پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

FILOSOFI MAHAR PEREMPUAN

FILOSOFI MAHAR PEREMPUAN

 

Di saat melakukan akad nikah, seorang laki-laki mempersembahkan sesuatu kepada istrinya yang dalam istilah dinamakan Mahar dan Shidâq. Kata ‘mahar’ tidak terdapat di dalam Al-Qur’an. Adapun lafadz shidâq digunakan di dalamnya. Al-Qur’an mengatakan, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kami sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagian makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”[76] Shidaq (maskawin) tidak ditentukan jumlahnya namun tergantung kesepakatan perempuan dan laki-laki.

Imam Muhammad Al-Bâqir as mengatakan, “Shidaq (maskawin) adalah sesuatu yang telah disepakati oleh perempuan dan suami.”[77]

Minimal jumlah mahar juga tidak ditentukan. Tetapi dalam hadis-hadis disebutkan bahwa supaya tidak terlalu sedikit.

Imam jakfar Al-Shâdiq as meriwayatkan dari datuk-datuknya, dari Imam Ali as berkata, “Aku tidak suka apabila mahar kurang dari sepuluh dirham supaya tidak sama dengan uang yang dibayarkan kepada perempuan yang suka berzina.”[78]

Dan untuk maksimal jumlah mahar tidak ditentukan, kendatipun apabila banyak maka tidak apa-apa. Tetapi Islam menganggap tidak baik dan melarang penentuan mahar yang berat dan berlomba-lomba dalam hal tersebut. Amirul Mukminin Ali as berkata, “Janganlah kalian memberatkan mahar para perempuan dan berlomba-lomba dalam banyaknya karena akan menyebabkan permusuhan.”[79]

Tidak boleh dalam penentuan mahar begitu menyulitkan sehingga para pemuda tidak mampu menikah. Dalam hal ini sebaiknya dicegah dari hal yang berlebihan dan kekurangan. Dan guna menjaga keamanan perempuan dan laki-laki dan status sosial keluarga pengantin perempuan dan laki-laki sesuai fasilitas-fasilitas ekonomi mereka, maka hendaknya mereka sepakat untuk (memberikan) maskawin yang sesuai dan sedang.

Dalam bentuk mahar juga tidak ada batasan. Tetapi setiap bentuk harta bisa menjadi mahar seperti emas, perak, property, berbagai kehidupan, karpet, barang-barang pecah belah, mobil, pakaian dan sesuatu lainnya yang bisa dimiliki. Namun untuk kemaslahatan perempuan adalah sebisa mungkin menjadikan mahar dirinya berupa property, atau emas, atau perak atau sesuatu yang serupa dengannya sehingga bisa disimpan dan dengan berlalunya hari tidak menjadi sedikit nilainya.

Mahar bisa berupa tunai atau kredit dan tanggungan suami atau setiap individu yang lain dan bergantung kesepakatan istri dan suami. Apabila mahar berupa tunai, maka istri bisa menuntut sebelum pernikahannya jika suami mampu membayarnya maka dia harus membayarnya dan apabila suami enggan, istri berhak menolak untuk berhubungan seksual. Penolakan ini tidak menyebabkan kedurhakaan istri dan jatuhnya memberi nafkah.

Apabila mahar berupa kredit dan ditentukan waktu tertentu baginya, maka istri tidak berhak menuntut sebelum waktunya. Dan jika waktu tertentu tidak ditentukan, setiap saat istri menuntutnya dan suami mampu membayarnya maka dia harus segera membayarnya.

Pemilik mahar yang sebenarnya baik berupa property atau uang tunai adalah istri itu sendiri. Tidak seorangpun yang berhak menggunakan hartanya tanpa persetujuannya kendatipun ayah ibu atau suaminya. Dan manfaat-manfaat itu juga berhubungan dengan istri itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat Allah akan mengampuni setiap dosa kecuali dosa orang yang merampas mahar istri atau orang yang tidak memberikan upah kepada yang berhak menerimanya atau orang yang menjual orang yang merdeka sebagai budak.”[80]

Dari Imam Musa bin Jakfar as ketika ditanya, “Apakah seorang ayah bisa memakan mahar putrinya?” beliau menjawab, “Tidak dia tidak berhak.”[81]

Seperti halnya mahar kredit adalah tanggungan sang suami dan hutang yang sebenarnya yang harus dibayar saat diminta apabila mampu.

Imam Al-Shâdiq as berkenaan dengan seorang laki-laki yang menikahi perempuan namun tidak bermaksud untuk memberikan maharnya berkata, “Perbuatan ini termasuk zina.”[82]

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Setiap lelaki yang menjadikan mahar untuk istrinya namun tidak berkeinginan untuk membayarnya maka kedudukannya sama seperti pencuri.”[83]

Imam Al-Shâdiq as meriwayatkan dari datuk-datuknya dari Rasulullah saw. yang bersabda, “Barang siapa yang tidak memberikan mahar istrinya maka dia termasuk orang yang berzina disisi Allah. Pada hari kiamat Allah Swt. akan berfirman, “Hambaku, aku telah kawinkan hambaku denganmu, dalam janjiku. Namun engkau tidak menepati janjiku dan engkau menzalimi hambaku.” Lalu Allah mengambil dari kabaikan-kabaikan suami dengan jumlah hak istri dan memberikan padanya. Dan apabila tidak tersisa dari kebaikan, Allah memerintahkan supaya dia dilemparkan ke dalam api neraka karena tidak menepati janjinya. Dan sesungguhnya janji akan dipertanyakan.”[84]

 

MAHAR PEREMPUAN DAN FILOSOFINYA

Mungkin seseorang menanyakan dasar syariat mahar dan mengatakan: perempuan dan laki-laki satu sama lain membutuhkan hubungan seksual. Dan melalui jalan ini satu sama lain tertarik dan mereka menikah. Lalu apa artinya mahar? Dengan adanya syariat mahar, perempuan terhina dan turun hingga batasan barang yang diperjual belikan. Laki-laki dengan mahar menjadikan perempuan dalam kepemilikannya seperti budak.

Dalam menjawab harus dikatakan: Dalam Islam perempuan bukan barang ataupun budak. Mahar juga bukan harga jual beli (transaksi) tetapi mahar adalah pemberian dan hadiah dari seorang laki-laki yang dia persembahkan kepada istrinya untuk menghormatinya dan menunjukkan tingkatan-tingkatan kasih sayangnya. Dalam menjelaskan pokok permasalahan dan filosofi mahar, akan dijelaskan dengan dua poin penting:

Poin pertama: Kendatipun perempuan dan laki-laki dari sisi keinginan seksual satu sama lain saling membutuhkan dan tentu sama lain saling menginginkan namun setiap dari mereka memiliki ciri-ciri (kekhususan-kekhususan). Salah satu dari ciri-ciri seorang perempuan adalah kelembutan dan kecantikannya. Dan melalui cara ini dia mempunyai daya tarik bagi laki-laki. Faktor terpenting pengaruh perempuan adalah kecantikannya, dan laki-laki mempunyai perhatian khusus kepadanya perempuan dengan ilham dari fitrahnya mengetahui tema ini. Dan dengan sisi ini dia berhias sehingga menampakkan dirinya lebih cantik (elok) dan lebih mempengaruhi hati laki-laki.

Ciri kedua seorang perempuan adalah dengan adanya naluri seksual, dia lebih kuat menyimpan keinginan nalurinya sendiri. Dan menampakkan dirinya tidak perlu dan tidak pergi meminang laki-laki. Dia lebih suka mempengaruhi hati seorang laki-laki dan membuatnya tertarik padanya serta membuatnya meminang dirinya berhias, memamerkan diri, pesona dan kehidupan mata perempuan muncul dari sini. Oleh karena itu, perempuan lebih dari itu ingin menundukkan hati laki-laki dan menginginkan cintanya. Adapun seorang laki-laki tidak mampu menghadapi daya seksualnya dan tidak bisa menyembunyikan keinginan dalam dirinya. Dari sinilah, dia pergi mencari dan menginginkan perempuan serta pergi mengikutinya, karena dia mengetahui bahwa perempuan menginginkan cintanya. Dia menampakkan cintanya, dan membeli pesona dan kedipan matanya. Dia menggunakan segala media untuk menetapkan cintanya. Dia menggunakan uangnya dan membawa hadiah untuknya dan mengadakan pertemuan perayaan akad dan malam pengantin. Persetujuan /perjanjian mahar juga termasuk salah satu media ini. Seorang laki-laki mempersembahkan sesuatu sebagai mahar untuk menetapkan cinta dirinya dan untuk menghargai istrinya serta untuk memperoleh hatinya. Al-Qur’an juga menjelaskan mahar dengan bentuk ini, karena dijelaskan dengan ungkapan, “maskawin (mahar) kepada perempuan” dan menjelaskannya dengan kata Nihlah yang berarti hadiah atau pemberian.

Ini adalah salah satu faedah dan filosofi syariah mahar.

Poin kedua:

Perjanjian / persetujuan mahar memberikan ketenteraman dan ketenangan relatif kepada perempuan (istri) sehingga dia bisa melakukan tugas-tugas yang diletakkan oleh penciptaan di atas pundaknya. Kendatipun perempuan dan laki-laki di saat menikah saling berjanji supaya satu sama lain tetap setia dan bekerja sama dalam mendidik dan menjaga anak-anak namun beberapa hal perbedaan juga tampak dimana suami tidak melaksanakan tugasnya dan enggan menjamin nafkah kehidupan dan mendidik anak-anak, sementara alam meletakkan tanggung jawab-tanggung jawab khusus kepundak perempuan yang tidak bisa dielakkan dalam melaksanakannya. Karena suami laksana penanam dan istri laksana ladang. Suami menanam sperma anak di dalam rahim istri dan setelah itu tentunya dia bebas. Secara syariat hukum dan akhlak seorang suami mempunyai tanggung jawab terhadap istri dan anaknya. Tetapi alam tidak meletakkan sesuatu ke atas pundaknya, dia bisa meninggalkan istrinya dengan janin yang berada dalam rahimnya dan melarikan diri. Namun kebanyakan (mayoritas) suami tidak seperti demikian. Tetapi bagaimanapun juga hal itu adalah mungkin adanya. Dan contoh-contoh orang-orang seperti ini bisa dilihat. Istri sama sekali tidak bebas dan dia terpaksa menanggung masa mengandung dan melahirkan serta kesakitan yang ditimbulkan darinya. Setelah melahirkan, dia juga tidak bisa melemparkan jauh bayinya yang masih lemah dan tak berdosa atau dalam keadaan lapar. Terpaksa dia harus memberikan air susu padanya dan menjaganya. Dengan memperhatikan perasaan dan kasih sayang yang sangat seorang ibu dan cintanya kepada sang anak, setelah itu dia tidak bisa menggantikannya dan harus menjaganya. Dalam periode ini, dia memerlukan nafkah kehidupan dan tempat tinggal, makanan serta pakaian. Dalam asumsi seperti ini apa yang harus dilakukan oleh perempuan (istri) yang sengsara? Para perempuan (istri) tentu cemas dari kemungkinan seperti ini.

Mungkin salah satu sebab-sebab adanya syariat mahar adalah menjamin ketentraman dan keamanan relatif bagi istri dalam kasus kemungkinan-kemungkinan seperti ini. Apabila mahar berupa property atau uang tunai, istri lasngung mengambilnya dan menjaganya untuk kemungkinan seperti ini. Dan seperti halnya mahar yang berbentuk kredit, dia juga bisa menuntutnya.

Dengan kata pendek, mahar bisa sebagai media asuransi istri dan jaminan untuk pernikahan.

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Sebab mahar diletakkan ke atas pundak laki-laki dan bukan perempuan -walaupun pekerjaan keduanya adalah satu- adalah laki-laki disaat telah memenuhi keinginannya, dia (bisa) bangkit dan tidak perlu menunggu selesai istrinya (dalam melakukan hubungan seksual pekerjaan). Dan dengan sebab ini maka mahar diletakkan di atas pundak suami dan bukan istri.”[85]

 

76)   Al-Nisâ’ (4): 4
77)   Wasâil Al-Syî’ah:Juz 21 hal.240
78)   Ibid: Halaman: 253
79)   Ibid: Halaman:266
80)   Ibid: Halaman: 266
81)   Ibid: Halaman: 272
82)   Ibid: Halaman: 266
83)   Ibid
84)   Ibid: Halaman: 276
85)   Wasâil Al-Syîah: Juz 21 Halaman: 268