پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Perempuan dan Hijab

Perempuan dan Hijab

 

Hijab secara bahasa berarti ‘penutup’, yaitu pakaian yang menutupi tubuh perempuan. Islam memerintahkan kepada para perempuan untuk menutupi tubuhnya secara sempurna dan menjaganya dari pandangan para lelaki asing (bukan muhrim). Kewajiban berhijab disimpulkan dari al-Quran dan hadis-hadis. Di sini akan dijelaskan melalui tiga ayat sebagai berikut:

Ayat pertama:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Katakanlah kepada perempuan yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kami beruntung.”

Ayat di atas turun berkenan dengan hijab dan menjelaskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan penjelasan dan penafsiran.

Pada permulaan ayat diperintahkan kepada para lelaki untuk menahan pandangannya dan hendaknya para lelaki tidak terpesona terhadap perempuan dan begitu juga sebaliknya serta supaya tidak membuat pesona satu sama lain.

Ghadhu secara bahasa berarti ‘mengurangkan dan menutup pandangan’. Ghadhu al-bashar yaitu ‘memendekkan pandangan dan tidak terpesona’. Kadang-kadang manusia memandang pada yang lain tetapi pandangannya bukanlah tujuan. Apabila melihat ditujukan sebagai pandangan kenikmatan, maka dikatakan “menatap”.  Pandangan sekunder dan untuk kenikmatan menarik manusia kepada kerusakan dan hal ini dilarang. Adapun pandangan atau penglihatan yang bukan untuk kenikmatan maka tidak haram karena termasuk keharusan-keharusan pergaulan dan kehidupan sosial.

Setelah itu, ayat tersebut memerintahkan kepada para perempuan dan laki-laki untuk menjaga kemaluannya. Furuj adalah bentuk jamak dari farj yang berarti ‘aurat’. Maksud dari menjaga kemaluan dan menutupinya adalah usaha menjaga kemurnian dan kesucian dengan menutup pandangan dan menjaga hijab.

Kemudian ayat tersebut berbicara kepada para perempuan, Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya.

Zina mempunyai arti ‘perhiasan dan alat kecantikan yang bermacam-macam’. Salah satunya adalah perhiasan-perhiasan yang terpisah dari badan seperti anting, kalung, cincin, gelang, dan pakaian-pakaian hias.

Macam kedua adalah perhiasan-perhiasan yang melekat di tubuh seperti celak, pewarna kuku, pewarna tangan dan kaki, dan pewarna rambut. Perhiasan yang disebutkan dalam ayat itu meliputi kedua perhiasan tersebut. Diperintahkan kepada para perempuan untuk tidak menampakkan perhiasan-perhiasannya kepada para lelaki asing. Dengan cara ini, mereka telah mencegah ketertarikan laki-laki dan gelora seksnya.

Setelah itu dengan kalimat kecuali yang (biasa) tampak darinya, ayat itu memperbolehkan para perempuan untuk tidak menutupi perhiasan-perhiasannya yang yang biasa tampak seperti celak, cat alis mata, inai (pacar) tangan, cincin, jubah, cadar, mantel (sejenis jubah), dan sepatu. Ini karena kaum perempuan hidup bermasyarakat dan mengemban tanggung jawab, maka pasti para lelaki asing melihat wajah, tangan, dan perhiasan-perhiasan mereka yang tampak. Sementara itu, menutup hal-hal tersebut sangatlah sulit. Oleh karena itu, perempuan diberi kelonggaran dengan tidak menutupinya ketika melakukan tugas-tugasnya.

Dalam sebagian hadis, perhiasan-perhiasan yang tampak yang disebutkan dalam ayat itu juga ditafsirkan dengan pengertian tersebut.

Zurarah meriwayatkan ketika menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali yang (biasa) tampak darinya, Imam Shadiq berkata, “Perhiasan yang tampak adalah celak dan cincin.”[16]

Abu Bashir berkata, “Aku bertanya kepada Imam Shadiq tentang tafsir ayat, Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya. Beliau menjawab, “Perhiasan yang tampak adalah cincin dan gelang.”[17]

Kemudian setelah itu, beliau berkata tentang penjelasan hijab, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”

Khumur bentuk jamak dari khimâr yang mempunyai arti ‘kerudung dan kerudung yang besar’. Juyûb juga bentuk jamak dari jayb yang berarti ‘kerah pakaian’.

Mereka (para sejarahwan) mengatakan bahwa perempuan di zaman Rasulullah saw memakai pakaian yang kerahnya terbuka dan sebagian dadanya tampak. Demikian juga mereka meletakkan dua sisi kerudung dari atas telinga ke belakang kepala. Akibatnya telinga, anting, leher, dan sebagian dada mereka tampak. Oleh karena itu, ayat itu memerintahkan kepada perempuan supaya meletakkan kerudung mereka ke atas celah pakaian supaya telinga, anting, leher, dan dada mereka tertutup.

Thabarsi dalam tafsirnya menulis bahwa khumur, bentuk jamak dari khimâr, berarti ‘kerudung yang diletakkan di atas kerah dan sekitar leher’. Dalam ayat itu, perempuan diperintahkan supaya menaruh kerudungnya di atas dada sehingga lehernya tertutup. Ini karena dulu para perempuan meletakkan kerudung ke belakang  sehingga dada mereka tampak.[18]

Beliau mengatakan di bawah ayat ini, Dan Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, “Untuk betul-betul menjaga kehormatan dan mencegah kerusakan-kerusakan sosial, maka diperintahkan kepada perempuan supaya ketika berjalan tidak memukulkan kakinya ke bumi dengan kuat. Jangan sampai perhiasan-perhiasan mereka didengar oleh para lelaki asing sehingga membangkitkan gairah seks mereka dan timbullah permasalahan-permasalahan yang tidak sesuai dengan kemaslahatan-kemaslahatan masyarakat umum, khususnya bagi para pemuda dan lelaki lajang.

Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan beberapa topik penting akhlak Islam sebagai berikut:

    Perempuan dan laki-laki asing harus menjauhkan diri dari tatapan dan kenikmatan pandangan dan satu sama lain tidak memandang untuk tujuan kenikmatan.
    Perempuan tidak boleh menampakkan perhiasan-perhiasannya yang tersembunyi bagi para lelaki asing.
    Perempuan mempunyai tugas untuk meletakkan kerudung di atas kepala yang menutupi telinga, anting, sisi-sisi leher, dan dada mereka secara sempurna.
    Diperintahkan kepada perempuan untuk lebih menjaga kehormatan umum dan mencegah kerusakan-kerusakan moral, bahkan hendaknya mereka tidak memukulkan kaki mereka di atas bumi dengan kuat supaya jangan sampai suara kaki mereka menyebabkan penyimpangan para lelaki.
    Tidak wajib bagi para perempuan menutupi perhiasan-perhiasannya yang tampak.

Ayat Kedua

Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[19]

Kitab Qamus menyebutkan bahwa jilbab mempunyai arti ‘pakaian lebar perempuan atau pakaian yang mereka pakai di atas semua pakaian dan meliputi semuanya’. Jilbab juga berarti ‘kerudung’.

R‏âghib dalam kitabnya Mufradât juga mengartikan jilbab dengan ‘pakaian dan kerudung’.

Dalam kitab al-Munjid, jilbab juga mempunyai arti ‘pakaian yang lebar dan luas’.

Oleh karena itu dalam penafsiran ayat itu, bisa dikatakan bahwa katakanlah kepada perempuan untuk menyiapkan jilbab dan pakaian penutupnya dari kain yang  murah harganya sehingga dapat menutupi  semua bagian tubuh secara sempurna, di antaranya dada  dan sekitar leher serta menjaganya dari tatapan lelaki bukan muhrim.

Apabila perempuan melakukan yang seperti itu, maka mereka akan dikenal dengan kesuciannya, tidak akan diperhatikan oleh para lelaki asing, dan terjaga dari sumber gangguan.

Dari ayat tersebut, disimpulkan bahwa seorang perempuan Muslim harus keluar dari rumah dengan tertutup dan sederhana. Dengan cara inilah, dia mencegah kerusakan-kerusakan moral dan sosial. Perilaku seperti ini akan bermanfaat, baik bagi perempuan sendiri maupun bagi para pemuda dan laki-laki.

Ayat Ketiga

Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan jangan kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.[20]

Dalam ayat di atas, ada tiga hal yang diperintahkan kepada perempuan:

1. Saat berbicara, hendaknya perempuan tidak membuat suaranya nyaring karena berbicara nyaring mungkin menyebabkan bangkitnya daya syahwat para lelaki yang tidak baik.

2. Hendaknya mereka  menjadi perempuan yang senang tinggal di rumah.

3. Hendaknya mereka tidak menjadi seperti para perempuan jahiliyah yang tanpa penutup dan kerap memamerkan serta menampakkan perhiasan dan kecantikannya di hadapan pandangan para lelaki asing.

Kendatipun ayat itu turun berkenaan dengan istri-istri dan putri-putri Nabi saw, perintah-perintahnya tetap meliputi semua perempuan.

Dikatakan bahwa maksud ayat, Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, bukan berarti bahwa para istri Nabi dan seluruh perempuan harus menjadi perempuan rumahan dan sama sekali tidak keluar dari rumah. Karena seperti yang telah saya kemukakan, perempuan adalah anggota riil masyarakat dan mempunyai tanggung jawab yang  menuntutnya untuk dapat keluar rumah. Perempuan di zaman Rasulullah saw juga dapat keluar dari rumah dan hadir di mesjid. Mereka mendengarkan sabda-sabda Nabi saw. Mereka menanyakan masalah-masalah agama sehingga banyak dari mereka yang menjadi perawi-perawi hadis. Sebagian perawi hadis laki-laki pun meriwayatkan dari mereka. Mereka ikut serta dalam peperangan dan mengobati orang-orang yang terluka serta merawatnya. Para istri Nabi saw juga ikut serta dalam peperangan-peperangan tetapi tidak diperintahkan (diwajibkan) untuk berperang.

Sejarah Nabi Saw dan para sahabat tidak membatasi perempuan hanya di dalam rumah. Maksud ayat tersebut juga bukan seperti itu. Namun, maksudnya adalah hendaknya hati kaum perempuan terikat dengan rumah dan menganggap rumah sebagai tempatnya yang orisinal. Demikian juga hendaknya mereka memperhatikan rumah tangga, anak, dan suami serta menganggap dirinya bertanggung jawab dalam hal ini.

Muhrim (Orang-orang yang haram dinikahi)

Berkaitan dengan hubungan antara lelaki dan perempuan, terdapat dua golongan: muhrim dan non-muhrim. Hijab menjadi wajib bagi perempuan berkenaan dengan lelaki yang menjadi non-muhrimnya. Adapun menjaga hijab di depan para lelaki muhrim adalah tidak wajib.

Para lelaki muhrim antara lain adalah:

1.                  Ayah dan kakek hingga setiap yang ke atas

2.                  Ayah dan kakek dari Ibu hingga setiap yang ke atas

3.                  Saudara dan anak-anak saudara hingga setiap yang ke bawah

4.                  Anak saudari dan anak-anaknya hingga setiap yang ke bawah

5.                  Paman dan pamannya paman hingga setiap yang ke atas

6.                  Paman dari ibu dan pamannya paman hingga setiap  yang ke atas

7.                  Suami dan ayah suami hingga setiap yang ke atas

8.                  Ayah dan ibu suami dan ayahnya hingga setiap yang  ke atas

9.                  Anak suami dan anak-anaknya hingga setiap yang ke bawah

10.              Anak laki-laki dan anak-anaknya yang laki-laki dan perempuan hingga setiap yang  ke bawah.

11.              Anak perempuan dan anak-anaknya yang  laki-laki dan perempuan hingga

           setiap yang ke bawah

12.              Menantu dan menantunya menantu hingga setiap yang ke bawah.

Orang-orang tersebut dapat melihat tubuh satu sama lain dan tidak wajib bagi mereka untuk menjaga hijab. Namun, semua itu tetap dengan syarat mereka tidak melihatnya dengan kenikmatan. Jika syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak diperkenankan untuk melihat muhrim yang belum balig sekalipun. Demikian pula apabila memandang dengan kenikmatan, maka perempuan juga tidak bisa melihat sesama perempuan dan laki-laki tidak bisa melihat sesama laki-laki.

Batasan Hijab

Semua fukaha sepakat bahwa kewajiban memakai hijab termasuk hukum pasti dalam Islam. Perempuan berkewajiban menutup tubuhnya dari lelaki asing dengan cadar, jubah, pakaian panjang, mantel, jas, kain penutup, kerudung, dan setiap pakaian lainnya yang menutupi seluruh tubuh dan kita tidak mempunyai dalil kewajiban memakai bentuk penutup tertentu. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban (memakai) hijab. Namun sebagian fukaha berbeda pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua tangan hingga pergelangan tangan. Sebagian fukaha berpendapat bahwa menutup hal-hal itu juga wajib atau mereka menghukuminya ihtiyath (hati-hati). Namun mayoritas fukaha tidak mewajibkan menutup hal-hal tersebut. Mereka bersandar pada beberapa dalil untuk menetapkan ketidakwajibannya:

Dalil pertama: hadis-hadis yang secara langsung dan jelas menafikan kewajiban menutup wajah dan kedua pergelangan tangan.

1. Mas’adah bin Ziyad berkata, “Aku Mendengar Imam Shadiq menjawab pertanyaan tentang perhiasan-perhiasan perempuan  yang tampak. Beliau berkata, ‘Wajah dan kedua tangan.’”[21]

2. Muruk bin ‘Ubaid dari sebagian sahabat kami dan dari Abu Abdillah as yang berkata, “Apa yang boleh bagi seorang laki-laki melihat perempuan yang bukan muhrimnya?” Beliau as menjawab, “Wajah, dua tangan, dan dua kaki.”[22]

3. Ali bin Ja’far berkata, “Aku bertanya kepada saudaraku, Imam Musa bin Ja’far as, ‘Apa yang bisa dilihat seorang laki-laki terhadap perempuan yang bukan muhrimnya?’ Beliau menjawab, ‘Wajah, tangan, dan tempat gelang.’”[23]

4. Ali bin Suwaid berkata, “Aku berkata kepada Imam Musa bin Ja’far, ‘Aku selalu terpesona melihat perempuan cantik dan aku selalu suka melihatnya. Apa yang harus aku lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Apabila kamu tidak bermaksud berkhianat, maka tidak apa-apa dan hati-hatilah kamu dengan perzinaan karena zina menghilangkan keberkatan dan membinasakan agama.’”[24]

5. Mufadldlal berkata, “Aku berkata kepada Imam Shadiq, ‘Aku sebagai tebusanmu, apa menurutmu tentang seorang perempuan yang berada dalam  perjalanan bersama para lelaki yang bukan muhrim dan tidak ada perempuan lain bersama mereka. Lalu perempuan tersebut meninggal dunia. Apa yang harus dilakukan?’ Beliau menjawab, ‘Dibasuh tempat-tempat yang Allah wajibkan bertayammum dan janganlah dia disentuh dan tempat-tempat yang Allah perintahkan untuk menutupinya hendaknya jangan disingkap.’ Aku bertanya, ‘Lalu apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Pertama dibasuh telapak tangannya lalu wajahnya dan setelah itu dibasuh permukaan tangannya.’”[25]

Dalil kedua: hadis-hadis yang tidak menjelaskan wajah dan kedua tangan tetapi secara tidak langsung menunjukkan bahwa menutup wajah dan kedua tangan adalah tidak wajib.

1. Muhammad bin Abi Nashr mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ridha, ‘Apakah seorang laki-laki bisa melihat rambut saudari istrinya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak kecuali saudari istrinya itu tua renta.’ Kemudian aku bertanya, ‘Apakah sama antara saudari istri dan para perempuan asing?’ Beliau menjawab, ‘Iya.’ Aku bertanya, ‘Apa yang bisa aku lihat dari tubuh perempuan-perempuan renta?’ Beliau menjawab, ‘Rambut dan sikunya?’”[26]

Perawi mengatakan tentang boleh atau tidaknya melihat rambut saudari istrinya tetapi tidak menanyakan wajahnya. Maka, jelaslah bahwa dia mengetahui dengan pasti bolehnya melihat wajah dan jika dia tidak mengetahui, maka dia memprioritaskan untuk menanyakan hal itu juga. Demikian juga karena Imam Ridha dalam jawabannya terhadap soal perawi tentang ukuran memandang kepada para perempuan tua renta berkata, “Rambutnya dan Sikunya,” dan beliau tidak menambahkan wajah mereka, maka jelas Imam mengetahui dengan pasti bolehnya melihat wajah sehingga tidak perlu bagi beliau menyebutkannya lagi. Jika tidak, maka beliau pasti menambahkannya.

2. Imam Ridha berkata, “Hendaknya mereka mengajak anak laki-laki di saat berumur tujuh tahun untuk melaksanakan shalat tetapi anak perempuan menutupi rambutnya di saat dia bermimpi.”[27]

3. Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Imam Musa bin Ja’far tentang seorang putri yang belum balig, ‘Kapan dia harus menutupi kepalanya dari lelaki bukan muhrimnya dan kapan wajib baginya menutupi kepalanya dengan kerudung untuk melakukan shalat?’ Beliau menjawab, ‘Dia harus menutupi kepalanya di saat shalat haram baginya karena melihat darah haid.’”[28]

Dalam dua hadis tersebut, kewajiban menutup rambut dan kepala merupakan tanda-tanda balig. Namun, tidak ada pembicaraan mengenai kewajiban menutup wajah. Sementara itu, apabila menutup wajah adalah wajib, maka pastilah para imam juga menjelaskannya. Dari sini, menjadi jelas bahwa menutup wajah tidaklah wajib atas perempuan.

Dalil ketiga: seperti yang telah dijelaskan dari kalimat, Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya, bisa diambil kesimpulan bahwa menutup wajah dan kedua tangan tidaklah wajib. Ini karena dalam hadis-hadis Ahlulbait memakai celak dan cincin di tangan adalah salah satu contoh dari perhiasan yang (biasa) tampak darinya sehingga tidak ada kewajiban untuk menutupinya. Oleh karena itu, menutup wajah dan tangan yang merupakan tempat kedua perhiasan itu juga seharusnya tidak wajib.

Begitu juga dalam kalimat, Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan kewajiban menutup wajah. Ini karena diperintahkan kepada perempuan untuk mendapatkan hijab yang sempurna supaya dapat menaruh kudungnya ke leher sehingga menutupi sekeliling leher dan dada mereka. Adapun berkenaan dengan menutup wajah tidak diperintahkan. Ini menjelaskan tidak adanya kewajiban tersebut. Di samping itu, dalam hadis Mus’adah bin Shadaqah yang dalam bahasan ini telah dijelaskan, wajah dan kedua tangan itu sendiri adalah termasuk salah satu contoh perhiasan yang (biasa) tampak darinya.

Dalil keempat: dari sebagian hadis dan bukti-bukti sejarah, disimpulkan bahwa kebiasaan perempuan di zaman Rasulullah saw adalah tidak menutupi wajahnya. Namun, mereka tampak dengan wajah yang terbuka dalam pertemuan-pertemuan, di jalan, dan di pasar. Mata para lelaki melihat wajah mereka dan satu sama lain saling berbicara, bergaul, (bersosialisasi), dan berinteraksi. Mereka mendengar hadis dari Nabi saw dan meriwayatkannya kepada para lelaki. Di antara para perawi hadis, terdapat ratusan perempuan hingga para istri dan putri Nabi juga tidak dikecualikan  dari pekerjaan ini. Ratusan hadis diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Fatimah sehingga pastinya orang-orang melihat wajah para perempuan dan mendengar suara mereka. Namun, Rasulullah saw tidak memerintahkan para perempuan untuk menutup wajah dan tidak melarang para lelaki untuk melihat wajah para perempuan dan mendengarkan suara mereka kecuali jika tujuannya adalah demi kenikmatan dan tatapan.

Jabir bin Abdullah  al-Anshari bercerita bahwa pada suatu hari Rasulullah saw pergi guna menemui Fatimah sedangkan dia bersama beliau. Ketika sampai di depan rumah Fatimah, beliau mengetuk pintu seraya bersabda, “Assalamu’alaikum.”

Fatimah dari dalam rumah menjawab, “Alaikas Salam Ya Rasulullah.”

Nabi bertanya, “Boleh aku masuk ke rumahmu?”

Fatimah menjawab, “Silakan.”

Rasulullah saw bersabda, “Aku masuk dengan temanku?”

Fatimah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya kudung untuk kepalaku.”

Nabi bersabda, “Taruhlah lebihnya kain penutup di atas kepalamu.”

Fatimah lalu melakukannya. Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, “Assalamu’alaikum.”

Fatimah lalu menjawab. Kemudian Nabi saw Bersabda, “Aku masuk bersama temanku, seorang laki-laki.

Fatimah berkata, “Silakan.”

Jabir melanjutkan, “Rasulullah saw memasuki rumah Fatimah dan aku juga masuk. Mataku melihat wajah Fatimah yang seperti tangkai yang kuning.”

Rasulullah lalu bertanya, “Putriku, mengapa wajahmu kuning seperti ini?”

Fatimah menjawab, “Ya Rasulullah, ini karena aku sangat kelaparan.”

Nabi saw mengangkat tangannya berdoa seraya bersabda, “Wahai Tuhanku Yang Mengenyangkan orang-orang yang kelaparan, kenyangkanlah Fatimah, Putri Muhammad.”

Jabir melanjutkan ceritanya, “Demi Allah, setelah doa Rasulullah, aku melihat wajah Fatimah. Darah di wajahnya mengalir dan warna wajahnya menjadi merah dan setelah itu Fatimah tidak kelaparan.”[29]

Dari cerita di atas, disimpulkan bahwa wajah Sayidah Fatimah terbuka sehingga Jabir dapat melihatnya berwarna kuning dan setelah do’a Nabi Saw, Jabir pun melihat wajah Fatimah berwarna merah.

Sa’d Askaf meriwayatkan dari Imam Baqir as berkata, “Seorang pemuda Anshar bertemu dengan seorang perempuan di lorong Madinah. Pada saat itu, para perempuan meletakan kerudungnya di belakang telinga. Pemuda Anshar melihat perempuan tersebut dan bertemu dengannya lalu pergi. Pemuda tersebut tetap melihat perempuan itu dari belakang. Pada saat demikian, kepalanya terbentur tulang atau kaca yang berada di tembok. Wajahnya terluka dan darah mengalir ke dadanya dan pakaiannya. Pemuda tersebut berkata bahwa dia akan mengadukan perempuan ini kepada Rasulullah saw.

Pemuda tersebut menuju Rasulullah. Nabi Saw bertanya, “Kenapa engkau penuh dengan darah seperti ini?”

Pemuda tersebut memaparkan kejadiannya kepada Rasulullah. Pada saat demikian Malaikat Jibril turun dan membawa ayat ini, Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[30]

Dari cerita ini, juga disimpulkan bahwa para perempuan di zaman Rasulullah saw dan permulaan Islam tidak hanya membuka wajahnya tetapi mereka meletakkan kerudungnya di belakang telinga. Akibatnya, telinga, anting, sekeliling leher, dan dada mereka tampak. Dalam kasus tersebut, terjadi peristiwa yang menimpa pemuda Anshar itu dan pengaduannya kepada Rasulullah saw. Setelah ayat itu turun, hijab pun diperintahkan kepada para perempuan, yakni agar mereka meletakkan kedua sisi kudung ke leher sehingga menutupi telinga, anting, sekeliling leher, dan dada mereka.

Adapun poin yang menarik adalah tidak ada perintah untuk menutup wajah. Ini menyatakan bahwa tidak ada kewajiban menutup wajah. Ayat hijab memerintahkan kepada lelaki dan perempuan supaya menahan pandangan mereka dan supaya tidak menatap demi kenikmatan (dalam memandang) guna mencegah kerusakan-kerusakan moral dan sosial.

 

Filosofi Hijab

Seperti yang telah dikatakan, salah satu hukum pasti dalam Islam adalah kewajiban menutup tubuh. Namun pertanyaan pentingnya adalah apa filosofi hijab dan mengapa Islam mencabut hak kebebasan perempuan dengan disyariatkannya hijab. Bukankah ini adalah kezaliman?

Dalam menjawabnya harus dikatakan bahwa tujuan Islam mensyariatkan hijab adalah untuk mengokohkan fondasi kesucian keluarga dan mencegah penyimpangan-penyimpangan seksual dan akibat buruk yang akan muncul darinya, menjamin keselamatan dan keamanan sosial, membantu pembersihan lingkungan, serta dan memperkecil kerusakan-kerusakan moral.

Batasan ini tidak hanya berguna bagi para perempuan tetapi juga bermanfaat bagi anak-anak dan suami-suami mereka serta seluruh individu masyarakat. Supaya permasalahan ini menjadi jelas, akan dipaparkan beberapa poin penting sebagai pengantar.

Poin pertama: Dengan memperhatikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah dua fondasi penting dalam masyarakat dan kebahagiaan, ketenteraman, dan kesenangan individu mereka bergantung banyak kepada kesehatan, keamanan, dan kesucian lingkungan mereka, maka jaminan keselamatan, keamanan, dan kesucian lingkungan dari kerusakan-kerusakan berada di atas pundak mereka sendiri. Mereka harus sama-sama berusaha dan bekerja sama dalam hal ini.

Poin kedua: perempuan adalah eksistensi yang lembut. Maka dia pasti suka merias diri, berhias, bermewahan, berpenampilan, dan mempesona. Dengan daya pikatnya, dia ingin menundukkan hati para lelaki. Adapun laki-laki adalah eksistensi yang berkeinginan dengan berbagai macam keinginan dan menghadapi keinginan seksualnya dengan sangat lemah. Keinginan seksualnya langsung bangkit dan dia tidak mampu mengontrolnya. Daya yang ganas itu meluap-luap hingga akal, undang-undang, dan agama kerap tidak mampu menepisnya. Segala sesuatu yang ada pada seorang perempuan bagi seorang laki-laki, khususnya pemuda, adalah rangsangan. Perhiasan-perhiasan perempuan, pakaian-pakaiannya yang bagus, suara lengkingnya, pesonanya, daya tariknya, fisiknya, rambutnya hingga kehangatan tubuhnya bisa merangsang keinginan yang ganas itu.

Poin ketiga: dalam masyarakat, terdapat banyak pemuda dan laki-laki yang tidak bisa menikah karena kefakiran, kemiskinan, pengangguran, penghasilan yang sedikit, tengah melanjutkan studi, melakukan dinas militer, atau banyak alasan lainnya. Orang-orang yang berada dalam krisis kepemudaan dan masa meluapnya daya seksual tidaklah sedikit. Kondisi memprihatinkan ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena mereka juga adalah individu-individu masyarakat ini.

Dengan melihat seksama poin-poin tersebut, sekarang terlontar pertanyaan, kemaslahatan apakah yang dituju bagi perempuan? Apakah dalam kebebasan mutlak dan tanpa keterikatan serta aturan dalam pakaian ataukah dalam menjaga hijab dan menanggung sebagian batasan?

Untuk mengetahui jawaban yang benar, kami akan mengkaji dua asumsi dan akan membuat perbandingan antara yang baik dan buruk.

Pertama, dalam masyarakat kontemporer, perempuan dari sisi pakaian dan pergaulan mempunyai kebebasan mutlak. Untuk memenuhi keinginan alamiahnya, dia merias diri demi penampilan dan kecantikan. Mereka keluar rumah dengan separuh telanjang dan dengan pakaian-pakaian bagus yang berwarna-warni serta mode yang bermacam-macam. Mereka bergaul dan berbicara sangat bebas dengan para lelaki asing di lorong-lorong, pasar, jalan, kantor, toko, sekolah umum, rumah sakit, tempat-tempat duduk, dan tempat-tempat pertemuan umum. Dengan tubuh yang setengah telanjang, mereka mempesona para lelaki asing. Kemana mereka pergi, kafilah hati ikut bersama mereka. Apabila tidak mempunyai suami, mereka dengan sangat bebas hingga tengah malam berada di bioskop-bioskop, kabaret-kabaret, tempat dansa dan tarian, taman-taman, atau berkeliling di jalan-jalan. Jika mempunyai suami, mereka kadang bersamanya atau tanpanya pergi ke semua tempat dengan dalih kebebasan.

Dalam masyarakat seperti itu, anak-anak laki-laki dan perempuan bergaul sesuka mereka sehingga bebas melakukan hubungan seksual. Para lelaki juga bebas bergaul dengan para perempuan asing. Dengan setiap perempuan yang mereka sukai, mereka bisa melakukan hubungan apa pun. Mereka pergi bersama ke bioskop, kabaret, tempat-tempat dansa dan tarian-tarian, taman, atau berkeliling di jalan-jalan dan pusat-pusat kemungkaran. Dalam masyarakat seperti itu, para perempuan tanpa hijab, tanpa keterikatan dan aturan, bebas keluar rumah, bergaul dengan para lelaki asing, dan melakukan hubungan seksual. Namun kebebasan-kebebasan tersebut menimbulkan akibat-akibat (efek-efek) sebagai berikut.

Goncangnnya fondasi kesucian keluarga, tidak adanya keterkaitan perempuan dan laki-laki ke rumah dan keluarga, timbulnya prasangka buruk di antara istri dan suami dan satu sama lain saling mengawasi seperti polisi, lahirnya percekcokan rumah tangga, banyaknya anak-anak tanpa pernikahan dan tanpa orang tua serta gelandangan, bertambahnya penyakit-penyakit kejiwaan, banyaknya pembunuhan, kriminalitas, dan bunuh diri, bertambahnya putri-putri tanpa suami dan putra-putra tanpa istri, tidak ada keinginan untuk membina keluarga, kecenderungan para pemuda kepada bentuk-bentuk kerusakan moral dan penyimpangan-penyimpangan seksual, banyaknya angka perceraian, banyaknya lelaki dan perempuan yang terpaksa hidup membujang. Contoh masyarakat seperti ini, dengan rusaknya rumah tangga, bisa dilihat di negara-negara Barat. Apakah masyarakat seperti ini berguna bagi para perempuan dan laki-laki itu sendiri? Apabila kita menyingkirkan perasaan-perasaan mentah dan berpikir matang, maka dengan penuh keyakinan jawaban kita adalah negatif.

Dalam masyarakat ini, para perempuan hadir secara aktif dalam kancah kehidupan dengan menjaga fasilitas-fasilitas dan kesesuaian. Mereka menerima pekerjaan-pekerjaan dan melaksanakan tugasnya. Di sekolah dasar, sekolah menengah, universitas, pusat-pusat penelitian, rumah sakit, klinik, laboratorium, rumah sakit bersalin, parlemen, kementerian, dan pos-pos penting lainnya, para perempuan seperti halnya laki-laki tampak hadir. Mereka pun tetap menjaga hijab dan pakaian dengan sempurna selain tangan dan wajah. Mereka tidak berhias secara berlebihan untuk hadir dalam perkumpulan dan tempat kerja. Mereka keluar dari rumah dengan pakaian sederhana dan tanpa dandanan berlebihan. Mereka mengkhususkan perhiasan dan dandanan serta pesona ke dalam rumah bagi suaminya. Mereka menerima batasan ini dengan lapang dada dan pengorbanan sehingga masyarakat selamat dan bersih dari faktor-faktor penyimpangan dan kerusakan. Mereka melakukan  hal ini karena menjaga kondisi para pemuda dan para lelaki yang tidak mampu menikah. Mereka menjaga hijab sehingga jangan sampai mata para lelaki asing melihat kepadanya dan hati suaminya menjadi dingin sehingga mengubah kehangatan keluarga menjadi kancah percekcokan dan pertikaian.

Mereka menerima batasan ini sehingga para pemuda laki-laki dan perempuan yang merupakan anak-anak mereka sendiri terjaga dari kerusakan, penyimpangan-penyimpangan seksual dan kelemahan syaraf dan dalam kondisi yang memungkinkan dan dengan tersedianya segala fasilitas, mereka menikah dan membina keluarga. Mereka (para perempuan) menerima batasan ini sehingga mereka membantu mengokohkan fondasi keluarga dimana dia sendiri termasuk dari mereka dan mengurangkan jumlah angka perceraian, kehidupan sendiri, anak-anak kecil tak terurus dan tanpa orang tua. Dalam masyarakat seperti ini, fokus mayoritas keluarga adalah dan hubungan istri dan suami yang baik dan sedikit pertikaian. Kerusakan-kerusakan moral dan penyimpangan-penyimpangan seksual  diantara para pemuda relatif sedikit. Para pemuda berhasrat untuk menikah dan membentuk pusat suci keluarga. Angka perceraian, dan para laki-laki dan perempuan lajang tidak banyak. Anak-anak kecil tanpa orang tua dan gelandangan lebih sedikit. Dalam masyarakat ini, para ayah dan ibu  lebih tenang terhadap keselamatan para pemudanya dari kotoran kerusakan-kerusakan moral dan penyimpangan-penyimpangan seksual serta penyakit-penyakit kejiwaan. Apakah kehidupan dalam msyarakat seperti untuk keuntungan para perempuan atau masyarakat yang pertama? Setiap manusia yang berfikir akan menganggap bahwa masyarakat kedua adalah lebih baik/daripada masyarakat pertama.

            Islam juga menganggap bahwa kehidupan dalam masyarakat kedua adalah     lebih baik. Dan dengan dalil ini, Islam mensyariatkan hijab dan mengingatkan supaya para perempuan menjaganya dan menutup perhiasan-perhiasan dan alat-alat kecantikannya dari para lelaki asing.[31]

Nabi Saw. Melarang para perempuan berhias untuk selain suaminya sendiri  seraya   bersabda, “Barang siapa berhias untuk selain suaminya, maka sepantasnya Allah membakarnya dengan api neraka.”[32]

Imam Muhammad Al Bâqir berkata, “Seorang perempuan disaat keluar dari rumah tidak boleh menggunakan wewangian.”[33]

Beliau as juga berkata, “Tidak boleh bagi seorang perempuan berjabat tangan dengan lelaki yang bukan muhrimnya   kecuali dari balik pakaian.”[34]

Islam tidak mencukupkan syariat  hijab bagi para perempuan untuk membersihkan lingkungan sosial tetapi juga memerintahakan kepada para lelaki supaya tidak menatap (dalam melihat) dan menahan pandangannya dari melihat para perempuan selain muhrim. Al-Quran mengatakan: “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[35]

Imam Shadiq berkata, “Memandang kepada  selain muhrim adalah busur panah yang beracun dari sisi syaitan. Betapa banyak satu pandangan yang mengakibatkan penyelesaian yang panjang.[36]

Imam Shadiq as berkata, “ Memandang kepada kepada selain muhrim adalah busur beracun dari syaitan. Barang siapa meninggalkannya semata-mata karena Allah dan bukan karena yang lain, maka dia akan mencicipi lezatnya keamanan dan keimanan.”[37]

Imam Shâdiq as berkata, “ Pandangan setelah pandangan menanamkan syahwat dalam hati dan cukup bagi pelakunya untuk jatuh dalam fitnah.”[38]

Imam Shâdiq as berkata, “ Barang siapa yang matanya melihat perempuan selain muhrimnya lalu dia memalingkan pandanganya ke langit, Allah akan memberikan bidadari untuknya dari surga sebagai balasan atas amalnya.”[39]

Rasulullah Saw. Bersabda, “Setiap  lelaki yang berjabat tangan dengan perempuan yang bukan muhrimnya, maka pada hari kiamat tangannya terbelenggu dan diperintahkan ke dalam api neraka.”[40]

Rasulullah Saw bersabda, “ Barang siapa yang bercanda dengan perempuan yang bukan miliknya, maka di hari kiamat Allah akan memenjarakannya dengan setiap kalimat yang dia ucapkan di dunia selama  seribu tahun.”[41]

 

 

Amirul Mukminin Ali as berkata, “ Seorang laki-laki tidak boleh menyendiri bersama perempuan asing. Apabila dia menyendiri bersamanya maka syaitan adalah orang      ketiga dari mereka.”[42]

Musa bin Jakfar as meriwayatkan dari ayah-ayahnya dari Rasulullah Saw. bersabda, “ Barang siapa yang beriman kepada Allah   dan hari kiamat hendaknya dia tidak tidur di malam hari ditempat yang bisa mendengar nafas perempuan yang bukan muhrimnya.”[43]

16)   Wasâil Al-Syî’ah: Juz 20 halaman:201
17)   Ibid: Juz 20 Halaman: 201
18)   Majma’ Al-Bayân :Juz 7 Halaman: 138
19)   Q.S Al-Ahzâb (33) 59
20)   Q.S Al-Ahzâb (33):32-33
21)   Wasâil Al-Syî’ah: Juz 20 Halaman:212
22)   Ibid: Juz 20 Halaman: 201
23)   Nûr ats-Tsaqalain: Juz 3 Halaman: 590
24)   Ibid
25)   Wasâil Al-Syî’ah: Juz 2 Halaman: 522
26)   Ibid: Juz 20 Halaman : 199
27)   Ibid: Juz 20 Halaman: 229
28)   Ibid: Juz 20 Halaman: 228
29)   Tafsir Nur Tsaqalain: Juz 2 Halaman : 587
30)   Ibid: 588
31)   Q.S Al-Nur (24): 31
32)   Wasâil Al-Syî’ah: Juz 20 Halaman 212
33)   Ibid: Halaman 220
34)   Ibid: Halaman 222
35)   Q.S Al-Nûr (24): 30)
36)   Wasâil Al-Syî’ah:Juz 20: halaman 191
37)   Ibid: Halaman 192
38)   Ibid: Halaman 192
39)   Ibid: Halaman 193
40)   Ibid: Halaman 198
41)   Ibid: Halaman 198
42)   Mustadrak Al Wasâil: Juz 14 Halamam: 265
43)   Wasâil Al-Syî’ah: Juz 20 Halaman 185