پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Turunnya Al-Quran dan Penjagaannya

Turunnya Al-Quran dan Penjagaannya

 

            Al-Quran adalah kitab samawi dan firman Tuhan. Makna-makna dan pengertian-pengertiannya yang tinggi tertuang pada kata-kata dan kalimat-kalimat bahasa Arab kemudian diturunkan pada kalbu Nabi saw melalui Jibril.

            Selama dua puluh tiga tahun ayat-ayatnya turun kepada Rasulullah saw dalam berbagai macam kejadian dan kesempatan. Dalam keadaan perjalanan atau dalam peperangan dan perdamaian.

            Terkadang turun satu ayat, atau beberapa ayat atau satu surah lengkap.

            Al-Quran memuat 114 surah. Semua surah dimulai dengan “Bismillâhirrahmânirrahîm” kecuali surah at-Taubah. Setiap surah terdiri dari beberapa ayat. Surah-surah yang besar dinamakan surah-surah yang panjang, dan surah-surah yang kecil dinamakan surah-surah yang pendek.

            Sebagian surah yang turun di Mekkah atau sekitarnya, disebut surah Makkiyah. Dan sebagian surah lainnya yang turun di Madinah atau sekitarnya, disebut surah Madaniyah.

            Nabi saw memiliki perhatian penuh dalam menjaga seluruh al-Quran, dan pencegahan sempurna dari perubahan dan tahrîf. Untuk upaya ini beliau memprioritaskan tiga langkah berikut:

            1-Setiap ayat yang turun pada kalbu nurani Nabi saw, langsung beliau tuangkan secara lisan dan melantunkannya, beliau senantiasa memelihara dalam ingatannya dan tidak akan melupakannya. Sebab beliau adalah seorang maksum yang tercegah dari lupa dan kesalahan.

            Al-Quran mengatakan, “Kami akan membacakan (al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” (QS. al-A’la:6).

 

            Nabi saw sangat peduli membaca al-Quran dan mengulang-ulangnya. Beliau selalu membacanya di setiap kesempatan. Dalam ceramah-ceramah beliau menjelaskan hukum-hukum, masalah-masalah moral dan lain sebagainya dengan merujuk kepada ayat-ayat yang bersangkutan. Dalam shalat-shalat wajib dan sunnah, beliau membaca sebagian al-Quran. Setiap harinya beliau membaca beberapa ayat. Khususnya di bulan suci Ramadhan, Rasulullah meski tidak sekolah, tetapi beliau hafal seluruh ayat al-Quran. Dan membaca semuanya secara tertib nuzûl-nya (berdasarkan turunnya ayat-ayat). Beliau maksum dari salah dan lupa baik pada saat menerima al-Quran dari Jibril atau menjaga dan menyampaikannya kepada umat.

            2-Setiap surah yang turun, beliau bacakan kembali kepada para sahabat dan memberi wasiat supaya mereka menghafalnya. Yang jelas sebagian Muslim berupaya menyimak dan menghafal ayat-ayat yang turun. Nabi saw juga berusaha agar ayat-ayat yang diterima para sahabat adalah yang benar dan tidak keliru. Para penghafal al-Quran pun membacakan ayat-ayat di hadapan Nabi saw untuk meyakinkan kebenarannya.

            Dengan jalan ini, banyak sekali sahabat yang menerima bacaan al-Quran seluruh atau sebagiannya dengan benar. Yang paling menonjol di antara mereka ada tujuh orang.

            Suyuthi menyampaikan: “Di antara mereka yang membacakan al-Quran di hadapan Nabi, yang paling terkenal ada tujuh orang: Usman, Ali, Ubay, Zaid bin Harits, Ibn Mas’ud, Abu Darda dan Abu Musa Asy’ari.”[83]

            Rasulullah saw sangat menekankan belajar dan menghafal al-Quran. Karena itu banyak sahabat, sesuai kadar kemampuan mereka, mampu menghafal sebagian al-Quran. Di antara mereka mampu menghafal seluruh al-Quran. Mereka ini adalah para pelantun ayat-ayat al-Quran (qurrâ`) atau para penghafal al-Quran. Detil jumlah mereka belum jelas, tapi yang jelas banyak.

Suyuthi menukil dari Qurthubi: “Di perang Yamamah tujuh puluh orang dari qurrâ` terbunuh. Hal ini pun pernah terjadi di zaman Nabi saw juga terbunuh dalam jumlah yang sama di Bi`r Ma’unah.”[84]

Dari keterangan ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa para penghafal al-Quran begitu banyak. Pada dua perang tersebut saja sudah ada 140 orang. Yang jelas tidak diketahui yang terbunuh itu apakah menghafal seluruh al-Quran atau sebagiannya saja.

Sebagian penulis meyakini bahwa (jumlah) para penghafal seluruh al-Quran kurang dari jumlah tersebut.

Syekh Abdul Hay Kattani menyampaikan: “Di zaman Nabi saw ada sepuluh orang penghafal seluruh al-Quran: Ali, Usman, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda, Zaid bin Harits, Abu Zaid Anshari, Tamim Dari, Ubadah bin Tsabit dan Abu Abwab.”[85]

3-Menulis dan menyusun. Untuk menulis al-Quran, Rasulullah saw memilih beberapa orang. Bila ayat turun, beliau panggil salah seorang dari mereka lalu beliau mendiktekan ayat tersebut supaya dia tulis. Setelah itu penulis meminta waktu untuk membacakan tulisannya itu. Maka beliau menyimaknya dengan baik. Jika ada kesalahan, beliau menyuruh agar memperbaikinya. Terkadang Rasulullah saw menentukan letak ayat kepada penulis itu dengan mengatakan, “Tulislah ayat ini dalam surah ini dan setelah ayat itu.”[86]

Para penulis al-Quran bagi Rasulullah saw berjumlah banyak. Mereka mencapai 43 orang.[87] Namun tidak semuanya penulis wahyu. Sebagian dari mereka adalah penulis surat-surat Nabi saw.

Syekh Abdul Hay menyampaikan: “Usman bin ‘Affan dan Ali adalah penulis wahyu. Bilamana dua orang ini tidak hadir, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit yang disuruh menulis. Jika mereka tidak ada, maka salah seorang dari para penulis yang hadir ditugaskan menulis. Mereka adalah: Muawiyah, Jabir bin Sa’id, Aban bin Sa’id, ‘Ala` Hadhrami dan Hanzhalah bin Rabi’.”[88] Orang-orang ini adalah yang menulis nuskhah (baca: naskah) al-Quran khusus bagi Nabi saw. Yang jelas (selain mereka) ada juga yang lainnya yang mencatat ayat-ayat dalam nuskhah-nuskhah mereka. Bahkan sebagian penulis wahyu di samping menulis nuskhah bagi Rasulullah, mereka juga menulis untuk diri mereka sendiri. Sehingga mereka dapat memiliki sebuah al-Quran pribadi.

Para penulis memulai setiap surah dengan bismillâhirrahmânirrahîm yang turun di awal surah. Mereka menulis ayat-ayat sampai akhir, sampai saat turun lagi bismillâhirrahmânirrahîm yang baru sebagai tanda mulainya surah yang lain. Maka mereka menulis ayat-ayat yang baru. Tetapi mengenai pencatatan ayat dalam surah dan tempat surah tersebut di mana, mereka hanya melaksanakan perintah Nabi saw.

Ya’qubi menyampaikan: “Ibn Abbas berkata, ‘Mereka mengetahui jarak antara dua surah melalui kalimat “bismillâhirrahmânirrahîm”. Ketika turun bismillâhirrahmânirrahîm, mereka paham bahwa surah yang lalu telah lengkap dan dimulai surah yang lain.’”[89]

Kertas Zaman itu

            Sudah pasti para penulis wahyu menulis ayat-ayat al-Quran di atas sesuatu. Karena itu menarik untuk diketahui kertas apa yang dipakai zaman itu. Al-Quran menerangkan bahwa di zaman Nabi saw terdapat sesuatu yang disebut qirthâs (baca: kertas), Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS. al-An’am:7).

            Dari buku-buku sejarah disimpulkan bahwa di zaman Nabi saw ada kertas. Di Cina kertas diproduksi dari rumput. Di India, orang-orang menulis di atas potongan-potongan sutra putih. Di Iran, para penduduknya menulis di atas kulit-kulit yang tipis dan disamak. Untuk alat tulisnya, mereka memanfaatkan papan-papan batu putih dan tipis, lembaran-lembaran kuningan, besi, kulit pohon kurma, tulang bahu unta dan kambing, dan potongan-potongan kayu.[90]

            Penulis wahyu menulis ayat-ayat al-Quran di atas benda-benda tersebut. Kemudian hasilnya mereka serahkan kepada Rasulullah. Dan beliau pun menjaganya di tempat tertentu di dalam rumahnya. Hingga saat beliau wafat sebuah naskah lengkap al-Quran sudah ada di tangan beliau.

            Konon saat Nabi saw wafat, naskah tersebut telah beliau serahkan kepada Imam Ali as yang juga berkedudukan sebagai penulis wahyu.

            Imam Shadiq as berkata:

            “Rasulullah saw berkata kepada Imam Ali as, ‘Hai Ali, al-Quran ada padaku dan tertulis dalam mushaf dari kain sutra dan kertas. Ambillah! Jangan sampai hilang sebagaimana kaum Yahudi telah menghilangkan Taurat.’”[91]

Kodifikasi Al-Quran

            Telah diterangkan sebelumnya, ayat-ayat al-Quran turun secara acak selama 23 tahun kepada Nabi saw. Dalam pengumpulan dan penyusunannya memerlukan perhatian yang sempurna. Dikumpulkan beberapa tahap sampai dalam bentuk yang ada sekarang di tangan kaum Muslim.

Tahap Pertama: Di Zaman Rasulullah

            Langkah pertama yang beliau lakukan adalah memerintahkan agar mereka menulis ayat-ayat yang sudah turun dalam lembaran-lembaran. Beliau sendiri yang mengecek tulisan-tulisan mereka dan memilih letak yang tepat bagi setiap ayat. Memilah dan memberi nama surah-surah. Meminta para penulis agar membacakan tulisan-tulisan mereka kepada beliau, sehingga terpelihara dari kekeliruan. Lalu mengambil lembaran-lembaran tersebut dari para penulis dan mengarsipkannya di tempat yang aman. Dengan cara ini, semua ayat dan surah al-Quran dikumpulkan dan disusun di hadapannya. Tapi belum jelas bagaimana peletakan surah-surah al-Quran dan bagaimana penataannya, apakah arsip surah-surah itu mengikuti tata tertib tertentu ataukah tidak?

            Dapat dilihat di bawah ini bahwa semasa Nabi saw hidup kodifikasi dan penyusunan dilakukan di bawah pengawasan beliau.

Zaid bin Tsabit berkata, “Kami bersama Rasulullah saw sedang melakukan penyusunan al-Quran di atas kertas-kertas.”[92]

Akan tetapi tidak jelas benar, bagaimana penyusunan ini dan metode yang dilakukannya.

Kodifikasi dan penulisan al-Quran di masa itu tidak terbatas pada naskah (milik) Nabi saw. Tetapi sejumlah penulis wahyu menulis ayat-ayat juga buat mereka pribadi. Karena itu ada naskah-naskah al-Quran lainnya sebagaimana disinggung dalam kitab-kitab hadis, tafsir dan sejarah. Seperti mushaf Ali as, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ubay bin Ka’ab dan mushaf Zaid.

Ibn Nadim menyampaikan: “Mereka yang mengumpulkan al-Quran di masa Rasulullah ialah: Ali bin Abi Thalib as, Sa’d bin Ubaid, Abu Darda, ‘Uwaim bin Zaid, Mu’adz bin Jabal, Abu Zaid, Tsabit bin Zaid, Ubay bin Ka’ab, Ubaid bin Muawiyah dan Tsabit bin Dhahhak.”[93]

Masing-masing dari mereka punya al-Quran pribadi yang memuat seluruh surah dan ayat. Tetapi ada dua kekurangan: pertama, tidak berbentuk sebuah kitab yang rapi. Kedua, ada perselisihan di antara mereka dari segi mana surah-surah yang didahulukan dan yang diakhirkan.[94]

Rasulullah saw memiliki strategi lain dalam mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah al-Quran itu, yakni menjaganya melalui para penghafal terpercaya yang diresmikan Nabi saw. Tidak sedikit yang serius menghafal al-Quran. Di antara mereka dikaruniai kemampuan menghafal seluruh al-Quran. Mereka disebut komunitas penghafal al-Quran (Hâfizhul Qur`an). Para penghafal al-Quran ini dihormati para sahabat dan berkedudukan sebagai kamus berjalan al-Quran. Mereka menyampaikan al-Quran kepada yang lain dari hafalan mereka sendiri. Mereka menjadi tempat rujukan kaum Muslim dalam hal yang mereka perlukan. Bahkan para penghimpun al-Quran di masa Abu Bakar dan Usman bertanya kepada para penghafal al-Quran ini.

Di masa Rasulullah saw seluruh ayat al-Quran dikumpulkan dan dijaga dengan cara ini sehingga tetap terpelihara bagi kaum Muslim.

 

Tahap Kedua: Di Masa Khalifah Abu Bakar

            Walaupun di masa Nabi saw seluruh ayat dan surah al-Quran ditulis dalam pengawasan langsung beliau, dan sejumlah sahabat telah menghafal al-Quran, tetapi untuk menguatkan dan meyakinkan umat, harus ada upaya baru. Sebab, pertama, ayat-ayat dan surah-surah tidak dicatat dalam satu kompilasi dan dalam bentuk satu kitab. Bahkan al-Quran ditulis dalam berbagai lembaran dan secara serabutan. Hal ini rawan terhadap terjadinya tahrîf (penambahan atau pengurangan).

            Kedua, para penghafal al-Quran, yang berperan sebagai kamus berjalan al-Quran dan menjadi rujukan dalam hal yang diperlukan, sudah uzur dan sebagian ada yang syahid. Dikhawatirkan dengan kematian mereka, maka akan hilanglah sebagian ayat. Sebagaimana terjadi dalam peperangan Yamamah, sejumlah penghafal al-Quran terbunuh, sampai-sampai Abu Bakar merasa khawatir dan memerintahkan agar mereka menulis seluruh ayat al-Quran dalam satu kompilasi (shahîfah).

            Mengenai hal ini, Suyuthi menyampaikan, “Zaid bin Tsabit berkata, ‘Abu Bakar pasca perang Yamamah memanggil saya. Saat itu Umar bin Khaththab ada di sampingnya. Ia berkata kepada saya, ‘Umar datang kepadaku dan melaporkan bahwa di perang Yamamah banyak qurrâ` dan para penghafal al-Quran terbunuh. Aku khawatir dalam perang-perang berikutnya para penghafal al-Quran yang lain akan terbunuh juga, yang akan menyebabkan sebagian al-Quran akan musnah. Oleh karena itu, menurutku, perintahkanlah agar al-Quran dikumpulkan.’’”

Zaid berkata, “Saya bertanya kepada Umar, ‘Apakah kami melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw?’

Umar menjawab, ‘Demi Allah, ini adalah tugas yang baik dan wajib.’ Ia begitu mendesak saya sehingga saya percaya padanya.

Abu Bakar berkata pada saya, ‘Anda adalah seorang pemuda bijak dan dipercaya, apalagi Anda dulu juga seorang penulis wahyu. Kumpulkanlah al-Quran dengan teliti dan seksama. Aku juga telah mengumpulkan seluruh al-Quran dari kulit pohon kurma, tulang hewan dan papan-papan batu putih, juga aku peroleh dari orang-orang yang hafal al-Quran dan dalam satu tempat.’”[95]

Zaid bin Tsabit menerima tugas penting ini atas perintah Abu Bakar dan melaksanakannya. Ia juga meminta dari sahabat-sahabat Rasulullah saw: “Siapa saja yang memiliki sebuah tulisan al-Quran, atau yang hafal surah atau ayat, hendaknya diajukan kepada saya untuk saya catat.” Para sahabat menyambut seruannya dan menyatakan bersedia membantu.

Zaid meletakkan standar penerimaan ayat dengan kesaksian dua orang adil. Jika dua orang adil itu memberi kesaksian bahwa “Ayat ini aku dengar dari Rasulullah” atau “Kami bersaksi (ayat itu) telah ditulis di hadapan Rasulullah”, maka ayat itu bisa diterima dan ditulis.

Suyuthi menyampaikan, “Dinukil dari Laits bin Sa’d yang berkata, ‘Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Quran dan Zaid bin Tsabit mengemban tugas untuk menulisnya. Orang-orang memperlihatkan ayat-ayat al-Quran kepada Zaid, tetapi dia tidak akan menerimanya kecuali dengan kesaksian dua orang adil.’”[96]

Umar berkata, “Siapa yang memiliki sesuatu yang termasuk al-Quran dari Rasulullah, hendaklah ia membawanya kemari untuk kami salin.” Para sahabat menulis ayat-ayat di kertas atau papan-papan atau kulit pohon kurma. Tetapi itu tidak akan diterima kecuali dengan kesaksian dua orang adil.[97]

Alhasil, Zaid bin Tsabit dari segi manapun memiliki kelayakan untuk melaksanakan tugas ini sebab dia dikenal dengan keimanan, ketakwaan, amanah dan keahliannya.

 

Kodifikasi Al-Quran Oleh Ali bin Abi Thalib

            Dari beberapa hadis dan pendapat sebagian sejarahwan bisa disimpulkan bahwa Ali bin Abi Thalib as adalah orang pertama, yang mengumpulkan dan menulis al-Quran setelah Rasulullah saw wafat dan atas perintah beliau.

            Abu Bakar Hadhrami menukil dari Imam Shadiq as. Beliau berkata, “Rasulullah saw berkata kepada Imam Ali as, ‘Hai Ali, al-Quran ada padaku dan tertulis dalam mushaf dari kain sutra dan kertas. Ambillah! Jangan sampai kamu menghilangkannya sebagaimana Yahudi menghilangkan Taurat.’

Maka Ali as pergi dan membungkus al-Quran itu dalam kain kuning lalu menstempelnya di rumahnya. Ia berkata, ‘Aku tidak mengenakan ‘abâ` (kain luar yang digunakan untuk menutupi jubah—penerj.) supaya dapat membungkus al-Quran itu.’ Sehingga jika seseorang datang ke rumahnya, maka dia menemuinya tanpa mengenakan ‘abâ`.”[98]

Abu Rafi’ meriwayatkan: “Nabi saw di saat-saat terakhir hayatnya, beliau sempat berkata kepada Ali as, ‘Hai Ali! Ambillah Kitabullah ini.’ Maka Imam Ali mengumpulkannya dalam satu kain lalu membawanya ke rumah. Ketika Nabi saw meninggal dunia, Ali as sibuk mengumpulkan al-Quran. Ia menulisnya menurut turunnya ayat, dan ia yang paling mengetahui masalah ini.”[99]

Abdu Khair meriwayatkan dari Imam Ali as, yang berkata, “Ketika Rasulullah saw wafat, aku bersumpah sebelum mengumpulkan al-Quran tidak akan mengenakan ‘abâ`. Demikianlah aku tidak akan mengenakannya kecuali setelah mengumpulkan al-Quran.”[100]

Ibn Sirin meriwayatkan dari Ali as, yang berkata, “Ketika Rasulullah saw meninggal, aku berjanji kepada Allah tidak akan mengenakan ‘abâ` kecuali untuk shalat Jum’at sampai aku bisa mengumpulkan al-Quran.”[101]

Dalam Tarîkh al-Ya’qûbî diterangkan, “Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib as setelah wafat Rasulullah saw mengumpulkan al-Quran. Ia membawanya di atas unta seraya mengatakan, ‘Inilah al-Quran. Aku telah mengumpulkannya.’”[102]

Jadi Nabi saw di masa terakhir hidup beliau menyerahkan naskah-naskah al-Quran pribadi beliau yang sangat berharga kepada Ali as, dan berkata, “Kumpulkan al-Quran dalam satu wadah.” Maka Ali as—setelah wafat Rasulullah, melaksanakan upacara pengafanan dan pemakaman beliau saw—melaksanakan tugas mengumpulkan al-Quran dan menyusunnya. Setelah menyelesaikannya, ia memperlihatkannya kepada khalifah saat itu. Namun ditolak.

Tidak jelas benar, apa perbedaan-perbedaan al-Quran versi Imam Ali as dengan versi al-Quran yang ada sekarang. Tetapi secara garis besar dapat dikatakan: tidak ada perbedaan dari sisi jumlah ayat dan surah atau tidak ada perubahan dalam sebagian surah dan ayat. Sebab ditetapkan dengan dalil-dalil pasti bahwa tiada satu pun bentuk tahrîf dan perubahan dalam al-Quran. Bahkan al-Quran yang dipegang oleh Imam Ali adalah al-Quran yang turun kepada Nabi saw.

Oleh karena itu, jika pun ada perbedaan maka itu terdapat dalam segi-segi di bawah ini:

1-Ayat-ayat dan surah-surah dalam al-Quran versi Imam Ali ditulis menurut ketertiban nuzûl (turunnya ayat).

2-Dalam ayat-ayat yang telah dicabut atau di-nasakh, nâsikh (ayat yang mencabut atau menghapus) muncul setelah mansûkh (ayat yang dicabut atau dihapus).

3-Ayat-ayat dicatat sesuai qirâ`ah (bacaan) Rasulullah saw.

4-Kemungkinan tafsir-tafsir dan tema-tema yang Rasulullah sampaikan dalam menafsirkan ayat-ayat yang jelas (muhkamât) dan ayat-ayat yang samar (mutasyâbihât) dan dalam kedudukan turunnya ayat-ayat, dicatat di catatan kaki al-Quran tersebut atau di lembaran-lembaran yang terpisah.

Perlu kami ingatkan satu hal penting bahwa kaum Syi’ah meyakini al-Quran yang ada di tengah kaum Muslim adalah al-Quran yang turun kepada Nabi saw dan terpelihara dari tahrîf dan perubahan. Mereka mengamalkan al-Quran ini dengan mengikuti para imam maksum as.

 

Tahap Ketiga: Era Khalifah Usman

            Proyek kodifikasi tahap ketiga ini dilaksanakan karena sebab seperti yang diceritakan Hudzaifah bin Yaman—yang ikut berperang pada penaklukan Armenia dan Azerbaijan—bahwasanya dia bersama dengan orang-orang Syam menghadap Usman untuk mengeluhkan tentang perbedaan-perbedaan dalam bacaan al-Quran. Ia mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin (Usman)! Cegahlah muslimin dari terjadinya perbedaan dalam al-Quran, sebelum mereka dilanda perselisihan-perselisihan seperti yang dialami Yahudi dan Nasrani dalam kitab agama mereka.”[103]

            Walaupun di masa Abu Bakar telah ditulis dan disusun naskah lengkap al-Quran, dan setelah itu berada di tangan Umar, kemudian dititipkan kepada putrinya Hafshah, tetapi al-Quran ini belum sampai ke tangan rakyat. Bahkan rakyat masih menggunakan al-Quran yang ditulis oleh para penulis wahyu di zaman Rasulullah saw dan sudah tersebar di berbagai kota dan negara-negara Islam.

            Sayangnya, al-Quran yang tersebar tidak sama. Bahkan ada dua perbedaan di dalamnya:

Pertama, tertib susunan ayat dan surah.

Kedua, bentuk tulisan huruf dan bacaannya. Dalam hal ini muncul al-Quran yang berbeda dan tersebar di kota-kota dan negara-negara Islam. Setiap kelompok mempertahankan al-Qurannya sendiri dan mengunggulkannya di atas semua al-Quran versi lain.

Hudzaifah cemas melihat perbedaan-perbedaan ini di tengah kaum Muslim dan khawatir akan masa depan al-Quran dan kaum Muslim. Setelah ia kembali, ia mengutarakan masalah ini kepada Usman dan memohon solusinya. Usman juga sangat cemas dan berniat menghilangkan perselisihan-perselisihan ini serta mengarahkan segenap kaum Muslim pada satu al-Quran yang lengkap dan sempurna.

Untuk tujuan ini Usman memanggil Zaid bin Tsabit dan bermusyawarah dengannya. Sebab dia adalah seorang ahli al-Quran dan pada masa Abu Bakar pernah bertugas menyusun dan menulis al-Quran. Karena itu Usman memintanya supaya menyusun satu edisi al-Quran yang lengkap dan sempurna dengan teliti dan seksama. Usman menyerahkan al-Quran versi Abu Bakar kepada Hudzaifah. Juga memerintahkan Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits, agar membantu Hudzaifah dalam melaksanakan urusan penting ini. Kemudian Usman berkata kepada mereka, “Kalian harus mengecek al-Quran ini dengan teliti dan berupayalah menyalinnya dengan huruf-huruf, kata-kata dan pelafalan yang benar. Bilamana kalian berselisih pandangan tentang suatu hal, utamakan dialek Quraisy. Sebab al-Quran turun dengan bahasa Quraisy.”[104]

Proyek tersebut dilaksanakan atas perintah Usman pada tahun 25 Hijriah. Mereka menyerahkan al-Quran versi Abu Bakar yang asli dan memproses naskah-naskah lainnya. Said bin Ash (bertugas) mendikte dan membacakan. Sebab dialeknya mirip dialek Nabi saw. Zaid menulis kata-kata sesuai pelafalan dan dialek Said.

Lama kemudian mereka merasa perlu meminta bantuan yang lain. Maka mereka mengajak delapan orang sahabat untuk kerja sama. Jumlah mereka seluruhnya menjadi dua belas orang.[105]

Salah satu dari mereka ialah Ubay bin Ka’ab. Terkadang ia mendiktekan ayat-ayat kepada yang lain. Dalam prakteknya, naskah al-Qurannya dimanfaatkan. Mereka juga merujuk pada sahabat-sahabat lainnya dalam hal-hal yang diragukan, dan menerimanya (hal-hal tersebut) apabila dua saksi adil mendukung kebenarannya.

Dalam beberapa hal mereka juga memanfaatkan pandangan-pandangan Imam Ali as.[106]

Melalui cara ini dilakukan satu proyek koreksi yang akurat dan dilakukan oleh kelompok pengumpul al-Quran, lalu jadilah satu naskah yang benar. Setelah beberapa tahap dilakukan cek ulang dan diproses, akhirnya ditulislah satu naskah lengkap al-Quran yang akurat dan benar, diakui dan disahkan.

Setelah itu Usman memerintahkan agar mereka mencetak beberapa naskah dan memperbanyaknya berdasarkan naskah yang telah diedit, kemudian bagi setiap negara besar Islam dikirim satu naskah al-Quran dan al-Quran versi lain ditarik dari mereka dan dimusnahkan.

Dengan demikian itu terwujudlah janji Allah yang mengatakan:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّکْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَفِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS. al-Hijr:9).

لَّا یَأْتِیهِ الْبَاطِلُ مِن بَیْنِ یَدَیْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِیلٌ مِّنْ حَکِیمٍ حَمِیدٍ

Yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji (QS. Fushilat:42).

Seluruh ayat dan surah al-Quran akan tetap selamanya untuk kaum Muslim tanpa tahrîf, tidak berkurang dan tidak berlebih.

 

 

[83] Suyuthi, Al-Itqân, juz 1, hal., 96.
[84] Ibid., 94.
[85] At-Tarâtib al-Idâriyah, juz 1, hal., 46.
[86] Tarîkh al-Ya’qûbî, juz 2, hal., 43.
[87] At-Tarâtib al-Idâriyah, juz 1, hal., 115-116.
[88] Ibid., hal., 114.
[89] Tarîkh al-Ya’qûbî, juz 2, hal., 34.
[90] At-Tarâtib al-Idâriyah, juz 1, hal., 122; Suyuthi, Al-Itqân, juz 1, hal., 78.
[91] Bihâr al-Anwâr, juz 92, hal., 48.
[92] Suyuthi, Al-Itqân, juz 1, hal., 76.
[93] Fihrits, hal., 47.
[94] Ibid., 43-48.
[95] Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi al-Qur`an, juz 1, hal., 76.
[96] Ibid., hal., 77.
[97] Ibid.
[98] Bihâr al-Anwâr, juz 2, hal., 48.
[99] Manâqib Ibn Syahr Asyub, juz 2, hal., 41.
[100] Ibid.
[101] Suyuthi, Al-Itqân, juz 1, hal., 77.
[102] Tarîkh al-Ya’qûbî, juz 2, hal., 135.
[103] Jâmi’ al-Ushûl, juz 2, hal., 503.
[104] Ibid., hal., 504.
[105] Suyuthi, Al-Itqân, juz 1, hal., 79.
[106] Ibid.