پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Muhammad saw Sebelum Diangkat Menjadi Nabi (Bi’tsah)

Muhammad saw Sebelum Diangkat Menjadi Nabi (Bi’tsah)

 

            Nabi Muhammad saw dilahirkan pada tanggal 17 Rabiul Awal tahun 570 Masehi di Mekkah.[55]

            Ayah beliau Abdullah dan ibu beliau Aminah. Sebelum beliau lahir, ayah beliau telah meninggal dunia dan dimakamkan di Madinah. Kemudian beliau diasuh oleh kakek beliau, Abdul Muthalib, seorang pembesar Quraisy, yang sangat mencintai Muhammad. Ia pernah berkata: “Putraku Muhammad memiliki masa depan yang cemerlang.”[56]

            Menginjak usia lima tahun, ibu beliau meninggal dunia. Pada usia sembilan tahun, kakek beliau pun meninggal dunia. Sebelum wafat, Abdul Muthalib menitipkan cucunya ini (saw) kepada putranya, Abu Thalib agar menjaga dan merawatnya.

            Nabi saw, pada usia 25 tahun menikah dengan Khadijah binti Khuwailid. Seorang wanita Quraisy terhormat, konglomerat dan suci. Dari pernikahan dengan beliau saw, Khadijah melahirkan dua putra yang kemudian meninggal di masa kanak mereka. Dan melahirkan empat putri: Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

            Sejarah mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pada masa kecilnya dan remajanya telah memiliki keutamaan di atas orang-orang seusianya. Berdasarkan ucapan dan perilakunya jelas dia bukan manusia biasa.

            Tentang beliau saw Abu Thalib bercerita:

“Di satu malam aku mendengar kata-kata yang luar biasa dari Muhammad saw. Bila kami makan dan minum, kami tidak menyebut Allah. Kemudian aku mendengar dari Muhammad ketika (hendak) makan mengucapkan: Bimillâhi al-`ahad (maksudnya: “Dengan nama Allah Yang Esa”). Sesudah makan ia mengucapkan: Alhamdu lillâhi katsîran (baca: “Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya”). Aku sangat heran dengan perilaku ini. Terkadang, tiba-tiba aku menemuinya dan melihat di atas kepalanya cahaya yang melambung ke langit. Tidak pernah aku mendengar dusta dari Muhammad. Tingkah laku jahiliyah takkan tersentuh olehnya. Tak pernah aku melihat ia tertawa-tawa berlebihan atau bermain dengan anak-anak atau memperhatikan mereka. Ia suka sendiri dan berendah hati.”[57]

            Ibn Abbas menceritakan:

“Waktu subuh anak-anak Abu Thalib sudah bangun tidur, kedua mata mereka tidak bersih. Tapi kedua mata Muhammad jernih dan terang. Pagi hari, Abu Thalib memberi makan anak-anaknya. Mereka saling berebut makanan. Tetapi Muhammad tidak berebut dengan mereka. Melihat hal demikian, Abu Thalib menyediakan makanan untuknya secara terpisah.”[58]

            Abul Fida menyampaikan:

            “Rasulullah saw dibesarkan Abu Thalib. Allah menjaga beliau dari melakukan perbuatan-perbuatan jahiliyah dan keburukan-keburukannya. Sebab Dia menghendaki karamah beliau, hingga beliau menjadi dewasa dan memiliki keutamaan di atas semua orang dari segi kemuliaan, budi pekerti, etika bergaul, sikap baik terhadap tetangga, kesabaran, amanah dan kejujuran. Tidak pernah beliau bersenda gurau atau berdebat dengan orang lain. Semua sifat terpuji ada pada dirinya, sehingga beliau disebut Muhammad al-Amîn (yang terpercaya).”[59]

            “Pada awal wahyu, Nabi saw pulang ke rumah dengan rasa takut. Beliau sampaikan kepada Khadijah, istri beliau: “Aku merasa khawatir dengan diriku.”

Khadijah menghibur beliau, ia menjawab: “Bergembiralah karena Allah tidak akan menjadikan engkau terhina. Sebab engkau telah menjalin silaturahmi, berkata jujur, menanggung kesulitan-kesulitan orang lain, membantu fukara, menghormati tamu dan menolong orang lain dalam musibah.”[60]

Anas bin Malik menyampaikan:

“Sebelum bi’tsah, orang-orang memanggil beliau al-`Amîn. Sebab beliau dikenal amanah dan adil.”

Rabi’ bin Hatim mengatakan:

“Di zaman jahiliyah bila ada orang-orang yang berselisih, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad saw. Nadhar bin Harits berkata kepada kaum Quraisy: ‘Kalian mengakui Muhammad di masa kecil paling terpuji, paling jujur dan paling terpercaya di antara kalian. Tetapi di masa rambutnya sudah beruban dan dia diutus oleh Allah kepada kalian, kalian mengatakan: ‘Dia penyihir!’ Tidak, demi Allah dia bukan penyihir.’”[61]

Pada usia dua puluh tahun, beliau saw ikut serta dalam Hilfu al-Fudhûl (sumpah pemuda). Sejumlah orang yang beritikad baik mengadakan kesepakatan di rumah Abdullah bin Jad’an dan mengikat janji: Selama mereka hidup, akan membela kaum tertindas yang tanpa perlindungan dan mengembalikan hak-hak mereka dari para penindas. Nabi Muhammad saw menceritakan tentang hal ini:

“Aku hadir dalam perjanjian yang disepakati di rumah Abdullah bin Jad’an, dan aku tidak akan mau menukarnya dengan unta-unta yang berbulu merah (yang paling bagus sekalipun—penerj.). Dan pada masa Islam pun aku (masih komitmen) menyambut seruan mereka itu.”[62]

Dengan bukti-bukti historis di atas disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw, sebelum bi’tsah dikenal oleh masyarakat dengan perilaku yang baik, amanah, jujur, sabar, pro-keadilan, tidak menyakiti dan menjaga kesucian.

Berdasarkan saksi hidup yang baik ini, orang-orang bisa menerima pengakuan beliau sebagai nabi dan mengimaninya.

Agama Muhammad saw Sebelum Bi’tsah

            Apakah Muhammad sebelum pengutusan nabi berpegang pada suatu agama dan syariat, ataukah tidak? Jika ya, lalu agama apakah yang beliau ikuti?

            Perlu kami sampaikan sebelumnya bahwa dalam sejarah dan dokumen Islam, tidak kami temukan sesuatu yang menyampaikan masalah ini secara jelas. Namun beberapa fakta sebagai bukti-bukti historisnya dapat dijelaskan. Antara lain:

            Abul Fida menyampaikan: “Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw dalam setahun beliau pergi ke bukit Hira sebulan lamanya dan di sana beliau melakukan ibadah. Kaum Quraisy pun berbuat demikian. Di masa itu beliau memberi makan kepada setiap fakir yang datang. Usai melaksanakan upacara-upacara ibadah, sebelum pulang ke rumah, beliau melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah.”[63]

            Ghiyats bin Ibrahim meriwayatkan dari Imam Shadiq as:

            “Nabi saw setelah datang ke Madinah tidak pergi haji melainkan sekali. Namun (selama) di Mekkah beliau beberapa kali bersama kerabat beliau melaksanakan upacara-upacara haji.”[64]

            Diriwayatkan; “Muhammad saw di usia empat puluh tahun melakukan shalat.”[65]

            Paman beliau, Abu Thalib, juga menceritakan Nabi Muhammad pada masa kecilnya:

“Ketika memulai makan ia selalu membaca: Bismillah dan setelahnya mengucapkan `Alhamdulillah.”[66]

Dari keterangan ini disimpulkan bahwa Nabi saw sebelum bi’tsah, telah melakukan amalan-amalan sebagai ibadah, melakukan shalat, sebulan dalam setahun melakukan i’tikaf di bukit Hira, melaksanakan ritual-ritual haji, thawaf seputar Ka’bah, membaca Bismillah ketika hendak makan. Maka jelas beliau adalah seorang pribadi religius dan rajin melakukan ibadah-ibadah.

Di samping itu, dalam pembahasan Imamah ditetapkan bahwa para nabi seumur hidupnya maksum (terpelihara) dari kekufuran, kesyirikan dan dosa. Oleh karena itu, harus diakui, Nabi saw sebelum bi’tsah adalah seorang religius. Sebab kekufuran dan kesyirikan tidak sesuai dengan kemaksuman beliau.

Al-Quran menafikan kesesatan dan kekufuran seluruhnya dari diri beliau, bahkan sebelum beliau diutus.

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى‏ / مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمْ وَمَا غَوَى‏

Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru (QS. an-Najm:1-2).

Oleh karena itu, mengenai keberagamaan Nabi Muhammad sebelum bi’tsah tiada keraguan sedikit pun.

Kini sampai kepada pertanyaan, “Agama apakah yang beliau peluk?”

Ada beberapa kemungkinan:

Kemungkinan pertama: mengikuti syariat Nabi Musa atau Nabi Isa. Karena ajaran samawi zaman itu cuma ada dua agama dan wajib bagi semua mengikutinya, maka Muhammad saw sebelum diutus menganut salah satu dari dua agama ini.

Namun kemungkinan ini tidak benar. Sebab jika beliau seorang (penganut) agama Yahudi atau Nasrani, tentu beliau akan ikut serta dalam ritual-ritual keagamaan mereka, menjalin hubungan dengan mereka dan pasti tercatat dalam sejarah. Tetapi fakta ini tidak ada dalam sejarah, di sisi lain kaum Yahudi dan Nasrani tidak mengakuinya.

Sebagaimana keterangan sebelumnya, Nabi Muhammad melakukan ibadah-ibadah tertentu yang bukan bagian dari dua agama tersebut. Seperti haji, thawaf Ka’bah, sembahyang dan i’tikaf di bukit Hira. Oleh karena itu, berdasarkan semua ini, beliau saw sebelum bi’tsah, bukan seorang Yahudi atau Nasrani.

Kemungkinan kedua: mengikuti syariat Nabi Ibrahim as. Penjelasannya adalah bahwa Nabi Ibrahim as di Hijaz telah menanamkan tauhid dan ibadah kepada Allah. Ajaran Ibrahim yang disebut Hanifiyah, tersebar di tengah umat wilayah itu. Putranya, Ismail, juga menyebarkan ajaran tersebut. Bangsa Arab di sana yang umumnya adalah anak keturunan Ismail, menerima dan mempertahankan ajaran kakek mereka, Ibrahim.

Agama Ibrahim hingga beberapa masa adalah agama resmi masyarakat jazirah Arab. Tetapi dengan berlalunya zaman, hukum-hukum, ibadah-ibadah ritual agama yang lurus ini lama kelamaan terlupakan. Yang tersisa hanya ritual-ritual khusus seperti haji, wukuf di Arafah, Masy’ar dan Mina, kurban, lontar jumrah, thawaf Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan amalan-amalan lainnya. Bahkan dengan berlalunya zaman, kesyirikan mempengaruhi akidah masyarakat. Karena adanya petunjuk-petunjuk yang salah, mereka menjadikan sejumlah objek tertentu sebagai sekutu Tuhan dan mereka menyembahnya. Dengan semua penyimpangan ini, mereka menyatakan diri mengikuti Nabi Ibrahim.

Yang jelas di antara mereka terdapat sejumlah individu yang tidak senang dengan kondisi yang berlaku. Mereka merasa hakikat agama Ibrahim telah hilang dan berganti kesesatan. Terkadang mereka berusaha menemukan (mengembalikan) hukum-hukum dan ritual-ritual ibadah agama Hanifiyah ini, dan membersihkannya dari hal-hal takhayul (khurafat). Berikut ini antara lain sejarahnya:

Ibn Hisyam menyampaikan: “Di salah satu hari raya saat kaum Quraisy berkumpul mengelilingi salah satu berhala, mereka berkurban untuknya dengan segala penghormatan terhadapnya. Empat orang dari mereka memisahkan diri secara diam-diam. Di satu sudut mereka mengatakan, ‘Kita berjanji akan merahasiakan keyakinan kita dari yang lain.’ Mereka adalah: Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Usman bin Huwairits dan Zaid bin Umar. Mereka mengatakan, ‘Demi Allah, kalian tahu bahwa kaum kalian tidak memeluk agama yang benar. Mereka keliru mengikuti agama kakek mereka, Ibrahim. Untuk apa kita mengelilingi batu tadi? Berhala ini tidak mendengar, tidak melihat, tidak mendatangkan mudarat juga tidak bermanfaat. Saudara-saudara! Pilihlah agama yang lurus untuk diri kalian.’ Kemudian mereka berpencar ke berbagai negeri untuk menemukan agama Ibrahim yang lurus.”[67]

“Zaid bin Umar bimbang. Ia keluar dari agama kerabatnya. Tetapi tidak juga ia masuk agama Yahudi dan Nasrani. Ia berhenti menyembah berhala. Ia menjauhi memakan daging bangkai, darah dan daging hewan yang dijadikan persembahan kurban untuk berhala-berhala. Ia melarang membunuh anak kecil (khususnya perempuan). Ia mengatakan, ‘Aku hanya menyembah Tuhannya Ibrahim.’ Karena itu dia memprotes agama kaumnya.”[68]  

Dari beberapa hadis disimpulkan bahwa kakek-kakek Nabi saw mengikuti agama Nabi Ibrahim.

Ashbagh bin Nabatah menyampaikan, “Aku mendengar Amirul Mukminin (Ali) as berkata, ‘Demi Allah, ayah dan datukku, Abu Thalib, Abdul Muthalib, Hasyim dan Abdu Manaf tidak pernah menyembah berhala.’”

Ditanyakan kepada beliau, “Lantas bagaimana mereka melakukan ibadah?”

Beliau menjawab, “Mereka melakukan amalan (ritual) menurut agama Nabi Ibrahim dan melakukan shalat menghadap Ka’bah.”[69]

Oleh karena itu, sampailah pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad saw sebelum diutus, mengikuti agama dan syariat Nabi Ibrahim: Menyembah Tuhan Yang Esa, menentang kesyirikan dan penyembahan berhala, melaksanakan shalat, melaksanakan ritual-ritual haji yang merupakan bagian ritual-ritual ibadah ajaran Nabi Ibrahim, suka berkhalwat, berzikir dan beribadah kepada Allah, dan memperhatikan akhlak yang baik.

Seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat, sebelum bi’tsah Nabi Muhammad saw tidak terlepas dari dukungan dan pertolongan Allah dalam mengenal kemuliaan-kemuliaan agama yang lurus dan memegang teguhnya.

Hal ini diceritakan oleh Amirul Mukminin as sebagai berikut, “Ketika Muhammad saw memasuki masa menyusu, Allah memerintahkan malaikat yang paling besar untuk menjaga beliau siang dan malam, dan membimbing beliau kepada perilaku dan akhlak yang baik.”[70]

Diriwayatkan sebagian sahabat Imam Muhammad Baqir as bertanya tentang tafsir ayat,

إِلَّا مَنِ ارْتَضَى‏ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ یَسْلُکُ مِن بَیْنِ یَدَیْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً

Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

Beliau menjawab, “Allah memerintahkan malaikat-malaikat untuk mengawasi apa yang dilakukan oleh para nabi-Nya dan menolong mereka dalam menyampaikan risalah. Dia memerintahkan malaikat yang besar, untuk menjaga Muhammad saw sejak masa menyusu, membimbing beliau pada perbuatan-perbuatan baik dan akhlak terpuji, dan mencegah beliau dari perbuatan-perbuatan buruk. Malaikat ini ialah yang mengucapkan: Assalamu ‘alaika ya Muhammad Rasulullah!  kepada Nabi saw.  Masa itu ketika beliau belum diutus menjadi rasul dan Nabi saw mengira (suara) Islam ini berasal dari batu dan tanah, lalu beliau mencari tahu (dari mana asalnya) namun beliau tidak menemukan apa-apa.”[71]

[55] Will Durant, Tarikh Tamadun, juz 4, bag., I, hal., 197.
[56] Manâqib Ibn Syahr Asyub, juz 1, hal., 61.
[57] Ibid., hal., 63.
[58] Abul Fida, As-Sîrah an-Nabawiyah, juz 1, hal., 242.
[59] Ibid., 249.
[60] Ibid., 394.
[61] ‘Uyûn al-Atsâr, juz 2, hal., 334.
[62] Ibid., hal., 390.
[63] Ibid., 390.
[64] Wasâil asy-Syî’ah, juz 8, hal., 88.
[65] Bihâr al-Anwâr, juz 15, hal., 361.
[66] Manâqib Ibn Syahr Asyub, juz 1, hal., 63.
[67] Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyah, juz 1, hal., 237.
[68] Ibid., hal., 239.
[69] Bihâr al-Anwâr, juz 15, hal., 144.
[70] Nahj al-Balâghah, khotbah 194.
[71] Bihâr al-Anwâr, juz 15, hal., 361.