پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

HAK-HAK BERSAMA PEREMPUAN DAN PRIA

HAK-HAK BERSAMA PEREMPUAN DAN PRIA

 

Apa hak-hak bersama antara perempuan dan pria?

Jawaban: Islam sama sekali tidak menganggap berbeda antar apria  dan perempuan dari segi sebagai manusia, dan menganggap prinsip ini pada batasan yang tidak bisa disangkal dimana dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat sama sekali tidak perlu menegaskan persoalan ini dengan jelas. Oleh karena itu, dimana saja tampak didalam Al-Quran atau dalam hadis-hadis topik-topik yang ditujukan kepada manusia maka meliputi perempuan dan pria keduanya. Di era-era zaman itu persoalan ini diperbincangkan hingga bagi masyarakat-masyarakat yang berperadaban bahwa apakah perempuan secara prinsip adalah manusia ataukah bukan atau  separuh manusia. Namun bagi Islam persoalan ini sama sekali tidak dikemukakan.

Dan ini adalah topik sampingan.

Sekitar satu abad topik hak-hak manusia di tingkat dunia dikemukakan. Yang jelas, Islam sejak semula membahas hal ini dan menentukan serta menyetujui. Topik yang saya kemukakan dalam hal ini yaitu hak-hak perempuan adalah hak-hak yang sebagian dikemukakan sebagai hak-hak manusia, dan antara perempuan dan pria adalah sama dan disini saya akan menjelaskan hak-hak yang paling penting:

1. Hak Hidup dan Kehidupan

Manusia sebagai eksistensi yang hidup memiliki hak ini untuk melanjutkan kehidupannya dan seseorang tidak berhak tanpa izin aturan (undang-undang) dan   syariat merampas hak darinya.

2. Hak Kebebasan

setiap manusia baik perempuan maupun pria diciptakan merdeka (bebas). Dan kebebasan ini diletakkan didalam fitrahnya. Seseorang juga tidak berhak menghilangkan kebebasan darinya kecuali mengganggu kebebasan orang lain atau mengganggu kemaslahatan dirinya dan masyarakat.

3. Hak Menggunakan Sumber-sumber Alam

Manusia hidup di dunia membutuhkan sesuatu-sesuatu yang khusus seperti air, udara, makanan, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dia harus bisa menggunakan makanan, air, udara, dan semisalnya. Sumber-sumber seperti tambang, hutan, dan lautan adalah milik masyarakat dan manusia tentunya berhak untuk memanfaatkannya. Tidak seorangpun yang berhak melarangnya. Kecuali penggunaan hak ini mengganggu hak-hak orang lain. Berkaitan dengan hak menetap juga demikian, oleh karena manusia memerlukan tempat tinggal, maka tentu untuk menyediakan tempat tinggal dia diperbolehkan untuk memilih kota kediaman dan tempat tinggal bagi dirinya dalam batasan negara atau kotanya atau setiap tempat yang  lain.

Yang pasti, sewajarnya semua hal-hal ini harus memiliki sistem dan aturan-aturan khusus yang merupakan suatu keharusan kehidupan bermasyarakat dan memenuhi kemaslahatan-kemaslahatan umum.

Dalam semua perkara-perkara ini pembahasannya adalah manusia dengan karakter insaniahnya dan sebagai prinsip-prinsip primer memiliki hak-hak seperti ini. Dan tentunya apabila secara pasti penggunaan hak-hak ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan masyarakat, maka pasti  akan dibatasi. Misalnya jika seseorang mengganggu kehidupan orang lain atau membahayakan masyarakat maka tidak bisa dikatakan bahwa hak kehidupannya dihormati dan dijaga tetapi pada hakekatnya dirinya meniadakan hak ini dari dirinya sendiri. Dan hukum-hukum perdata yang tingkatannya setelah hak-hak kemanusiaan dan hak-hak asasi akan menjelaskan tugasnya.

4. Hak Kesehatan dan Pengobatan

Perempuan dan laki-laki sebagai manusia berhak menikmati lingkungan yang sehat untuk menjaga kehidupan dan kesehatan dirinya. Dan sesuatu yang mereka butuhkan untuk pengobatan dan menghilangkan penyakit hendaknya dalam kebebasannya. Dan ini adalah hak alamiah setiap manusia yang tidak seorangpun yang boleh melarangnya.

5. Hak Bekerja

Keharusan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan adalah bekerja. Oleh karena itu perempuan dan pria berhak melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya dan hasil pekerjaan setiap orang juga milik dirinya. Oleh karena itu, setiap orang yang bekerja bagi yang lain maka dia harus menerima upah yang sesuai dengan ukuran pekerjaannya terlepas dari tenaga kerja adalah perempuan atau pria, berkulit hitam atau putih. Karena setiap orang menghadapi pekerjaan yang dia lakukan berhak memperoleh upah. Tidak bisa dikatakan kepada seseorang karena kamu perempuan maka kamu harus menerima upah yang  lebih sedikit menhadapi pekerjaan yang sama. Islam sangat menentang  hal ini. Menurut perspektif  Islam, apabila perempuan bekerja di rumah atau ditempat yang lain maka dia dibayar dengan upah seperti bayaran upah laki-laki. Dari sisi ini menurut pandangan saya di dunia kita para perempuan dizalimi. Karena sebagian besar dimanfaatkan dari kemiskinan para perempuan. Mereka mempekerjakan para perempuan dan sebagai ganti upah yang adil, mereka mengkhususkan upah yang lebih sedikit daripada upah para pria. Di Barat juga amat disesalkan persoalannya sangat umum, mereka menggunakan perempuan sebagai buruh dan pekerja murah. Maksud dari upah yang adil bukan upah yag sama. Setiap orang harus mengambil upah dengan kadar nilai pekerjaannya. Seorang pekerja perempuan mungkin juga bekerja dengan kadar pekerja pria atau bahkan lebih. Dia harus mengambil upah yang sebanding yaitu kewanitaan tidak boleh menjadi standart tetapi pekerjaan itu sendiri, syarat-syarat dan efisiensi adalah dasarnya.


Satu Peringatan Simpatik

          Pada kondisi saat ini, setiap tahunnya kita mempunyai ratusan ribu tamatan universitas dalam jurusan-jurusan yang bermacam-macam yang sebagian mereka adalah para perempuan. Dan kebanyakan cenderung bekerja. Para Aparatur juga dengan dalih persamaan hak-hak perempuan dan laki-laki dan bahwa para perempuan merasa cukup dengan upah yang lebih sedikit dan merasa lebih patuh terhadap para pemimpin usaha maka mereka lebih memilih mereka dari pada para pemuda pengangguran. Karena kita menghadapi persoalan pekerjaan, setiap hari jumlah para pemuda pengangguran kian bertambah. Dan para pemudi juga tidak siap menikah dengan para pemuda pengangguran. Semakin hari jumlah pemudi dan pemuda yang tidak mampu menikah kian bertambah, pernikahan di usia tua kian meningkat dan sangat banyak dari mereka secara umum tercegah dari menikah, membentuk keluarga dan mendidik anak-anak. Mereka terpaksa hidup melajang sampai akhir hayatnya. Hidup melajang juga sangat sulit dan akan bersama puluhan akibat-akibat yang jelek. Dengan kondisi yang ada fondasi keluarga sangat terancam. Para aparat harus berfikir dalam menyelesaikan problem ini, para perempuan juga dalam pendidikan universitas dan bekerja   dalam tempat-tempat pekerjaan untuk tidak lalai menikah pada saatnya dan bentuk keluarga. Dan dalam kaitannya dengan ini, hendaknya bekerjasama dan jika tidak, mereka akan menyesal.

6.    Hak kepemilikan dan Penggunaan Hartanya Sendiri

Setiap manusia di saat bekerja, dirinya mejadi pemilik hasil pekerjaannya. Hasil ini tidak ada sangkutannya dengan orang lain. Misalnya apabila seorang perempuan bekerja, dan suaminya atau ayahnya mengambil hasil kerjaanya, ini adalah kezaliman. Yang pasti, jika dirinya ingin membelanjakan dalam kehidupan bersama maka tidak masalah. Namun karena harta adalah miliknya, dan setiap jalan yang halal di peroleh, baik melalui pekerjaan atau warisan atau pemberian dan semisalnya, bagaimanapun juga hak menggunakan harta tersebut dalam otoritasnya. Dan kewanitaan sama sekali tidak menyebabkan batasan dalam hak kepemilikan dan hak penggunaan dalam hartanya. Apabila perempuan mendapatkan harta dan ingin memberikannya kepada seseorang atau ingin menjadikannya perdagangann (bisnis) atau menyimpannya atau memberikannya di jalan Allah, dalam semua hal ini dia bebas. Namun mereka baik perempuan maupun laki-laki tidak berhak melakukan sebagian penggunaan-penggunaan harta walaupun dalam harta mereka sendiri misalnya seseorang yang ingin membakar hartanya atau  menggunakanya di jalan yang haram dan mengunakannya dalam jalan yang berbahaya bagi kondisi masyarakat, penggunaan-penggunaan seperti ini dilarang dan tidak ada perbedaan antara perempuan dan pria.

7. Hak Keamanan

Manusia yang ingin hidup dimasyarakat baik perempuan maupun laki-laki membutuhkan keamanan. Yaitu harus ada lingkungan dimana jiwa, harta, reputasi, dalam keadaan aman dan tidak ada orang yang mengganggu hak-hak, urusan-urusan, dan kebebasan-kebebasan yang halal.

Kebutuhan ini bagi perempuan harus dipenuhi baik dirumah suami maupun  disetiap komunitas. Dan apabila keamanannya bisa dilanggar, maka dia berhak untuk menghubungi pengadilan-pengadilan yang baik untuk mengambil hak-haknya. Dan jika dalam masyarakat tidak muncul desak-desakan, hiruk pikuk dan anarki, maka dia bisa langsung membela dirinya dan mengambil haknya. Perempuan juga bisa mengadu, bisa melanjutkan pengaduannya ke tingkat penuntut hukum, mengambil pengacara, dirinya berbicara dipengadilan, membela dirinya. Apabila dia bepergian atau urusan-urusan lainnya yang penting, dia bisa melakukannya. Disamping itu, Islam tidak menafikan hak alami ini. Kita melihat perjalanan hidup para perempuan pada permulaan Islam khususnya sejarah Sayyidah Fatimah as, juga ditegaskan oleh Islam. Sayyidah Fatimah as untuk mengambil haknya melakukann pembelaan, berpidato, dan berargumentasi di Masjid Nabi, beliau berkata di hadapan kumpulan yang sangat banyak dan masyarakat meminta keterangan para pejabat mengapa mereka mengambil haknya. Ini merupakan persoalan-persoalan yang jelas yang bisa dilihat dalam Islam. Bukannya perempuan mengatakan: Saya malu, atau orang-orang yang lain berkata: Jelek apabila perempuan mengambil hak darinya! Mengapa jelek?! Orang-orang lain harus membantu dalam hal ini, sehingga para perempuan lebih baik dan lebih mudah untuk bisa merealisasikan haknya.

8. Hak Membuat Undang-undang dan Hidup dalam naungan Hukum.

Adanya undang-undang (Hukum) merupakan salah satu keharusan kehidupan sosial manusia. Perempuan dan pria berhak untuk ikut andil dalam pembuatan hukum, dan tentunya mereka berhak hidup dalam naungan hukum, dan menggunakan keistimewaan-keistimewaannya. Tidak seorangpun yang dibedakan dalam dimensi ini, dan misalnya melarang seseorang karena kewanitaannya dari   perlindungan hukum.

9. Hak Ikut Serta Dalam Pemerintahan

Prinsip kebutuhan komunitas terhadap pemerintahan adalah hal yang pasti. Dan keharusan pelaksanaan hukum adalah pemerintahan bertanggung jawab mengurus sistem masyarakat. Perempuan dan laki-laki keduanya sebagai penduduk berhak ikut serta dalam menentukan nasib   pemerintahan dan bisa ikut andil dalam pemerintahan. Tentunya hadir dalam pendahuluan-pendahuluan pekerjaan ini juga hak semuanya. Menciptakan organisasi-organisasi, golongan dan politik, ikut dalam partai dan kelompok-kelompok, hadir dalam pemilihan umum, dan setiap bentuk aktifitas politik adalah bagian hak-hak masyarakat dan diantaranya adalah para perempuan. Para perempuan bisa membuat organisasi-organisasi, dan membela hak-hak dirinya, negaranya, hak-hak laki-laki dan perempuan. Mereka tidak boleh hanya memikirkan urusan-urusan diri mereka sendiri, tetapi juga harus memikirkan hak-hak orang-orang yang dizalimi. Jika mereka memikirkan hal ini, maka mereka sangat akan lebih sukses. Hendaknya pertentangan dan pemisahan yang tak berguna antara perempuan dan laki-laki tidak diperburuk. Para perempuan harus beraktifitas dengan menjaga neraca-neraca syariat dan aturan-aturan hukum untuk semua komunitas dan semua manusia.

10. Hak Milik Pasangan.

Sebagaimana halnya laki-laki berhak untuk menikah, perempuan juga disaat sampai pada usia menikah berhak memilih suami untuk dirinya. Perempuan bebas dalam memilih suami. Seseorang tidak bisa memaksanya untuk menikah atau tidak menikah. Tidak seorangpun yang bisa memaksa gadis atau perempuan untuk menikah dengan laki-laki tertentu. Tidak ayah, tidak tidak pula ibu, tidak keluarga dan tidak seorangpun yang berhak memaksanyauntuk menikah terpaksa. Manusia sangat bebas dalam memilih pasangan dan tidak seorangpun yang berhak memaksa.

11. Hak Memiliki dan Mendidik Anak

Memiliki anak adalah kebutuhan dan hak alami dan manusia beranggapan bahwa adanya anak adalah kelanjutan kelanggengan dirinya.

Sebagaimana halnya pria berhak memiliki anak, perempuan juga berhak mempunyai anak. Yaitu apabila seorang laki-laki berkata pada istrinya bahwa saya sama sekali tidak ingin mempunyai anak, dari sisi dirinya dia bisa berkata. Namun hak istri disini tidak boleh dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, hukum-hukum perdata harus menjaga hak-hak keduanya. Dalam kaitannya dengan pendidikan juga setiap perempuan atau laki-laki berhak untuk mendidik anak-anaknya sesuai keinginan hatinya. Ini merupakan keinginan alami dan perasaan yang ada dalam setiap perempuan dan laki-laki, dimana ini juga menuntut pembahasab yang jelas dalam batasan hak-hak keluarga.

12.         Hak Berfikir Dan Berakidah

Perempuan adalah berakal. Pria juga berkal. Yaitu memiliki akal dan berfikir merupakan ciri-ciri keduanya. Pada saat Allah memberikan nikmat ini kepada seseorang, dia juga berhak menggunakan nikmat ini dan berfikir, wajar bila manusia setelah mencari pemikiran-pemikiran, sampai pada suatu akidah. Akidah ini berkaitan dengan persoalan-persoalan spiritual dan ukhrawi dan semacamnya atau berhubungan dengan persoalan-persoalan sosial dan duniawi. Bagaimanapun juga akidah manusia dihormati melalui setiap jalan yang diperolehnya. Ya, orang-orang lain bisa memberikan saran padanya dan mereka memintanya supaya meninjau kembali akidahnya. Mereka mengkaji bersamanya dan membatalkan akidahnya. Namun mereka tidak bisa mengatakan mengapa engkau mempunyai akidah ini? Misalnya seseorang menerima (adanya) Tuhan, yang lain mengatakan “Mengapa engkau menerima (adanya) Tuhan?” atau seseorang berfikir dan sampai sekarang tidak bisa memahami keberadaan Tuhan. Tidak bisa dia ditekan, diadili dan dimasukkan ke dalam penjara, “Mengapa engkau tidak bisa menemukan akidah?” Bagus dia tidak bisa menemukan. Mereka bisa berargumen padanya, mengarahkannya dan berkata, “Berfikirlah seperti ini, sehingga akidahmu menjadi benar.” Namun apabila pada akhirnya dia berkata: “Saya tidak menjangkau apa yang kalian katakan.” Tidak bisa dia divonis hanya karena tidak sampai pada keyakinan atau ragu dalam hal itu.

Disini saya katakan bahwa sebagian menentang hukum Islam berkenaan dengan murtad. Dan mereka menganggapnya bertentangan dengan kebebasan berakidah sebagai salah satu hak-hak alami manusia, dan mereka mengatakan: apabila seorang muslim dengan setiap argumen menanyakan kebenaran agama atau salah satu hal yang pokok agama dan dia tidak bisa menerimanya, mengapa kalian menghilangkan hak hidup darinya? Secara global harus dikatakan bahwa persoalan ini tidak berhubungan dengan hak-hak alami tetapi kembali kepada hak-hak sosial dan politik manusia. Sebagaimana individu mempunyai hak, masyarakat juga mempunyai hak yang harus dijaga. Misalnya terkadang dalam permulaan Islam sebagian orang-orang kafir memerintahkan kepada teman-temannya supaya “Pada mulanya terimalah Islam. Dan setelah kalian dikenal sebagai muslim maka bencilah terhadap Islam dan hapuskanlah.” Ini merupakan tipu daya untuk menggoncangkan pilar-pilar keimanan muslimin dan menghantam kumpulan kaum muslimin. Salah satu motif hukum ini adalah sisi ini.

Seseorang yang menemukan akidah maka baginya kehormatan. Perempuan dan laki-laki juga tidak ada perbeadaan. Namun jika dia melebihi batas mempunyai akidah dan sampai mengutarakan akidahnya yaitu apabila dipastikan seseorang dengan pernyataan akidah pribadinya membahayakan akidah orang-orang lain yang mana akidah mereka juga terhormat, maka disini hak-hak dan hukum-hukum sosial harus menentukan batasan kebebasan, dan tentunya akan menuntut batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan khusus. Semua hak-hak manusia memiliki ciri ini, dimana pada saat hak-hak ini sampai kepada tingkat identitas sosial, maka mau tidak mau akan menghadapi benturan-benturan yang mana benturan-benturan ini tidak memperkenankan hak-hak ini terwujud dengan bentuk yang sederhana, tetapi membutuhkan model-model dan saluran-saluran tertentu. Dan jiwa prinsip-prinsip ini harus ditiupkan dengan menjaga kemaslahatan-kemaslahatan umum dalam bentuk undang-undang dasar dan hukum-hukum perdata sehingga dalam naungan undang-undang ini semua bisa menikmati lebih banyak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang boleh dan kebebasan seseorang tidak meniadakan kebebasan orang lain. Diantara keharusan-keharusan kebebarasan akidah adalah apabila seseorang dengan tuntutan akidah agamanya harus melaksanakan acara-acara dan ritual-ritual tertentu, maka ini adalah haknya dan tidak seorangpun yang boleh melarang dan mengganggunya.

13.         Hak Menuntut Ilmu

Salah satu hak-hak kemanusiaan adalah menuntut ilmu yang sebelumnya telah kita bahas secara terperinci dan kami telah kemukakan bahwa perempuan bebas dalam menuntut ilmu dan tidak perlu mengulangi pembahasan-pembahasan tersebut.

14.         Hak Kesempurnaan Jiwa dan Spiritual

Mengingat bahwa manusia memiliki potensi dan kapasitas kesempurnaan rohani dan perkembangan rasio, bagi perempuan dan laki-laki mempunyai hak untuk berusaha memperoleh kedudukan tinggi spiritual dan memperoleh ketinggian ruh dan kesempurnaan jiwa dan tidak seorangpun yang berhak mencegah hal ini. Ini semua ringkasan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan sebagai manusia. Semua harus menerima hak-hak ini dan hendaknya tidak menghalangi tetapi mereka harus bersama dan saling membantu untuk mempertahankan hak-hak tersebut yaitu pemerintah dan juga yang lainnya yang menjamin hak ini dan mereka harus menyediakan media mencapai hak ini bagi para perempuan.

 

l    Apakah hak-hak alami dan hak-hak yang diperoleh?

Jawaban: Bagi manusia ada dua macam hak yang bisa diperhatikan: yaitu hak-hak alami dan hak-hak yang diperoleh (hak-hak perolehan). Hak-hak alami adalah hak-hak yang sumber dan sandarannya adalah penciptaan spesifik manusia. Hukum-hukum seperti ini tidak perlu kepada pembuatan dan penetapan. Setiap “Potensi Alami” adalah asas hak alami. Dan penyebab hak-hak seperti ini sama dan serupa bagi semua manusia adalah individu-individu manusia secara fitrah sama sekali tidak lahir ke dunia untuk menguasai yang lain atau diperintah dan patuh kepada yang lain. Dan pembentukan kehidupan manusia adalah alami dan bukan paksaan. Pekerjaan-pekerjaan kedudukan, dan tugas-tugas tidak dibagi berdasarkan penciptaan. Oleh karena itu, hak-hak ini untuk semuanya. Dan individu-individu manusia berdasarkan penciptaannya semuanya memperoleh hak-hak tersebut. Sebagaimana tidak perlu kepada pembuatan, seseorang juga tidak bisa meniadakan hak-hak tersebut dari orang lain tanpa alasan. Dalam hak-hak ini warna kulit, keturunan, kewanitaan, kepriaan dan semua perbedaan-perbedaan dan keistimewaan tidak berpengaruh dan sama sekali tidak ada perebedaan dengan yang lain. Misalnya hak menuntut ilmu atau hak menikah adalah sesuatu yang sandarannya dengan diri alam dan penciptaan manusia. Dan seseorang yang ingin menetapkan hak ini kepada individu-individu, pada realitasnya dia tidak berbicara baru tetapi dia menyatakan suatu hal yang pasti dan seseorang yang ingin mengingkari hak ini, maka dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kaidah dan menentang alam dan penciptaan manusia.

Poin pokok disini adalah menjaga hak-hak alami para individu dan menghormatinya betul-betul suatu keharusan. Oleh karena itu undang-undang dasar dan hukum-hukum perdata harus dibuat berdasarkan hak-hak alami dan fitrah dan tidak boleh sama sekali bertentangan dengannya atau melarangnya. Apabila undang-undang tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip infrastruktur -yang sebagian telah kami sebutkan-, maka perbedaan hal-hal tersebut dalam situasi yang berbeda-beda atau perubahan hal-hal itu sepanjang zaman harus dilihat dari perbedaan kondisi zaman dan tempat serta perubahan situasi. Misalnya mungkin dalam masyarakat supaya urusan-urusan berjalan dengan baik dan supaya semua individu mudah menggunakan hak-hak alaminya dengan sama, maka harus diletakkan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan seperti larangan menikah dengan keluarga, atau pengontrolan kelahiran, atau ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan syarat-syarat akad dan tata cara pendaftarannya, undang-undang pekerjaan, kepemilikan dan lain-lain, mungkin dalam suatu negara dengan suatu bentuk dan di negara lain dengan bentuk yang lain.

Walaupun undang-undang ini dalam kondisi yang sama meliputi semua manusia, mereka dengan sama berhak memperolehnya dan undang-undang itu sendiri yang menentukan pengecualian-pengecualiannya. Sisi lain yang biasanya diperhatikan dalam pembuatan hukum (undang-undang) adalah harus juga menjelaskan tugas benturan hak-hak. Misalnya andaikan seseorang memiliki penyakit tertentu yang menular. Maka selama dia tidak diobati, undang-undang melarangnya menikah. Larangan ini merupakan hak alami. Ini disebabkan karena disaat dia memperoleh hak ini maka sama halnya dengan tercegahnya banyak orang dari bahaya dari sebagian hak-haknya. Oleh karena itu disini untuk menjaga hak-hak yang halal mayoritas dan mencegah mereka dari bahaya, maka hak-hak dan kebebasan-kebebasan satu orang harus dibatasi. Penentuan batasan-batasan ini tanggungjawab hukum dimana disamping hukum menghormati hak-hak dan kebebasan seseorang dan memenuhi lebih banyak hak-haknya, ia juga menjaga hak komunitas.

Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa hukum-hukum parsial dan peringkat kedua terdapat indeks realitas-realitas yang tepat dalam dirinya. Dan pada hakekatnya menjaga dan menjamin hak-hak alami semua penduduk dilihat dari sisi kondisi-kondisi khusus zaman dan tempat.

Sekarang pertanyaannya adalah terlepas dari ciri-ciri alami dan kebutuhan-kebutuhan manusia dari satu sisi, dan tuntutan-tuntutan yang ditimbulkan oleh kehidupan sosial dari sisi lain, apakah juga ada faktor lain yang berpengaruh dalam pembuatan undang-undang ataukah tidak? Berkenaan dengan ini, harus saya katakan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Tinggi menciptakan manusia dengan tujuan. Dan pembahasan pendahuluan-pendahuluan yang merupakan keharusan hal ini, Allah meletakkan dalam diri manusia dengan bentuk naluri, misalnya untuk tujuan kelanggengan keturunan, maka rasa kebutuhan untuk menikah dan juga kecintaan kepada anak ada dalam keberadaan individu-individu. Dan kita juga dalam pembuatan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan ideal dan tujuan dimana kelanggengan keturunan manusia akan menghadapi bahaya. Pekerjaan seperti membuat undang-undang pembentukan keluarga melalui dua orang sejenis termasuk seperti ini.

Sebagian tujuan-tujuan harus dipilih oleh manusia sendiri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dan mereka harus mencarinya dimana perkembangan dan kebahagiaan  individu dan komunitas dalam jaminannya. Undang-undang harus dengan bentuk tidak hanya tidak memperlambat dan tidak menutup jalan peningkatan dan kebahgiaan menusia tetapi juga lebih melicinkan, mempermudah dan lebih menerangkan jalan ini. Yang pasti, neraca pengetahuan manusia dan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam pandangan-pandangan menyebabkan hukum-hukum yang diletakkan oleh tangan manusia saling berbeda dan terkadang bertentangan.

Sebagian bertanya: Pembahasan ini berhubungan erat dengan pembahasan “Hubungan pandangan dunia dan edeologi” dan dengan kata lain “Hubungan keberadaan-keberadaan dan keharusan-keharusan.” Yaitu apakah “Keharusan-keharusan” (Ketentuan –ketentuan yang berbentuk komposisi) timbul dari realitas-realitas dan berdasarkan atas realitas-realitas? Ini adalah persoalan dasar dimana Marhum Allamah Thabâthabâi dan Marhum Syahid Muthahari dan sebagian yang lain juga mempunyai kajian-kajian dalam bidang ini. Sebagian para ahli tidak menerima dasar ini. Menurut pandangan saya “Keharusan-keharusan” berdasar pada “Keberadaan-keberadaan.” Misalnya manusia memiliki potensi atau kebutuhan yang harus diterima dan penuhi. Kami juga telah katakan disini bahwa hak-hak dan persoalan-persoalan syariat menjawab kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi penciptaan manusia yang tidak bisa ditentang. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak bisa setiap “Keharusan” disimpulkan dari setiap “Keberadaan.” Misalnya andaikan apabila diketahui bahwa etnis tertentu dari sisi sebagian kondisi dan kemampuan lebih utama dari etnis yang lain. Dari sini bisa disimpulkan bahwa masing-masing harus mengembangkan sisi potensinya sendiri dan “Hak-hak Perolehan” mereka juga harus diatur berdasarkan neraca kesuksesan dan efisien. Namun dari perbedaan ini, tidak bisa disimpulkan diskriminasi etnis, karena diskriminasi etnis merupakan pedoman yang kokoh berdasarkan perbedaan substansi (dzat) etnis-etnis. Apabila kita berasumsi bahwa etnis-etnis yang bermacam-macam saling berbeda dalam esensi kemanusiaan, maka kita harus berasumsi bahwa hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan alami mereka satu sama lain juga berbeda, namun disaat semua sama dari sudut pandang kemanusiaan, maka hak-hak alami mereka juga satu sama lain sungguh sama. Semua memperoleh hak kebebasan, memilih, belajar, keikutsertaan politik, kesehatan dan lainnnya. Dan harus secara utuh menggunakan potensi-potensi dan hak-hak yang merupakan hak setiap manusia. Maka jika setelah penggunaan yang sama ini mereka memperoleh hasil-hasil yang berbeda-beda, maka setiap orang harus berada pada posisinya yang layak dan berperan sesuai dengan kemampuan-kemampuan mereka di masyarakat.

Sebagian bertanya: Dari sudut pandang hak-hak alami diantara semua manusia adalah sama. Dan perbedaan-perbedaan individu atau etnis dan semacamnya sama sekali tidak mempengaruhi dalam sisi ini. Namun “Hak-hak Perolehan” karena bergantung pada potensi-potensi, usaha-usaha dan kondisi para individu, maka tentunya tidak akan sama. Sekarang dalam persoalan ini tidak ada ikatan persamaan, apakah ada prinsip tertentu yang bisa dijadikan dasar dan standar hak-hak perolehan? Dalam menjawab harus dikatakan bahwa standarnya adalah aktualisasi potensi-pontensi itu sendiri.

Andaikan jika seseorang dalam bidang keilmuan atau dari sisi kemampuan menejeman dan kepemimpinan atau dari kemampuan fisik memperoleh kelayakan-kelayakan yang baik, atau sangat rajin bekerja dan berusaha, maka individu ini harus berada pada kedudukan yang sesuai bagi dirinya, sehingga sebisa mungkin kemampuan-kemampuan para individu tidak sia-sia dan terhambat.

Standar lainnya adalah seseorang yang menggunakan hak-haknya tidak boleh membahayakan orang-orang lain dan menginjak hak mereka. Bahkan tidak boleh membahayakan dirinya sendiri. Dan juga tidak boleh menyebabkan kekacauan dan bencana dalam sistem masyarakat dan tidak boleh bertentangan dan berbenturan dengan semua prinsip-prinsip dan neraca-neraca kemanusiaan. Semua standar-standar ini bisa disimpulkan dalam prinsip keadilan. Yaitu hak sama sekali tidak boleh bertentangan dengan necara-necara keadilan.

Apabila menggunakan hak dengan dalil apapun menyebabkan kezaliman, maka menyebabkan tidak adanya hak dan pada akhirnya menyebabkan jatuhnya hak. Dan setiap pria dan perempuan yang ingin melanggar orang lain dengan penggunaan hak dirinya, maka pekerjaan ini tidak boleh dan tidak halal. Dan penyalahgunaan hak adalah dilarang.