پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Kemaksuman Para Nabi

Kemaksuman Para Nabi

 

            Allah memilih para nabi untuk menyampaikan dengan sempurna hukum-hukum dan undang-undang agama kepada manusia untuk menjamin kehidupannya, menunjukkan jalan lurus menuju kesempurnaan dan kedekatan dengan Allah—selain itu tiada jalan lain. Mereka membantu manusia dalam menempuh jalan kebahagiaan dan kesempurnaan. Memikul kepemimpinan umat dan berusaha menerapkan undang-undang Tuhan dan pembinaan keutamaan-keutamaan insani.

            Tugas para nabi dalam misi tersebut dapat diringkas dalam tiga tahap:

            1-Menerima undang-undang agama melalui jalan wahyu.

            2-Menyampaikan undang-undang dan pesan-pesan Tuhan kepada umat manusia.

3-Mereka sendiri mengamalkan hukum-hukum dan undang-undang agama, dan mereka juga mengajak manusia—dalam ucapan dan perbuatan—kepada agama Tuhan.

Allah Swt mengutus para nabi setelah menjamin kemaksuman mereka dalam tiga tahap tersebut. Artinya, dalam “menerima” pesan-pesan Tuhan dan “menyampaikan”nya kepada umat manusia, mereka terpelihara dari dosa, kesalahan dan kelalaian. Seandainya mereka tidak maksum, bagaimana mungkin mereka menyampaikan program-program agama yang menghidupkan kepada umat manusia tanpa penyimpangan, tanpa kurang dan lebih? Dalam hal ini apakah tujuan Allah Yang Mahabijaksana mengutus Para nabi terwujud sepenuhnya? Bisa percayakah umat bahwa ucapan-ucapan Para nabi itu adalah pesan-pesan Tuhan dan aturan-aturan agama? Tidak. Sama sekali tidak demikian. Tetapi Para utusan Tuhan harus maksum (terjaga) dari kesalahan dan kelalaian. Agar mereka dapat menyampaikan syariat agama tanpa pengurangan dan penambahan kepada umat mereka, dan memenuhi kehendak Allah Swt.

Para nabi harus maksum pada tahap pengamalan hukum-hukum agama yang terbukti dalam melaksanakan semua tugas dan kewajiban serta meninggalkan semua yang haram, dosa dan perbuatan yang buruk. Sebab mereka adalah figur yang sempurna dalam agama. Dengan pengamalan itu mereka bisa mengajak umat kepada perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Seandainya para nabi tidak maksum, bagaimana mungkin mereka dapat memikul kepemimpinan umat dan mengajak kepada kebajikan?

Umat tidak akan percaya pada orang yang melangkah tanpa visi dan ucapannya tidak konsisten dengan perbuatannya. Mereka tidak akan mempercayai kata-katanya. Karena mereka bisa berdalih: jika ia berkata benar dan meyakini ucapannya, tentunya dia melaksanakannya. Dalam hal ini mayoritas mereka lebih menilai dan mengikuti amal perbuatannya (meskipun tidak konsisten dengan risalahnya), bukan ucapannya. Karena itu Allah Swt tidak mengutus orang demikian sebagai seorang nabi.

Oleh sebab itu, akal manusia menetapkan keniscayaan kemaksuman bagi para nabi, tanpa perlu penjelasan detil dalil naqli (ayat-ayat dan hadis-hadis). Meskipun nanti akan kami singgung beberapa dalil naqli-nya.


Hikmah Kemaksuman
            Kesimpulan kami di atas bahwa para nabi terjaga (ma’shûm) dari perbuatan dosa, kesalahan dan lupa akan memunculkan pertanyaan: Apakah hikmah kemaksuman itu? Kenapa sebagian manusia maksum dan sebagian yang lain tidak? Bukankah pada kenyataannya semua manusia sebagai manusia adalah sama dan mereka bisa saja salah? Lantas kenapa hanya sebagian manusia terjaga dari kesalahan? Faktor apakah yang memberi kekuatan dan daya penjagaan kepada sebagian manusia itu, sehingga mereka dapat mengatasi motif-motif internal mereka dan menyebabkan mereka bahkan tidak ingin berbuat dosa? Apakah faktor fundamental dan sumber bagi keterjagaan ini?

            Menurut kami ‘ishmah (kemaksuman) merupakan sifat dan malakah (fakultas) batiniah yang kukuh, yang menjaga si maksum dari berbuat dosa, khilaf, kesalahan dan sebagainya. Faktor dan sebab adanya sifat tersebut adalah iman yang sempurna, yang mengatasi level pemahaman dan modus intelektual. Lahir dalam bentuk yakin dan penyaksian tak berperantara (hudhûri/presensial). Pribadi yang mengenal Tuhan dan meyakini hari kebangkitan pada tingkatan tertinggi. Dengan mata batin, ia menyaksikan keagungan Tuhan semesta alam. Dan secara nyata menyaksikan dampak-dampak amal perbuatan dan akhlak yang baik dan buruk. Ia tidak akan mendekati dosa dan kemaksiatan. Dengan kebijaksanaan, berdasarkan ikhtiar dan kehendak, ia akan mematuhi perintah-perintah Tuhan. Mengendalikan hasrat dan kecenderungan batiniahnya dan tidak akan pernah melampaui garis ketundukan dan kepasrahan di hadapan undang-undang Tuhan.

            Selain itu, adanya “kebijaksanaan” tersebut adalah modal kekuatan yang mencegah terjadinya kesalahan dan kelalaian dalam menerima wahyu dan menyampaikannya kepada umat. Ia memandang pesan-pesan Tuhan secara presensial dan mendapatinya dari khazanah-khazanah ilmu yang gaib. Oleh karena itu, ia maksum dari kesalahan dan kekeliruan.

            Menimbang sangat urgennya keberadaan insan paripurna (insân kâmil) dan maksum (terpelihara dari dosa, salah dan lupa) untuk jabatan kenabian ini, maka sistem alam penciptaan telah Allah susun sedemikian rapi sehingga dalam kondisi-kondisi niscaya pastilah lahir pribadi demikian itu.

            Penting dicatat bahwa walau nabi itu maksum dan tidak akan pernah berbuat dosa, namun tidak bertentangan dengan ikhtiar dan kemampuan mandiri dirinya untuk bermaksiat. Nabi itu juga seperti manusia biasa. Terkait perbuatan dosa, ia punya ikhtiar, juga kemampuan. Namun disebabkan iman yang kukuh dan kebijaksanaan yang sempurna disertai karunia Tuhan dalam eksistensinya, ia tinggalkan semua perbuatan buruk dengan ikhtiar dan kehendak mandirinya.

            Di bawah ini kami bawakan beberapa dalil naqli yang menjelaskan keniscayaan kemaksuman para nabi:

            Dalam al-Quran Allah Swt berfirman:

 

عَالِمُ الْغَیْبِ فَلَا یُظْهِرُ عَلَى‏ غَیْبِهِ أَحَداً /  إِلَّا مَنِ ارْتَضَى‏ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ یَسْلُکُ مِن بَیْنِ یَدَیْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً

             (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Sesungguhnya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (QS. al-Jin:26-27)

            Ayatullah Thabathaba`i menafsirkan ayat sebagai berikut:

            “Yang bisa dipahami dari ayat ini bahwa Allah mengkhususkan para nabi-Nya dengan wahyu dan mengawasi mereka dengan kekuatan yang tersembunyi. Allah menjaga (melalui para malaikat—peny.) para nabi-Nya adalah untuk menjaga wahyu dari perubahan dan pergantian, yang dilakukan oleh setan atau yang lain. Ini dilakukan karena setelah risalah, tahap berikutnya ialah kemunculan Imam Mahdi as (zhuhûr). Ayat yang serupa dengan ayat tersebut, ialah dengan ucapan para malaikat dalam ayat berikut,

“Kami tidak akan menurunkan sesuatu pun kecuali atas perintah Tuhanmu. (Penjagaan) apa yang ada di depan kami, di belakang kami dan di  antaranya adalah oleh-Nya. Dan Tuhanmu bukanlah pelupa.”

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa wahyu terjaga dari awal turun hingga sampai ke telinga umat, dan terpelihara dari segala bentuk perubahan.”[1]

Beliau juga menerangkan ayat, Mereka mendapatkan petunjuk maka ikutilah petunjuk mereka.

أُوْلَئِکَ الَّذِینَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَیهُمُ اقْتَدِهْ

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (QS. al-An’am:90)

Menunjukkan atas kemaksuman para nabi. Mereka itu semua telah memperoleh petunjuk dan Allah berfirman,

مَن یُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

وَمَن یَهْدِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّضِلٍّ

Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk.

Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. (QS. az-Zumar:23 & 37)

مَن یَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِى

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. (QS. al-A’raf:178)

 

Jadi Allah menjaga hamba-hamba yang Dia beri hidayah dari segala kesesatan dan segala bentuk kesesatan yang hendak mempengaruhi mereka. Artinya, mereka aman dari segala bentuk kemaksiatan. Karena maksiat adalah bentuk kesesatan.[2]

 

[1] Al-Mîzân, juz 2, hal., 139.
[2] Al-Mîzân, juz 2, hal., 140.