پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

AL-QURAN

AL-QURAN

 

Kitab langit yang diturunkan oleh Allah pada Nabi Muhammad saw disebut al-Quran. Penyebutan tersebut dijelaskan di berbagai ayat, seperti Allah berfirman, Telah diwahyukan kepada al-Quran untuk memberi peringatan pada kalian dan bagi orang-orang yang sampai kepadanya (QS. al-An’am:19).

Allah berfirman, Sesungguhnya al-Quran ini memberi petunjuk pada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman… (QS. al-Isra:9).

Allah berfirman, Tidaklah al-Quran ini dinisbahkan pada selain Allah (QS. Yunus:37).

Allah berfirman, Itulah ayat-ayat kitab dan al-Quran yang jelas (QS. al-Hijr:1).

Kalimat hadzal quran (Inilah al-Quran) merupakan isyarat dan hakikat yang terbentuk berupa lafadz, kata, atau kalimat tertentu yang keluar dari lidah suci Nabi Muhammad saw dan terdengar oleh para pendengar kemudian, dengan perintah beliau, ditulis pada kertas atau pelepah kurma. Seluruhnya berasal dari hati Nabi Muhammad saw bersumber darinya [A15] yang merupakan pusat wahyu yang memancarkan pengetahuan-pengetahuan Ilahi.
Nuzulul Quran

Dari sejumlah ayat, dapat disimpulkan bahwa al-Quran diturunkan oleh Allah, seperti ayat-ayat berikut.

Sungguh Kami telah menurunkan kepadamu kitab dengan kebenaran (QS. an-Nisa:105).

Demikianlah, sesungguhnya Allah menurunkan kitab dengan kebenaran (QS. al-Baqarah:176).

Inilah kitab yang Kami turunkan sebagai keberkahan dan pembenar atas kitab-kitab sebelumnya (QS. al-An’am:92).

Dan Kami turunkan kepadamu kitab sebagai penjelas segala sesuatu, pemberi petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang Islam (QS. an-Nahl:89).

Dalam ayat-ayat tersebut dan puluhan ayat lainnya mengenai al-Kitab (al-Quran) serta perbedaan penggunaan kata inzal dan tanzil serta padanan kedua kata tersebut, dapat diketahui bahwa kedua makna tersebut bermakna ‘turun’.

Raghib menuliskan, “Kata nuzul pada dasarnya bermakna turun dari atas.”[57] Kata nuzul pada mulanya digunakan untuk turunnya benda dari tempat ketinggian ke tempat yang rendah. Namun, nuzulul quran tidaklah bermakna demikian karena Allah bukanlah jisim dan tidak bertempat sehingga maknanya seperti itu. Dengan demikian, makna nuzulul quran bermakna selain makna tersebut.

Sejumlah ayat secara zahir menunjukkan bahwa wujud al-Quran adalah yang berkata dan tertulis, didahului oleh wujud yang lebih tinggi, yakni al-Quran juga ada dalam maqam (strata) yang lebih tinggi dan dari situlah al-Quran diturunkan.

Al-Quran menjelaskan, Sesungguhnya inilah al-Quran yang mulia. Terdapat dalam kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam (QS. al-Waqi’ah:77-80).

Ayat di atas menerangkan bahwa al-Quran terdapat pada Kitab al-Maknun (kitab yang terpelihara dan tersembunyi) tetapi ayat tersebut tidak menjelaskan mengenai kitab yang terpelihara tersebut.

Pada ayat lainnya, al-Quran menerangkan, Ha Mim. Demi kitab (al-Quran) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab agar kalian berpikir. Sesungguhnya al-Quran dalam induk al-Kitab (Lauhil mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi dan banyak mengandung hikmah (QS. az-Zukhruf:1-4).

Ayat ini dengan jelas menerangkan al-Quran yang berbahasa Arab sebelumnya terdapat pada Ummul Kitab (induk al-Kitab) yang berada di sisi Allah dan memiliki banyak kandungan hikmah. Al-Quran yang berada pada induk kitab tersebutlah yang diturunkan dalam bentuk al-Quran berbahasa Arab. Namun, mengenai Ummul Kitab tidak terdapat penjelasan.

Ayat lainnya menyebutkan, Bahkan ini adalah al-Quran yang mulia. Berada pada Lauhil mahfuzh (QS. al-Buruj:21-22).

Ayat ini menerangkan al-Quran yang mulia berada di Lauhil mahfuzh. Namun, tidak menentukan di mana letak Lauhil mahfuzh.

Allah berfirman, Inilah kitab (al-Quran) yang dikukuhkan ayat-ayatnya kemudian diperinci dan berasal dari Zat Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui (QS. Hud:1).

Dari penjelasan ayat-ayat tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa al-Quran yang ada saat ini sebelumnya telah ada dan berada pada maqam yang lebih tinggi dalam bentuk nonmaterial dan tidak terperinci kemudian diturunkan secara bertahap.

Allamah Thabathaba’i ketika menafsirkan ayat-ayat tersebut menjelaskan:

Dengan memperhatikan ayat-ayat, kita dapat mengetahui bahwa al-Quran yang tertulis dan berkata serta berbahasa Arab diturunkan selama 23 tahun secara bertahap pada Nabi Muhammad saw. Al-Quran tersebut juga terdapat pada maqam yang lebih tinggi. Pada maqam tersebut, tidak terdapat perincian dan tahapan. Tidak harus berbahasa Arab atau non-Arab. Bukan termasuk makna dan mafhum-mafhum yang relatif melainkan suatu hakikat yang nyata di atas pemahaman masyarakat secara umum. Selain manusia-manusia yang disucikan oleh Allah dari segala bentuk kekotoran, tidak seorang pun yang dapat memahami dan menggapai maqam tersebut. Maqam yang tinggi dan mulia ini terkadang disebut sebagai Ummul Kitab. Allah menjelaskan, Berada di Ummul Kitab di sisi Kami pada maqam yang tinggi dan terpelihara (QS. az-Zukhruf:4). Kadang kala disebut, Bahkan ini adalah al-Quran yang mulia. Berada pada Lauhil mahfuzh (QS. al-Buruj:21-22). Juga disebut, Sesungguhnya inilah al-Quran yang mulia. Terdapat dalam kitab yang terpelihara (QS. al-Waqi’ah:77-78). Seluruh ayat-ayat tersebut menerangkan dan menggambarkan tentang suatu hakikat yang nyata. Allah menurunkan al-Quran yang terdapat pada Ummul Kitab tersebut dalam bentuk bahasa Arab, berbagai ayat, dan surah. Semua diturunkan pada hati Rasulullah sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat secara umum. Inilah yang dimaksud dengan nuzulul quran.[58] 

Akan tetapi, Shadr al-Muta`allihin atau Mulla Shadra berkenaan dengan masalah nuzulul quran menerangkan berdasarkan keberadaan perbedaan tingkatan. Beliau menjelaskan, “Al-Quran yang diturunkan adalah ayat yang berada pada alam akal di tingkatannya atau berada pada Kitab yang terpelihara. Ia merupakan bentuk keberadaan yang sesungguhnya di maqam yang lainnya. Berbentuk kata yang dapat didengar oleh indra pendengaran atau berupa tulisan yang tertera dan dapat dilihat dengan indra penglihatan pada maqam yang lainnya. Dengan demikian, hakikat al-Quran adalah satu tetapi terbentuk dalam manifestasi yang berbeda.”[59]

Pendapat Mulla Shadra perlu penjelasan lebih lanjut. Penjelasan tersebut terdapat pada kitab Asfar dan kitab-kitab lainnya. Para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam pendapat beliau dapat merujuk pada kitab-kitab yang menulis tentang masalah ini.

Oleh karena itu, kendatipun nuzulul quran bermakna diturunkannya al-Quran dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, tetapi penurunan tersebut adalah penurunan yang sesungguhnya. Mengingat penurunan tersebut adalah penurunan dari maqam yang tinggi yaitu maqam nonmaterial ke maqam yang lebih rendah yaitu material (terperinci). Dengan demikian, penggunaan kata inzal, tanzil, dan nuzul dalam ayat-ayat al-Quran adalah penggunaan hakiki bukan penggunaan majazi seperti pendapat sebagian orang.[60]

 

Kondisi Nuzulul Quran

Nuzulul quran tidak terjadi secara gradual yakni pada saat turun, al-Quran tidak hilang dari maqam aslinya yaitu maqam yang tinggi kemudian berubah menjadi perincian. Akan tetapi, penurunan al-Quran dalam bentuk manifestasi bermakna kalam Ilahi yang berada pada kemetafisikaan dan tersembunyi serta nonmaterial tersebut termanifestasikan dalam bentuk yang materi, secara terperinci, dan alami. Namun, penurunan tersebut tidak mengakibatkan hilangnya al-Quran yang terdapat pada maqam awalnya.

Al-Quran sebagai fenomena keilmuan bersumber dari ilmu yang tidak terbatas karena berasal dari Zat Yang Suci yang tidak berbatas. Hal ini dapat ditemukan dalam penurunan dan pengejawantahan sebagaimana sinar matahari yang menyinari bumi karena seluruh fenomena baik keilmuan atau bukan di alam raya ini melalui perantara atau secara langsung mendapatkan karunia dari Allah berupa keberadaannya. Dia adalah Zat Yang Sempurna dan tidak terbatas, seluruh kesempurnaan bersumber dan diturunkan dari nilai tertinggi kesempurnaan-Nya. Dia memiliki seluruh kesempurnaan keberadaan berupa ilmu atau nonilmu.

Oleh karena itu, al-Quran dalam bentuk alami berupa surah dan ayat yang telah diturunkan juga terdapat di maqam yang tinggi, tersembunyi dan terpelihara di Ummul Kitab dalam bentuk nonmaterial dan wujud yang umum. Pada maqam tersebut, tidak lagi terdapat pembicaraan mengenai ayat dan surah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, umum dan khusus, berbahasa Arab atau bukan berbahasa Arab karena pembicaraan dan pembagian semacam ini merupakan tampilan dari sisi materi dan alamiah.

Akan tetapi dalam penurunan al-Quran dari maqam-nya yang tinggi dan nonmaterial dalam bentuk kata-kata dan kalimat yang penunjukan maknanya sangat relatif terdapat sanggahan penting yang harus dijawab. Sanggahan tersebut adalah al-Quran pada maqam yang tinggi adalah suatu hakikat pengetahuan dan penciptaan yang nonmaterial. Hakikat tersebut termanifestasikan pada maqam yang lebih rendah dalam bentuk pemahaman-pemahaman dan kalimat yang menunjukkan makna tertentu yang relatif dan merupakan sebuah kesepakatan. Dalam penunjukan makna tersebut, tidak terdapat hubungan secara penciptaan. Oleh karena itu, setiap kaum dalam hal ini memiliki dan menggunakan kalimat yang beragam. Muncul satu pertanyaan, suatu hakikat pengetahuan dan penciptaan yang nyata bagaimana dapat diwakili oleh sesuatu yang relatif dan berupa kesepakatan sementara dalam penurunan sebuah hakikat, hendaknya terjadi keselarasan dan keserupaan dalam tingkatannya?

Dalam menjawab sanggahan ini, seorang ulama terkemuka Jawadi Amuli menjelaskan, “Kendati keselarasan dalam rangkaian sebab dan tingkatan suatu realitas merupakan keharusan, tetapi manusia senantiasa menurunkan suatu hakikat yang logis dari sumber akal menuju alam perumpamaan. Kemudian, dari alam tersebut diterapkan pada alam materi dalam bentuk perbuatan atau ucapan yang relatif. Seluruh analisis pengetahuan mengenai hakikat pengetahuan yang nonmaterial dipaparkan melalui ucapan atau tulisan. Bentuk penurunan seperti inilah yang terjadi pada sebuah realitas logis yang ada dan terbungkus dalam pakaian relatif. Salah satu keistimewaan manusia mampu memiliki nilai persamaan antara realitas penciptaan dan ungkapan yang relatif, baik dalam lingkaran penurunan sebagaimana yang telah diterangkan maupun dalam lingkaran peningkatan yang selamanya terkait dengan hal yang relatif, seperti melalui jalan membaca, mendengar yang merupakan realitas yang ada dalam benak manusia yang menuju pada masalah-masalah penciptaan. Dari kondisi tersebut beralih pada alam akal manusia melalui hal yang relatif dan sampai pada realitas penciptaan.

Mungkin, proses penurunan wahyu dari maqam-nya yang tinggi dan nonmaterial pada alam materi dan relatif melalui jalan tersebut. Mengingat keselarasan yang terjadi antara alam penciptaan dan relativitas. Penjelasan mengenai hal tersebut, seperti pembicaraan Allah, penulisan wahyu, dan masalah-masalah yang dibahas berasal dari nama-nama perbuatan Allah bukan dari nama-nama yang terkait dengan Zat Allah. Perbuatan Allah dalam proses penurunan kalam-Nya, penurunan kitab-Nya terkait erat antara penciptaan dan relativitas. Perbuatan demikian adalah perbuatan yang khusus bagi Zat Allah Swt. Tidak ada satu keberadaan pun yang mampu menciptakan kaitan yang sangat erat dalam dua perbuatan tersebut.

Allah berfirman, Sesungguhnya Kami jadikan al-Quran dalam bahasa Arab agar kalian berpikir. Sesungguhnya al-Quran berada pada Ummul Kitab di sisi Kami, berada pada tingkat yang tinggi dan banyak mengandung hikmah (QS. az-Zukhruf:3-4). Sebagaimana penciptaan hakikat wahyu Ilahi di sisi Zat Yang Haq sebagai perbuatan yang tinggi dan banyak mengandung hikmah adalah perbuatan Allah, penurunan hakikat tersebut dalam tampilan berbahasa Arab yang fasih pun adalah perbuatan Allah bukan bermakna bahwa hanya makna kalam Ilahi saja yang diturunkan pada hati Nabi Muhammad saw. Kemudian, beliaulah yang memilih untuk menampilkan hakikat pengetahuan tersebut dalam tampilan bahasa dan kalimat tertentu. Jika demikian, maka kalimat-kalimat yang ada pada al-Quran tidak memiliki nilai mukjizat. [A16]

Setelah selesai pembahasan dan penetapan bahwa dua perbuatan tersebut adalah perbuatan Allah, kami mengatakan, “Perjalanan proses yang semestinya dalam kaitan antara penciptaan dan alam relativitas hanya dimungkinkan terjadi pada hati Nabi Muhammad saw karena ruh beliau yang suci terbebas dari segala bentuk keterkaitan dengan selain Zat Yang Haq, berupaya melakukan pendekatan diri dengan jalan melaksanakan kewajiban sebagaimana melaksanakan anjuran-anjuran, menjadi pemahaman, dan manifestasi dari pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan Allah. Dari situ, muncul kesamaan antara hakikat penciptaan yang diturunkan sebagai manifestasi dengan bentuk ungkapan-ungkapan yang relatif. Sebagaimana masalah-masalah dalam alam penciptaan terjadi peningkatan spiritual, melalui masalah-masalah pengungkapan dalam alam materi pun terjadi peningkatan dan perjalanan spiritual. Andaikan terdapat jalan lainnya, maka jiwa suci seperti jiwa Nabi Muhammad saw sebagai manifestasi dari kesamaan nilai alam penciptaan dan alam pengungkapan yang relatif, mungkin jalan tersebut dapat menjadi jalan pemecahan lainnya.”[61]

Dalam menyelesaikan permasalahan mengenai hubungan antara masalah penciptaan dan masalah relativitas ungkapan, beliau berupaya menyelesaikannya melalui jiwa Nabi Muhammad saw yang suci dan terbebas dari keterkaitan dengan selain Zat Yang Haq, juga melalui kedekatan kewajiban dan anjuran. Dari satu sisi, jiwa suci Rasulullah saw ditampilkan sebagai pengungkap terjadinya penurunan hakikat logis yang tercipta menuju maqam pemahaman yang relatif. Begitu pula pemahaman-pemahaman yang relatif mengalami peningkatan menuju maqam alam akal. Pada sisi lainnya, kedekatan pemahaman yang relatif yang ada pada diri Rasul sebagai manifestasi dari pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan Allah. Kesimpulannya, kata atau kalimat al-Quran yang terungkap melalui bahasa dari Nabi Muhammad saw dinisbahkan pada Allah dan Dialah yang berbicara.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, terdapat penjelasan lainnya yaitu Allah dalam tahap terakhir penurunan al-Quran, menurunkan kalam nafsani kata dan kalimat tersebut dalam bahasa Arab lalu diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad saw, mengingat Nabi Muhammad saw sebelumnya dengan jalan peletakan mengenal pemahaman kata-kata tersebut. Melalui jalan ini, beliau mengenal makna-makna dari kata dan kalimat dan melalui cara inilah beliau menerima wahyu Ilahi. Kemudian, Nabi Muhammad saw menyampaikan kalimat khusus al-Quran tersebut dalam bahasa yang sesuai dengan kata dan kalimat nafsani al-Quran. Dengan demikian, al-Quran dapat disebut sebagai kalam Allah dan dapat menjadi mukjizat.

Dengan memperhatikan bahwa kata dan kalimat yang telah diwahyukan merupakan hakikat penciptaan, kendati ungkapan-ungkapannya adalah relatif, hubungan antara masalah penciptaan dan relativitas ungkapan dalam tataran penurunan dapat terselesaikan. Akhirnya, permasalahan ini adalah permasalahan yang sangat rumit. Hanya Allah yang mengetahui hakikat setiap permasalahan.

Hanya Berupa Makna atau Berbarengan dengan Kata?

Al-Quran adalah kata dan kalimat serta susunan kalimat tertentu dalam bahasa Arab yang menunjukkan makna tertentu, yakni sesuatu yang memiliki makna khusus dalam bentuk kata tertentu disebut al-Quran. Jelas bahwa kata dan kalimat khusus tersebut adalah termasuk hal yang nyata dan hakiki. Kendatipun demikian, makna yang ditunjukkan oleh kata dan kalimat tersebut adalah relatif.

Muncul satu permasalahan dan pertanyaan, apakah al-Quran yang diturunkan pada hati Nabi hanya berupa makna dan beliau yang membentuk dalam susunan kata dan kalimat berbahasa Arab? Ataukah selain makna, kata dan kalimat yang ada pada al-Quran juga ciptaan Allah dan bersumber dari-Nya?

Dalam masalah ini, terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan sebagian besar ulama menerima kemungkinan kedua, yakni al-Quran diturunkan dengan kata dan maknanya sekaligus.

Zarqani mengatakan, “Sesuatu yang diturunkan Jibril pada Nabi Muhammad saw adalah kata al-Quran dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas. Kata tersebut adalah kalam Allah, tidak ada campur tangan baik dari Jibril maupun Muhammad dalam penentuan kata maupun penyusunannya. Allah yang menentukan dan menyusun setiap kata dalam al-Quran. Berdasarkan hal inilah mengapa al-Quran disebut sebagai kalam Allah. Kendati, Jibril dan Muhammad serta jutaan umat manusia setelah itu membaca al-Quran dalam bahasa, Allah yang menentukan dan menyusun kata dan kalimat al-Quran sesuai dengan wujud nafsani-nya dan menampilkannya dalam bahasa sebagaimana kita menentukan dan menyusun rangkaian kata dan kalimat kemudian kita tampilkan sesuai dengan kehendak hati kita. Ringkasnya, kalam (pembicaraan) tidak mungkin disandarkan pada seseorang kecuali pada manusia yang menyusunnya pertama kali dalam dirinya dan menyampaikannya sesuai dengan hal tersebut. Berdasarkan hal ini, tidak benar jika kita mengatakan bahwa al-Quran adalah kalam Jibril atau Muhammad. Jibril hanya menyampaikan dan menukil kata-kata dalam al-Quran pada Rasulullah saw lalu beliau menghafal dan menyampaikannya, lalu menafsirkan, menerapkan, dan melaksanakannya saja serta tidak melakukan hal-hal lainnya.

Al-Quran menerangkan, Dan sesungguhnya kamu mendapatkan al-Quran dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui (QS. an-Naml:6).                

Dalam ayat lainnya dijelaskan, Jika dibacakan pada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, berkata orang-orang yang tidak mengharapkan perjumpaan dengan Kami, “Datangkan al-Quran selain ini atau gantilah dengan lainnya.” Katakan, “Tidaklah aku mengubahnya berdasarkan keinginanku. Aku hanya mengikuti apa yang telah diwahyukan kepadaku. Sungguh jika aku bermaksiat pada Tuhanku, aku takut pada siksa-Nya di hari yang besar.” (QS. Yunus:15).

Dari penjelasan kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa kata dan kalimat yang ada dalam al-Quran diturunkan dari sisi Allah. Andaikan kata dan kalimat al-Quran tidak berasal dari Allah, bagaimana mungkin al-Quran dapat dijadikan sebagai mukjizat? Kalam (ucapan) Nabi Muhammad saw bukanlah mukjizat. Jika kata dalam al-Quran bukan berasal dari Allah, bagaimana mungkin al-Quran disandarkan kepada-Nya? Sementara itu, dalam al-Quran sendiri disebutkan, Jika seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah sehingga dia mendengar kalam Allah (QS. at-Taubah:6). Pada dasarnya, munculnya kata dan kalimat al-Quran berasal dari Allah. Hal ini adalah sesuatu yang disepakati di kalangan umat Islam.”[62]

Selain penjelasan tersebut, al-Quran juga menyebutkan, Kami jadikan al-Quran berbahasa Arab agar kalian memikirkannya. Sesungguhnya al-Quran berada di Ummul Kitab (induk Kitab) di sisi Kami, Yang Mahatinggi dan Mahabijaksana (QS. az-Zukhruf:3-4).

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa Allah yang menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab. Dengan demikian, kata dan kalimat yang ada di dalam al-Quran jelas berasal dari Allah.

Akan tetapi, permasalahan tersebut juga mendapat sanggahan. Mungkin mengenai nuzulul quran seseorang mengatakan, “Ketika diwahyukan, makna al-Quran diturunkan pada hati Nabi Muhammad saw yang mulia. Kemudian beliau menampilkan makna yang tinggi tersebut ke dalam kata dan kalimat yang khusus dalam suatu bahasa sehingga dapat terdengar oleh pendengaran manusia.”

Untuk menjawab sanggahan tersebut, dapat dipertanyakan jika kata dan kalimat dalam al-Quran adalah buatan Nabi Muhammad saw, bagaimana mungkin al-Quran disebut sebagai mukjizat? Mungkin saja ada seseorang yang menyatakan bahwa kata dan kalimat al-Quran adalah buatan Nabi, tetapi tidak seorang pun mampu menyamai dan membuat sesuatu yang serupa dengan al-Quran. Sedemikian rupa Allah memberikan kemampuan mukjizat pada diri Rasulullah saw.

Atas jawaban sanggahan tersebut, dapat pula dibantah dengan ayat al-Quran yang menyatakan, Sungguh Kami jadikan al-Quran berbahasa Arab agar kalian memikirkannya. Mereka menyatakan bahwa makna al-Quran diturunkan pada hati Nabi Muhammad saw. Kemudian, Nabi dengan kekuatan yang luar biasa yang bersumber dari Allah menampilkan kata dan kalimat al-Quran dalam bentuk mukjizat. Berdasarkan hal inilah, bahasa Arab al-Quran disandarkan pada Allah.

Pada akhirnya, makna al-Quran yang tinggi diturunkan oleh Allah ke dalam hati Nabi Muhammad saw dan dengan penguatan yang luar biasa dari Allah ditampilkan dalam bentuk kata dan kalimat serta susunan yang khusus adalah kalam Allah dan disandarkan kepada-Nya. [A17]

Pendapat kedua, sejumlah ulama teologi meyakini bahwa hanya makna al-Quran yang diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad saw. Adapun kata dan kalimat al-Quran adalah karya Nabi Muhammad saw. Dalam kitab Falsafah Ilmu Kalam disebutkan, “Sebagian menyatakan bahwa sesuatu yang diturunkan Jibril ke dalam hati Nabi Muhammad saw hanyalah makna. Nabi Muhammad saw yang membungkus makna tersebut dengan kata dan kalimat. Pendapat seperti ini, sepengetahuan kami adalah pandangan Ibnu Kallab, Wasiat, Nasafi dan Taftazani. Sebagian lainnya menyatakan, Jibril yang membungkus makna dari Allah dengan kata dan kalimat. Ini adalah pendapat para pendukung Asy’ari.”[63]

Mengenai pembenaran pendapat ini dijelaskan bahwa pada satu sisi, tidak diragukan bahwa kata dan susunan kalimat al-Quran keluar dalam bentuk bahasa dari diri Rasulullah saw dan melalui hal inilah al-Quran sampai ke telinga masyarakat. Dengan demikian, jelas bahwa hal itu adalah perbuatan dan ciptaan Nabi sebagaimana ucapan dan perbuatan Nabi lainnya seperti makan, minum, berjalan, dan bekerja. Oleh karena itu, hendaknya dinyatakan bahwa sesuatu yang diwahyukan ke dalam hati Rasulullah saw hanyalah makna dari ayat al-Quran. Beliaulah yang membentuk dalam kata dan kalimat yang khusus sehingga sampai pada pendengaran masyarakat.

Kemungkinan seperti ini juga tidak lepas dari sanggahan. Mengingat mayoritas umat Islam dalam hal ini bersepakat bahwa al-Quran berasal dari Allah dan tidak hanya berupa makna dan mafhum saja. Akan tetapi, berbarengan dengan kata dan kalimatnya. Bahkan, al-Quran dinyatakan sebagai makna yang terbungkus dalam kata dan kalimat khusus. Umat Islam sejak awal memahami nuzulul quran yang demikian. Rasulullah saw sendiri menyatakan bahwa makna al-Quran dalam bentuk kata dan kalimat serta susunan yang khusus inilah yang diwahyukan kepadanya.

Pendapat ketiga, kemungkinan lainnya adalah al-Quran yang diturunkan berupa makna yang dibarengi dengan kata dan kalimat. Akan tetapi, bukan kata dan kalimat yang diucapkan dengan bahasa, melainkan kata dan kalimat nafsani. Dengan penjelasan bahwa setiap manusia yang berbicara mengenal kata dan kalimat yang digunakan, dia merasakan keberadaan wujud kata dan kalimat tersebut dalam dirinya. Ketika berbicara, dia memperbantukan kata dan kalimat tersebut dan menggunakannya sesuai dengan dirinya. Kami menyebut kata dan kalimat tersebut sebagai kalam nafsani. Akan tetapi, terciptanya hal tersebut bersumber dari mendengar dari orang lain atau membaca tulisan.

Para nabi juga mengenal kata dan kalimat melalui interaksi dengan masyarakat. Dengan jalan ini, mereka mengetahui kalam nafsi yang ada pada diri mereka. Tentunya setiap nabi mengenal bahasa yang digunakan dalam masyarakatnya sehingga ketika mendengar pembicaraan orang, langsung memahami dan tertuju pada makna dan maksud pembicaraan tersebut. Adapun mendengar dan membaca bukanlah satu-satunya cara, mungkin juga dapat dihasilkan melalui cara lainnya.

Mengenai masalah wahyu mungkin dikatakan bahwa Allah telah menempatkan, baik dengan perantara atau tanpa perantara, kata dan kalimat atau ungkapan dalam al-Quran pada hati Rasulullah saw dan beliau dengan pendengaran dan sepenuh hati mendengar dan memahami makna al-Quran yang tinggi. Inilah yang disebut dengan kalam nafsani yang menjadi sumber pembicaraan Rasulullah saw dan disampaikan sesuai dengannya.

Kata dan kalimat ini, kendati penunjukannya terhadap makna adalah relatif, tetapi keduanya adalah hakikat nyata yang melalui perantara wahyu berada di hati Nabi Muhammad saw. Ucapan dan pembicaraan Rasulullah saw bersumber dari hal tersebut.

Oleh karena itu, sebagaimana makna al-Quran yang berasal dari Allah dan diletakkan pada hati Nabi Muhammad saw, kata dan kalimatnya pun bersumber dari Allah. Kesimpulannya, Allah Zat Yang Mahasuci yang menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab sebagaimana ditegaskan al-Quran, Sungguh Kami jadikan al-Quran berbahasa Arab agar kalian memikirkannya. Mengingat bahwa kata dan kalimat al-Quran merupakan ciptaan Allah, oleh karenanya tidak ada masalah mengenai kemukjizatan al-Quran. Objek pembahasan seperti itulah yang diinginkan menurut umum masyarakat beragama. Pada akhirnya, masalah ini adalah masalah yang rumit. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.

Kitab

Kitab bermakna sesuatu yang ditulis yakni sesuatu yang terkumpulkan. Disebut sebagai kitab karena mencakup tulisan dan goresan yang memiliki makna. Huruf dan garis sebelumnya ditetapkan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat untuk menunjukkan makna tertentu dan diterima oleh yang lainnya sehingga ketika seseorang membaca garis-garis tersebut, dia langsung memahami dan mengetahui maksud yang diinginkan oleh sang penulis. Secara istilah, kitab adalah tulisan dan goresan yang tertulis pada lembaran-lembaran. Namun, ia sedemikian rupa memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan makna sampai-sampai pembaca meyakininya sebagai satu hal.

Raghib menjelaskan, “Kitab dalam pandangan umum masyarakat adalah gabungan beberapa huruf dengan perantara tulisan. Terkadang kata kitab ditujukan pada gabungan beberapa huruf melalui perantara kata. Karena itu, dasar dari penulisan adalah keteraturan dalam goresan. Namun, kalam dan kitab terkadang digunakan untuk satu hal yang sama. Oleh sebab itu, kalam Allah biasa disebut juga dengan kitab, kendati tidak tertulis.”[64]

Para nabi dan utusan Allah yang mendapatkan wahyu dari Allah mencatat dan menuliskannya dalam lembaran-lembaran sehingga terjaga bagi para pengikut mereka. Tulisan dan catatan tersebut terhitung sebagai kitab langit.

Sebagian dari para nabi memiliki kitab dan sebagian lainnya memiliki kitab langit yang tidak jelas secara terperinci. Akan tetapi, Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadisnya menerangkan, “Seratus empat kitab telah diturunkan oleh Allah kepada nabi-nabi-Nya. Lima puluh kitab diberikan pada Nabi Syits, tiga puluh kitab diberikan pada Nabi Idris, dua puluh kitab diberikan pada Nabi Ibrahim, kitab Taurat diberikan pada Nabi Musa, Injil diberikan pada Nabi Isa, Zabur diberikan pada Nabi Daud, dan al-Quran.”[65]

Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa jumlah kitab langit adalah sebanyak seratus empat kitab yang diturunkan pada tujuh orang nabi. Namun, sebagian ayat al-Quran menerangkan bahwa sebagian nabi lainnya juga memiliki kitab, seperti Nabi Yahya as. Al-Quran menerangkan, “Wahai Yahya ambillah kitab dengan penuh kekuatan dan Kami berikan hukum padanya saat dia masih kecil.” (QS. Maryam:12).

Pada ayat lainnya disebutkan bahwa setelah menyebutkan satu per satu dari Nabi Ibrahim, Ishaq, Yaqub, Daud, Sulaiman, Ayub, Musa, Harun, Zakariya, Yahya, Isa, Ilyas, Ismail, Yusa’, Yunus, dan Luth, al-Quran menegaskan, Mereka adalah orang-orang yang diberikan pada mereka kitab, hukum, dan kenabian (QS. al-An’am:89).

Dari penjelasan zahir sebagian ayat al-Quran menerangkan bahwa seluruh rasul memiliki kitab. Al-Quran menjelaskan, Sungguh Kami telah mengutus utusan-utusan Kami dengan bukti-bukti dan Kami turunkan pada mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia mampu menegakkan keadilan (QS. al-Hadid:25).

Salah satu kitab langit adalah al-Quran yang diturunkan selama dua puluh tiga tahun secara bertahap pada Rasulullah saw. Kumpulan-kumpulan ayat dijaga dan ditulis dalam lembaran-lembaran atas perintah Rasulullah saw. Pada saat itu, ayat-ayat al-Quran dikumpulkan dari berbagai lembaran lalu ditulis dalam satu kitab yang disebut al-Quran.

Turunnya Kitab

Berbagai ayat menerangkan bahwa al-Quran dikenalkan sebagai kitab. Sebagai contoh, Allah berfirman, Itulah kitab (al-Quran) yang tidak ada keraguan di dalamnya dan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah:2).      

Allah berfirman, Itulah ayat-ayat al-Quran dan kitab yang memberi penjelasan (QS. an-Naml:1).

Banyak sekali ayat yang menerangkan kata nuzul, inzal dan tanzil dinisbahkan pada kitab. Sebagai contoh, Allah berfirman, Sungguh Kami telah menurunkan kepadamu kitab dengan kebenaran (QS. an-Nisa:105).

Allah berfirman, Yang demikian adalah karena Allah menurunkan kitab dengan membawa kebenaran (QS. al-Baqarah:176).

Allah berfirman, Inilah kitab yang telah Kami turunkan yang membawa berkah dan membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya (QS. al-An’am:92).

Allah berfirman, Dan Kami telah turunkan kepadamu kitab sebagai penjelas segala sesuatu, pemberi petunjuk, dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang Muslim (QS. an-Nahl:89).

Dari beberapa contoh ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kitab bagaikan al-Quran yang diturunkan dari maqam yang tinggi.

Muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan kitab? Bagaimana kitab diturunkan? Secara bahasa dan umum masyarakat, kitab adalah sekumpulan tulisan dan catatan khusus yang tercatat dalam lembaran-lembaran dan sesuai dengan peletakan atau kesepakatan menunjukkan makna tertentu. Al-Quran yang mulia berdasarkan hal ini juga disebut sebagai kitab. Nabi Muhammad saw membacakan ayat-ayat yang turun pada para penulis wahyu dan mereka berdasarkan perintah dari Rasul mencatat ayat-ayat tersebut dalam lembaran-lembaran. Kemudian, Rasulullah memerintahkan mereka untuk menjaga lembaran-lembaran tersebut agar tetap terjaga bagi umat. Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat menyatukan lembaran-lembaran tersebut dalam satu kitab yang tersusun. Kitab tersebut adalah kitab al-Quran yang kini berada di tangan umat Islam.

Oleh karena itu, kitab al-Quran pada masa Rasulullah saw adalah hasil tulisan para penulis wahyu dan di masa sekarang adalah hasil cetakan penerbit dan percetakan. Jika yang dimaksudkan dari kitab adalah seperti ini, maka penurunannya dari maqam yang tinggi tidaklah berarti karena kitab tersebut tidak tersusun sebelumnya di suatu tempat tertentu sehingga Jibril secara bertahap atau sekaligus menurunkannya pada Nabi Muhammad saw.

Kemungkinan lainnya adalah bahwa kitab ini adalah sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah saw, yakni suara dan huruf dalam bahasa Arab yang diucapkan oleh mulut suci Rasulullah saw yang terbentuk di udara dan, dengan jalan ini, sampai ke pendengaran para penulis wahyu. Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Shadrul Muta’allihin, Mulla Shadra. Beliau menjelaskan, “Dapat dikatakan bahwa kalam dan kitab secara hakiki adalah satu hal yang sama tetapi diungkap dalam ungkapan yang beragam. Antara kata dan kalimat terdapat dua korelasi. Pertama terhadap pelaku dan sumber, korelasi berikutnya terhadap potensi dan objek. Dalam ungkapan pertama, termasuk dalam kalam sementara dalam ungkapan kedua, disebut sebagai kitab.”[66]        

Namun, kemungkinan ini pun masih mendapatkan sanggahan. Pertama, hal tersebut bertentangan dengan makna secara bahasa. Kitab secara bahasa bermakna tulisan atau catatan yang tersusun bukan pembicaraan yang terucap. Kedua, anggaplah kitab bermakna pembicaraan yang terucap tetapi hal itu tidak menyelesaikan permasalahan karena pembicaraan yang terucap dari Rasulullah saw adalah perbuatan dan ciptaan dirinya bukan turun dari maqam yang lebih tinggi.

Kemungkinan lainnya adalah kitab bermakna catatan atau tulisan yang tersusun yang pada masa Rasulullah saw tersusun dalam lembaran-lembaran yang belum tertata rapi dan tertulis dengan tata cara penulisan zaman itu. Kemudian, tertulis dalam kertas dan terkadang dengan huruf yang berbeda atau mungkin tercetak. Naskah-naskah tersebut tersebar di kalangan umat Islam. Yang dimaksudkan dengan penurunan kitab adalah turunnya sumber kitab yaitu kalam dan kata-kata nafsi yang diturunkan pada hati Nabi Muhammad saw. Dijelaskan bahwa andaikan kitab adalah hasil karya manusia dan tidak mungkin diturunkan dari Allah secara hakikat, hendaknya kita mengatakan bahwa sumber tersebut yang diwahyukan pada hati Nabi Muhammad adalah penurunan yang hakiki. Dengan ungkapan ini, terhadap kitab yang tersusun pun hendaknya terjadi penurunan yang hakiki. Dengan demikian, dapat disebut sebagai kitab Allah atau kalam Allah.

Untuk penjelasan lebih lanjut dijelaskan ketika seseorang mengarang sebuah kitab secara langsung atau mendiktekannya dan seseorang menulisnya atau dirinya sendiri yang menulis dan disusun pada satu tempat kemudian dicetak dan diperbanyak, kitab tersebut disandarkan pada penulis karena materi yang tersusun bersumber dari penulis.

Berkenaan dengan hal tersebut, kitab Allah juga seperti itu karena materi yang terdapat di dalamnya dalam bentuk kata maupun kalimat berasal dari Allah yang diturunkan dan diwahyukan pada hati Nabi Muhammad saw sementara tulisan dan catatan yang tertera sebagai alamat dan tanda-tandanya. Oleh karena itu disebut sebagai kalam Allah dan kitab Allah. Hanya Allah yang mengetahui hakikat setiap permasalahan.

[57] Al-Mufradat fi Gharib al-Quran.
[58] Al-Mizan, jil.2, hal.12-16, jil.18, hal.82-88, jil.13, hal.140-141.
[59] Asfar, jil.7, hal.30. 
[60] Manahil al-Irfan, jil.1, hal.34.
[61] Wahy wa Rahbari, hal.76-78.
[62] Manahil al-Irfan, jil.1, hal.41-42. 
[63] Falsafah Ilmu Kalam, hal.312-313.
[64] Al-Mufradat fi Gharib al-Quran, kata کَتَبَ
[65] Bihar, jil.11, hal.32. 
[66] Al-Asfar al-Arba’ah, juz 2, bagian ketiga, hal.10-11.