanda penutupnya. Dengan kemungkinan makna kedua pun kepenutupan Nabi saw tetap dapat disimpulkan dari ayat itu. Sebab diberitahukan dengan tanda stempel yang menunjukkan akhir surah (sebagai simbol bahwa Nabi saw adalah nabi yang terakhir—peny.).

            Oleh karena itu, setelah beliau saw, tidak akan diutus lagi nabi yang lain. Jadi kepenutupan Nabi saw dapat disimpulkan dengan jelas dari ayat al-Quran. Sebagaimana sudah umum dipahami demikian oleh kaum Muslim di awal Islam. Mereka tidak meragukan akan kepenutupan beliau saw.

            Selain ayat di atas terdapat juga ayat-ayat lain yang membahasnya, yang tidak sempat disebutkan di sini.

            Adapun hadis mengenainya banyak sekali, namun kami bawakan sebagiannya saja sebagai berikut:

            Sa’ad bin Abi Waqash meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ali as:

            “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada seorang nabi sesudahku.”[44]

            Hadis ini disebut hadis Manzilah, dinukil dalam kitab-kitab Syi’ah dan Suni dengan berbagai jalur. Hal ini menunjukkan tiadanya pengutusan seorang nabi sesudah Nabi saw.

            Dinukil dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:

            “Aku diutus untuk seluruh manusia di dunia dan kenabian akan berakhir denganku.”[45]

            Abu Umamah meriwayatkan dari Rasulullah saw, yang bersabda:

            “Hai manusia, setelahku tidak akan ada seorang nabi. Dan setelah kalian tidak ada satu umat (lagi). Maka sembahlah Allah. Dirikanlah shalat yang lima waktu. Berpuasalah di bulan Ramadhan. Laksanakan haji di Baitullah. Tunaikanlah zakat bagi harta benda kalian, supaya jiwa-jiwa kalian menjadi suci. Taatilah para pengemban urusan (Waliyul Amri) kalian, niscaya kalian akan masuk surga.”[46]

            Amirul Mukminin (Ali) as berkata:

            “Allah mengutus nabi di masa kosongnya nabi (fatrah), sehingga tidak ada keterputusan dalam pengutusan para nabi yang akan menyebabkan umat saling berselisih. Maka Allah sempurnakan risalah dengan mengutus dia dan menutup wahyu.”[47]

            Dari hadis-hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammad saw adalah penutup para nabi. Sesudah beliau tidak ada nabi dan tidak akan pernah ada. Telah disampaikan sebelumnya bahwa Nabi saw mengumumkan dirinya sebagai khâtamul anbiyâ` (penutup para nabi). Siapa yang menerima kenabian beliau niscaya menerima pula kepenutupan beliau. Oleh karena itu, penetapan kepenutupan Nabi saw tidak memerlukan dalil secara mandiri.

            Soal: Apa sebabnya kenabian ditutup? Padahal umat memerlukan nabi dan undang-undang samawi sepanjang zaman. Dan jika setelah pengutusan Nabi saw kebutuhan ini terpenuhi, maka para nabi dahulu sudah memenuhinya? Kenapa salah seorang di antara mereka tidak menjadi penutup para nabi?

            Jawab: Beberapa masalah perlu disinggung di sini:

            1-Agama adalah sebuah hakikat dan sebuah jalan yang dimiliki semua agama samawi. Ushûl (dasar-dasar) bagi agama dapat diringkas dalam beberapa bagian:

            Pertama, iman kepada Allah dan mengenal-Nya.

            Kedua, iman kepada hari kebangkitan, kehidupan setelah kematian, pahala dan siksaan akhirat.

Ketiga, iman kepada para nabi.

Keempat, tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban moral, ritual dan sosial manusia.

Semua nabi dan agama samawi adalah sama dalam ushûl tersebut. Dan mereka mengajak para pengikut mereka kepada ushûl ini.

2-Walaupun agama-agama samawi sama dalam dasar-dasar tersebut, namun semua tidak berada dalam satu tingkat. Terdapat banyak perbedaan dari segi kedalaman makrifat dan masalah rasional, undang-undang dan ketetapan-ketetapan sosial, kualitas dan kuantitas serta bentuk ritual. Di sepanjang sejarah, agama-agama secara bertahap menyempurna dan berkembang. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah akibat penyempurnaan rasional, perluasan ilmu dan wawasan manusia, perubahan dan pergantian, yang lahir secara bertahap dalam kehidupan manusia.

Ilmu pengetahuan dan potensi akal manusia dahulu sudah pasti tidak berada dalam tingkat ilmu dan potensi akal manusia sekarang. Di satu sisi kehidupan individual dan sosial manusia tempo dulu, sama sekali tidak seluas dan serumit kehidupan manusia kini. Makrifat, hukum dan undang-undang agama juga diturunkan oleh Allah melalui para nabi sesuai potensi dan kebutuhan manusia. Dan para nabi diperintahkan berbicara menurut kemampuan umat mereka. Karena itu Nabi saw bersabda:

“Kami Para nabi diperintahkan agar berbicara dengan umat sesuai kadar akal mereka.”[48]

Di sepanjang sejarah, para nabi bagaikan kedua orangtua yang penyayang. Mereka meraih tangan manusia dengan penuh perhatian dan memajukan mereka langkah demi langkah, hingga sampai pada tingkat sekarang ini. Oleh karena itu manusia semakin mencapai kematangan akal dan memiliki potensi yang lebih baik dan dapat menjangkau pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi. Demikian halnya jika manusia memerlukan undang-undang dan ketetapan-ketetapan yang lebih sempurna dan lebih luas, maka diadakanlah baginya hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan yang lebih sempurna pula.

Gerakan takâmuli (penyempurnaan) manusia dengan pengawasan dan upaya para nabi di sepanjang sejarah terus berlanjut hingga sampai pada suatu waktu saat manusia mencapai kemampuan menjangkau makrifat dan ilmu yang paling tinggi. Karenanya Nabi saw diutus untuk memenuhi kebutuhan manusia ini.

Al-Quran turun kepada umat melalui perantara Nabi saw, agar manusia sampai pada hakikat dan makrifat agama yang tertinggi. Dan tidak hanya untuk umat di masa itu saja, tetapi juga untuk orang-orang berilmu di setiap zaman dan masa datang. Al-Quran tidak akan menjadi usang.

Al-Quran dan sejarah hidup Nabi saw adalah dua warisan yang kaya dengan warisan ilmu dan ajaran agama yang dimiliki oleh kaum Muslim.

3-Nabi saw juga memikirkan strategi lanjutan untuk menjaga ilmu-ilmu kenabian, hukum-hukum Islam dan pelaksanaannya yang dilakukan dengan mengangkat imam. Nabi saw, atas perintah Allah, mengenalkan para imam yang suci (kepada umat) sebagai tempat rujukan yang memiliki kapabilitas keilmuan dan keagamaan. Mereka adalah pengawal al-Quran. Sabda-sabda dan sejarah hidup mereka adalah hujah.

4-Dibolehkannya ijtihad dan penyimpulan hukum (istinbâth) dari al-Quran, Sunah dan sejarah hidup para imam serta maksimalisasi akal. Di samping al-Quran, ulama dan fukaha memiliki warisan yang amat kaya dan berharga berupa hadis-hadis (Nabi saw dan para imam—penerj.), yang dengan upaya ijtihad dan pengkajian mereka dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat. Juga dengan ijtihad dan penggalian sumber-sumber hukum Islam (al-Quran dan hadis—penerj.), mereka mampu menjawab berbagai kebutuhan hidup yang berubah di setiap zaman.

5- Orang-orang yang sezaman dengan Nabi saw memiliki kematangan akal dan telah menyadari sepenuhnya untuk menghargai sepenuhnya ilmu-ilmu kenabian, dan berupaya menjaga dan menyampaikannya (kepada yang lain).

Kaum Muslim awal Islam telah sanggup menjaga kitab samawi mereka (al-Quran) dengan menghafal dan mencatat secara sempurna serta tanpa mengadakan tahrîf (perubahan; penambahan atau pengurangan ayat-ayat al-Quran). Mereka mengabadikannya untuk generasi mendatang. Mereka juga mempunyai kemampuan dalam mengumpulkan ratusan ribu hadis Nabi dan para imam mengenai berbagai macam hal dan menjaganya dari pengaruh berbagai faktor.

Untuk itu Nabi saw diutus pada zaman dan kemampuan yang khas ini. Beliau membawa al-Quran dan menyampaikan pengetahuan yang paling tinggi, hukum-hukum dan undang-undang yang paling sempurna. Melalui Imamah (kepemimpinan Islam), beliau sempurnakan agama dan mengenalkan para imam suci as sebagai para penjaga agama dan para pelanjut jalan beliau. Dengan program tersebut umat Islam sudah terpenuhi kebutuhannya dan tidak lagi memerlukan nabi baru.

Inilah hikmah penutup kenabian, yang tidak dimiliki para nabi dahulu dan umat-umat dahulu tidak memiliki potensi-potensi tersebut.


Ketetapan Hukum-hukum Agama dan Perubahan Kehidupan Manusia

            Di sini mungkin ada yang mengritik dengan mengatakan: Anda memandang hukum dan undang-undang Islam itu permanen dan sanggup menyingkap problem di setiap zaman dan tempat. Padahal kondisi-kondisi kehidupan manusia selalu dalam perubahan dan pergantian. Muncul kejadian-kejadian baru yang memerlukan hukum dan undang-undang baru. Dengan kata lain, bagaimana ketetapan hukum-hukum agama bisa meliputi perubahan kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan baru manusia?

            Hukum-hukum Islam yang turun pada seribu empat ratus dua puluh tahun  silam, adalah (sesuai) untuk kehidupan umat Jazirah Arab di masa itu. Tetapi tidak sesuai untuk kehidupan zaman yang maju dan beradab ini dan di masa datang. Karena itu kehidupan masa sekarang yang sulit dan rumit ini membutuhkan hukum dan undang-undang yang lebih progresif. Jika manusia memerlukan undang-undang samawi, maka sebaiknya setiap zaman diutus nabi yang baru untuk membawa hukum dan undang-undang yang lebih sempurna sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang baru.

Menjawab keraguan ini, harus dijelaskan: kebutuhan-kebutuhan manusia yang melatarbelakangi pembuatan hukum dan undang-undang ada dua sisi: Tetap dan berubah. Sisi yang tetap dan kekal berasal dari penciptaan khas manusia, insting dan potensi alaminya. Semua manusia, kapan pun dan dimana pun dalam hal ini sama. Misalnya, semua manusia perlu makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Dalam kebutuhan alami ini tidak ada perbedaan di antara mereka, walaupun dalam cara dan macam mereka terdapat banyak perbedaan. Berangkat dari kebutuhan inilah manusia memerlukan macam-macam pertukaran seperti: jual beli, rental, penggadaian dan sebagainya. Manusia hidup dalam masyarakat. Mereka perlu bantuan dan pertolongan satu sama lain. Dan kehidupan sosial yang maju juga memerlukan undang-undang dan hukum-hukum yang sempurna dan benar, supaya dengan menjalankannya hak-hak tiap individu terjamin dan terjaga dari kesewenang-wenangan.

Hukum dan undang-undang berkaitan dengan buruh dan atasan, kepemilikan dan batasannya, jual beli, persewaan, penggadaian, keputusan dan kesaksian, batas-batas, denda, qishash dan sebagainya, dilahirkan oleh kebutuhan-kebutuhan alami ini.

Pemenuhan insting seksual juga adalah satu kebutuhan alami bagi semua manusia, yang melahirkan (hukum) pernikahan dan perceraian. Dan menyebabkan pembuatan dan penataan hukum-hukum dan undang-undang pernikahan, hak-hak suami istri dan orangtua dengan anak.

Oleh karena itu, hukum-hukum dan undang-undang yang ada dalam syariat Islam dan mengikuti insting dan kebutuhan alami manusia, adalah tetap dan permanen. Dan sesuai dengan kepenutupan Nabi saw.

Mengenai kebutuhan-kebutuhan yang berubah, merujuk pada kondisi-kondisi alam yang berubah, perkembangan ilmu pengetahuan dalam setiap waktu, industri-industri dan berbagai macam penemuan dalam kehidupan, menghendaki solusi-solusi yang tepat dan hukum-hukum baru. Dan agamalah yang menjawab semua itu. Si pembuat undang-undang Islam, memandang dua jalan penyelesaian dalam hal ini:

Jalan pertama adalah ijtihad. Telah disampaikan sebelumnya bahwa Islam meninggalkan warisan yang berharga berupa ilmu pengetahuan, makrifat, hukum-hukum dan undang-undang melalui al-Quran dan hadis. Jika fukaha merujuk pada tuntutan-tuntutan setiap zaman, mengkaji dan meneliti sumber-sumber keilmuan Islam yang kaya, maka mereka akan mampu menyimpulkan hukum (dari sumbernya: al-Quran dan hadis), menemukan jalan penyelesaian yang tepat dan jawaban bagi masalah-masalah baru. Lalu mereka sampaikan jawaban mereka itu kepada umat sehingga bisa menyejajarkan masyarakat Islam dengan masyarakat dunia yang maju dan berkembang.

Seorang mujtahid harus mengenal zaman dan tempat serta kebutuhan-kebutuhan baru bagi masyarakat manusia. Ia menjawab semua masalah dengan bersandarkan kepada khazanah-khazanah Islam yang kaya (al-Quran dan hadis) dengan wawasan yang luas dan kelapangan dada. Dengan jalan ini ia telah menetapkan kepada dunia bahwa undang-undang Islam dapat diamalkan di setiap ruang dan waktu, dan mampu menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat manusia.

Jalan kedua adalah memprioritaskan hakim yang kompeten secara syariat. Sudah ditetapkan bahwa pemerintahan Islam terdapat dalam kandungan hukum-hukum dan undang-undang Islam. Sebagian besar hukum dan undang-undang syariat berkaitan dengan manajemen sosial, urusan-urusan politik dan sosial. Untuk menjalankannya tidak mungkin tanpa keberadaan pemimpin yang religius, komitmen dan ahli.

Pemimpin Muslimin bertugas mengatur pemerintahan Islam dalam garis undang-undang syariat. Dengan menjalankan hukum-hukum Islam, ia telah mencegah kezaliman, kerusakan-kerusakan moral dan sosial dan menegakkan keadilan. Hakim syar’i memiliki tugas memperhatikan secara serius setiap zaman dan kondisi.

Walaupun hukum dan undang-undang Islam dibentuk dalam rangka ini (menegakkan keadilan, mencegah kezaliman dll) dan apabila dijalankan akan sampai pada tujuan tersebut. Tetapi hakim syar’i dalam menata negara Islam, terkadang menghadapi kasus-kasus luar biasa, yang penyelesaiannya memerlukan prioritas-prioritas khusus.

Hakim memiliki mandat menjaga prinsip-prinsip universal Islam dengan memperhatikan maslahat-maslahat umat, menyusun hukum-hukum dan ketetapan-ketetapannya, dan mengatur negara. Hukum-hukum demikian ini disebut hukum-hukum pemerintahan.

Nabi saw memiliki hak-hak khusus ini dan memanfaatkannya. Sepeninggal beliau, hak-hak ini dialihkan kepada para imam suci as. Dalam hukum-hukum inilah kaum Muslim ditugaskan mematuhi Nabi saw dan para imam suci as—yang disebut Ulul Amri.

یَأَیُّهَا الَّذِینَ ءَامَنُواْ أَطِیعُواْ اللَّهَ وَأَطِیعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِى الْأَمْرِ مِنکُمْ

Al-Quran menerangkan, Hai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasulullah dan Para pemilik amr (pemerintahan) dari diri kalian (QS. an-Nisa:59).

Berdasarkan banyak riwayat hadis yang kami miliki, dalam kegaiban imam maksum, tugas dan tanggung jawab mengatur negara Islam dipikul oleh seorang fakih adil, sekaligus sebagai seorang pemimpin dan politikus. Sebelum diangkat sebagai seorang fakih pilihan ia diperkenalkan kepada umat oleh para fakih (fukaha).

Wali (pemimpin) urusan muslimin juga memiliki dan menggunakan hak-hak khusus para imam as dalam mengatur negara.

Oleh karena itu, pemerintahan Islam tidak dibentuk dalam kondisi mengalami krisis hukum. Sebab dalam penyelesaian masalah-masalah pemerintahan, ia menggunakan ijtihad fukaha yang mengenal zaman atau memanfaatkan hak-hak khususnya.

Dengan keterangan di atas maka jelas bahwa hukum-hukum dan undang-undang Islam dapat mengabadi dan menjamin kebahagiaan umat dunia dan akhirat dalam segala kondisi. Oleh karena itu, tidak ada problem dalam kepenutupan kenabian Nabi saw.

 

Kenapa Pengutusan “Nabi Mubalig” Terputus?

            Barangkali ada juga yang melontar kritik lainnya bahwa: Kami bisa menerima bahwa setelah pengutusan Nabi saw tidak perlu lagi pengutusan nabi yang membawa syariat. Tetapi kami menolak berakhirnya pengutusan nabi sebagai penyampai dan penyebar agama. Menurut kami para nabi dahulu ada dua golongan: 1-Golongan Ulul ‘azmi dan pembawa syariat. 2-Golongan yang menyebarkan agama para nabi Ulul ‘azmi, yang berfungsi dan berpengaruh dalam membimbing dan mengarahkan umat. Sesudah Nabi saw pun pasti ada nabi-nabi (golongan kedua) ini. Jadi kenapa mereka tidak diutus?

            Jawabannya bahwa pengutusan nabi dilakukan untuk penyempurnaan hujah dalam kondisi-kondisi mendesak. Sedangkan pasca pengutusan Nabi saw, kebutuhan ini tidak ada. Sebab manusia (umat) di masa itu telah sampai pada kematangan akal dan keilmuan. Ia mampu menjaga dan menyebarkan warisan keilmuan dan keagamaannya. Pada masa itu agama telah sempurna dan sampai pada titik akhir.

            Allah berfirman, Hari ini orang-orang kafir telah putus asa dari (melancarkan serangan terhadap) agama kalian. Maka janganlah kalian takut pada mereka, takutlah kepada-Ku. Hari ini Aku sempurnakan agama kalian, Aku lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridhai Islam kalian (QS. al-Maidah:3).

Islam membebankan tanggung jawab menjaga dan menyampaikan agama kepada tiga golongan:

Pertama, imam maksum. Kaum Syi’ah meyakini setelah Nabi saw, tanggung jawab menjaga dan menyampaikan agama serta mengatur umat Islam berada di atas pundak para imam maksum. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw masih hidup beliau memilih Imam Ali as dan memberikan wawasan-wawasan yang seharusnya kepadanya. Supaya sepeninggal beliau, ia berupaya menjaga dan menyebarkan agama.

Amirul Mukminin (Imam Ali) as pun di masa hidupnya melaksanakan tugasnya dan berusaha sekuat tenaga membela agama dan memimpin umat Islam. Dan sepeninggalnya, beliau mengangkat putranya, Imam Hasan as, untuk menempati kedudukannya. Dan Imam Ali memberikan wasiat-wasiat seharusnya kepadanya. Sesudah Imam Hasan, Imam Husain menduduki jabatan Imamah (kepemimpinan). Dengan jalan ini setiap imam menentukan imam sesudahnya. Keadaan ini terus berlangsung hingga masa wafat (kesyahidan) Imam Hasan Askari as (255 hijriah).

Dengan upaya dan kesungguhan para imam maksum as ini, tersebarlah ratusan ribu hadis dalam berbagai bidang di tengah muslimin yang tertulis dengan baik dalam kitab-kitab hadis untuk generasi mendatang. Di samping itu, upaya para imam suci juga telah melahirkan ribuan ulama, Islamolog dan penyebar agama.

Imam kesebelas (Imam Hasan Askari), sebelum kesyahidannya telah mengangkat putranya, Hujjah bin Hasan as (Imam Mahdi), untuk menempati kedudukannya dan memikul tugas menjaga dan membela agama. Mulai saat itu Imam kedua belas (Imam Mahdi as) sampai sekarang, dalam keadaan gaib, melaksanakan tugasnya dalam bentuk lain. Alhasil setiap saat adalah merupakan penantian sampainya “hari” saat umat manusia mencapai kesiapan yang sempurna untuk menyambut kebangkitan Islam dan pemerintahan Imam Zaman yang mutlak adil. Di masa itu, beliau mengadakan revolusi universal, menyebarkan Islam ke seluruh dunia dan menciptakan keadilan sebagai ganti kezaliman.

Dari keterangan di atas disimpulkan bahwa pensyariatan jabatan Imamah menyebabkan tidak diperlukannya lagi “nabi penyebar” Islam. Sebab tanggung jawab ini diserahkan kepada para imam suci.

Kedua, Fukaha dan Ulama. Di masa para imam as, lahir ulama besar dan banyak ulama. Mereka menimba ilmu-ilmu dan hukum-hukum Islam dengan baik. Mereka berpotensi menyampaikan dan menyebarkannya. Nabi saw dan para imam suci berusaha keras mendidik orang-orang tersebut.

Banyak hadis mengenai hal ini, yang sebagiannya kami bawakan di bawah ini:

Imam Shadiq as berkata:

“Ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewarisi dinar dan dirham, tetapi mereka mewarisi hadis-hadis. Barangsiapa menerima hadis dari mereka niscaya memperoleh keuntungan yang banyak. Perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian menerima ilmu! Pada setiap generasi dari kalangan kami akan lahir orang-orang yang adil yang akan mencegah tahrîf-nya kaum ceroboh dan penyimpangan kaum batil serta takwil orang-orang bodoh.”[49]

Nabi saw bersabda:

“Ulamanya umatku seperti para nabinya Bani Israil.”[50]

“Allah merahmati khulafa (para pengganti)-ku.”

Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah khulafa-mu itu?”

Beliau bersabda, “Mereka yang menghidupkan Sunahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah.”[51]

“Perumpamaan ulama di bumi ini seperti bintang-bintang di langit, yang dengannya manusia memperoleh petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Jika mereka tiada maka ditakutkan orang-orang yang telah memperoleh petunjuk menjadi tersesat.”[52]

Amirul Mukminin as menukil dari Rasulullah saw:

“Pada hari kiamat pena ulama ditimbang dengan darah syuhada, dan pena ulama lebih berat (utama) dari darah syuhada.”[53]

Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang ajalnya datang sementara ia dalam keadaan menuntut ilmu, yang akan menghidupkan Islam, maka tiada jarak antara dia dan para nabi di surga dan mereka sederajat.”[54]

Dapat dipetik dari hadis-hadis tersebut bahwa pembawa syariat Islam menyerahkan tugas membimbing umat dan menyampaikan agama kepada ulama. Dengan demikian, pengutusan nabi mubalig (penyampai dan penyebar agama) tidak diperlukan lagi.

Ketiga, Akal manusia. Salah satu tujuan besar para nabi ialah membina dan menyempurnakan akal. Untuk misi ini para nabi dahulu telah melakukan peranan yang besar. Akal manusia, sepanjang sejarah dan melalui upaya para nabi, menyempurna secara bertahap. Hingga pada zaman Nabi saw akal itu mencapai batas relatif matang (sempurna). Nabi saw juga punya perhatian yang lebih dalam perkembangan dan penyempurnaan akal manusia. Beliau berpesan kepada umat agar mereka menggunakan akal mereka dan melakukan pengkajian untuk menyingkap hakikat-hakikat dan memahami segala sesuatu. Dengan berpikir, mereka pilah kebenaran dari kebatilan sehingga mereka bisa menerima kebenaran.

Al-Quran dalam banyak ayat menyeru manusia agar berpikir, merenung dan memahami. Juga banyak riwayat dalam kitab-kitab hadis yang meninggikan akal dan mengajak manusia kepada berpikir. Nabi saw dan para imam as menjelaskan kepada umat bahwa akal sebagai petunjuk dan hujah syar’i dalam mengetahui masalah-masalah rasional. Oleh karena itu, mereka mengajak umat agar menggunakan dan mengikuti akal dalam mengenal berbagai hakikat.

            Jadi kami simpulkan bahwa dengan pengutusan Nabi saw menyebabkan tidak diperlukannya lagi nabi mubalig. Karena alasan itulah, maka Nabi saw menjadi penutup para nabi dan menyebabkan kenabian berakhir. 


[44] Shahih Muslim, juz 4, hal., 1870.
[45] Ath-Thabaqat al-Kubra, juz 1, hal., 192.
[46] Wasâ`il asy-Syi’ah, juz 1, hal., 23.
[47] Nahj al-Balâghah, khotbah 129.
[48] Tuhaf al-‘Uqul, hal., 36.
[49] Al-Kâfi, juz 1, hal., 32.
[50] Bihâr al-Anwâr, juz 2, hal., 21.
[51] Ibid., hal., 25.
[52] Ibid.
[53] Ibid., hal., 16.
[54] Ibid., hal., 184.