پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

WAHYU DAN AKAL

WAHYU DAN AKAL

 

Di akhir pembahasan mengenai masalah-masalah yang terkait dengan hakikat wahyu, kami memandang layak untuk membahas secara ringkas berkenaan dengan akal dan wahyu, bukti-bukti, dan batasan-batasan keduanya serta kemungkinan terjadinya pertentangan antara hukum akal atau premis-premis logis dengan teks wahyu. Pembahasan di atas akan dipaparkan dan diteliti dalam beberapa bagian.

 

Definisi Akal

Akal adalah insting atau potensi yang berada dalam diri manusia dan dengan hal tersebut manusia terbedakan dari hewan. Mengenai hakikat, berpikir, pembuktian, dan pembenaran terhadap hukum atau premis-premis, muncul dari kekuatan tersebut. Seluruh manusia yang sehat memiliki kekuatan ini tetapi tidak seluruhnya sama. Namun, akal memiliki kekuatan dan kelemahan. Terkadang akal juga ditujukan untuk jiwa atau ruh manusia karena ruh dan jiwalah yang memiliki kekuatan tersebut.

 

Realitas dan Kerja Akal

Kerja akal adalah memahami dan dengan memfungsikan pancaindra yaitu telinga (pendengaran), mata (penglihatan), tangan (sentuhan), lidah (rasa), hidung (penciuman), dengan mudah memahami dan mengetahui sesuatu yang dapat didengar, dilihat, disentuh, dirasa, dan dicium. Menjaga dan mengingat bentuk-bentuk ini dan makna-makna parsial serta memfungsikannya juga dilakukan oleh kekuatan jiwa. Kerja lain dari jiwa adalah interpretasi umum dari parsial dan memahaminya. Kerja akal yang paling utama adalah berpikir yakni menyusun premis-premis dalam bentuk silogis, mengambil kesimpulan, dan membenarkannya.

 

Proposisi Aksiomatik dan Diskursif

Proposisi-proposisi dalam benak pemikiran manusia dibagi menjadi dua: aksiomatik dan diskursif.

 

Aksiomatik

Proposisi aksiomatik adalah proposisi yang akal mampu menghukuminya tanpa butuh pada pembuktian seperti kemustahilan berkumpulnya dua hal yang kontradiktif atau menghilangkan keduanya, kemustahilan dua hal yang berlawanan, seluruh lebih besar dari sebagian, tidak ada sesuatu yang baru muncul tanpa sebab, dan keniscayaan adanya keserasian antara sebab dan akibat.

Proposisi tersebut tergolong proposisi aksiomatik. Akal dapat membenarkan proposisi tersebut tanpa membutuhkan pembuktian. Bahkan, hanya dengan membayangkan subjek dan predikat dari proposisi tersebut, akal sudah dapat membenarkannya.

Diskursif

Proposisi diskursif adalah proposisi yang dalam menetapkan predikat pada subjek butuh menyusun silogisme dan membangun pembuktian. Akal dalam pembuktian-pembuktiannya menyimpulkan hukum parsial dari hukum yang universal. Seperti contoh, dalam menetapkan huduts (baru) alam, berargumentasi sebagai berikut.

Alam materi berubah

Setiap yang berubah adalah hadits (baru)

Maka, alam adalah hadits (baru)

Hal ini benar apabila premis mayor yang umum dapat memberikan kesimpulan dan hukum yang pasti dan meyakinkan atau proposisi itu sendiri termasuk proposisi yang pasti atau diambil kesimpulan dari proposisi yang meyakinkan. Pada akhirnya, seluruh proposisi kembali pada proposisi yang memberikan keyakinan.

Karena itu, seluruh proposisi diskursif pada akhirnya kembali pada proposisi aksiomatik. Proposisi yang menyatakan kemustahilan bersatunya dua hal yang kontradiksi atau hilangnya keduanya merupakan dasar dari seluruh proposisi dan seluruh proposisi butuh pada proposisi tersebut. Sebagai contoh, dalam proposisi: “alam berubah” dan “segala sesuatu yang berubah adalah hadits (baru)”, pada saat kita mengambil kesimpulan yang diinginkan yaitu “alam adalah hadits”, kita menerima kemustahilan bergabungnya kepastian huduts dan ketidakpastiannya. Andaikan hal ini kita masih memungkinkan bahwa alam adalah sesuatu yang hadits dan bukan hadits, maka tidak menghasilkan kesimpulan yang memberikan keyakinan.

 

Bergantungnya Ilmu-ilmu Observasi pada Aksiomatik

Proposisi alami dan observasi pada saat memberikan kesimpulan juga kembali dan bersandar pada proposisi logis dan aksiomatik. Seorang ilmuwan dan peneliti ilmu-ilmu observasi, jika tidak menerima hukum sebab akibat yang universal dan memungkinkan adalah kebetulan, bagaimana dan untuk tujuan apa ia melanjutkan percobaannya? Jika proposisi aksiomatik seperti hukum nonkontradiktif tidak dia terima, lalu apa manfaat yang ia peroleh dari percobaannya?

Andaikan hukum universal seperti kausalitas, keniscayaan adalah keserasian antara sebab dan akibat, proposisi hukum nonkontradiktif sebagai dasar yang kokoh dan aksiomatik tidak dapat diterima, maka seluruh pengetahuan dan penelitian bahkan ilmu-ilmu yang dihasilkan dari observasi tidaklah berdasar dan mandul karena hukum universal seperti kausalitas dan kemustahilan adanya kebetulan serta keserasian antara sebab dan akibat tidak dapat ditetapkan melalui observasi.

Jika dalam proposisi aksiomatik terdapat keraguan maka seluruh proposisi logis dan observasi yang berlandaskan padanya hendaknya kita ragukan juga. Pada akhirnya, kita berada pada lembah yang gelap dan menakutkan dan kita jatuh dalam keraguan di atas keraguan. Manakala pengetahuan-pengetahuan tidak bersandar pada pondasi yang kokoh dan meyakinkan maka tidak akan ada pengetahuan. Karena itu, seluruh manusia yang berakal mau tidak mau harus menerima proposisi aksiomatik sebagai sebuah kepastian dan hal yang diterima oleh akal serta tidak perlu dipertanyakan. Selanjutnya, menggunakan proposisi yang meyakinkan menyingkap sesuatu yang belum diketahui kepastiannya. Orang-orang yang berakal meyakini bahwa dengan membentuk silogisme dan membangun bukti-bukti logis yang bersandar pada proposisi aksiomatik mampu menyimpulkan dan membenarkan proposisi diskursif yang belum diketahui dan pada akhirnya mendapatkan pengetahuan yang meyakinkan. Dengan demikian, orang-orang yang berakal menafsirkan sesuatu yang logis adalah dengan makna seperti ini.

 

Tidak Adanya Kepastian Keterjagaan Akal dari Kesalahan

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang berakal pada satu sisi meyakini akal sebagai penyingkap kenyataan dan di sisi lain mereka tidak meyakini bahwa akal terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Terkadang mereka menganggap bahwa akal mungkin saja salah. Oleh karenanya, dalam menyusun silogisme atau melakukan pembuktian mereka benar-benar mewasiatkan untuk menjaga secara sempurna hukum-hukum logika. Mereka tidak mengatakan bahwa seluruh kesimpulan logika seratus persen benar dan harus diterima tanpa perlu dipertanyakan kembali. Akan tetapi, mereka memungkinkan adanya sanggahan yang benar dan berdasar. Bahkan, para penyanggah dapat saja mempertanyakan dan meneliti esensi akal dan ruang lingkup kerjanya. Bukti-bukti yang disampaikan juga dapat dibantah. Andaikan tidak mendapatkan jawaban yang diakui dan dipercaya maka hal itu tidak dapat diterima. Akan tetapi, seluruh hal ini tidak ada jalan lain kecuali melalui pembuktian yang benar dan mempercayai hukum-hukum akal.

Jika akal dengan menjaga secara sempurna dan teliti hukum-hukum logika mampu memberikan hukum yang pasti dan tinjauan kembali, sanggahan yang cermat terhadap premis-premisnya dan diagnosis-diagnosis juga menguatkan kebenarannya, maka hukum seperti ini memiliki pembuktian dan menyingkap kebenaran. Tanpa didasari argumentasi maka hal itu tidak dapat diragukan. Pada akhirnya, penyingkapan dan pembuktian hukum akal adalah satu hal yang pasti dan tidak butuh pada pembuktian. Kenyataan termasuk kekhususan dasar dan kepastian akal. Meragukan akan hal itu terhitung sebagai pengingkaran terhadap aksiomatik.

Sejak awal kehidupannya dan sepanjang sejarah, manusia menerima hakikat ini dan perkembangan dalam pengetahuan, spesialisasi, teknologi, dan filsafat serta matematika bergantung pada kemampuan akal. Apakah mungkin manusia tanpa didasari akal mampu hidup dan melanjutkan kehidupan pengetahuannya?

 

Akal Pendukung Wahyu

Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya telah ditetapkan bahwa seluruh pengetahuan dan ilmu yang dimiliki manusia bersandar pada akal dan memanfaatkan pembuktian logis dan pada akhirnya kembali pada proposisi aksiomatik. Bahkan, keberlangsungan kehidupan manusia hari demi hari bersandar pada akal. Jika akal dilenyapkan dari manusia, maka tidak ada yang tersisa dari manusia dalam kehidupan kemanusiaannya.

Demikian juga wahyu yang merupakan salah satu permasalahan yang bersandar pada akal. Andaikan wujud Sang Pencipta, sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan-Nya, keniscayaan adanya tujuan dalam penciptaan manusia dan alam nonmaterial dan kekekalan ruh manusia, keniscayaan adanya hari kebangkitan dan alam akhirat, kepastian adanya balasan dan ganjaran manusia di alam setelah kematian, keharusan adanya kenabian dan pengutusan para nabi untuk menuntun dan memberi petunjuk manusia yang menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat mereka, tidak dapat dibuktikan dengan pembuktian-pembuktian akal, maka wahyu tidak memiliki landasan yang kokoh.

Karena itu, akal dan pembuktian akal merupakan pendukung terbaik wahyu. Jelas, akal lebih dahulu daripada wahyu. Akallah yang memberikan legitimasi kepada wahyu dan menyatakan bahwa wahyu sebagai hal yang nyata dan memiliki pembuktian yang diakui. Untuk penjelasan masalah ini, hendaknya mempelajari buku-buku filsafat dan teologi.

Di sisi lain, wahyu juga menguatkan penyingkapan dan realitas akal, meyakini bahwa hal itu sebagai bukti batin, dan mengajak manusia untuk berpikir dan mengikuti petunjuk-petunjuk akal. Puluhan ayat al-Quran menyeru manusia untuk berpikir dan bertafakur. Orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dikecam oleh al-Quran dan digolongkan sebagai orang-orang yang buta, tuli, bahkan lebih rendah dari hewan. Sejumlah hadis juga menyebutkan dan menegaskan hal tersebut.

Al-Quran, Nabi Muhammad saw, dan juga para imam maksum menguatkan dan mengamalkan metode berpikir, mengambil manfaat dari pembuktian akal, dan mengikuti akal. Oleh karena itu, akal dan wahyu masing-masing saling menguatkan. Namun, akal secara tingkatan lebih dulu karena legitimasi dan kebenaran akal tidak bergantung pada ketetapan wahyu.

 

Kemungkinan Terjadinya Pertentangan antara Akal dan Wahyu

Wahyu pada media penggunaannya, yakni hati nabi yang bercahaya, seratus persen sesuai dengan realitas dan tidak ada kerancuan atau keraguan di dalamnya karena wahyu merupakan ilmu hudhuri dan penyaksian kenyataan. Selain itu juga ditetapkan dalam kitab-kitab teologi bahwa nabi pada tahap penerimaan hakikat yang memiliki nilai wahyu dan penyampaiannya kepada masyarakat terjaga dari segala bentuk kesalahan. Jika tidak demikian, maka falsafah wahyu dan pengutusan rasul tidak terealisasi. Oleh karena itu, wahyu pada tahap ini berupa ilmu yang memberikan keyakinan dan tidak terjadi pertentangan dengan akal yang pasti.

Jika terdapat kemungkinan pertentangan antara akal dan sesuatu yang dinukil atau teks yang memiliki nilai wahyu baik dalam al-Quran berlafaz, tertulis, maupun kitab-kitab hadis, maka tetap terhitung sebagai wahyu. Dalam hal ini, kita akan membahas permasalahan tersebut dengan lebih terperinci. Teks-teks yang memiliki nilai wahyu dapat kita bagi dalam beberapa kelompok.

1.       Matan (teks) naqli. Pertama, bersumber dari nabi dan ditetapkan dengan pembuktian yang pasti. Kedua, sesuatu tersebut ditetapkan sebagai wahyu. Ketiga, dari sisi penunjukan memiliki kepastian.

      Dengan memperhatikan kemaksuman nabi, teks seperti ini adalah pasti dan sesuai dengan kenyataan. Hukum akal yang pasti tidak ada yang bertentangan dengan hal itu sehingga dapat dimungkinkan terjadi pertentangan. Meneliti al-Quran dan kitab-kitab hadis secara cermat mampu mengantarkan pada hakikat seperti ini. Jika dugaan seperti ini terjadi, hendaknya pengantar-pengantar hukum akal yang pasti dan keberadaan syarat-syarat kepastian wahyu juga harus diteliti dan dikaji ulang.

2. Teks-teks naqli yang dari sisi sumbernya dan penunjukkannya tidak memiliki kepastian tetapi kandungannya terkait dengan hikmah perbuatan, yakni hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban syar’i, sesuatu yang layak dan tidak layak secara moral dan hak-hak. Dengan demikian, jika sanad dan hadis-hadis ini diakui sesuai dengan tolok ukur musthalahul hadis dan dapat dipercaya, maka teks tersebut secara yuridis dianggap memiliki hujah. Para mukalaf (orang yang dibebani taklif atau kewajiban—penerj.) untuk mengenal kewajibannya tidak ada jalan lain selain berpegang pada teks-teks tersebut. Tentunya kemutlakan dan keuniversalannya dapat dikaitkan dan dikhususkan.

      Jika terdapat dalil akal pasti yang berbeda dengan teks tersebut, kita dapat berlepas diri dari teks tersebut. Akan tetapi, keberadaan dalil akal seperti ini sangat jauh karena akal yang diskursif umumnya tidak memiliki peran dalam hal ini. Dengan istihsan atau istib’ad pun tidak mampu menafikan hujah yang diakui secara syar’i atau berusaha menakwilkannya.

3.  Teks-teks yang tidak pasti mengenai pengetahuan-pengetahuan alamiah seperti mengenai makanan, bumi, binatang, tumbuh-tumbuhan, perbintangan, atau pengetahuan kemanusiaan seperti sosiologi, psikologi, ilmu pendidikan, kedokteran, kesehatan, dan sejarah. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini tidak lebih sebagai bukti dugaan. Andaikan terdapat pembuktian akal atau observasi yang pasti dan bertentangan dengan salah satu di antara hal-hal tersebut dapat menafikan makna zahir dari teks-teks tersebut. Namun, jika pembuktian yang bertentangan dengan teks juga sebatas dugaan, terjadi pertentangan dan menguatkan satu sisi dari sisi yang lainnya adalah sesuatu yang tidak beralasan. Dalam hal ini, hendaknya menunggu kesimpulan pengetahuan yang lebih meyakinkan. Akan tetapi, pada akhirnya hal-hal yang berupa dugaan ini tidak dapat dinisbatkan kepada Islam secara pasti atau dengan sekedar anggapan dalam pengetahuan yang bertentangan serta merta ditarik garis kesalahan pada teks-teks tersebut.

4. Teks-teks yang tidak pasti berkenaan dengan masalah keyakinan dan keimanan. Teks semacam ini tidak lebih sebagai bukti dugaan yang dapat digunakan sebatas menuntun akal yang menghasilkan keyakinan dalam bentuk dugaan. Namun, jika terdapat pembuktian akal pasti yang bertentangan, teks-teks tersebut dapat ditakwil atau ditolak. Namun, jika bukti yang bertentangan dengan teks-teks juga berupa dugaan, terjadi pertentangan dan menguatkan salah satu dari yang lainnya sangatlah tidak beralasan.

5. Teks-teks yang dari sisi sumber memiliki kepastian tetapi dari sisi penunjukkan makna masih berupa dugaan. Teks semacam ini selama tidak ada dalil akal atau pengetahuan yang pasti, kita dapat mengamalkan makna zahir dari teks tersebut. Namun, jika terdapat bukti pasti yang bertentangan dengannya, kita harus mengelak dari makna zahir teks tersebut dan menakwilkannya. Jika bukti yang bertentangan dengan teks juga berupa dugaan, maka terjadi pertentangan. Menguatkan salah satu dari yang lainnya adalah sesuatu yang tidak beralasan.

 

Batasan-batasan Wahyu dan Akal

Penyingkapan dan realitas akal adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi. Manusia tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan jalan menggunakan akal. Bahkan, dalam pengetahuan yang bersifat observasi pun, tidak ada jalan lain kecuali menggunakan proposisi-proposisi dalam logika. Pemeluk agama-agama langit meyakini wahyu sebagai fenomena yang sesuai dengan kenyataan dan kepastian akan hal tersebut telah dibuktikan dalam kitab-kitab filsafat dan teologi. Terlontar pertanyaan pertanyaan berikut: “Jika demikian, di manakah posisi sesungguhnya dan apa saja ruang lingkup yang dimiliki oleh masing-masing dari keduanya? Apa saja tugas yang diemban oleh wahyu dan agama yang dapat diharapkan dan apa saja tugas yang diemban oleh akal?”

Dalam hal ini, terdapat dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama, menurut pandangan ini disebutkan bahwa manusia di seluruh sisi keyakinan, akhlak, spiritual, ibadah, politik, sosial, dunia, dan akhiratnya butuh pada bimbingan Allah. Allah Yang Mahabijaksana juga meniscayakan kebutuhan-kebutuhan tersebut dan mencukupinya dengan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan manusia sepanjang sejarah melalui para nabi. Pada masa Nabi Muhammad saw, mengingat telah terjadi perkembangan maka pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi, undang-undang yang lebih sempurna juga telah diturunkan melalui beliau sebagai petunjuk bagi manusia dan mencukupi kebutuhannya. Karena itu, peran agama sangat luas dan posisi akal lebih terbatas. Menurut pandangan ini, akal juga merupakan salah satu dasar interpretasi hukum di sebagian masalah dan akal menjadi pembantu agama.

Pandangan kedua, menurut pandangan ini wahyu dan agama berfungsi pada hal-hal yang akal tidak mampu mencapainya. Ada dua hal yang tidak dapat dicapai oleh akal. Pertama, hal-hal yang berkenaan dengan spiritual, ibadah, kewajiban-kewajiban, sesuatu yang semestinya dan tidak semestinya yang berkaitan dengan kehidupan kejiwaan dan batin manusia yang diberikan pada manusia melalui perantara wahyu dalam bentuk perintah dan larangan. Permasalahan-permasalahan seperti ini tidak dapat dijangkau akal manusia. Oleh karena itu, butuh bimbingan Allah Swt dan para nabi.

Kedua, pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang tidak dapat dihasilkan melalui akal, seperti kondisi atau keadaan pada hari kebangkitan atau hari kiamat, mizan (timbangan), perhitungan perbuatan manusia, surga dan neraka. Manusia butuh pada wahyu mengenai hal-hal tersebut.

Adapun masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) yang mampu dijangkau oleh akal manusia, wahyu dan agama tidak memberi sesuatu apa pun. Jika wahyu dan agama menyampaikan hal-hal tersebut tidak lebih sebagai bimbingan akal.

Mereka juga menyatakan bahwa berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dalam hidupnya, seperti politik, pemerintahan, hak-hak, ekonomi, kesehatan, pengobatan, pengetahuan alam, matematika, aritmatika, perbintangan, dan ilmu kemanusiaan termasuk bagian dari masalah tersebut. Disebutkan bahwa untuk memperoleh ilmu-ilmu tersebut diserahkan pada akal dan pengalaman manusia sehingga manusia mau berupaya menambah pengetahuan yang dimilikinya.

Hal-hal tersebut berada di luar ruang lingkup wahyu dan agama. Agama tidak datang untuk membantu kita dalam hal kesehatan dan pengobatan atau menjelaskan manfaat makanan, obat-obatan, dan buah-buahan atau hal-hal seperti itu. Kalaupun dalam teks-teks agama hal-hal tersebut disebutkan, hal itu hanya merupakan sebuah penegasan dan penguatan hukum dan pengetahuan yang dapat digunakan sesuai dengan masanya. Atau mungkin disampaikan berdasarkan pengalaman pribadi nabi atau imam-imam maksum karena dalam hal ini tidak diragukan bahwa nabi dan para imam selain menggunakan wahyu atau pengetahuan-pengetahuan yang memiliki nilai wahyu, mereka adalah pribadi-pribadi yang istimewa dan berpengalaman di masanya. Oleh karena itu, mereka memiliki dua bentuk ucapan. Pertama, ucapan yang memiliki nilai wahyu yang terhitung sebagai agama dan kedua, ucapan-ucapan bijaksana, logis, yang bersumber dari keistimewaan pribadi dan akal mereka dan tidak terhitung sebagai bagian dari agama. Ucapan-ucapan semacam ini kendati dapat disandarkan pada kemaksuman atau keterjagaan dari kesalahan, tetapi tidak dapat tergolong sebagai bagian dari agama yang harus diterima dan ditaati.

Dengan demikian, perintah dan larangan yang terdapat dalam hal-hal seperti ini bukan termasuk perintah atau larangan penghambaan atau bersumber dari Tuhan sehingga dapat ditarik kesimpulan hukum darinya berupa wajib, haram, sunnah, makruh melainkan perintah dan larangan dalam bentuk bimbingan.

Meskipun disebutkan dalam al-Quran sebagai wahyu, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari agama. Satu contoh, kendati dalam al-Quran disebutkan, Dan Kami wahyukan kepadanya (Nuh) untuk membuat perahu dengan pengawasan dan wahyu dari Kami. (QS al-Mukminun: 27) Pembuatan perahu bukan merupakan bagian dari agama.

Contoh lainnya, disebutkan dalam al-Quran, Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. (QS al-A’raf:54) Akan tetapi, terciptanya langit dan bumi selama enam periode tidak termasuk dalam agama.

Pandangan ketiga, mengenai masalah ini juga terdapat pandangan ketiga yang mungkin lebih berimbang dan lebih mendekati kebenaran. Pandangan ini lebih banyak mempelajari dan meneliti sisi internal agama dibanding sisi eksternal agama. Pandangan ini berusaha menghindari terjadinya sikap berlebihan seperti kedua pandangan di atas. Pandangan ini lebih memilih jalan tengah. Penjelasan lebih lanjut mengenai pandangan ini adalah sebagai berikut.

 

Ritus-ritus Ibadah

Penjelasan mengenai masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan kejiwaan, kehidupan akhirat, ritus-ritus ibadah, kewajiban-kewajiban, dan sunnah-sunnah yang menyebabkan penyempurnaan jiwa dan merupakan upaya pendekatan diri pada Allah Swt. Begitu pula faktor-faktor yang menyebabkan keterpurukan jiwa manusia, keharaman, kemakruhan yang menyebabkan manusia semakin jauh dari Allah Swt dan akhirnya mendapatkan kesengsaraan di kehidupan akhirat.

Mereka menilai penjelasan masalah-masalah seperti ini dan seluruh masalah yang terkait dengannya hanya layak dijelaskan oleh wahyu dan agama karena akal tidak mampu memahami hal-hal tersebut. Agama berperan aktif secara luas dalam menjelaskan masalah-masalah ini dan berkembang dengan bantuan manusia. Mempelajari sisi internal agama, meneliti Al-Quran dan kitab-kitab hadis menguatkan masalah tersebut.
Akhlak

Menurut pandangan ini, penjelasan tentang kemuliaan dan nilai-nilai akhlak serta mengajak manusia untuk melakukan hal tersebut, penjelasan mengenai kerendahan akhlak yang buruk dan menyeru manusia untuk menjauhkan diri dari hal-hal tersebut, merupakan bagian dari agama dan termasuk program-program yang dilakukan oleh nabi. Berakhlak baik dan menjauhkan diri dari kerendahan tidak diragukan lagi memiliki pengaruh yang besar bagi proses penyempurnaan jiwa manusia dan kebahagiaan kehidupan manusia di dunia dan akhirat dan juga termasuk di antara tujuan diutusnya nabi. Kendati nilai dasar moralitas dan akal perilaku manusia mampu memahami sifat kebaikan dan keburukan, hal ini tidak menunjukkan bahwa manusia tidak membutuhkan petunjuk dan tuntunan dari nabi. Terutama manusia-manusia pertama yang hidup dengan kesederhanaan dan memiliki kemampuan penalaran yang dangkal.

Andaikan para nabi tidak membangkitkan kembali nilai-nilai dasar moralitas yang ada pada diri manusia dan memfokuskan akal manusia pada nilai kebaikan dan keburukan, maka manusia mengalami kerugian yang tidak dapat digantikan. Nilai-nilai moral dan perilaku-perilaku akhlak yang kita saksikan di kalangan masyarakat dan di berbagai negara, bahkan di kalangan masyarakat yang tidak beragama sekalipun, merupakan hasil dari upaya yang dilakukan oleh para nabi sepanjang sejarah. Akhirnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah Yang Mahabijaksana, dalam masalah-masalah yang terkait dengan akhlak menyerahkan, begitu saja pada manusia dan agama tidak memiliki peran dalam masalah yang sangat penting dan mendasar seperti ini. Sebaliknya, untuk mengenal sifat-sifat baik dan buruk, manusia bahkan manusia modern seperti saat ini pun, selalu membutuhkan bimbingan, dorongan, dan peringatan dari para nabi dan upaya yang terus-menerus dilakukan oleh para nabi. Anda sendiri menyaksikan bagaimana kelemahan, penyimpangan, bahkan keterpurukan nilai-nilai moral di kalangan masyarakat yang mengistilahkan dirinya sebagai masyarakat modern. Bagaimana mungkin mereka tidak membutuhkan petunjuk dan bimbingan dari para nabi?

Meneliti sisi internal agama, kitab agama terutama al-Quran dan kitab-kitab hadis Islam, juga menguatkan masalah ini. Sebagian besar dari ayat al-Quran memberi penjelasan mengenai masalah-maslah akhlak. Bahkan, di balik kisah yang disebutkan dalam al-Quran, juga terdapat nilai-nilai moral yang ingin disampaikan. Hadis-hadis mengenai akhlak sangat banyak. Nabi Muhammad saw dengan jelas mengatakan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”[252] Dengan demikian, apakah masih dapat dimungkinkan bahwa permasalahan-permasalahan akhlak bukan merupakan masalah agama?


Pokok-pokok Akidah

Menurut pandangan ini, kendati akal memiliki kemampuan memahami hakikat-hakikat yang logis dari posisinya yang tinggi dan mampu mengenal ushul (pokok-pokok) akidah serta membangun argumentasi untuk hal tersebut, tetapi pada dasarnya tidak sepenuhnya dikembalikan pada manusia. Akan tetapi, perhatian terhadap masalah pokok-pokok keyakinan dan membangkitkan kembali fitrah manusia selalu menjadi program utama para nabi.

Para nabi memfokuskan perhatian akal manusia pada wujud Allah, sifat-sifat-Nya, adanya hari kebangkitan dan alam akhirat, dan memperkenalkan diri mereka sebagi seorang nabi atau rasul. Andaikan tidak ada nabi, manusia terutama manusia-manusia pada abad-abad pertama sangat lamban untuk memahami tentang keberadaan Allah, hari akhir, dan keharusan adanya pewahyuan. Pada akhirnya, kerugian dan kesengsaraan yang tidak tergantikan harus ditanggung oleh manusia. Meskipun upaya yang dilakukan para nabi sepanjang sejarah yang mengajak manusia untuk menyembah Allah sedemikian besar dan pantang menyerah, kenyataannya dapat Anda saksikan banyak terdapat kesyirikan dan penentangan terhadap Allah di masyarakat yang modern dan maju ini. Dengan memperhatikan masalah-masalah tersebut di atas, bagaimana mungkin kita dapat mengatakan bahwa masalah pokok-pokok akidah termasuk permasalahan akal murni dan tidak butuh pada wahyu dan agama serta tidak termasuk dalam masalah agama? Meskipun para nabi berperan dalam hal ini, tetapi hanya dianggap sebagai bimbingan akal yang dapat disanggah, dipertanyakan, dan ditolak.

Tentunya kami juga menerima bahwa masalah ushul akidah adalah masalah yang logis dan memiliki pembuktian bukan dogma. Karena hal inilah, jalan argumentasi, pembuktian, kritik, dan penelitian sangat terbuka lebar sebagimana hal ini dapat kita saksikan di kitab-kitab filsafat dan teologi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa masalah ushul akidah tidak membutuhkan wahyu dan bukan termasuk bagian dari agama.
Cabang-cabang Keyakinan

Menurut pandangan ini, penjelasan mengenai pengetahuan dan cabang-cabang keyakinan butuh pada wahyu dan bimbingan para nabi. Seperti contoh, kehidupan setelah kematian, alam kubur, kondisi dan keadaan pada saat kebangkitan dan di hari akhirat, menghidupkan kembali manusia, balasan dan kesulitan hari kiamat, surga dan kenikmatannya, neraka dengan siksaannya. Mengingat pengenalan tentang masalah-masalah tersebut bukan kapasitas akal, tidak ada jalan lain selain melalui wahyu dan bimbingan dari para nabi.

Hak-hak, Hukum, Peraturan Sosial, Ekonomi, dan Politik                               

Dalam pandangan ini, agama langit khususnya agama Islam dalam menetapkan hukum, undang-undang hak-hak manusia, pengadilan, kepemilikan, ekonomi, keluarga, dan hubungan sosial berperan dan tidak membiarkan manusia begitu saja.

Karena tanpa adanya undang-undang dan peraturan, kehidupan manusia tidak akan berkembang dan Allah Swt Yang Mahabijaksana yang telah memberikan manusia berbagai kenikmatan agar dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan tidak akan membiarkan manusia tanpa mengajarkan tatacara mencapai kehidupan yang bahagia tanpa perlu terjadi pertentangan.

Allah Swt Pencipta alam yang mengetahui egoisme dan pemanfaatan yang dimiliki manusia bagaimana mungkin membiarkan manusia membuat peraturan dan undang-undang agar tidak terjadi benturan kepentingan? Terutama manusia-manusia yang hidup di masa awal, masa para nabi yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk mengenal dan memahami kemaslahatan yang sesungguhnya, mereka lebih membutuhkan petunjuk dan bimbingan lebih besar dari para nabi. Mempelajari teks-teks dan sumber-sumber agama seperti al-Quran dan hadis akan menguatkan maslah ini karena dalam al-Quran dan hadis terdapat banyak sekali penjelasan mengenai hukum, undang-undang yang diakui mengenai masalah hak-hak, sosial, ekonomi bahkan politik. Menafikan hal-hal tersebut sebagai bagian dari agama adalah hal yang tidak beralasan.

Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa seluruh aturan dan undang-undang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam setiap sisi kehidupannya harus disebutkan secara terperinci dalam teks-teks agama. Hal ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, menyangkut masalah hak-hak dalam berinteraksi. Bagian kedua, masalah-masalah ekonomi, politik, dan pemerintahan.

Pada masalah di bagian pertama, kebanyakan hukum dan undang-undang yang dibutuhkan oleh masyarakat disebutkan dalam teks-teks agama dalam bentuk umum atau parsial. Akan tetapi, hal itu pun tidak mencakup secara keseluruhan, terdapat juga permasalahan yang tidak kita jumpai kepastian hukum tentang masalah tersebut. Untuk masalah-masalah yang tidak dijangkau teks-teks agama seperti ini, kita dapat menyebutnya sebagai wilayatul faragh (ruang lingkup yang kosong dari kepastian hukum—penerj.). Dalam hal ini, hakim syar’i Islam atau masyarakat sendiri mampu mengambil keputusan sesuai dengan aturan-aturan dasar dalam syariat Islam.

Minimal dengan mempelajari teks-teks agama dan memanfaatkannya cukup memberi penjelasan mengenai masalah hukum dan undang-undang bagian kedua. Sebagian besar masalah-masalah tersebut dikembalikan pada masyarakat sehingga dapat memanfaatkan kemampuan akal dan pengalamannya. Kemudian dengan memperhatikan perkembangan pengetahuan, dinamika kehidupan, dan kemajuan teknologi serta menjaga aturan-aturan dasar syariat, masyarakat dapat menetapkan undang-undang yang paling sesuai dan terbaik lalu menerapkannya.

Pada akhirnya, segala sesuatu yang terdapat dalam teks agama mengenai hal ini dan sesuai dengan aturan-aturan dasar syariat dapat diakui dan termasuk bagian dari agama.  Menganggap hal tersebut berada di luar agama adalah sesuatu yang tidak berdasar.
Ilmu Pengetahuan Alam

Dalam teks-teks agama banyak kita jumpai penjelasan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan khasiat makanan, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, kedokteran, dan kesehatan. Terdapat juga penjelasan mengenai binatang, ilmu bumi, geometri, dan astronomi.

Masalah-masalah tersebut kendati dijelaskan melalui wahyu yang pasti atau hadis yang diakui sumber-sumbernya tetapi terlalu jauh untuk mengategorikannya sebagai bagian dari agama karena hal-hal tersebut tidak berpengaruh dan menjamin kebahagiaan akhirat manusia, kecuali agama dalam hal ini memberi penjelasan agar kita menguasainya. 
Ilmu Jiwa

Dalam teks-teks agama banyak dijelaskan mengenai permasalahan terkait dengan jiwa manusia, seperti psikologi, pendidikan dan pengajaran, sosiologi, sejarah, dan ilmu kejiwaan.

Karena mampu menjamin dan membantu kebahagiaan manusia di akhirat, hal-hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari agama. Dengan demikian, jika ditetapkan melalui wahyu dan hadis-hadis yang sumbernya sudah dapat dipastikan dari manusia-manusia yang maksum dan dari sisi makna terdapat kepastian, kita dapat bersandar pada bukti-bukti tersebut.

Namun, jika terdapat bukti akal yang pasti atau bukti naqli yang pasti yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, kita dapat menakwil makna zahir dari bukti tersebut. Adapun jika bukti tersebut sumber dan penunjukkannya masih berupa dugaan, maka bukti tersebut diakui sebatas bukti dugaan. Oleh karena itu, tidak dapat disandarkan secara pasti kepada syariat.[ ]

 


[252] Mustadrak, jil.2, hal.282.