پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

NAFKAH DAN FILOSOFINYA

NAFKAH DAN FILOSOFINYA

 

Menurut pandangan Islam menjamin nafkah rumah tangga termasuk pengeluaran-pengeluaran istri adalah tanggung jawab suami. Suami memiliki tugas untuk menjamin pengeluaran-pengeluaran istri, kendatipun istrinya sendiri lebih kaya dari suaminya. Kewajiban memberi nafkah adalah salah satu hukum pasti Islam. Dan nafkah adalah hak istri. Apabila suami tidak memberikannya maka tetap menjadi bentuk hutang atas tanggung jawabnya. Dan di saat dituntut (untuk membayarnya) maka dia harus membayarnya. Dan apabila enggan memberi nafkahnya, penguasa syar’i Islam bisa menceritakan istrinya.

Imam Muhammad Al-Bâqir mengatakan, “Barang siapa yang mempunyai istri namun tidak menjamin pakaian dan makanannya maka seorang imam berkewajiban menceraikan keduanya.”[86]

Ishâq bin ‘Amar berkata: Aku bertanya pada Imam Al-Shâdiq, “Apa hak istri atas suaminya?” beliau menjawab, “Menjamin makan dan pakaiannya dan mengampuni kekeliruan-kekeliruannya.”[87]

Nafkah-nafkah antara lain: semua keperluan-keperluan keluarga dengan menjaga fasilitas-fasilitas, keadaan, waktu, tempat dan kondisi keluarga yang akan kami sebutkan:

1.    Makanan, buah dan kebutuhan-kebutuhan lainnya sesuai dengan kebutuhan yang umum.

2.    Pakaian dingin dan panas sesuai kebutuhan dan keadaan keluarga.

3.    Karpet dan tempat tidur.

4.    Alat-alat dan keperluan-keperluan memasak makanan, makan dan minum.

5.    Alat-alat pemanas dan pendingin (AC)

6.    Tempat tinggal property atau kontrakan yang sesuai dengan keadaan keluarga dan menjamin ketenangan mereka.

7.    Biaya-biaya kesehatan dan pengobatan.

8.    Alat-alat kebersihan dan merias.

Dan kebutuhan-kebutuhan kehidupan.

Sanggahan         

Permasalahan nafkah dikritik dan mereka mengatakan: Di dalam syariat hukum ini, istri terhina dan termasuk pembantu dan pengguna gaji / upah yang memakan makanan dan menggunakan pakaian di dalam menghadapi kerja keras siang dan malam dan pekerjaan-pekerjaan susah keluarga.

Jawaban:

Dalam menjawab harus dikatakan: Sanggahan di atas bersumber dari kebencian pembicaraan dan ketidaktahuannya, karena menurut perspektif Islam kerjaan-kerjaan rumah bukan tanggung jawab istri. Hingga berkenaan dengan penjagaan, perawatan, memberi air susu untuk bayi juga bukan tugas dari pundaknya. Dia bisa untuk tidak melakukan sama sekali pekerjaan dan menuntut menjadi pelayan dan meminta upah menghadapi pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan, perawatan dan pemberian air susu kepada bayi, sementara nafkahnya tetap berada di pundak suaminya.

Dengan memperhatikan topik ini bagaimana bisa dikatakan bahwa istri terhina dan termasuk sebagai pembantu memakan upah / gaji?

Dikatakan bahwa walaupun bekerja di rumah dan mengurus urusan rumah bukan merupakan tugas syar’i para istri namun untuk kecintaan dan keakraban rumah tangga dan dari sisi akhlak termasuk suatu keharusan yang dalam hadis-hadis disebut sebagai “Menjadi istri yang baik”

Seorang ibu rumah tangga yang menetap dan menyukai kehangatan rumah tangga maka semampunya untuk berusaha dalam merawat anak-anak dan mengatur sebaik mungkin urusan-urusan rumah namun dengan keinginan dan kesukaan bukan keterpaksaan.

Seperti halnya para istri Nabi Saw. dan putrinya Fatimah Az-Zahra dan para istri Imam-imam suci dan Para pembesar agama.

Pertanyaan:

Kendatipun istri dan suami sutu sama lain saling membutuhkan dalam memenuhi naluri seksualnya, melahirkan, dan mendidik anak, kenapa semua biaya rumah tangga hingga pengeluaran-pengeluaran pribadi istri di pundak suami? Mengapa suami yang bekerja sementara istri cuma makan, berpakaian dan tidur sampai-sampai pekerjaan rumahpun tidak dia lakukan? Apakah sang suami tidak terzalimi? Mengapa ekonomi istri tergantung pada suami hingga terpaksa dia menurutinya dan menanggung segala penindasan dan kesulitan? Bukankah lebih baik istri dan suami bekerja bersama-sama dan sepakat membayar segala biaya kehidupan?

Jawaban:

Dalam menjawab pertanyaan ini maka dijelaskan beberapa poin penting:

1.    Alam meletakkan tanggung jawab yang berat ke atas pundak istri yang terpaksa melakukan hal-hal tersebut seperti: mengandung, melahirkan, memberi air susu kepada bayi, merawat, mengawasi dan mendidik anak. Dan melaksanakan tanggung jawab-tanggung jawab yang susah ini perlu kepada waktu kosong dimana bekerja di luar rumah tidak banyak sesuai.

2.    Istri setiap bulan sekali, beberapa hari perlu istirahat.

3.    Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak menurut pandangan syari’at dan undang-undang bukan tanggung jawab istri. Namun secara akhlak, etika dan tradisi mereka tidak bisa mengenal dari pekerjaan tersebut, karena termasuk keharusan kehidupan rumah tangga dan mempunyai efek yang menguntungkan dalam keelokan rumah dan kesenangan suami.

4.    Perempuan adalah eksistensi yang lembut, halus dan cantik. Faktor terpenting daya tarik dan pikatnya kepada suaminya adalah kelembutan dan kecantikannya. Sementara mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang susah dan melelahkan di luar rumah dapat merusak kelembutan dan kecantikannya dan daya tarik dan pikatnya kepada suaminya akan berkurang yang tidak menguntungkan baginya dan suaminya. Apabila diputuskan para istri sama dengan para suami bekerja untuk menjamin biaya-biaya kehidupan maka dalam memilih pekerjaan akan menghadapi persaingan dengan para suaminya. Dan terkadang para istri terpaksa menerima pekerjaan-pekerjaan yang susah seperti menjadi buruh pertambangan dan perusahaan-perusahaan peleburan besi, baja, pembuatan otomobil, petrokimia, semen, industri minyak, buruh jalan dan bangunan, rel kereta api, menjadi sopir dan alat transportasi berat serta pekerjaan-pekerjaan lembur yang melelalahkan. Apabila para istri dan suami sama dalam keharusan bekerja dan menjamin biaya kehidupan maka tentu akan menghadapi persoalan-persoalan seperti ini.

Dari yang telah lewat dapat disimpulkan bahwa para istri tidak bisa hidup seperti para suami yang harus bekerja dan menjamin biaya kehidupan. Dari situlah Islam meletakkan jaminan dan biaya kehidupan di pundak para suami, sehingga istri dengan waktu kosong dan ketentraman hati melakukan tanggung jawab-tanggung jawab yang diletakkan oleh alam di atas pundaknya; berusaha menjaga dan mendidik anak-anak; menjaga keceriaan dan kecantikannya; menjaga kedudukan dirinya di hati suami dan menjadikan rumah sebagai tempat keakraban dan ketentraman. Dalam kondisi seperti ini, suami dengan ketentraman hati dan kecintaan kepada istri dan anak serta ketenangan hidup akan lebih berusaha dan giat dan menjamin biaya rumah tangga dan dengan tulus ikhlas dan senang mempersembahkan kepada istrinya. Oleh karena itu Islam dengan melihat realitas dan menjaga kemaslahatan sesungguhnya istri, suami dan anak dan untuk mengokohkan fondasi ikatan perkawinan maka meletakkan jaminan nafkah keluarga di pundak suami dan tidak membebankan sepihak atas yang lain tanpa alasan.

Kemaslahatan istri dan suami adalah nafkah merupakan tanggungan  suami dan istri dalam urusan harta bergantung kepada suami.  Karena suami yang menginginkan istri dan menyukainya maka dia harus mengeluarkan biaya untuknya. Dan dari sinilah dia tidak hanya senang tetapi sangat tulus dan merasa berkepribadian. Ketergantungan harta istri juga tidak merugikannya dan tidak menjadikannya sebagai pembantu pemakan gaji / upah tetapi istri membantu untuk mengokohkan fondasi pernikahan. Pada dasarnya dalam kehidupan rumah tangga, inkam (pemasukan) suami bergantung kepada keluarga dan digunakan dalam memenuhi kebutuhan. Dan kebebasan harta istri atau ketergantungannya tidak dibahas.

Sebagai penutup kami mengingatkan poin ini bahwa tujuan Islam mensyariatkan wajibnya nafkah atas suami bukan berarti istri adalah pengangguran, barada di rumah dan pengguna saja dan diluar rumah tidak mengemban pekerjaan dan tanggung jawab tetapi Islam menginginkan supaya istri tidak terpaksa bekerja dan memenuhi biaya-biaya kehidupan. Namun istri bisa memilih pekerajaan yang sesuai dengan menjaga potensi, perasaan, kemampuan-kemampuannya dan saling memahami dengan suami dan melakukan tugasnya. Dan dengan jalan ini memperoleh inkam (pamasukan). Namun inkamnya bergantung pada pribadi dia sendiri dan tidak dipaksa untuk berbelanja dalam kehidupan. Istri yang baik adalah dia yang meletakkan pemasukan (inkam) dirinya dengan tulus dan seperti halnya suami, dia mempersembahkannya kepada keluarga sehingga ikut andil dalam mengatur dan mensejahterakan kehidupan bersama dan menambahkan ketentraman dan kecintaan rumah tangga.


86)   Ibid: Hal. 509
87)   Ibid: Hal. 510