پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

KALAM ALLAH

KALAM ALLAH

Pembahasan mengenai kalamullah (firman Allah) merupakan salah satu pembahasan klasik dan banyak menimbulkan permasalahan dalam teologi. Ia selalu menjadi pembahasan sepanjang sejarah di antara para pengikut ajaran-ajaran langit khususnya umat Islam. Dengan memperhatikan bahwa wahyu adalah satu bentuk pengalaman spiritual batin yang terjadi antara Tuhan atau malaikat pembawa wahyu dengan para nabi berupa satu bentuk pembicaraan dan dengan mengenal bentuk pembicaraan tersebut, itu sangat berpengaruh dalam memahami wahyu secara lebih baik. Berdasarkan hal ini, perlu kiranya kita membahas terlebih dahulu mengenai kalam Ilahi.
Kalam Allah

Di kalangan pemeluk ajaran-ajaran agama langit, berfirmannya Allah Swt merupakan satu permasalahan yang pasti dan disepakati. Para utusan-Nya mengklaim bahwa Allah berbicara dengan mereka dan menyampaikan pesan-pesan-Nya kepada masyarakat. Para pengikut utusan-utusan tersebut juga menerima pengakuan para rasul. Syekh Thusi menjelaskan, “Berfirmannya Allah Swt merupakan hal yang disepakati di kalangan umat Islam.”[16]

Qadhi ‘Adhuddin menerangkan, “Para utusan Allah bersepakat bahwa Allah Swt berfirman.”[17] Sayid Ismail Thabarsi dalam tulisannya menyebutkan, “Seluruh umat Islam bahkan penganut ajaran agama-agama langit sependapat bahwa Tuhan berfirman.”[18]

Mulla Shadra menjelaskan, “Seluruh penganut ajaran agama-agama langit sepakat mengenai berfirmannya Allah Swt. Karena mereka mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk berbuat sesuatu dan melarang berbuat sesuatu. Perintah dan larangan merupakan bagian dari pembicaraan.”[19]

Al-Quran juga menyebutkan berbagai ayat yang menisbahkan adanya pembicaraan kepada Allah Swt. Sebagai contoh, al-Quran menyebutkan, Kami telah kisahkan kepadamu mengenai sebagian rasul sebelumnya dan sebagian lainnya belum Kami ceritakan kepadamu. Sungguh Allah berbicara dengan Musa dalam satu pembicaraan (QS. an-Nisa:164).

Ayat lainnya menerangkan, Mereka adalah para rasul. Kami mengutamakan sebagian di antara mereka dari sebagian lainnya. Di antara mereka ada yang berbicara dengan Allah dan Allah meninggikan derajat sebagian mereka… (QS. al-Baqarah:253).

Allah Swt berfirman, Tidaklah Allah berbicara dengan manusia kecuali dalam bentuk wahyu, di balik tirai, atau mengutus utusan lalu mewahyukan dengan izin-Nya sesuai dengan yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi dan Mahabijaksana (QS. asy-Syura:51).

Selain ayat-ayat tersebut di atas, terdapat pula puluhan hadis yang menerangkan tentang berfirmannya Allah Swt. Kata (Qaul) [A3] dan kata sejenisnya yang digunakan di berbagai ayat dinisbahkan kepada Allah. Kata tersebut bermakna ucapan dan dengan kata lain berarti berbicara. Begitu pula kata perintah dan larangan atau kata-kata sejenisnya yang terdapat dalam puluhan ayat al-Quran merupakan tampilan dari sebuah pembicaraan. Oleh karena itu, berbicaranya Allah dengan para nabi-Nya merupakan kepastian dan terhitung sebagai kebenaran para nabi serta termasuk dalam ajaran-ajaran langit yang tidak dapat diragukan.
Objek-objek Penggunaan Kalam      

Kata kalam digunakan di berbagai penggunaan. Dengan mempelajari penggunaan tersebut, dapat membantu memahaminya dengan baik.


Kalam Malfudz (Kata Terucap)

Suara atau huruf yang keluar dari mulut manusia yang menunjukkan makna tertentu disebut dengan kalam. Penunjukan kata terhadap makna tertentu adalah penunjukan yang bukan sesungguhnya melainkan disebabkan peletakan seseorang atau kesepakatan sosial. Berdasarkan hal ini, berbagai kaum dan bangsa berbicara dengan bahasa yang beragam. Pembicara dengan perantara kata dan bahasa mengeluarkan gelombang suara yang sebelumnya telah ditetapkan oleh penentu untuk menunjukkan makna tertentu dan hal itu diterima oleh orang lain. Melalui perantara ini pembicara menyampaikan maksud dan pemikirannya. Oleh karena itu, pembicaraan termasuk dalam sebuah kondisi pendengaran.

Pembicaraan yang terucap terjadi di udara dan terbentuk secara bertahap. Setiap kata atau kalimat didahului oleh ketiadaan. Oleh karena itu, kalam adalah sesuatu yang hadits (baru).

Pembicaraan dalam bentuk seperti ini bukanlah sifat dari pembicara. Akan tetapi, merupakan hal yang terjadi di udara dan merupakan akibat serta sesuatu yang dihasilkan oleh pembicara. Keberadaan pembicaraan muncul dari pembicara. Pembicaraan seperti pembunuhan dan pemukulan bukan terjadinya penyatuan seperti ilmu dan kekuatan atau hitam dan putih[A4] . Pembicara adalah seseorang yang memunculkan pembicaraan bukan berada dalam pembicaraan.


Kalam Nafsi

Terkadang pembicaraan juga dimutlakkan untuk kalam nafsi. Kalam nafsi adalah makna atau pemahaman dan bentuk gambaran dari sesuatu yang terucap yang ada dalam benak pembicara. Bentuk kalam seperti ini dimunculkan oleh Asya’irah yang memberi penjelasan mengenai hal tersebut seperti ini. Sebelum berbicara dan saat berbicara, mutakallim memiliki makna dan pemahaman serta gambaran tertentu dalam benaknya. Dengan runtunan tersebut dia menciptakan hal tersebut. Melalui perantara tersebut, mutakallim  (pembicara) menyampaikan apa yang ada dalam dirinya. Makna dan pemahaman yang terdapat dalam benak pembicara itulah yang disebut kalam nafsi.

Pendapat Asya’irah ini mendapat sanggahan bahwa tashawur (gambaran) dan tashdiq (kenyataan) terdapat dalam benak dan termasuk pengetahuan dalam diri manusia. Kita tidak memiliki selain pengetahuan sehingga kita menyebutnya sebagai kalam nafsi.

Asya’irah menjawab, “Kalimat-kalimat yang tersusun dalam benak bukanlah pengetahuan karena terkadang manusia menyampaikan sesuatu yang dia tidak mengetahui hal tersebut. Bahkan, terkadang menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan pengetahuannya. Dengan demikian, kalam nafsi itu ada…”

Kalam nafsi, bukanlah iradat (keinginan) dan bukan pula keengganan karena pembicara terkadang memerintahkan sesuatu yang tidak bertujuan untuk direalisasikan. Akan tetapi, ia bertujuan untuk menguji orang yang diperintahkan tersebut. Terkadang pula melarang sesuatu tetapi mengerjakan hal tersebut tidak menimbulkan keengganan pada dirinya. Oleh karena itu, kalam nafsi tidak termasuk ilmu, iradat, atau keengganan. Akan tetapi, sesuatu yang lain setelah terkait dengan objek dalam bentuk pemberitahuan, perintah, larangan, pertanyaan, seruan, dan lain-lain.”[20]

Asya’irah menyatakan kalam yang sesungguhnya adalah kalam nafsi. Berkenaan dengan masalah kalam Allah pun, mereka menyelesaikannya dengan cara demikian. Asya’irah meyakini bahwa kalam nafsi adalah qadim (dahulu) dan termasuk sifat dan terdapat dalam Zat Allah Swt.

Adapun Imamiyah dan Muktazilah menilai bahwa kalam nafsi adalah sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal. Ketika menolak hal tersebut, mereka mengatakan, “Pertama, menurut pandangan umum dan secara bahasa bahwa kalam (pembicaraan) yang sesungguhnya adalah suara dan huruf-huruf yang diucapkan dan dibentuk oleh mutakallim  (pembicara) di udara. Bukan makna, pemahaman, atau gambaran tertentu yang ada dalam benak pembicara. Kedua, makna atau pemahaman atau kalimat yang terwujud dalam benak pembicara tidak lain merupakan bagian dari pengetahuan dalam bentuk gambaran atau kenyataan. Pembicara pada saat berbicara menggambarkan sesuatu tersebut dan membicarakannya sesuai dengannya. Gambaran seperti ini, terkadang sesuai dengan kenyataan benak pembicara, terkadang pula tidak sesuai. Mengenai masalah pembicara menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinannya, dia juga tetap menggambarkan kalimat-kalimat tersebut kendatipun bertentangan dengan keyakinan hatinya. Berkenaan dengan perintah atau larangan dalam bentuk ujian, hal ini meskipun tidak sungguh menginginkan terealisirnya hal tersebut atau tidak bersungguh-sungguh membenci larangan tersebut, juga tetap menggambarkan kalimat perintah dan larangan dalam benaknya. Oleh karena itu, kami meyakini bahwa tidak ada sesuatu dalam benak mutakallim  kecuali pengetahuan dalam bentuk gambaran atau kenyataan sehingga termasuk dalam pembicaraan.”[21]

Qausyaji berkenaan dengan kalam nafsi menulis, “Kalam nafsi tidak lain adalah gambaran yang ditujukan dari kata yang terucap dan sesuatu yang dihasilkan dalam benak pembicara.”[22]


Kemampuan Berbicara dan Membentuk Ucapan

Sebagian para pemikir Islam menyebutkan pula dua makna lainnya untuk kalam. Pertama, sumber pembicaraan pada diri pembicara yaitu kemampuan untuk berbicara. Kedua, sifat pembicaraan atau pembentukan huruf dan kalimat.

Mulla Abdullah Zanuzi menerangkan, “Terkadang yang dimaksudkan dari kalam adalah huruf atau kalimat itu sendiri. Makna seperti ini adalah makna yang umum dan tersebar mengenai kata kalam. Terkadang yang dimaksudkan dengan kalam adalah keberadaan seseorang tentang sesuatu yang muncul darinya huruf dan kalimat. Terkadang pula yang dimaksudkan adalah pembicaraan itu sendiri. Yakni, sekadar memunculkan huruf dan kalimat terlepas dari kata kalam bermakna pertama dalam strata pelaksanaan dan pengaruhnya. Namun, tidak termasuk di antara sifat pembicara. Kalam dalam makna kedua termasuk karakter sesungguhnya dan sifat dzati. Baik sesuatu yang bersumber berupa mewujudkan huruf ataupun kalimat adalah zat pembicara itu sendiri atau sesuatu yang di luar dari zat pembicara. Kalam dengan makna ini pada hakikatnya kembali pada kekuasaan dan kemampuan. Contoh pertama adalah wajib al-wujud bi dzat (eksistensi absolut yang ada dengan sendirinya) Mahaagung keagungan-Nya karena zat-Nya adalah sifat-Nya saat mewujudkan kalimat dengan perbedaan tingkatan sesuai dengan kemunculan kalimat tersebut.

Contoh kedua, manusia ketika mewujudkan huruf dan kalimat dalam dirinya, muncul karena dorongan jiwanya yang paling dalam. Kemudian, terealisir dalam rongga mulutnya. Karena ketika kemampuan untuk berbicara tidak dimiliki, maka dia tidak dapat disebut sebagai sumber kemunculan huruf dan kalimat. Adapun kalam dengan makna ketiga, merupakan bagian dari sifat perbuatan atau sifat-sifat tambahan. Karena hal tersebut kembali pada penciptaan dan pengadaan. Sebelumnya telah ditetapkan bahwa sifat haqiqiyah keberadaan yang absolut adalah zat-Nya. Adapun sifat tambahan-Nya bukan termasuk zat-Nya.”[23]

Sebagaimana yang telah Anda perhatikan, para pemikir selain menyebutkan makna kalam yang terkenal dan umum juga menyebutkan dua makna lainnya yaitu, sumber kalam dalam zat mutakallim dan sifat kalam. Akan tetapi, kedua makna ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab bahasa. Kendatipun kalam bersumber dari zat mutakallim, tetapi pada dasarnya sumber tersebut kembali pada kemampuan bukan kalam itu sendiri. Begitu pula dalam hal ini tidak diragukan lagi bahwa mutakallim memiliki sifat kalam dan dia bukan kalam itu sendiri. Oleh karena itu, kendatipun kata kalam juga digunakan untuk kedua makna tersebut, maka penggunaannya termasuk penggunaan dalam majas (kiasan).    

                                    

Kemutlakan Kalimat pada Selain Kata

Sebagian memberikan penjelasan yang lebih luas mengenai makna kalam yaitu segala sesuatu yang merupakan bagian dari tujuan-tujuan dari dalam diri seseorang baik berupa kata atau suara, isyarat yang disampaikan oleh anggota tubuh, menunjukkan sesuatu berupa tanda atau ciri tertentu, hakikat batin maupun zahir sesuatu, lukisan, gambaran, atau tulisan. Mereka mengatakan bahwa seluruh hal tersebut merupakan objek kalam karena definisi kalam adalah memahamkan tujuan-tujuan dan hal itu dapat diterapkan pada keseluruhan.

Allamah Thabathaba’i mengenai masalah ini menjelaskan, “Kalam adalah memahamkan tujuan melalui suara dan huruf yang penunjukkan dari keduanya sangat relatif. Hal ini hanya berlaku pada manusia yang hidup secara sosial.”

Karena itu, kalam Allah tidaklah serupa dengan kalam manusia yang suara dan huruf tersebut keluar dari rongga mulut dan penunjukkan kata melaluinya adalah sesuatu yang relatif atau berupa kesepakatan karena Allah Swt tidak berjasad sehingga membutuhkan sarana-sarana suara.

[A5] Pada satu sisi, kalam juga dinisbahkan pada Allah. Al-Quran menjelaskan, Tidaklah Allah berbicara dengan manusia kecuali dalam bentuk wahyu, di balik tirai, atau mengutus utusan lalu mewahyukan dengan izin-Nya sesuai dengan yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi dan Mahabijaksana (QS. asy-Syura:51).

Kendatipun kalam dalam bentuk kesepakatan dan relatif dinafikan dari Allah Swt, tetapi hakikat kalam tetaplah dinisbahkan kepada Allah. Kalam Allah meskipun tidak dalam bentuk kata-kata, tetapi tetap memiliki pengaruh yaitu memahamkan tujuan tertentu. Kalam bagaikan lahan, timbangan, neraca, lentera dan lain-lainnya yang memiliki banyak objek. Akan tetapi karena memiliki pengaruh masing-masing yang merupakan objek nyata dari setiap objek, maka terhitung sebagai sebutan dari objek-objek tersebut.

Dari hal tersebut, jelas bahwa segala sesuatu yang Allah Swt—melalui hal tersebut—berupaya memahamkan tujuan-Nya adalah kalam yang sesungguhnya. Akan tetapi, Allah tidak menjelaskan hakikat kalam-Nya kepada kita dan kita pun tidak mungkin dapat memahami kalam-Nya dengan baik.[24]

Oleh sebab itu, kebenaran pemahaman mengenai kalam adalah sesuatu yang niscaya seperti kalam manusia yang berbentuk suara dan huruf. Dalam al-Quran, juga terdapat kalimat yang digunakan bukan berbentuk kata. Sebagai contoh, mengenai Nabi Isa as al-Quran menerangkan, Wahai Ahli kitab, janganlah kalian berlebihan pada agama kalian. Jangan kalian berbicara tentang Allah kecuali kebenaran. Sesungguhnya Isa putra Maryam adalah utusan Allah dan kalimat-Nya yang diletakkan pada Maryam dan merupakan Ruh dari-Nya (QS. an-Nisa:171).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Isa yang merupakan bentuk jasad disebut sebagai kalimat.    

Dalam ayat yang lainnya, al-Quran menjelaskan, Manakala Tuhannya menguji Ibrahim dengan beberapa kalimat dan Ibrahim menyempurnakannya. Allah berfirman kepadanya, “Aku jadikan kau sebagai pemimpin bagi manusia.” Ibrahim berkata, “Apakah kepemimpinan tersebut berlaku pada keturunanku?” Allah menjawab, “Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah:124).

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata kalimat dalam ayat di atas adalah menyembelih putra beliau dan dilemparkan ke dalam kobaran api. Hal ini tidaklah termasuk dalam suara secara umum.                          

Pada ayat lainnya Allah berfirman, Andaikan segala sesuatu yang berada di bumi berupa pepohonan dijadikan sebagai pena dan lautan dijadikan sebagai tinta ditambah dengan tujuh lautan, niscaya kalimat Allah tidak ada habis-habisnya (untuk ditulis). Sesungguhnya Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana (QS. Luqman:27).

Allamah Thabathaba’i—semoga Allah menyucikan jiwanya—menafsirkan kata kalimat dalam ayat tersebut sebagai keberadaan yang nyata berkenaan dengan alam semesta yang ada atas perintah Allah dalam firman-Nya, Sesungguhnya perintah-Nya jika Dia menghendaki sesuatu, cukup mengatakan, “Jadi!” maka jadilah (QS. Yasin:82).[25]

Oleh karena itu, seluruh keberadaan di alam raya ini adalah kalimat Allah. Al-Quran menyatakan bahwa seluruh keberadaan di alam ini adalah kalimat Allah yang merupakan penciptaan-Nya dan menunjukkan kekuasaan, keagungan, ilmu, dan kesempurnaan Allah.

Hakim Sabzawari menerangkan, “Seluruh keberadaan alam tidak memiliki satu ungkapan berupa kata dalam kalam lafdzi (pembicaraan). Kalam adalah sesuatu yang menerangkan tentang makna tertentu. Seluruh keberadaan sebagaimana adanya karena yang ditunjukkan dari penciptaan adalah keindahan dan kekuasaan Allah Swt. Setiap ciptaan merupakan manifestasi dari salah satu sifat Allah.”[26]

Dalam Nahj al-Balaghah, juga disebutkan bahwa kata kalam ditafsirkan untuk seluruh penciptaan Allah dan keberadaan yang nyata di alam ini. Imam Ali as menjelaskan, “Saat Allah menghendaki untuk menciptakan sesuatu, Dia hanya berkata, ‘Jadilah! Maka jadilah ia.’ Namun, bukan berupa suara yang terngiang dan bukan seruan yang dapat didengar. Sesungguhnya kalam Allah adalah perbuatan-Nya yang Dia ciptakan dan Dia bentuk.”[27]

Seluruh keberadaan adalah kalimat Allah yang menunjukkan ilmu dan kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, kalam Allah bermakna menciptakan sesuatu. Melalui penciptaan tersebut, Allah menampakkan kekuasaan dan kesempurnaan-Nya.

Mulla Shadra menukil ucapan sebagian kalangan ‘arif, mereka mengatakan, “Kalam pertama yang diperdengarkan pada telinga segala sesuatu yang mungkin adalah kun (jadilah) yang termasuk kalimat pengadaan. Dengan demikian, alam terwujud tidak lain selain dengan kalam bahkan seluruh alam termasuk kalam.”[28]

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa pemikir-pemikir agama menyatakan ada dua kalam yang ditujukan pada Allah. Pertama, kalam takwini (kalam penciptaan). Kedua, kalam tasyri’i (kalam pengaturan).

Yang dimaksud dengan kalam takwini adalah hakikat keberadaan yang diwujudkan Allah dalam tiga tahapan. Pertama, alam akal murni yang seluruhnya diwujudkan hanya dengan kalimat Kun (Jadilah!) dan disebut sebagai kalimat tammah (kalimat sempurna). Kedua, alam mudabbirat (pengaturan) dan malaikat yang nonmaterial yang masing-masing diperintahkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dan mereka tidak pernah melanggar perintah tersebut. Ketiga, alam penciptaan materi seperti manusia, hewan, tetumbuhan, dan benda-benda lainnya.

Seluruh keberadaan dari ketiga alam ini adalah kalimat dan hakikat kalam Allah. Masing-masing dari keberadaan tersebut sesuai dengan tingkatan keberadaan mereka yang merupakan manifestasi dari Zat Yang Mahametafisik, kesempurnaan yang tidak terbatas, dan kausa prima. Berdasarkan hal ini, maka kalimat Allah tersebut adalah hakikat kalimat yang sesungguhnya.                

Adapun kalam tasyri’i adalah kalam pengaturan yang termasuk dalam pengetahuan yang bersumber dari ilmu Allah. Seluruh keberadaan alam melalui wujud mutlak Allah Yang Esa terealisir dalam ilmu Allah. Allah mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan kebahagiaan dan kesempurnaan dunia dan akhirat, jiwa dan raga manusia. Begitu pula faktor-faktor yang memunculkan kesengsaraan dan ketidaksempurnaan jiwa manusia. Seluruh pengetahuan ini dan pengetahuan tentang hakikat alam tidak hanya tampak jelas di hadapan Allah, tetapi hakikat keberadaan segala sesuatu tersebut juga tampak di hadapan-Nya. Dari maqam yang metafisik dan melalui perantara-perantara dipancarkan pada wujud berikutnya yang strata keberadaannya berada di bawah.

Dengan demikian, pada mulanya ilmu-ilmu metafisik diberikan pada akal murni yang disebut juga dengan kalimat tammah Ilahi. Melalui jalan tersebut disampaikan pada malaikat wahyu (Jibril) dan melalui Jibril dipancarkan pada hati Nabi Muhammad saw yang bercahaya. Nabi mendengarkan kalam Allah melalui malaikat penyampai wahyu dengan sisi batin dirinya. Beliau memahami wahyu tersebut dengan jelas dan menyaksikannya dengan ilmu hudhuri. Adapun ilmu-ilmu yang beliau dapatkan melalui jalan tersebut yang dipancarkan pada hati beliau, meskipun bertahap, masih secara global dan nonmaterial serta tidak termasuk jenis pengetahuan secara umum. Ia berbentuk kalam, tetapi tidak dalam bentuk suara dan huruf yang dapat dipahami oleh indra pendengaran. Terdengar, tetapi melalui pendengaran batin dan hati, bukan pendengaran indriawi. Kalam mengisahkan ilmu-ilmu metafisik tetapi dengan bertahap bukan secara langsung. Bahkan, pemahaman dan kepahaman terealisir dalam satu wujud.

Kemudian, kalam Ilahi dan hakikat yang sederhana dan bercahaya memancar dari hati dan akal Rasul menuju jiwa beliau dan dari jiwa beliau memancar pada potensi gambaran yang ada pada diri beliau. Hal tersebut menjadi sumber keinginan lalu mempengaruhi saraf dan otak yang menggerakkan lidah. Dengan demikian, kalam yang sederhana dan bercahaya itulah yang membentuk di udara berupa kalimat dan ucapan yang bertahap seperti perintah, larangan, pertanyaan, dan pemberitaan. Melalui media ini, kalam didengar oleh telinga-telinga orang mukmin dan setelah melalui beberapa tahap barulah hal itu meresap dalam sanubari mereka atau, melalui para pencatat wahyu, mereka tuliskan dalam lembaran-lembaran kitab mereka. Kalam Ilahi inilah yang mengalami perubahan bentuk di setiap tahapannya. Seluruhnya adalah kalam Allah yang merupakan manifestasi ilmu-ilmu yang metafisik dan bersumber dari-Nya.

Dengan memperhatikan penjelasan tersebut, sebagian para ahli tafsir dan ulama-ulama Islam, melalui pembuktian-pembuktian ayat tersebut menyatakan bahwa wujud-wujud yang metafisik juga termasuk kalimat Allah. Dengan sedikit perhatian, dapat dikatakan bahwa kata kalimat yang tertera dalam ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan makna yang umum yaitu “kalimat yang terucap atau maknanya”.

 

Nabi Isa as, Kalimat Allah

Dalam beberapa ayat al-Quran, kata kalimat juga ditujukan pada Nabi Isa as. Al-Quran menyebutkan, Kemudian malaikat menyerunya (Zakariya) sedang dia berdiri melaksanakan salat di mihrabnya. Malaikat berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira kepadamu dengan kelahiran seorang putra bernama Yahya, sebagai pembenar kalimat Allah (Isa), pemimpin dan menahan diri serta termasuk para nabi dari keturunan orang-orang yang saleh.” (QS. Ali Imran:39).

Sebagian para penafsir kata kalimat Allah dalam ayat tersebut menafsirkannya sebagai Nabi Isa as.

Pada ayat lainnya, al-Quran menjelaskan, Manakala malaikat berkata, “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan berita gembira kepadamu dengan kalimat-Nya bernama al-Masih Isa putra Maryam. Seorang terkemuka di dunia dan akhirat dan termasuk orang-orang yang dekat (kepada Allah).” (QS. Ali Imran:45).

Dalam ayat ini, kata kalimat ditujukan kepada Nabi Isa as dan beliau disebut sebagai kalimat Allah.

Ayat lainnya menerangkan, Wahai Ahlikitab, janganlah kalian berlebihan dalam agama kalian. Jangan mengatakan sesuatu kepada Allah selain kebenaran. Sesungguhnya al-Masih Isa putra Maryam adalah utusan Allah dan kalimat-Nya yang Allah letakkan pada Maryam serta Ruh dari-Nya (QS. an-Nisa:171).

Dalam ayat ini, Nabi Isa as disebut sebagai kalimat Allah. Namun, dengan adanya keterangan beliau diletakkan Allah pada Maryam, jelas bahwa Nabi Isa sebagai kalimat dapat digambarkan seperti sebuah ucapan atau perkataan Allah kepada ibunda beliau, yaitu Maryam.

Salah satu ayat al-Quran menerangkan dengan lebih jelas bentuk kalimat tersebut. Al-Quran menerangkan, Maryam berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat memiliki seorang anak, sementara tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku?” Malaikat berkata, “Demikianlah Allah menciptakan sesuatu yang Dia kehendaki. Jika Allah menentukan sesuatu, sungguh Dia hanya mengatakan, ‘Jadilah!’ Maka jadilah.” (QS. Ali Imran:47).

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa kata kalimat yang diletakkan pada Maryam adalah kalimat kun yang bersumber dari Allah Swt. Dengan pengaruh kalimat takwini tersebut di luar alamiah, benih Nabi Isa diletakkan oleh Allah ke dalam rahim Maryam dan beliau pun mengandung. Pada ayat lainnya, hal ini diterangkan dengan lebih jelas. Allah berfirman, Sesungguhnya perumpamaan penciptaan Isa di sisi Allah bagaikan penciptaan Adam. Allah menciptakannya dari tanah kemudian Allah berkata padanya, “Jadilah!” Maka jadilah (QS. Ali Imran:59).

Dalam hal ini, Nabi Isa dan Nabi Adam memiliki kesamaan dalam penciptaan yang diciptakan tidak alamiah melainkan dengan perintah Allah berupa kalimat kun. Dan yang dimaksud dengan kalimat yang diletakkan pada Maryam adalah kalimat kun tersebut. Jika Nabi Isa disebut sebagai kalimat Allah, hal ini disebabkan karena kalimat kun sebagai sebab diletakkan pada Isa sebagai akibat. Mengingat beliau tercipta atas perintah Allah, maka disebut sebagai kalimat Allah. Benar bahwa seluruh keberadaan tercipta atas perintah Allah, tetapi Nabi Isa memiliki keistimewaan yaitu lahir tanpa seorang ayah dan tercipta langsung atas perintah Allah sebagaimana Nabi Adam yang tercipta tanpa seorang ayah dan ibu melainkan langsung atas perintah Allah.

Syekh Ismail Haqqi ketika menafsirkan ayat tersebut menjelaskan, “Nabi Isa tercipta dengan perantara kalimat Allah dan dengan perintah kun tanpa perantara seorang ayah dan sperma. Kendatipun seluruh keberadaan tercipta dengan kalimat kun, tetapi seluruhnya melalui perantara karena perintah kalimat kun pertama terkait pada ayah kemudian pada anak. Adapun berkaitan dengan Nabi Isa as, tidaklah demikian. Akan tetapi langsung dengan kalimat tersebut diletakkan pada rahim Maryam tanpa melalui perantara seorang ayah. Dengan demikian, Nabi Isa as tercipta langsung dengan kalimat kun. Kalimat kun adalah kalimat Allah yang diletakkan pada Maryam. Oleh karena itu, Nabi Isa as disebut sebagai kalimat Allah.”[29]

Muhammad Rasyid Ridha juga menuliskan hal yang serupa. Beliau menerangkan, “Meskipun seluruh keberadaan tercipta dengan kalimat takwini Allah berupa kun dan hal ini tidak hanya khusus pada Nabi Isa, tetapi segala sesuatu dinisbahkan pada sebab-sebab yang mengadakannya. Terkait dengan penciptaan Nabi Isa as sebab-sebab alami seperti bertemunya sperma laki-laki dengan ovum seorang wanita di dalam rahim tidaklah ditemukan. Penciptaan tersebut langsung dinisbahkan dengan kalimat Allah. Hasil dari penciptaan tersebut dinisbahkan langsung pada kalimat atau kalimat dari sisi mubalaghah dimutlakkan pada hasil atau akibat tersebut.”[30]

Ringkasnya, yang dimaksud dengan kata kalimat yang digunakan dalam ayat-ayat tersebut adalah Nabi Isa as sebab penamaan tersebut dikarenakan penciptaan tersebut terwujud melalui perantara mukjizat berupa kalimat takwini Allah yaitu kun dan tanpa seorang ayah. Oleh karena itu, dalam ayat ke-171 dari surah an-Nisa menggunakan kata ganti perempuan yaitu alqaha [A6] yang merujuk pada kata kalimat yang secara kata adalah perempuan. Sementara itu, pada ayat ke-45 surah Ali Imran menggunakan kata ganti laki-laki yaitu ismuhul masih. [A7] Kata ganti tersebut kembali pada kata kalimat yang secara makna adalah laki-laki yaitu [A8] waladun (anak).

Allamah Thabathaba’i juga menafsirkan kata kalimat dalam ayat tersebut dengan hal yang serupa.[31] Para ahli tafsir lainnya ketika menafsirkan ayat-ayat tersebut juga menyebutkan beberapa kemungkinan lainnya. Namun, penafsiran tersebut tidak memiliki keserasian dengan makna zahir dari ayat-ayat tersebut.[32]

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata kalimat yang ditujukan pada Nabi Isa as adalah hal yang diperbolehkan.

 

Kalimat dalam Agama Nasrani

Dalam Injil, kata firman (kalimat) juga ditujukan pada Nabi Isa as. Pada Injil Yohanes disebutkan:

Pada mulanya adalah Firman (kalimat). Firman bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada sesuatu pun yang telah jadi dari segala yang dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah cahaya manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan tidak menguasainya. Datanglah seorang manusia yang diutus Allah bernama Yohanes, ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya. Ia bukan terang itu tapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu. Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang sedang datang [A9] ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya. Orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau daging bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. Firman (kalimat) telah menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Putra Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. Yohanes memberi kesaksian tentang Dia dan berseru, “Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku sebab Dia ada sebelum aku. Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat telah diberikan oleh Musa tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus.’”[33]

Pengikut Nasrani menafsirkan kata kalimat yang disebutkan di atas adalah Isa. Dalam kitab Qamus al-Muqaddas tertulis, “Maksud dari kata kalimat adalah Tuhan kita, Isa al-Masih.”[34]          

Mereka menafsirkan ungkapan Injil demikian agar sesuai dengan keyakinan mereka tentang konsep Trinitas.

Akan tetapi, dengan memperhatikan ungkapan yang tertuang dalam Injil, dapat dimungkinkan bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang dinyatakan oleh al-Quran mengenai Nabi Isa as sebagai kalimat Allah. Kita dapat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata kalimat adalah amr (perintah) takwini Allah yaitu kalimat kun. Oleh karena itu, kata kalimat bermakna penciptaan yang merupakan salah satu sifat Allah yang ada sebelum segala sesuatu dan menjadi sumber segala keberadaan. Perintah inilah yang terjadi pada Nabi Isa as karena Maryam mengandung tidak melalui proses biasanya dan tanpa suami tetapi melalui mukjizat dan tercipta hanya melalui perintah Tuhan dengan kalimat kun. Karena itu, Nabi Isa as disebut sebagai kalimat Allah.

Kalam, Huduts atau Qadim?

Sebelumnya ditetapkan bahwa pengikut-pengikut agama langit meyakini adanya kalam (berbicara) pada Allah. Berbicara merupakan salah satu sifat Allah. Para penganut agama langit meyakini bahwa Allah berbicara dengan para nabi dan melalui mereka pesan-pesan disampaikan pada masyarakat. Hal ini tidak diragukan lagi. Adapun yang menjadi pembahasan adalah huduts atau qidam-nya kalam Allah. Pembahasan mengenai masalah tersebut merupakan salah satu pembahasan tertua yang mengundang perdebatan dalam teologi. Sepanjang sejarah umat Islam, huduts dan qidam kalam Allah selalu menjadi perbincangan yang hangat. Pembahasan ini tidak hanya di kalangan umat Islam saja tetapi sebelum umat Islam dan di kalangan umat Nasrani pun menjadi pembahasan. Dengan memperhatikan hubungan umat Islam dan Nasrani, diduga terdapat pengaruh dan mempengaruhi dalam masalah keyakinan di antara kedua agama ini. Hal ini dapat dikuatkan dengan merujuk pada kitab-kitab sejarah dan teologi. Pada dasarnya, mengenai  huduts dan qidam kalam Allah terdapat banyak pendapat.

1. Pendapat Imam Hanbali                   

Para pengikut Ahmad bin Hanbal meyakini bahwa kalam Allah adalah suara dan huruf yang berdiri pada Zat Allah dan termasuk qadim. Bahkan, sedemikian berlebihannya mereka sampai-sampai mereka mengatakan bahwa jilid dan sampul al-Quran adalah qadim. Untuk membuktikan keyakinan mereka, para pengikut pendapat ini berdalil dengan bukti-bukti berikut. Pertama, Zat Allah adalah qadim. Kedua, kalam merupakan sifat Allah. Ketiga, sifat Zat yang qadim hendaknya qadim pula karena menyatunya sesuatu yang hadits pada Zat yang qadim tidak dibenarkan. Hal ini menimbulkan terjadinya perubahan sementara perubahan tidak sesuai dengan wujud yang wajib. Oleh karena itu, kalam Allah yang merupakan sifat bagi Allah, hendaknya qadim pula.[35]

Untuk menjawab pendapat Ahmad bin Hanbal ini, dapat kita mengatakan bahwa mengenai berbicaranya Allah adalah hal yang tidak diragukan lagi. Akan tetapi, pembicara adalah seseorang yang memunculkan pembicaraan, bukan berada dalam pembicaraan. Allah disifati dengan takallum (berbicara) bukan kalam (pembicaraan). Berbicara pada Zat Allah bermakna Zat Allah sebagai sumber untuk berbicara. Mengenai hal ini, kita dapat mengatakan bahwa hal tersebut qadim.

Qadhi ‘Adhuddin menyatakan bahwa keyakinan pengikut Ahmad bin Hanbal tidak benar. Beliau menjelaskan, “Kalam adalah sesuatu yang wujud secara bertahap. Keberadaan setiap huruf bergantung pada berakhirnya huruf sebelumnya dan hal ini adalah sesuatu yang huduts. Dengan demikian, kalam yang merupakan rangkaian dari hal-hal tersebut adalah huduts. Kalam adalah keberadaan yang bermasa dan memiliki awal dan akhir. Oleh karena itu, kalam adalah perkara yang huduts.”[36]

2. Pendapat Karamiyah   

Karamiyah berpendapat bahwa kalam Allah adalah suara dan huruf yang berdiri pada Zat Allah. Mereka mengatakan bahwa, “Menyatunya sesuatu yang huduts pada Zat yang qadim tidak bermasalah.”[37]

Allamah Hilli menolak pendapat Karamiyah dengan mengatakan, “Wujud Allah yang wajib dengan menyatunya hal-hal yang huduts pada Zat-Nya tidaklah mungkin yang terbukti dengan tiga bukti. Bukti pertama, menyatunya sesuatu yang huduts pada Zat Allah meniscayakan terjadinya perubahan dan reaksi pada Zat-Nya. Hal ini tidak sesuai dengan wujud-Nya yang wajib karena perubahan dan bereaksi adalah sifat dari sesuatu yang material. Allah bukan materi dan tidak berbentuk.

Bukti kedua, jika sebab pelaku dan penentu hal tersebut adalah Zat Allah, maka hendaknya hal-hal yang huduts bersifat azali (abadi) karena sebabnya adalah sesuatu yang azali. Sementara kalian memandang bahwa kalam adalah sesuatu yang huduts. Jika sebabnya adalah sesuatu yang lainnya selain Wujud Wajib, hal ini meniscayakan bahwa Wujud Wajib membutuhkan sesuatu yang lainnya untuk menyatukan sesuatu yang hadits pada zatnya. Hal ini pun tidak sesuai dengan wujud-Nya yang wajib.

Bukti ketiga, sesuatu yang hadits mustahil menjadi sifat kesempurnaan. Zat Allah sebagai pemberi segala kesempurnaan tidak mungkin kosong dari kesempurnaan dan mustahil memiliki sifat tersebut karena ketidaksempurnaan tidak mungkin berada pada zat Allah.”[38]   

3. Pendapat Asya’irah   

Asya’irah berpendapat bahwa kalam adalah qadim dan berada pada Zat Allah. Abu Hasan Asy’ari berkata, “Allah berbicara dengan kalam dan kalam-Nya qadim karena Dia adalah Sang Mahakuasa yang berkuasa atas manusia. Hubungan penguasa dengan masyarakat, Sang Penguasa memiliki perintah dan larangan terhadap masyarakat. Dengan demikian, Dia adalah Yang Memerintah dan Yang Melarang, Memerintah dengan perintah yang qadim atau memerintah dengan perintah yang hadits. Jika perintah tersebut adalah sesuatu yang hadits, hal itu mungkin diwujudkan pada Zat-Nya atau mungkin diwujudkan pada tempat lainnya atau tidak bertempat. Perwujudan sesuatu yang hadits pada Zat Allah adalah mustahil karena hal ini meniscayakan bahwa Zat Allah adalah tempat sesuatu yang hadits dan hal ini tidak mungkin. Begitu pula mustahil kalam diwujudkan pada tempat lainnya karena hal ini menyebabkan tempat disifati dengan kalam dan mutakallim  (pembicara). Begitu juga tidak mungkin kalam diwujudkan tanpa tempat karena hal ini tidak dapat diterima oleh akal. Oleh karena itu, kalam Allah hendaknya qadim dan berada pada Zat Allah dan menjadi sifat-Nya.”[39]

Kemudian Abu Hasan Asy’ari menjelaskan, “Kalam Allah bukanlah sesuatu yang diibaratkan dengan ungkapan-ungkapan yang beragam seperti perintah, larangan, kabar, pemberitaan, janji, atau ancaman. Pada dasarnya, kalam Allah tidak lebih dari satu hakikat. Adapun ibarat dan kata-kata dalam bahasa malaikat yang diturunkan pada para nabi sesungguhnya petunjuk dan tanda-tanda dari kalam azali bukan kalam-Nya. Petunjuk dan tanda adalah makhluk dan hadits tetapi sesuatu yang ditunjuk qadim dan azali. Jelas sekali perbedaan antara pembacaan dan perintah membaca, pelantunan dengan perintah melantunkan. Perbedaan tersebut serupa dengan perbedaan antara mengingat dengan yang diingat. Mengingat adalah sesuatu yang diadakan dan hadits namun yang diingat adalah sesuatu yang qadim.”[40]

Setelah menukil pendapat tersebut, Syahrestani mendefinisikan kalam sesuai pendapat Asy’ari. Beliau menerangkan, “Kalam dalam pandangan Asy’ari adalah sebuah makna yang berada pada zat mutakallim  (pembicara) namun bukan berupa ungkapan atau kata. Ungkapan merupakan tanda dari kalam manusia. Oleh karena itu, pembicara adalah kalam yang berada pada dirinya. Berbeda dengan Muktazilah yang menyatakan bahwa pembicara adalah orang yang mengetahui bahwa pembicaraan berasal dari dirinya. Berdasarkan pendapat dan keyakinan Asy’ari, kalam digunakan untuk sebuah ungkapan merupakan penggunaan majazi atau termasuk isytirak lafdzi (persamaan kata).”[41]

Dengan demikian, Asy’ari meyakini bahwa kalam yang terucap dan berbentuk adalah sesuatu yang dihasilkan melalui proses dan hadits yang tidak mungkin berada pada Zat Allah dan tidak mungkin menjadi kalam yang sesungguhnya. Asy’ari meyakini bahwa kalam hakiki adalah pemahaman makna-makna dari kalimat yang tertulis, qadim, dan berada pada Zat Allah. Mengenai penjelasan tentang kalam nafsi mereka mengatakan, “Mutakallim  (pembicara) sebelum berbicara dan pada saat berbicara makna dan mafhum dari kalimat yang kelak diucapkan berada pada benaknya dan kalam yang terucap merupakan tampilan dari wujud dan hakikat dari makna dan mafhum-mafhum tersebut. Dengan menyampaikan kalam yang berkata, mutakallim ingin menyampaikan dan mengabarkan makna yang ada dalam benaknya yang kemudian diperdengarkan pada para pendengar. Keberadaan makna dan mafhum yang ada pada benak pembicara disebut sebagai kalam nafsi.”

Mereka mengatakan kalam nafsi tidak lebih hanyalah sebuah hakikat yang terungkap dengan berbagai ungkapan bahkan penulisan dan isyarat pun mampu mewakili dari hal-hal tersebut. Mereka juga mengatakan bahwa kalam nafsi bukanlah ilmu karena terkadang manusia memberitakan sesuatu yang dia tidak memiliki pengetahuan terhadap hal tersebut. Terkadang pula manusia memberitakan sesuatu yang bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya.

Kalam nafsi juga bukanlah iradat (keinginan) karena kadangkala manusia memerintahkan sesuatu namun tidak bertujuan agar perintah tersebut terlaksana tetapi hanya bertujuan untuk menguji orang yang diperintahkan.

Oleh karena itu, kalam nafsi tidak termasuk bagian dari ilmu, iradat, dan keengganan melainkan sesuatu yang lain yang terkait dengan objek tertentu dalam bentuk perintah, larangan, pertanyaan, seruan, dan lain-lain.   

Mereka juga menjelaskan, “Hakikat kalam yang sesungguhnya adalah kalam nafsi yang qadim dan berada pada Zat Allah. Berdasarkan hal inilah disebut sebagai mutakallim .”[42]

Adapun Muktazilah dan Imamiyah memandang bahwa kalam nafsi adalah sesuatu yang tidak logis. Dalam menjawab hal tersebut, mereka berpendapat, “Pertama, kalam yang sesungguhnya menurut pandangan umum masyarakat adalah suara dan huruf-huruf yang terucap dan terbentuk di udara dengan perantara pembicara bukan makna dan mafhum. Menetapkan hal yang penting ini dengan hanya bersandar pada ucapan seorang penyair adalah perbuatan yang tidak ilmiah. Kedua, kita menerima keberadaan makna dan mafhum dalam benak pembicara. Namun, makna dan mafhum tersebut termasuk ilmu, baik dalam gambaran maupun kenyataan. Pembicara pada saat berbicara menggambarkan kalimat dan maknanya lalu berbicara sesuai dengan hal tersebut. Menggambarkan satu pemahaman terkadang sesuai dengan kenyataan dan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Adapun saat memberitakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan yang dimiliki, dia tetap membayangkan kalimat dan mafhum tetapi tidak memiliki kenyataan. Terkait dengan perintah yang bersifat ujian, tetap terbayangkan kalimat dan maknanya dan keinginan untuk terealisirnya kalimat tersebut tetap terjadi meskipun keinginannya tidak memiliki keseriusan untuk terlaksananya perintah tersebut. Ringkasnya, kita tidak mengenal sesuatu yang disebut kalam nafsi yang kita miliki adalah ilmu, baik dalam bentuk gambaran maupun kenyataan dan keinginan.”[43]

Allamah[A10]  ketika menolak pendapat mengenai kalam nafsi menyatakan, “Pendapat yang tidak logis karena kepastian makna yang bukan perintah, bukan larangan, bukan pemberitaan, dan termasuk qadim adalah suatu hal yang tidak dapat dibayangkan sementara kenyataan bergantung pada gambaran.”[44]

4. Pendapat Imamiyah dan Muktazilah

Setelah membatalkan dan menolak pendapat Asy’ariyah, mereka berpendapat bahwa kalam Allah adalah hadits. Mereka menyatakan bahwa kalam Allah bagaikan kalam manusia yaitu berupa suara dan huruf yang menunjukkan makna tertentu dan diwujudkan dalam Lauhil mahfuzh atau hati Jibril atau di udara atau di tempat lainnya. Namun, dengan perbedaan bahwa manusia ketika mewujudkan pembicaraan membutuhkan mulut, lidah, dan kerongkongan sebagai tempat keluarnya huruf. Adapun Allah tidak membutuhkan hal-hal tesebut. Oleh karena itu, kalam Allah adalah satu keberadaan yang muncul secara bertahap dan berangkai serta hadits. Menyatu dengan udara atau tempat lainnya bukan pada Zat Allah. Berbicaranya Allah bermakna muncul dari-Nya pembicaraan bukan bermakna pembicaraan berada pada-Nya. Dengan kata lain, kalam bersumber dari mutakallim  yang memunculkannya, seperti pemukul dan pembunuh bukan penyatuan seperti ‘alim (Yang Mengetahui), qadir (Yang Kuasa), hitam dan putih. Dengan demikian, berbicara adalah mewujudkan suara dan huruf dan menjadi sifat Allah, bukan kalam menjadi akibatnya.                          

Mereka juga menyatakan, “Allah mewujudkan suara dan huruf yang memiliki makna dalam bentuk pemberitaan, perintah, larangan, dan pertanyaan di Lauhil mahfuzh, hati Jibril, atau berada pada hati para nabi, udara atau pada sesuatu seperti pada pohon yang terjadi pada Nabi Musa as. Melalui perantara ini, Allah menyampaikan pesan-pesan-Nya kepada masyarakat. Oleh karena itu, kalam Allah termasuk sifat fi’liyah (perbuatan) dan termasuk sesuatu yang hadits seperti menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan.”[45]

Miqdad bin Abdullah Saywari menulis, “Yang dimaksud dengan Allah berbicara adalah tidak serupa dengan manusia yang berbicara dengan anggota tubuh yang khusus karena Allah tidak berjisim sehingga butuh pada tubuh. Akan tetapi, yang dimaksud dengan Allah berbicara adalah Allah menciptakan suara dan huruf pada tempat tertentu.”[46]

Allamah Hilli begitu pula Fadhil Miqdad meyakini bahwa kalam Allah adalah suara dan huruf.[47] Almarhum Syekh Mufid ketika menjawab pertanyaan ‘Bagaimanakah Allah berbicara dengan Nabi Musa sementara kelaziman dari sebuah pembicaraan adalah menyatunya suatu kondisi pada pembicara?’ Beliau menjawab, “Pembicaraan yang terjadi antara Allah dan Nabi Musa as adalah seperti ini. Allah menciptakan suara pada pohon atau udara yang dapat didengar oleh Nabi Musa. Pembicaraan tidak harus melazimkan menyatunya kondisi pada pembicara. Akan tetapi butuh pada tempat yang suara dapat bertempat padanya baik kondisi menyatu pada pembicara maupun tidak.”[48]

Almarhum Syekh Mufid dalam penjelasan lainnya menyatakan, “Allah adalah Mutakallim namun tidak melalui anggota tubuh melainkan bermakna Allah menciptakan suara dan huruf pada satu materi sebagaimana Allah ketika berbicara dengan Musa, Allah menciptakan suara pada pohon.”[49]

Dengan memperhatikan penjelasan di atas, Muktazilah dan Imamiyah meyakini bahwa kalam Allah adalah suara dan huruf yang memiliki makna yang Allah ciptakan pada udara atau tempat tertentu. Melalui perantara ini, Allah memberi pemahaman pada para nabi. Kalam Allah adalah wujud yang bertahap dan memiliki masa serta hadits. Allah berbicara berarti Allah menciptakan suara dan huruf. Sumber kalam Allah adalah qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) tanpa butuh pada lidah dan mulut.

 

Sanggahan

Terdapat sebuah sanggahan jika sumber kalam Allah adalah qudrah dan iradah Allah untuk menciptakan suara dan huruf adalah sesuatu yang hadits, maka hal ini meniscayakan menyatunya hal-hal yang hadits pada Zat Allah atau Zat Allah menjadi tempat sesuatu yang hadits sementara hal tersebut jelas tertolak. Jika qadim, hal ini meniscayakan bahwa kalam Allah juga qadim karena bertentangannya akibat terhadap sebab adalah hal yang tidak benar.

Untuk menjawab sanggahan tersebut dapat kita sampaikan bahwa qudrah dan iradah Allah yang menjadi sumber kalam Allah adalah Zat Allah dan Qadim. Namun satu hal, untuk menciptakan sesuatu yang hadits, terdapat serangkaian sebab dan akibat dan terealisirnya kondisi dan persyaratan sepanjang zaman. Sepanjang masa, manakala Allah mengutus seorang nabi, iradah Allah terkait untuk mempersiapkan seorang manusia yang memiliki kemampuan untuk dapat mendengarkan kalam Allah dan menciptakan suara. Dengan perantara tersebut Allah menyampaikan pesan-pesan-Nya kepada para nabi.

 

Sanggahan Lainnya

Jika kalam Allah adalah suara dan huruf serta rangkaian tertentu dalam ucapan manusia, maka orang lain pun yang hadir ketika Allah berbicara pastilah mendengar. Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan hadis-hadis, hal tersebut tidaklah demikian. Keluarga Nabi dan para sahabat beliau ketika wahyu turun terkadang mereka hadir pada saat itu bahkan mereka menyaksikan tanda-tanda wahyu tetapi mereka tidak mendengar kalam Allah.

 

Sanggahan Berikutnya

Dari penjelasan definisi wahyu sebelumnya, mengenai makna wahyu terdapat dua hal yaitu kecepatan dalam penyampaian dan tersembunyi. Jika kalam Allah adalah suara dan huruf, maka dua hal tersebut tidak terdapat pada kalam Allah dan tidak sesuai dengan definisi wahyu[A11] . Oleh karena itu, keyakinan Muktazilah dan Imamiyah tentang kalam Allah juga tidak lepas dari sanggahan dan kekaburan.

Jubaiyah dan Bahsyamiyah menyatakan, “Allah adalah mutakallim  dengan kalam yang diciptakan pada tempat tertentu. Hakikat kalam menurut pandangan mereka adalah suara dan huruf yang tersusun. Mutakallim  adalah yang memunculkan suara bukan suara berada padanya.”[50]

5. Pendapat Muammar bin ‘Imad dan Sebagian Pengikut Nasrani                      

Kelompok ini adalah kelompok yang meyakini bahwa Allah tidak berbicara. Adapun al-Quran bukanlah perbuatan Allah akan tetapi perbuatan jisim yang terdengar darinya ucapan. Muammar bin ‘Imad meyakini bahwa Allah pencipta jisim-jisim bukan aksiden (a’radh). Aksiden adalah perbuatan substansi (jauhar). Oleh karena itu, mengingat bahwa kalam dan al-Quran adalah aksiden maka tidak mungkin hal tersebut termasuk dalam perbuatan Allah.

Syahrestani menukil pendapat Muammar, “Allah tidak menciptakan sesuatu selain jisim-jisim. Adapun aksiden merupakan bagian yang dimunculkan oleh jisim atau mengikuti jisim, seperti api yang mewujudkan pengaruh membakar. Matahari menimbulkan panas, rembulan memancarkan cahaya, atau memunculkan sesuatu dengan keinginan seperti hewan yang bergerak, berdiam diri, berkumpul, dan berpisah.”

Syahrestani juga menambahkan, “Keniscayaan yang ditimbulkan oleh pendapat Muammar adalah Allah tidak berbicara karena berbicara merupakan efek. Jika tidak memiliki pembicaraan, tidak ada perintah dan larangan, tidak ada syariat atau aturan.”[51]

Abu Hasan Asy’ari menjelaskan, “Pengikut-pengikut Muammar meyakini bahwa al-Quran adalah aksiden. Aksiden, dalam pandangan mereka, terbagi menjadi dua, sebagian perbuatan makhluk yang bernyawa dan sebagian lainnya merupakan perbuatan makhluk yang tidak bernyawa. Perbuatan-perbuatan yang dimunculkan oleh makhluk yang tidak bernyawa tidak dapat dinisbahkan pada makhluk yang bernyawa.

Al-Quran diciptakan dan termasuk aksiden, maka mustahil hal itu dilakukan oleh Allah karena mereka meyakini mustahil Allah berbuat perbuatan yang aksidental (a’radhi). Mereka menilai seperti ini bahwa al-Quran adalah perbuatan suatu tempat yang terdengar darinya suara. Jika terdengar dari pohon, maka perbuatan pohon. Jika terdengar dari tempat tertentu, maka perbuatan tempat tertentu tersebut.”[52]

Dalam penuturan Ibnu Rawandi dan Khayyath menjelaskan, “Muammar meyakini bahwa al-Quran bukanlah perbuatan Allah. Begitu pula tidak sesuai dengan pandangan umum masyarakat yang meyakini bahwa hal itu adalah sifat Allah. Dia meyakini bahwa al-Quran adalah perbuatan alam.”[53]

Penulis kitab Falsafah Ilmu Kalam menuliskan, “Dengan menggabungkan penuturan-penuturan yang beragam tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Muammar memiliki pandangan sebagai berikut. Kalam Allah bukanlah sifat-Nya dan bukan pula tercipta pada-Nya, sebagaimana yang diyakini Ahlusunnah. Bukan pula aksiden makhluk yang berada pada Lauhil mahfuzh sebagaimana yang diyakini oleh Muktazilah. Menurut Nadzam, bahkan kalam yang diwujudkan oleh sebagian jisim yang Allah ciptakan secara khusus untuk mengeluarkan suara dan dengan suara-suara tersebut Allah menyampaikan pesan-pesan-Nya. Jisim seperti ini ada dan diciptakan khusus oleh Allah bertujuan untuk menyampaikan kalam-Nya kepada manusia, seperti contoh pohon yang dengan perantaranya Allah berbicara dengan Musa as. Begitu pula nabi-nabi lainnya, seperti Nabi Muhammad saw yang dengan perantara mereka Allah berbicara dengan manusia.

Dengan penjelasan ini, hanya dengan jisim pohon dan tubuh para nabi Allah menciptakan secara langsung[A12] . Mereka memiliki kekhususan-kekhususan tertentu yang dari dirinya muncul kalam yang secara majazi disebut sebagai kalam Allah. Namun, perbuatan mewujudkan kalam dapat merupakan bagian darinya, seperti pohon Nabi Musa as atau dengan ikhtiar seperti pada para nabi. Oleh karena itu, al-Quran merupakan hasil ciptaan manusia dengan makna ketuhanannya yang dimunculkan oleh seorang nabi. Ia memiliki kekhususan tertentu dari Allah yang diberikan pada mereka dalam mewujudkannya. Demikian pula pada saat hal itu terwujud, merupakan manifestasi dari kehendak dan keinginan Allah.”[54]

Pendapat yang serupa dapat pula kita jumpai dari sebagian ilmuwan-ilmuwan Nasrani seperti, “Bart[A13] h (yang dimaksud Karl Barth, seorang teolog Kristen Swiss yang berpengaruh, wafat 1968—peny.) meyakini bahwa wahyu yang asli adalah pribadi al-Masih, kalimat Allah dalam bentuk manusia. Adapun kitab suci adalah hanya sekedar tulisan manusia yang memberikan kesaksian kenyataan wahyu. Perbuatan Allah dalam wujud al-Masih yang melalui beliau [A14] bukan melalui penulisan sebuah kitab yang terjaga.”[55]

Pada tulisan yang lainnya, dia menjelaskan, “Tuhan mengutus wahyu namun bukan dalam bentuk penulisan satu kitab yang maksum (terjaga dari penyimpangan dan kesalahan) melainkan wujud dirinya dalam kehidupan al-Masih dan seluruh para nabi di kalangan Bani Israil. Dengan demikian, kitab suci bukanlah wahyu secara langsung akan tetapi kesaksian manusia mengenai wahyu yang merupakan cerminan dari kondisi dan perbuatan-perbuatan manusia.”[56]

Kesimpulan pembicaraan mereka bahwa al-Quran dan kitab-kitab suci langit lainnya bukanlah kalam yang diciptakan oleh Allah. Akan tetapi, buatan dan hasil karya manusia-manusia (para nabi) yang Allah ciptakan mereka sedemikian rupa sehingga mereka mampu memahami tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan-Nya. Melalui cara ini, perintah dan larangan serta pemberitaan mereka dinisbahkan pada Allah.

Demikianlah keyakinan para pengikut Muammar bin ’Imad. Untuk membuktikan keyakinan mereka, mereka berargumentasi dengan dalil-dalil berikut. Kalam merupakan aksiden dan Allah hanya menciptakan jisim bukan substansi. Karena itu, kalam tidak mungkin perbuatan Allah akan tetapi perbuatan manusia atau perbuatan suatu tempat yang memunculkan kalam.

Kelaziman pendapat ini adalah pengingkaran terhadap wahyu dan berbicaranya Allah. Keyakinan tersebut tidak sesuai dengan pokok-pokok keyakinan ajaran agama-agama langit dan bertentangan dengan al-Quran. Dalam al-Quran banyak sekali disebutkan bahwa Allah berbicara dengan para utusan-Nya. Sebagai contoh, Allah berfirman, Mereka adalah para utusan yang Kami utamakan sebagian dari sebagian lainnya. Di antara mereka, ada yang berbicara dengan Allah (QS. al-Baqarah:253).

Allah berfirman, Sebagian para utusan telah Kami kisahkan padamu sebelumnya dan sebagian utusan-utusan belum Kami ceritakan kepadamu. Sungguh Allah berbicara dengan Musa dalam satu pembicaraan (QS. an-Nisa:164).

Al-Quran menjelaskan, Tidaklah Allah berbicara dengan manusia kecuali dalam bentuk wahyu atau di balik tirai, atau mengutus utusan yang mewahyukan dengan izin-Nya bagi yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia (Allah) Mahatinggi dan Mahabijaksana (QS. asy-Syura:51).

Selain itu, dengan jelas banyak sekali ayat yang menerangkan tentang diturunkannya kitab dan al-Quran dari Allah. Sebagai contoh, Allah berfirman, Diturunkan padamu kitab dengan kebenaran sebagai pembenar atas kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan seperti Taurat dan Injil (QS. Ali Imran:3).

Al-Quran menjelaskan, Manakala diturunkan pada Musa Kitab dan Furqan agar kalian mendapat petunjuk (QS. al-Baqarah:53).

Allah berfirman, Apakah kalian tidak memperhatikan al-Quran? Andaikan bersumber dari selain Allah, kalian pasti mendapati perbedaan yang banyak (QS. an-Nisa:82).

Dalam ayat yang berkaitan dengan wahyu dijelaskan, Telah diwahyukan kepada al-Quran untuk memberi peringatan pada kalian dan bagi orang-orang yang sampai kepadanya (QS. al-An’am:19).

Al-Quran menerangkan, Demi Zat yang mewahyukan kepadamu kitab yang itu adalah kebenaran dan pembenar atas kitab-kitab sebelumnya (QS. al-Fathir:31).

Allah berfirman, Sesungguhnya kau mendapatkan al-Quran dari Zat Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui (QS. an-Naml:6).

Dari ayat-ayat di atas dan puluhan ayat-ayat lainnya, dapat disimpulkan bahwa Allah berbicara dengan para nabi-Nya. Mereka membawa pesan bagi hamba-hamba-Nya. Al-Quran adalah kalam Allah dan diturunkan dari-Nya. Perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya bersumber dari-Nya dan ciptaan-Nya. Masalah tersebut dapat dikategorikan sebagai masalah yang pokok dalam ajaran agama Islam.

Untuk menjawab argumentasi yang diajukan oleh Muammar dapat kita sampaikan, meskipun Allah menciptakan jisim namun Allah memiliki kekuasaan untuk menciptakan suara dan huruf di udara atau pada tempat lainnya tanpa membutuhkan lidah dan tempat keluarnya huruf. Manusia dengan mulut dan gerakan lidahnya membentuk gelombang tertentu di udara sekitarnya yang membentuk huruf dan kalimat yang menunjukkan makna tertentu. Allah memiliki kekuasaan untuk menciptakan gelombang tersebut tanpa perantara anggota tubuh.

Oleh karena itu, kalam dan berbicara berkaitan dengan Allah digunakan untuk makna yang sesungguhnya. Al-Quran adalah kalam Allah dan ciptaan-Nya. Sebaliknya, penggunaan kata kalimat mengenai Nabi Isa as yang digunakan dalam al-Quran Sesungguhnya al-Masih Isa putra Maryam adalah rasulullah dan kalimat-Nya (QS. an-Nisa:171) adalah penggunaan majazi.

Dalam hal ini, perlu kiranya menyebutkan poin berikut sebagai suatu peringatan bahwa kendati mutakallim-nya Allah bermakna munculnya kalam dari-Nya dan termasuk hal yang pokok dalam ajaran agama-agama langit, tetapi bagaimana dan seperti apa hal tersebut tidaklah diketahui dengan baik. Hal tersebut termasuk hal-hal yang tidak mudah diketahui yang berkaitan dengan wahyu.

 


[16] Kasyf al-Murad, hal.224.
[17] Syarh al-Mawaqif, jil.2, hal.91.
[18] Kifayah al-Muwahhidin, jil.1, pembahasan tentang sifat Allah.
[19] Al-Mabda wa al-Ma’ad, hal.145.
[20] Syarh al-Mawaqif, jil.8, hal.93; Syawariq al-Ilham, hal.414-555; Lami’ah al-Ahiyah, hal.441; Kasyf al-Murad, hal.224. 
[21] Shirah al-Haq, jil.1, hal.198; Lami’ah al-Ahiyah, hal.441.
[22] Shirah al-Haq, jil.1, hal.300.
[23] Lami’ah al-Ahiyah, hal.449.
[24] Al-Mizan, jil.2, hal.331.
[25] Al-Mizan, jil.16, hal.245.
[26] Syarah Manzhumah, Sabzawari, hal.177.
[27] Nahj al-Balaghah, khotbah 186.
[28] Asfar, juz 2, paragraf ke-3, hal.4.
[29] Tafsir Ruh al-Bayan, jil.2, hal.328.
[30] Tafsir al-Manar, jil.3, hal.304.
[31] Tafsir al-Mizan, jil.3, hal.210.
[32] Tafsir al-Mizan, jil.3, hal.209; Tafsir Kabir, jil.8, hal.35; Al-Manar, jil.3, hal.304.   
[33] Injil Yohanes, bab 1, pasal 1.
[34] Qamus Kitab al-Muqaddas, hal.735, kata kalimat.
[35] Syarh al-Mawaqif, jil.8, hal.92; Shirah al-Haq, jil.1, hal.294. 
[36] Syarh al-Mawaqif, jil.8, hal.92.
[37] ibid., hal.92.
[38] Kasyf al-Murad fi Syarh al-I’tiqad, hal.228.
[39] Al-Milal wa an-Nihal, jil.1, hal.95.
[40] Al-Milal wa an-Nihal, jil.1, hal.96.
[41] ibid.
[42] Syarh al-Mawaqif, jil.8, hal.93; Syawariq al-Ilham, hal.555 dan 414; Lami’ah al-Ilahiyah, hal.441; Kasyf al-Murad, hal.224.   
[43] Shirath al-Haq, jil.1, hal.298; Lami’ah al-Ilahiyah, hal.441.
[44] Kasyf al-Murad, hal.225.
[45] Shirath al-Haq, jil.1, hal.312; Lami’ah al-Ilahiyah, hal.441 dan 444; Syawariq al-Ilham, hal.555; Kasyf al-Murad, hal.224 dan 170. 
[46] Al-I’tiqad fi Syarhi Wajib al-I’tiqad, hal.65.
[47] Bab Hadi ‘Asyar, hal.28.
[48] Mushannafat Syekh Mufid, jil.6; Al-Masail al-Akbariyah, hal.43. 
[49] Mushannafat Syekh Mufid, jil.10, hal.27; An-Nukat al-I’tiqadiyah.
[50] Al-Milal wa an-Nihal, jil.1, hal.80.
[51] Al-Milal wa an-Nihal, jil.1, hal.66-67.
[52] ibid., hal.66, catatan kaki, dinukil dari Maqalah al-Islamiyin.
[53] Falsafah Ilmu Kalam, hal.298.
[54] Falsafah Ilmu Kalam, hal.300.
[55] Ilm wa Din, hal.145.
[56] ibid., hal.131.