پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Misi Para Nabi

Misi Para Nabi

 

            Seperti yang diterangkan di dalam ayat-ayat dan hadis-hadis bahwa misi-misi para nabi adalah atas perintah Allah. Misi-misi itu dapat diringkas dalam dua tujuan universal:

            Misi pertama: mengarahkan umat manusia kepada nilai dan pentingnya kehidupan spiritual, memberi petunjuk kepada hal-hal yang melahirkan penyempurnaan jiwa dan kedekatan dengan Allah serta menjamin kebahagiaan ukhrawi. Juga menjelaskan dan memperingatkan sebab-sebab dan faktor-faktor kemerosotan jiwa dan kesengsaraan di alam akhirat. Dalam hal ini, perhatikanlah beberapa masalah penting di bawah ini:

            1. Dasar dakwah para nabi dan awal misi mereka adalah makrifat dan iman kepada Allah Yang Maha Esa, menetapkan sifat-sifat sempurna bagi Zat Suci dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat kelemahan.

            2. Mengarahkan dan mengajak beriman kepada hari kebangkitan, kehidupan setelah kematian, surga dan kenikmatan-kenikmatan ukhrawi, neraka dan siksaan-siksaannya adalah bagian dari risalah mereka. Para nabi menegaskan dan menetapkan adanya alam akhirat, pahala dan ganjaran akhirat yang diterangkan oleh banyak ayat al-Quran.

3. Membenarkan nabi-nabi dahulu dan menyeru umat agar menerima hukum dan syariat baru serta mengikuti kenabian mereka.

Tiga perkara ini adalah asas dakwah para nabi. Nabi saw dalam menyeru kerabat beliau, bersabda:

“Segala puji bagi Allah, Dia yang kupuji dan kepada-Nya aku memohon pertolongan. Aku beriman dan tawakal kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada yang patut disembah kecuali Dia dan Dia tidak bersekutu. Amma ba’du: Pemimpin tidak akan berdusta kepada rakyatnya. Sumpah demi Tuhan yang tiada sesembahan kecuali Dia, Aku adalah utusan Tuhan secara khusus kepada kalian, dan secara umum kepada umat manusia. Demi Allah! Sebagaimana kalian tidur, kalian akan mati dan akan kembali (hidup) sebagaimana kalian (pada waktu) bangun. Kalian kelak akan mengalami hisab untuk perbuatan-perbuatan kalian, yang hasilnya adalah surga atau neraka untuk selamanya.”[8]

            4. Menganjurkan umat pada akhlak yang utama dan mulia dan memperingatkan mereka supaya menjauhi akhlak yang tercela. Para nabi mengajak umat kepada akhlak yang baik dengan menjelaskan dampak-dampak duniawi dan ukhrawi bagi akhlak yang mulia. Dan dengan menjelaskan konsekuensi-konsekuensi akhlak buruk dan tercela, memberi peringatan kepada umat akan akibat-akibat tersebut. Untuk itu penyucian dan pembinaan jiwa dapat dianggap sebagai salah satu misi besar para nabi. Sebagaimana firman Allah, Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali Imran:164).

            Nabi saw bersabda: “Aku wasiatkan akhlak yang baik kepada kalian, yang karenanya Allah mengutusku.”[9]

            Imam Ali (as) meriwayatkan dari Nabi (saw): “Aku diutus kepada kebaikan dan (dengan membawa) kemuliaan akhlak.”[10]

            5. Menganjurkan umat agar menyembah Allah Yang Maha Esa dan patuh terhadap undang-undang-Nya. Para nabi menerangkan berbagai macam ibadah dan memandangnya sebagai faktor-faktor kesempurnaan jiwa dan upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, yang apabila diamalkan akan berpengaruh positif dalam kebahagiaan hidup ukhrawi. Allah berfirman, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk) menyerukan: “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tagut itu.” (QS. an-Nahl:36).

 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِیَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. adz-Dzariyat:56).

            Para nabi menyeru umat kepada pencapaian kebahagiaan ukhrawi dengan menunjukkan program di atas.

            Misi kedua: Reformasi kondisi sosial dan kehidupan duniawi masyarakat. Para nabi memberikan perhatian sepenuhnya pada perbaikan urusan-urusan sosial dan ekonomi. Mereka mengajak umat menimba ilmu, menggali sumber-sumber alami dan bekerja. Menganjurkan menjaga keadilan dan mencegah kezaliman dan kesewenang-wenangan. Untuk mencegah kezaliman dan penyimpangan, dan menegakkan keadilan sosial, mereka menetapkan hukum dan undang-undang hak, sangsi, pengadilan dan ekonomi bagi umat dari Tuhan, dan menekankan pemberlakuan undang-undang tersebut. Mereka memerangi kezaliman dan melindungi kaum lemah dan dhuafa.

            Dengan menelaah hukum dan undang-undang Islam akan menjadi terang bahwa agama Islam sepenuhnya memperhatikan reformasi urusan-urusan duniawi dan kondisi-kondisi sosial umat.

            Dapat disimpulkan dari beberapa ayat al-Quran bahwa salah satu tujuan para nabi ialah mengenai hal tersebut di atas,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَیِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْکِتَابَ وَالْمِیزَانَ لِیَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزَلْنَا الْحَدِیدَ فِیهِ بَأسٌ شَدِیدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِیَعْلَمَ اللَّهُ مَن یَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَیْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِىٌّ عَزِیزٌ

            Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. (QS. al-Hadid:25)

کَانَ الْنَّاسُ أُمَّةً وَ حِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ الْنَّبِیِّینَ مُبَشِّرِینَ وَمُنْذِرِینَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْکِتَبَ بِالْحَقِّ لِیَحْکُمَ بَیْنَ الْنَّاسِ فِیمَا اخْتَلَفُوا فِیهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِیهِ إِلّا الَّذِینَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَیِّنَتُ بَغْیاً بَیْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِینَ ءَامَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِیهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ یَهْدِى مَنْ یَشَاءُ إِلى‏ صِرَاطٍ مُسْتَقِیمٍ‏

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan),  maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi  keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. al-Baqarah:213)   
Puncak Misi Para Nabi

            Telah kami paparkan bahwa para nabi sesuai dengan perintah Tuhan meniti dua misi universal: pertama, pengenalan Tuhan dan ibadah serta taqarrub kepada-Nya. Misi ini berkaitan dengan kehidupan batiniah dan kebahagiaan ukhrawi manusia. Kedua, penegakkan keadilan dan pemberantasan kezaliman dan nepotisme. Misi kedua ini berkaitan dengan kehidupan duniawi manusia.

Kini sampai pada pertanyaan: apakah para nabi itu adalah seorang dualis dalam risalah mereka, dengan kata lain mereka mengejar dua tujuan tersebut dalam secara terpisah? Ataukah memandang misi yang satu sebagai akar dan yang lain sebagai cabangnya? Lalu yang manakah yang akar dan yang cabang? Ada beberapa kemungkinan:

1-Sebagian berpendapat bahwa tujuan pokok para nabi ialah menjamin kebahagiaan duniawi dan menegakkan keadilan serta menghapus kezaliman. Para nabi datang dalam rangka mencegah perselisihan dan penyimpangan, dan membangun kehidupan manusia dengan keamanan dan kesejahteraan. Jika mereka menekankan adanya keharusan mengenal dan menyembah Tuhan, hari kebangkitan, pahala dan siksaan ukhrawi, dan nilai-nilai moral seperti keadilan, perbuatan baik, pengorbanan, memaafkan dan membela kaum lemah itu semua karena mereka berpengaruh dalam realisasi pembangunan keadilan sosial dan penghapusan kezaliman. Mereka (para pendukung teori ini—peny.) mengatakan tauhid teoritis (nazhâri) dan mengenal Allah semata tidaklah menguntungkan. Kita mengenal Tuhan atau tidak, menyembah-Nya atau tidak, tidak akan memberikan keuntungan bagi Tuhan. Semua itu harus dipandang sebagai sarana untuk tauhîd (penyatuan) sosial dan membangun masyarakat yang adil.

2-Para peneliti dan Islamolog sejati memandang pembentukan jiwa dan pembenahan kehidupan spiritual sebagai tujuan fundamental. Karena itu untuk mencapai tujuan ini, menurut mereka hal yang mendasar dan efektif ialah tauhid nazhâri, iman kepada hari kebangkitan dan kenabian, tunduk dan pasrah di hadapan Allah Yang Maha Esa, penyucian jiwa dan berakhlak dengan akhlak yang baik. Beberapa masalah yang mendukung pandangan ini adalah sebagai berikut:

a) Dapat disimpulkan dari filsafat Islam dan ayat-ayat al-Quran serta hadis-hadis bahwa manusia dari segi batin adalah ruh malakûti yang riil, non-materi dan lebih tinggi dari materi, dan bakal abadi. Tidak binasa dengan kematian, tetapi berpindah dari alam ini ke alam akhirat supaya bisa menyaksikan hasil amal perbuatan yang baik atau buruknya. Manusia dalam dimensi ruh malakûti-nya adalah dalam kondisi bergerak dan menyempurna. Secara alami ia pencari Tuhan. Dalam mengenal Tuhan dan menyembah-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya itu ia dalam keadaan mengejar kesempurnaan, kebahagiaan dan kebaikan.

b) Dijelaskan dalam banyak ayat dan hadis bahwa dunia dan urusan-urusan duniawi tidak seberapa bernilai, sementara kehidupan batiniah dan ukhrawinya adalah kehidupan orisinal dan bernilai bagi manusia. Ayat-ayat tersebut seperti,

ألْمَالُ وَالْبَنُونَ زِینَةُ الْحَیَوةِ الدُّنْیَا وَالْبَقِیَتُ الصَّلِحَتُ خَیْرٌ عِندَ رَبِّکَ ثَوَاباً وَخَیْرٌ أَمَلاً

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. al-Kahfi:46)

اعْلَمُواْ أَنَّمَا الْحَیَاةُ الدُّنْیَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِینَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَیْنَکُمْ وَ تَکَاثُرٌ فِى الْأَمْوَ الِ وَالْأَوْلاَدِ کَمَثَلِ غَیْثٍ أَعْجَبَ الْکُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ یَهِیجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ یَکُونُ حُطَاماً وَفِى الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِیدٌ وَ مَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَ انٌ وَمَا الْحَیَاةُ الدُّنْیَآ إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ / سَابِقُواْ إِلَى‏ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّکُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا کَعَرْضِ السَّمَآءِ وَ الْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِینَ آمَنُواْ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَ لِکَ فَضْلُ اللَّهِ یُؤْتِیهِ مَن یَشَآءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِیمِ‏

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. al-Hadid:20-21)

وَ مَآ أُوتِیتُم مِّن شَىْ‏ءٍ فَمَتَاعُ الْحَیَاةِ الدُّنْیَا وَ زِینَتُهَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَیْرٌ وَأَبْقَى‏ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

            Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS. al-Qashash:60)

Dalam banyak hadis disebutkan tentang dunia sebagai satu tempat yang singkat masanya, tempat singgah sementara dan ladang akhirat, yang harus dipetik darinya untuk kehidupan abadi akhirat. Di antaranya:

Imam Ali as berkata, “Ketahuilah! Dunia yang kalian dambakan dan senangi ini serta dia juga menyenangkan kalian, bukanlah rumah dan tempat tinggal kalian yang kalian diciptakan untuknya atau diseru kepadanya. Ketahuilah! Dunia tidaklah kekal dan kalian tidak akan tetap tinggal di dalamnya. Dunia ini meskipun memperdaya kalian tetapi juga memperingatkan kalian. Maka tinggalkan keadaan terperdaya olehnya kepada peringatannya dan ketamakan terhadapnya kepada seruannya yang menakut-nakuti. Di dunia ini, berlombalah menuju “rumah” yang kalian diseru (kepadanya).”[11]

Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya dunia tidak diciptakan bagi kalian sebagai tempat tinggal selamanya, tetapi sementara waktu dan supaya kalian mengambil perbekalan amal baik dan membawanya ke tempat tinggal yang abadi.”[12]

Beliau berkata: “Hai orang-orang! Dunia adalah persinggahan dan akhiratlah  tempat tinggal (sebenarnya). Maka ambillah manfaat dari persinggahan itu untuk tempat tinggal kalian. Janganlah kalian tampakkan tirai-tirai kalian kepada yang mengetahui rahasia-rahasia kalian. Keluarkan hati-hati kalian dari dunia sebelum (nyawa) keluar dari badan. Maka kalian diuji di dunia dan untuk selain dunialah kalian diciptakan.”[13]

Dapat dipetik dari ayat-ayat dan hadis-hadis di atas bahwa kehidupan yang penting bagi dunia dalam pandangan Islam ialah kehidupan spiritual dan ukhrawi. Dan dunia adalah sebuah perantara untuk meraih kebahagiaan ukhrawi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa inilah puncak tujuan para nabi. Mereka menetapkan jalan taqarrub dan kesempurnaan serta pencapaian kebahagiaan ukhrawi. Dan selain para nabi yang mendapatkan pengetahuan dari Allah, tidak akan mampu menunjukkan jalan ini. Para nabi memberitahukan bahwa iman kepada Allah, hari kebangkitan dan kenabian, menyembah kepada Allah Yang Esa dan berakhlak baik sebagai sebuah jalan menuju kebahagiaan ukhrawi.

Oleh karena itu, pendapat kedua yang dipilih. Sedangkan pendapat pertama yang menyatakan perbaikan urusan-urusan penghidupan masyarakat sebagai yang primer dan puncak tujuan para nabi, adalah bertentangan dengan ayat-ayat dan hadis-hadis.

Namun maksud kami bukanlah bahwa para nabi tidak memedulikan reformasi kehidupan duniawi masyarakat dan penegakkan keadilan serta penolakan kepada kezaliman, akan tetapi dalam mencapai misi ini harus memiliki kesungguhan penuh. Bahkan mereka menjelaskan masalah ini sebagai satu nilai hakiki dan salah satu sarana terpenting bagi penyempurnaan jiwa dan taqarrub kepada Allah. Upaya dan usaha serta pengabdian kepada makhluk Allah dan memperhatikan penegakkan keadilan, yang dilakukan dengan niat ikhlas, dalam pandangan mereka adalah salah satu ibadah yang paling utama. Karena melalui ini, kehidupan sosial manusia menjadi memungkinkan dan akan tercipta lingkungan yang baik untuk penyucian jiwa dan ibadah kepada Allah.

Dari sini menjadi jelas kebatilan pernyataan orang-orang yang mengatakan bahwa para nabi adalah kaum dualis dalam misinya dan memandang sederajat urusan-urusan duniawi dan ukhrawi. Sebab dunia dalam pandangan para nabi hanya bernilai bersifat batu loncatan (mukadimah). Yakni dunia adalah ladang akhirat. Inilah tempat dapat dilakukan untuk mengejar kesempurnaan-kesempurnaan spiritual dan kehidupan ukhrawi. Oleh karena itu, para nabi tidak memandang dunia lepas dari akhirat. Akan tetapi mereka berusaha menetapkan urusan-urusan duniawi di jalan penyempurnaan jiwa dan meraih kebahagiaan akhirat.

 

[8] Al-Kâmil fi at-Tarîkh, juz 2, hal., 41.
[9] Bihâr al-Anwâr, juz 69, hal., 375.
[10] Ibid., hal., 405.
[11] Nahj al-Balâghah, khotbah 173.
[12] Ibid., khotbah 132.
[13] Ibid., kalimat qishar 203.